• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01166

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01166"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

APAKAH STRESS TRAUMATIK MENGGANGGU OTAK?

EFEK NEUROPSIKOLOGIS STRESS ATAS OTAK

Aloysius Soesilo

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

Dipresentasikan dalam Seminar dan Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan

Dalam Rangka Dies Natalis ke 28

Dengan tema

OTAK, PROSES KOGNISI DAN PERILAKU SEHAT

(2)

APAKAH STRESS TRAUMATIK MENGGANGGU OTAK?

EFEK NEUROPSIKOLOGIS STRESS ATAS OTAK

PENGANTAR

Kata “stress” sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari dan orang yang

mengatakannya pada umumnya mempunyai pemahaman yang cukup beralasan tentang arti stress. Orang yang mendengarkannya pun jarang salah memahaminya. Stress telah menjadi istilah dan topik yang universal dan nonspesifik yang dipakai untuk mengungkapan aneka ragam pengalaman hidup yang dinilai menekan, menyedihkan, mengancam, dsb. Kata itu diucapkan ketika seseorang mengalami tekanan oleh boss dalam pekerjaa, kehilangan pekerjaa, bentrok dengan pasangan hidup atau kerepotan mengurusi anak, hidup perkawinan yang berantakan, gaji yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan, kemacetan lalu lintas yang tidak pernah beres, harga-harga bahan pangan yang terus membumbung naik, penyakit yang mengancam kehidupan, musibah bencana alam, dst. Bahkan pengalaman yang dinilai positif pun bisa saja menimbulkan stress, seperti persiapan pesta perkawinan, diterima bekerja di suatu perusahaan, atau diterima di perguruan tinggi, kelahiran bayi, dsb.

Peralihan dari bahasa umum ke diskusi ilmiah tentang stress bukanlah transisi yang mulus. Dalam ranah ilimiah, studi tentang stress melibatkan banyak sekali disiplin (dan subdisiplin), seperti neurologi, biologi, psikologi, psikiatri, farmakologi, dan neuroscience, untuk menyebutkan beberapa disiplin pokok. Selain itu, topic stress memang menarik karena dalam fenomen ini nampak jelas sekali kesaling-terkatian antara body- mind- spirit. Ada begitu banyak hal yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan rumit tentang stress daripada

yang dibayangkan orang dalam percakapan sehari-hari.

(3)

dengan symptom-simptom yang dialami sesudah pengalaman traumatik. Oleh karena studi tentang stress sendiri mengalami perkembangan, maka ada sejumlah pandangan atau teori yang telah beredar dalam literatur. Untuk ini terasa tepat kalau pengertian tentang stress dikemukakan terlebih dahulu. Dari bahasan ini segera kelihatan bahwa stress sesungguhnya fenomen yang lebih rumit daripada yang dipahami publik dalam kehidupan seharian.

Tinjauan tentang hubungan antara sumlah region otak seperti korteks prefrontal, amygdale, dan hippocampus akan dibahas oleh karena semuanya ini terlibat dalam respons takut/stress. Paparan terhadap stress traumatik berkaitan dengan perubahan-perubahan di dalam sistem limbik, hypothalamic – pituitary – adrenal (HPA) axis, dan sejumlah

neurotransmitter utama. Untuk ini aspek-aspek ini juga akan disinggung. Dengan kesadaran akan kompleksitas stress traumatic, maka harus diakui di sini bahwa pembatasan area yang dikenakan dalam kajian ini sudah merefleksikan sebuah penyederhanaan persoalan.

KONSEPTUALISASI STRESS

Studi awal mengenai fisiologi respons terhadap stress dipelopori oleh Walter Cannon dan Hans Selye, kemudian diikuti oleh sejumlah ahli lainnya. Studi Cannon berfokus pada

response otonomik terhadap suatu stressor. Organisme akan mempersiapkan diri menghadapi suatu stressor yang dianggap sebagai ancaman. Dari sini lalu bergulir sejumlah reaksi

neurobiologis, dimulai dari pelepasan epinephrine (adrenalin), yang kemudian mengaktifkan cadangan energy tubuh melalui akselerasi denyut jantung dan tekanan darah serta respirasi, mobilisasi glukosa darah. Reaksi-reaksi semacam ini membutuhkan energi yang besar, oleh karena itu kebutuhan energi untuk aktivitas fisiologis lainnya yang dinilai tidak penting disumbat, sehingga energy tersebut bisa digunakan semaksimalnya untuk reaksi-reaksi

(4)

Hans Selye memperluas studi Cannon dengan menyoroti sistem utama yang berkerja dalam keadaan stress, yakni sistem endokrin, atau HPA axis. Ia mengembangkan sebuah konsep yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome, GAS) untuk menggambarkan reaksi tubuh yang sifatnya nonspesifik dan semua stressor secara umum dianggap membuahkan hasil akhir yang sama. GAS ini menurut Selye terdiri dari tiga tahap. Pertama, tahap waspada atau peringatan , di mana dalam tahap ini terjadi aktivasi fisiologis dari HPA axis dan sistem syaraf simpatetik (SNS) dalam menyiagakan individu untuk menghadapi ancaman. Takah kedua adalah tahap resistensi. Dalam tahap ini berlangsung upaya keras oleh individu terhadap ancaman. Tubuh berupaya untuk mempertahankan kembali tingkat kesiap-siagaan. Akhirnya, tahap kelelahan (exhaustion) bilamana response stress yang berlarut-larut menguras sistem daya tahan tubuh, dan dengan demikian menipis kekuatan dan energy, yang mengarah pada gangguan penyakit.

Dalam hipotesis GAS, Selye berfokus pada pelepasan hormone-hormon

(glucocorticoids) dari korteks adrenal yang berperanan dalam respons stress. Glukokortikoid diyakini sebagai mediator utama dalam GAS. Pelepasan kronis glukocortikoid berakibat pada terjadinya tukak lambung, pembesaran adrenal dan merongrong sistem imunitas tubuh. Selye memberikan kontribusi berarti bagi studi tentang stress, dan dipandang sebagai pelopor dalam

studi mengenai hubungan antara fisiologi GC dan stress (Thiel & Dretsch, 2011).

Perkembangan studi selanjutnya menunjukkan bahwa tidak semua stressor akan berakhir dengan response fisiologis yang sama karena jenis dan sumber stressor, durasi, presepsi dan penilaian (appraisal) individu serta komponen genetiknya ikut berperanan. Faktor-faktor inilah yang dilewatkan oleh Selye dan diamati oleh ahli-ahli lain, misalnya James Mason dan Richard Lazarus. Mason (1975) menyatakan ada karakteristik-karakteristik spesifik yang membuat tubuh bereaksi, yakni faktor-faktor emosional dan situasional bisa mengubah respons GAS. Secara spesifik, tiga hal yang disebutkan adalah: kebaruan situasi yang

(5)

menginduksi sebuah respons stress. Adiktif berarti bahwa semakin banyak karanteristik yang terlibat, samkin besar kekuatan respons stress (Marin & Lupien, 2011).

Perbedaan-perbedaan individu dalam hal kognitif dan motivasional yang

termanifestasi dalam appraisal dan coping dikedepankan oleh Lazarus (1991, 2006; Lazarus & Lazarus, 1994). Variabel-variabel semacam ini menurut Lazarus menjembatani hubungan antara stressor dan reaksi stress. Dengan kata lain, evaluasi atas stressor menentukan derajat ancamannya dan kemampuan individu selanjutnya untuk melahirkan respons stress. Faktor-faktor genetik juga memberikan andil bagi adanya perbedaan individu dalam merespon stress. Jadi, stressor bersifat relative dalam artian bahwa determinan yang menginduksi respons stress bisa berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Dari sinilah konsep tentang perbedaan individual menjadi penting dan selayaknya diperhatikan dalam studi stress.

Stress pada umumnya diakui memainkan peranan besar dalam pathogenesis sejumlah besar gangguan psikiatrik. Namun kita juga mengetahui bahwa ada orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap stress, sekalipun itu dianggap berat dan berlangsung lama, tanpa

menjadi korbannya. Sementara itu, sebagian orang mempunyai tingkat ambang toleransi yang rendah sehingga mereka begitu mudah mengalami gangguan sehubungan dengan stress.

Orang-orang seperti menunjukkan kerentanan constitutional terhadap efek stress, dan keadaaan ini dikenal sebagai diathesis (Newport & Nemeroff, 2002).

Model diathesis/stress berkembang sejalan dengan meningkatnya pemahaman bahwa pengalaman hidup traumatic, bersama dengan faktor-faktor genetic, epigenetic dan

(6)

stress bertindak sebagai pemicu akut untuk gangguan ini bilamana stress terjadi bersamaan dengan awal (onset) suatu penyakit. Kedua, stress akan menguatkan kecenderungan bagi

munculnya suatu penyakit di saat kemudian apabila stress terjadi sebelum dialaminya suatu gangguan/penyakit. Penyakit itu sendiri merupakan sebuah stressor yang mampu

meningkatkan resiko untuk rasa sakit di pada episode selanjutnya Newport & Nemeroff, 2011).

Terdapat bukti yang meyakinkan bahwa pengalaman stress pada masa perkembangan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan psikologis pada masa dewasa. Kontribusi stress selama masa pembentukan terhadap diathesis psikiatrik nampaknya relevant untuk kasus-kasus seperti gangguan depresi, penggunaan substansi (substance use disorders) , serta PTSD. Banyak riset telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut perubahan-perubahan

neurobiologis yang persisten yang terjadi karena pengalaman-pengalaman merugikan pada masa seperti ini. Perubahan-perubahan neurobiologist yang terjadi secara teoretik bisa

merepresentasikan suatu trait marker untuk orang-orang tertentu yang rentan terhadap depresi atau penyakit lain yang berhubungan dengan stress.

Bukti klinis telah menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah mengalami trauma

(misalnya kekerasan seksual atau fisik) memperlihatkan alterasi dialam aktivitas HPA axis. Perubahan-perubahan HPA axis ini bisa berkelanjutan hingga masa perkembangan

sesudahnya. Temuan-temuan seperti ini mengisyaratkan bahwa pengalaman traumatis usia dini bisa mempercepat sensitisasi pituitary dengan adaptasi adrenocortical yang mencoba melakukan regulasi perlawanan terhadap stress. Namun adaptasi adrenal ini nampaknya dilangkahi kalau korban kekerasan mengalami depresi.

Sebelum kita beralih ke topik berikutnya, ada konsep penting lagi yang perlu dibahas sedikit, yaitu allostasis dan allostatic load. Kedua konsep ini bisa membantu mengatasi ambiguitas yang ada di dalam berbagai penggunaan kata “stress.” Konsep ini

(7)

pengalaman kehidupanan . Allostasis mengacu pada proses adaptasi, sedangkan allostatic load pada biaya yang harus dikeluarkan oleh tubuh untuk adaptasi (McEwen & Lupien, 2002). Ada biaya yang tidak bisa dihindari oleh tubuh dalam beradaptasi terhadap aneka ragam tantangan, dengan begitu ada beban yang harus ditanggung. Otak adalah organ yang menjadi target khusus karena peranan yang diembannya dalam mengkoordinasikan respons fisiologis maupun perilaku-perilaku (adaptif ataupun maladaptif) yang berkaitan dengan respons terhadap stress. Oleh karena sistem fisiologis dan psikologis mempunyai jaring hubungan melalui otak, maka konsekuensi stress dari dilihat dari masing-masing sistem ini sebenarnya bak dua sisi dari mata uang yang sama.

Allostasis secara harafiah berarti stabilitas (atau homeostasis) yang dipertahankan melalui perubahan di dalam proses beradaptasi terhadap tekanan tantangan (McEwen & Lupien, 2002). Kedua konsep tersebut berlaku untuk semua sistem tubuh dan fokusnya adalah pada peran protektif (adaptif) dan merugikan dari cathecolamines dan kortisol sebagai

mediator stress yang utama. Formulasi dari sistem ini diungkapkan oleh McEwen dan direpresentasikan pada Bagan 1.

Pertama, otak berperan sebagai pusat integrative yang mengkoordinasikan

response-response behavioral dan neuroendokrin (hormonal dan otonomik) terhadap tantangan.

Sebagian tantangan mememuhi kualifikasi sebagai stressful , sebagian yang lain berhubungan

(8)

faktor-faktor genetik dan perkembangan untuk secara efisien mengatasi tantangan yang wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan siklus jaga-tidur (wake-sleep cycle) serta

pengalaman-pengalaman sehari-hari lainnya.

_____________________________________________________________________

Stressor lingkungan Peristiwa kehidupan Trauma, abuse (pekerjaan, rumah, yang besar

lingkungan tempat tinggal

O T A K

Persepsi tentang stress (ancaman, ketidak-

berdayaan, kewaspadaan)

Perbedaan-perbedaan Respons behavioral

(genetik, perkembangan, (fight or flight) pengalaman) (Perilaku personal –

diet, merokok,minum,

olahraga)

Respons fisiologis

Allostasis Adaptasi

Allostatic load

Bagan 1. Respons stress dan perkembangan allostatic load. Sumber: McEwen & Lupien (2002), hal. 465.

(9)

RESPONS EMOSIONAL TERHADAP STRESS

Peranan emosi tidak bisa dihindarkan dalam kita menginterpretasikan stress. Stress dan emosi adalah dua istilah yang tidak bisa satu dipakai untuk menggantikan yang lain. Pengalaman stress tentu saja memicu emosi, tetapi emosi tidak selalu memicu respon stress. Namun demikian, emosi dan stress berbagi karakteristik yang sama yaitu keduanya mampu

memunculkan peningkatan atau elevasi level arousal, katekolamin dan glukokortikoid (Marin & Lupien, 2011). Pembahasan tentang hal ini akan disampaikan pada bagian lain dalam artikel ini.

Memori emosional pada umumnya lebih baik diingat daripada memori netral. Di dalam ranah emosi, struktur amygdala merupakan pemain utama dengan kapasitasnya memodulasi memori emosional (Davis & Whalen, 2001; LaBar,2007). Amygdala

berpengaruh atas kekuatan penelusuran jejak memori emosional. Oleh karenanya, informasi dengan kandungan emosional atau traumatic lebih baik diingat kembali setelah period waktu tertentu daripada segera setelah encoding. Sebaliknya, memori dengan peristiwa-peristiwa

netral akan memudar setelah period yang panjang.

Response emosional negatif baik secara sadar maupun tidak sadar berpengaruh atas perilaku, dan selanjutnya mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan

(10)

Regulasi emosi bergantung pada interaksi yang terjalin antara region-regio kortikal dan subkortikal (LeDoux, 2000). Interaksi semacam ini merupakan implementasi kontrol kognitif atas daerah limbik. Secara khusus, prefrontal cortex memainkan peranan yang amat besar (Thiel & Dretsch, 2011). Regio limbik dan paralimbik terlibat di dalam

merepresentasikan dan meregulasi aktivitas otonomik serta perubahan-perubahan dalam homeostasis. Regio ini, bekerja sama dengan struktur-struktur lainnya (seperti amygdala, korteks prefrontal dan hypothalamus) merupakan jejaring yang menghasilkan afek inti

(misalnya rasa senang atau tidak senang). Afek ini menghubungkan informasi di dalam tubuh dengan informasi di luar tubuh dan dengan koneksi ini ditentukan mana yang secara personal penting untuk ditanggapi terhadap stimuli eksternal. Menurut Suvak dan Barret (2011) perubahan-perubahan afek inti tidak berakar pada representasi masukan sensoris dari tubuh, oleh karena itu afek inti dipengaruhi tidak hanya oleh peristiwa-peristiwa psikologis. Perubahan afek juga didorong oleh fluktuasi hormonal, level insulin, tidur, ataupun banyak proses lainnya yang mempengaruhi homeostasis.

RESPONSE STRESS TERHADAP STRESS AKUT

Respons stress pada dasarnya bermula dari upaya mobilisasi sumber-sumber energy untuk

digunakan dengan segera dalam keadaan terancam. Mobilisasi energy ini melibatkan serangkaian respons-respons SNS dan endokrin yang berkepentingan untuk memulihkan stabilitas di dalam tubuh seta mendongkrak kemampuan individu untuk menghadapi ancaman. Survival dalam kondisi terancam menjadi muara dari keseluruhan energy. Untuk itu, distribusi

energy untuk aktivitas-aktivitas fisiologis yang tidak secara langsung berkepentingan dengan survival ini akan diminimalisasikan.

(11)

semuanya ini memungkinkan berlangsungnya proses dan belajar dan memori. Bersamaan dengan semua proses ini, perubahan perilaku juga terjadi yang bertujuan meningkatkan kesiap-siagaan dan arousal untuk mengidentifikasi dan mempelajari ancaman.

Inti dari respons terhadap stress akut adalah apa yang telah disebut oleh Cannon di atas, yaitu fight- or-flight response. Bentuk perlawanan ataupun penghindaran sama-sama membutuhkan sumber-sumber energi. Respons-respons otonomik langsung seperti

dicontohkan di atas terjadi keterlibatan SNS yang menstimulasi pelepasan hormone-hormon katecholamin (yakni, epinefrin dan norepinefrin atau noradrenalin). Hormon-hormon ini dilepaskan oleh medulla adrenal langsung ke sirkulasi darah. Aksi kolektif dari SNS dan hormone-hormonnya, yang kemudian terjadi berbagai response-response otonomik, akan mendorong aliran darah seta ketersediaan oksigen dan glukosa ke jaringana-jaringan di dalam otak serta otot-otot skeletal, yang mana semuanya ini dimaksudkan untuk persiapan bertindak: fight, flight, atau bahkan freeze.

Tatkala sesorang mengalami sebuah peristiwa baru, bagian tertentu dari peristiwa ini akan disimpan dalam memori dan dimunculkan kembali (retrieval) di saat kemudian.

Informasi yang baru diperoleh ini sifatnya masih belum solid dan bergantung pada

hippocampus (Marin & Lupien, 2011; Zoladz, Park, & Diamond, 2011). Proses di mana memori yang tidak stabil menjadi stabil di dalam otak disebut konsolidasi memori. Dalam proses ini informasi yang baru dan masih bergantung pada memori jangka pendek dialihkan menuju sistem memori jangka panjang. Pada umumnya elevasi level glokokortikoid

membantu konsolidasi memori, khususnya memori emosional. Temuan oleh Maheu dan kawan-kawan (2004) yang dikutip oleh Marin dan Lupien menunjukkan bahwa memori jangka pendek dan jangka panjang dengan kandungan emosional terganggu setelah

pemblokiran norepinefrin, sedangkan memori jangka panjang untuk materi emosional dan netral terganggu setelah inhibisi glukokortikoid. Temuan ini mengindikasikan bahwa

(12)

Zoladz, Park dan Diamond (2011) berpendapat bahwa stress akut menghasilkan peningkatan dalam waktu singkat plastisitas sinaptik hippocampal yang membantu

penyimpanan informasi. Tetapi dengan berkepanjangannya stress, hippocampus menurun ke keadaan ‘diam’ (refractory state), dan oleh karena ini, batas ambang bagi terjadinya induksi plastisitas hippocampal menjadi naik. Selagi hippocampus dalam refractory state,

penyimpanan informasi baru (yaitu, formasi memori baru) akan terkendala. Zolads dkk., juga menduga bahwa stress dengan segera mengusik berfungsinya korteks prefrontal, dan ini menjelaskan mengapa stress dengan cepat merongrong kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (Lihat juga Arnsten, 2009).

Dalam hal memory retrieval (yakni, mengingat memory trace yang telah

dikonsolidasikan di dalam memori jangka panjang), maka peranan glukokortikoid berbalik arah. Elevasi level glukokortikoid membantu konsolidasi sebagaimana disinggung di atas, tetapi kemampuan untuk memory retrieval menjadi berkurang (Marin & Lupien, 2011). Namun karena memory trace sesungguhnya telah mengalami konsolidasi, maka Marin dan Lupien berpendapat bahwa efek elevasi glukokortikoid atas memory retrieval bersifat sementara. Walaupun demikian, proses retrieval amat sensitive terhadap modifikasi oleh

(13)

RESPONS STRESS TERHADAP STRESS KRONIS

Respons stress akut dikerahkan untuk membantu adaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam miliu internal atau lingkungan eksternal. Tetapi dalam hal individu diperhadapkan dengan tantangan-tantangan yang berkelanjutan, maka adaptasi secara kontinyu diperlukan. Bagaimana HPA axis menyesuaikan fungsinya untuk menghadapi stress yang

berkepanjangan? Ada dua pola utama dalam respons stress, yakni sensitisasi dan habituasi (Herman, 2011; Newport & Nemehoff, 2002). Pada permulaannya ketika terjadi stimulus stress baru, individu mengerahkan orientasinya pada stimulus ini. Respons pada momen ini bisa terjadi secara berlebihan lantaran individu amat sensitif terhadap stimulus. Respons sensitif semacam ini dipicu oleh naiknya level glukokortikoid (Herman, 2011). Contoh dari sensitisasi stress yang berkepanjangan ditemukan pada sejumlah pasien penderita PTSD (Newport & Nemehoff, 2002; Yehuda, 2004).

Terjadinya stressor yang berulang kali dalam jangka waktu yang relatif cukup lama bisa berakibat pada terbentunya respons habituasi. Habituasi mudah terjadi bila individu terpapar pada satu jenis atau modalitas stress, dibandingkan dengan stressor yang majemuk. Melalui proses “menjadi biasa” ini, kemampuan stressor untuk membangkitkan kualitas response seperti halnya pada tahap orientasi seperti disebut diatas, menjadi merosot atau

bahkan hilang. Atau dengan kata lain, banyak perubahan-perubahan fisiologis yang mencolok pada tahap orientasi akan bergerak balik ke keadaan sebelumnya. Tuntutan untuk bersiaga berlebihan menjadi berkurang. Maka menurut Herman (2011), keberhasilan adaptasi tercapai bila terjadi proses penyeimbangan antara habituasi dan sensitisasi, yang memungkinkan individu memperoleh perasaan mampu mengontrol stimulus stress.

Respons psikogenik membutuhkan integrasi informasi sensorik multimodal,

pengalaman masa lampau, keadaan fisiologis yang sedang berlangsung di samping interaksi multisinaptik dari berbagi regio kortikal dan subkortikal. Oleh karena adanya potensi efek yang merugikan dari paparan glukokortikoid yang berkepanjangan, ada sejumlah mekanisme yang secara ketat mengontrol HPA axis. Hal ini memungkinkan adaptasi yang cukup

(14)

menjadi terlampau berlebihan. Dalam hal intensitas dan unprediktabilitas stressor menjadi berlebihan, maka sistem harus bekerja extra (overdrive). Sebagai konsekuensinya, mekanisme

kontrol dilangkahi dan keadaan ini mengakibatkan terjadinya dishomeostasis glukokortikoid (Herman, 2011)

Dishomeostasis glukokortikoid terjadi dalam penyakit yang berkaitan dengan stress, misalnya depresi (hipersekresi) dan PTSD (hiposekresi). Hipersekresi glukokortikoid juga mempunyai efek somatik majemuk seperti gangguan-gangguan metabolic dan kardiovaskular. Berbagai penelitian yang diriviu di sini menunjukkan bahwa gangguan dan penyakit semacam ini bertautan dengan alterasi structural dan fungsional pada korteks prefrontal, hippocampus dan amygdala. Hal demikian bisa diartikan bahwa disfungsi hormonal bisa merupakan symptom dari terganggunya kontrol jalur stress dalam sistem limbik (Herman, 2011).

Aktivitas-aktivitas sistem syaraf pusat, SNS, dan endokrin yang terjadi satu diikuti dengan yang lain sebagai response terhadap suatu stressor atau ancaman, sebenarnya memiliki fungsi adaptif, yakni regulasi reaksi-reaksi fisiologis dan keperilakuan secara tepat terhadap ancaman serta secara bersamaan menjaga keseimbangan dan mencegah kerusakan sistem. Namun demikian, stress kronik bisa mengubah profil ini. Paparan kronis terhadap stress yang

berulang-ulang akan berakibat pada elevasi aktivitas HPA, dengan begitu tingkat ACTH dan GC yang tinggi. Elevasi ini bisa bertahan selama beberapa hari tetapi kemudian menurun pada

level yang normal. Dengan kata lain, karakteristik stressor kronis adalah berlangsungnya atau bertahannya level plasma ACTH dan GC yang tinggi yang tidak kembali ke level semula (baseline). Hal ini diperkirakan karena terjadinya disregulasi masukan (feedback) pada HPA axis (Thiel & Dretsch, 2011).

MEKANISME NEUROBIOLOGIS

(15)

mengalami alterasi, khususnya yang disoroti di sini adalah regio-regio yang menjadi bagian dari sistem limbik.

Sistem limbik umumnya dipandang sebagai sebuah jaringan kerja dari strukturstruktur di dalam lobus frontalis dan diencephalon yang saling terkoneksi dan berasosiasi secara kuat dengan aspek-aspek emosi dan memori. Komponen-komponen kunci dari sistem limbic mencakup amygdala dan hippocampus, thalamus, dan korteks serebral yang meliputi cingulated gyrus, orbitofrontal cortex, prefrontal cortex, parahippocampal gyrus, dan uncus (Filley, 2011; Newport & Nemeroff, 2002; Weiss, 2007). Walau neuroanatominya cukup pelik, sistem limbik dapat bermanfaat kalau dipandang sebagai suatu unit yang fungsional. Ada kegunaan klinik dan teoretik dalam memandang sistem sebagai suatu jejaring yang berperan besar dalam emosi dan juga hal-hal yang berhubungan dengan emosi seperti insting, dorongan, rasa sakit, rasa senang (pleasure) , takut, dan marah.

Untuk memperoleh pemahaman lebih baik tentang adaptasi terhadap stress, penting bagi kita untuk meniliki bagaimana sistem komunikasi integrative bekerja guna

mempertahankan homeostasis. Integrasi dikelola oleh neurotransmitter, neuropeptida, serta signal-signal hormonal yang diorganisasikan oleh sistem syaraf otonomik dan

hypotahalimic-pituitary-adrenal (HPA) axis (Vermetten & Bremmer, 2002). HPA axis sebenarnya bukan sekedar sistem endokrin, tetapi barangkali lebih tepat kalau disebut sistem neuroendokrin

(Newport & Nemehoff, 2002). HPA axis mengatur sekresi glucocorticoids, adrenalcortical steroids, yang bekerja pada jaringanjaringan target sekujur badan guna menjaga homeostasis selama stress. Namun hypothalamus juga merupakan tempat penebaran tukar-menukar informasi antara komponen-komponen limbik dalam sistem syarat pusat dan HPA axis. Oleh karena kinerja seperti ini Newport menyarankan peenyebutan limbic-hypothalamic-pituitary- adrenal axis (Lihat juga De Bellis, Hooper, & Sapia, 2005).

(16)

fisiologis berawal dari hypothalamus dan bergerak melalui kelenjar pituitary anterior dan pada akhirnya bermuara di korteks adrenal. Di dalam alur HPA axis ini, yang menjadi mediator kimiawi utama di dalam hypothalamus adalah corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF berfungsi baik sebagai neurotransmitter maupun hormon sistem syaraf sentral. CRF kemudian bergerak menuju kelenjar pituitary dan berpengaruh pada sekelompok sel dalam kelenjar ini yang meningkatkan produksi dan pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan beta-endorphin. Beta-endorphin menghasilkan analgesia karena peran agonisnya dengan opiate receptors. Oleh karena itu, beta-endorphin bisa mereduksi pengalaman fisik dan emosional

yang menyakitkan sehubungan dengan stress. Selain CRF, ada hormone-hormon lainnya seperti vasopressin, oxytocin, dan somatostatin, yang berpengaruh atas peningkatan atau pengurangan pelepasan ACTH, namun CRF merupakan regulator primer bagi sekresi ACTH.

ACTH kemudian bergerak menuju korteks adrenal, di mana ACTH menstimulasi produksi dan pelepasan glukokortikoid seperti kortisol. Glukokortikoid merupakan

sekelompok hormon adrenokortiokal yang mirip strukturnya yang disintesa dari kolesterol. Pada manusia,

Pengalaman traumatis

Hippocampus amygdala

Hypothalamus disregulasi dan

(CRF) supersupresi

mengikuti waktu

Kelenjar Pituitary (beta-endorphin) (ACTH)

Kelenjar Adrenal (cortisol) (glutamate)

Sensitisasi kerusakan neural

PTSD

gangguan disosiatif

(17)

95% glukokortikoid yang bersirkulasi adalah kortisol, sedangkan sisanya adalah kortikosteron (Newport & Nemeroff, 2002). Nama glukokortikoid menunjukkan bahwa hormon ini

meningkatkan produksi glukosa, sumber energy siap pakai untuk hampir semua sel tubuh. Di dalam keadaan stress, ketersediaan bahan bakar ini diusahakan dengan secepatnya.

Ketercukupan energy harus segera diperoleh dari sumber-sumber lain. Produksi glukosa digenjot melalui mobilisasi katabolik cadangan protein dari otot dan melalui aktivasi enzim-enzim hepatik yang mengkonversikan glikogen menjadi glukosa. Kortisol juga meningkatkan ketersediaan sumber energy sekunder dengan pengerahan asam-asam lemak dari jaringan lemak (adipose tissues) Jadi, ada ongkos yang harus ditanggung untuk pengerahan bahan demi menghadapi tekanan tantangan dengan mengorbankan pihak yang lain.

Efek katabolik hasil imbasan kortisol ini memang sangat kritikal untuk respons adaptif terhadap stress. Namun demikian, hiperaktivitas HPA axis yang terus menerus semacam ini pada waktunya akan menguras protein, karbohidrat dan lemak. Apa yang semula berupa respons adaptif lalu malahan menimbulkan konsekuensi yang merusak dan maladaptif. Dalam kondisi seperti ini mekanisme umpan balik negatif (negative feedback) terjadi, yakni aktivitas HPA axis menurun ketika pelepasan glukocorticoid dalam jumlah cukup telah tercapai. Efek umpan balik negatif ini dimediasi oleh reseptor-reseptor glukokortikoid pada semua level

HPA axis, termasuk hippocampus, hypothalamus, kelenjar pituitary dan adrenal. Feedback kortikol di hypothalamus mengurangi pelepasan CRF, di kelenjar pituitary menghambat pelepasan ACTH, dan di kelenjar adrenal menghambat pelepasan kortisol selanjutnya; sedangkan di hippocampus menghambat sekresi CRF dari hypothalamus.

(18)

arousal ini memunkinkan individu melakukan spectrum respons dari hati-hati, siap siaga,

takut dan terror dengan begitu cepat.

Level kortisol yang tinggi meningkatkan kemampuan mengingat informasi yang relevan secara emosional dan mengkonsolidasikan memori jangka panjang. Namun justru karena ini, memori trauma menjadi semakin mengendap kuat sebagai bagian jaringan neural yang mewarnai representasi mental di dalam otak penderita trauma. Endapan memori ini selanjutnya akan mempengaruhi appraisal mengenai kejadian di masa datang yang mirip sifatnya dengan pengalaman trauma, dan kemudian memicu kemungkinan intrusi memori trauma melalui bayangan, pikiran atau perserpsi.

Selain kortisol, stimulasi kelanjar adrenal melakukan sekresi glutamat asam amino. Pelepasan berlebihan glutamat di dalam hippocampus dan korteks prefrontal selama peristiwa stress traumatik berakibat pada stress oksidatif dan eksitotoksisitas, yakni kerusakan sel lantaran berlebihannya eksitasi atau aktivitas neural (Marin & Lupien, 2011;Vermetten & Bremmer, 2002). Kelebihan eksitasi ini pada sirkuit neural tertentu berhubungan dengan symptom-simptom avoidance dan numbing dalam stress traumatik.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivasi terus menerus oleh HPA axis dapat mengarah kepada allostatic load. Beban muatan ini harus ditanggung oleh tubuh tatkala

mengalami arousal kronis pada sistem fisiologis dalam kepentingannya untuk coping terhadap stressor. Allostatis load dapat menimbulkan kerusakan neural lantaran efek dari kortisol dn glutamat. Pada kondisi stress yang moderat, gangguan neural ini bisa pilih kembali

(19)

Disregulasi ini bisa mengindikasikan upaya otak untuk melindungi diri dari

hyperarousal berkepanjangan dengan mengembangkan suatu mekanisme menekan pelepasan hormon-hormon stress dengan lebih kuat. Supersupresi atas kortisol pada akhirnya bisa mengarah kepada respons-respons disosiatif dan numbing dengan mana peristiwa-peristiwa stress trauma dicegah untuk masuk ke taraf kesadaran.

EFEK TRAUMA PADA SISTEM NEUROTRANSMITTER

PTSD hampir selalu mengikuti eksposur terhadap trauma (Vermetten & Bremmer, 2002). Masa hidup PTSD berkorelasi dengan meningkatnya resiko masa hidup sejumlah gangguan seperti panik, depressi, penyalahgunaan/ketergantungan alkohol, dan fobia sosial. Sedangkan pathofisiologi PTSD mencerminkan perubahan-perubahan berjangka lama yang mewarnai banyak symptom-simptom PTSD maupun gangguan lainnya yang berkaitan dengan trauma. Terdapat indikasi kuat yang akan disinggung di bawah ini bahwa pola-pola perubahan akut dan alterasi jangka panjang terjadi pada HPA axis pada PTSD (Yehuda, 2004).

Badan sel pada neuron di berbagai region dalam otak mensintensakan macam-macam neurotransmitter. Fungsi neurotransmitter ini juga dipengaruhi oleh pengalaman traumatis.

Suatu jaringan kerja neuron pada batang otak memberikan umpan balik kepada sistem syaraf sentral tatkala terjadi suatu peristiwa. Selama kejadian traumatis, jaringan kerja ini

menentukan dan menyesuaikan keseluruhan perilaku individu dengan mengintegrasikan pengalaman otonomik, motorik, kognitif dan emosional yang berlangsung sepanjang axon di seluruh otak (McEwen & Lupien, 2002).

(20)

Semua fenomena ini merupakan hyperarousal yang bersifat adaptif dalam jangka pendek ketika menghadapi tantangan. Hasil riset menunjukkan bahwa pada individu dengan pengalaman trauma, sering terjadi hyperarousal sistem syaraf sentral yang persisten, level katekolamin yang lebih tinggi, serta arousal eksesif dalam response terhadap tanda-tanda trauma (trauma cues) (Bremmer , 2005). Elevasi epinefrin diduga kuat melatarbelakangi symptom-simptom seperti startle response berlebihan, sensitisasi terhadap trauma cues, and generalisasi berlebihan dalam arousal terhadap situasi atau kejadian di luar trauma itu sendiri.

Selain epinefrin, norepinefrin juga berfungsi mempengaruhi arousal untuk

mempertahankan kewaspadaan dan mempertajam fokus selama dalam keadaan fight or flight. Norepinefrin memproses informasi sensoris yang relevan dan neuroendokrin kardiovaskular, serta proses-proses kognitif melalui jaringan efferennya yang ekstensif. Badan sel

noradrenergik (norepinefrin) sebagian besar tersimpan di dalam locus coeruleus. Selama pengalaman stress, amygdala mengisyaratkan locus coeruleus di batang otak untuk

penembakan neuron yang berisi norepinefrin. Proses ini bersifat adaptif tatkala menghadapi ancaman sementara. Namun, sistem norepinefrin menjadi peka dari aktivasi berulang-ulang

dalam kondisi stress traumatis kronis. (McEwen & Lupien, 2002; Southwick, Rasmussson, Barron, & Arnsten, 2005). Sensitisasi ini berakibat pada pengurasan norepinefrin di dalam

neuron yang berkepentingan untuk inhibisi dan modulasi penembakan neuron-neuron epinefrin lainnya (Weiss, 2007). Apabila kemampuan inhibitif ini hilang, penembakan akan terjadi lebih lama dan lebih sering.

Elevasi aktivitas norepinefrin dapat menimbulkan berbagai symptom hyperarousal seperti hypervigilance, startle response, irritabilitas, anxietas, problem tidur dan mimpi buruk. Semua symptom ini berhubungan dengan PTSD. Memori traumatic ditopang oleh formasi jaringan neuron yang diperkuat oleh elevasi aktivitas epinefrin. Konsolidasi memori jangka panjang ini mempunyai andil bagi simptom-simptom PTSD lainnya seperti mengalami kembali peristiwa trauma (reexperiencing), memori intrusif, flashback, dan mimpi yang menakutkan.

(21)

Serotonin merupakan monoamine yang disintesakan dari triptofan di dalam neuron-neuron serotonergik. Neuron serotonergik memproeksikan diri ke banyak region otak, termasuk struktur limbik dan seluruh are korteks serebral. Serotonin memainkan peranan regulasi atas korteks prefrontal, amygdala, dan hipokampus, yang mana semua struktur ini tersangkut dalam patofisiologi PTSD. Neurotransmiter ini berperanan dalam patofiologi anxietas, depresi, tindak agresif, sindroma berhubungan dengan alcohol, dan

impulsivitas.Serotonin juga berpernan dalam regulasi tidur, nafsu makan, aktivitas kardiovaskular dan respirasi, output motorik, dan sekresi neuroendokrin serta analgesia (Vermetten & Bremmer, 2003)

Di dalam kondisi stress yang moderat, serotonin dilepaskan ke dalam korteks frontal, yang bertindak untuk menenangkan dan mereduksi disforia ataupun anxietas. (Yehuda, 2004). Tetapi trauma atau stress berat dapat membawa pada aktivasi serotonin secara berlebihan di dalam sejumlah region di otak. Seperti halnya nasib neurotransmitter lainnya dalam kondisi kronis, serotonin akan mengalami penyusutan (depletion). Keadaan ini memberikan

kontribusi bagi munculnya simptom-simptom hyperarousal seperti telah disebut sebelumnya.

Berbeda dari serotonin depletion, temuan riset mengindikasikan peningkatan level

dopamin di dalam korteks prefrontal dan di amygdala dalamkeaddan stress akut dan kronis (Vermetten & Bremmer, 2002). Konsentrasi dopamin yang tinggi mencederai prosesing sensoris dan member andil bagi depersonalisasi atau derealisasi, yang mana keduanya ini merupakan karakteristik kunci dalam gangguan disosiatif. Di samping ini, juga dijumpai hubungan antara elevasi dopamine dengan symptom-simptom hyperarousal.

PATHOLOGI STRESS: STRUKTUR DAN FUNGSI OTAK

(22)

itu akan diajukan secara singkat di sini temuan-temuan tentang efek neuropsikologis pada otak untuk dua kasus ini.

Banyak studi melaporkan hiperaktivitas HPA axis pada pasien depresi. Dalam hal ini diperkirakan bahwa reseptor ACTH adrenal bekerja berlebihan sehingga menjadi hipersensitif terhadap stimulasi ACTH. Studi anatomis dengan menggunakan teknik imaging pada

penderita depresi atau diseksi postmortem pada korban bunuh diri menunjukkan pembesaran kelenjar adrenal. Pembesaran kelenjar pituitary juga dilaporkan dialami oleh penderita depresi. Data yang cukup meyakinkan mengindikasikan hiperaktivitas HPA axis sebagai penyebab kuat pada depresi.

Kasus-kasus klinis memberikan indikasi yang kuat bagi perubahan-perubahan psikofisologis yang berkaitan dengan stress pada berbagai struktur kortikal dan subkortikal. Reduksi dalam volume korteks, perubahan-perubahan histopatologis, serta aktivasi abnormal pada subregio orbitofrontal cortex terlibat dalam mediasi antara respons stress and perilaku emosional pada gangguan-gangguan mood (mood disorders). Reduksi volume hippocampal juga ditemui dalam depresi (Rao, Chen, Bidesi, Shad, Thomas, & Hammen, 2010). Seperti halnya dengan depresi, sekresi berlebihan dijumpai pada sejumlah penderita PTSD sebagai terdeksi pada meningkatnya level CRF di dalam cerebrospinal fluid.

Perubahan-perubahan neurobiologist yang berpengaruh atas fungsi dan struktur otak pada penderita PTSD telah banyak didokumentasikan (Arnsten, 2009; McNally, 2003; Wellman , 2011). Individu yang menderita PTSD serta depresi seringkali memperlihatkan deficit neurokognitif dalam atensi dan memori El-Hage & Gaillard, 2006). Korteks

prefrontal memainkan peranan yang penting dalam working memory seperti fungsi-fungsi eksekutif seperti perencanaan, bernalar, dan seleksi atensi (Wellman, 2011).

(23)

ke input sensoris sehingga homeostasis bisa tetap dijaga. Anak-anak yang mengalami pengabaian (neglect) beresiko mengalami atropi neural karena tidak memadainya

pertumbuhan neural dan kehilangan dalam jumlah berlebihan neuron, dendrite neuronal, dan koneksi sinaptik yang deprogram secara genetik (Perry, 2002). Neglect menyebabkan anak mengalami kekurangan stimulasi sosioemosional dan kognitif yang seharusnya tersedia pada masa perkembangan normal. Studi neuroimaging memperlihatkan penurunan volume dalam prefrontal cortex pada anak-anak korban sexual abuse yang mengalami PTSD (Lupien, McEwen, Gunnar & Heim,2009; McEwen, 2003; Vasterling & Brailey, 2005). Keadaan serupa juga dialami oleh anak-anak yang tidak memperoleh pengasuh memadai dari ibu (maternal deprivation) .Temuan riset pada binatang percobaan (tikus) oleh Mirescu, Peters, & Gould ( 2004) menunjukkan bahwa pengalaman yang merugikan pada anak tikus yang

dipisahkan dari asuhan induknya mengakibatkan inhibisi plastisitas struktural lewat hipersensitivitas terhadap glukokortikoid dan mengikis kemampuan hippocamous untuk merespons stress pada masa dewasa. Keadaan ini berbeda dari anak tikus yang mendapat asuhan dari induknya.

Studi klinis pada anak-anak penderita PTSD dengan sampel sebesar 62 anak yang menyaksikan kekerasan di dalam keluarga menunjukkan bahwa anak-anak ini, dibandingkan

dengan anak-anak normal, mengalami proses belajar yang lebih lambat dan kurang efeftif, sensitivitas lebih tinggi terhadap interferensi, dan kendala dalam mengulang apa yang telah diingat (Samuelson, Krueger, Burnett, & Wilson, 2010).

Symptom-simptom PTSD seperti numbing dan disosiasi berhubungan dengan deficit neural dalam prefrontal cortex pada anak-anak yang mengalami trauma. Ada kaitan deficit neural dengan hipoaktivitas prefrontal cortex pada penderita PTSD,terutama selama mereka mengingat (rekoleksi aktif) trauma yang dialami.

(24)

banyak atensi pada stimuli yang relevan dengan pengalaman traumanya; sementara individu yang lain tidak memperdulikan stimuli semacam itu. Adanya bias dalam encoding stimuli trauma selama prosesing sensori akan meningkatkan arousal sistem syaraf. Hal ini member kontribusi pada symptom hyperarousal dalam PTSD. Sedangkan bias yang

mengenyampingkan encoding stimuli traumatic mereduksi arousal dan berkontribusi pada munculnya symptom-simptom amnesia atau disosiasi.

Bias perhatian (attentional bias) dipercaya sebagai penting bagi perkembangan dan kelangsungan gangguan-gangguan emosional seperti PTSD oleh karena atensi secara konstan diarahkan kepada stimulus ancaman sehingga semakin mempertonjolkan stimuli yang

berbahaya dan pada gilirannya mengarah pada hyperarousal kronis serta kerentanan terhadap stress (Constans, 2005; vasterling & Brailey, 2005). Ada kaitan antara bias atensional dengan bias dalam membuat pertimbangan (judgmental bias). Judgmental bias juga berkontribusi bagi elevasi anxietas serta arousal pada PTSD dan karenanya berperanan penting dalam keberlangsungan gangguan ini (Ehlers & Clark, 2000). Meningkatnya anxietas terjadi apabila individu dengan PTSD secara rutin memproses peristiwa ambigu secara emosional sebagai

mengancam, dengan demikian mengungkit rasa rentan dan waspada terhadap kemungkingan-kemungkinan ancaman.

Salah satu prosedur untuk mempelajari paradigm prosesing informasi pada PTSD adalah dengan mempelajari memori otobiografis. Memori otobiografis adalah memori yang dimiliki oleh seseorang tentang pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena memori ini berhubungan erat dengan emosi dan bias atensional maupun jugmental, maka bias ini juga berpengaruh atas konten dan bagaimana pengalaman hidup tadi diingat oleh individu (Constans, 2005; Soesilo, 2012)

Hal ini didukung oleh temuan dari Jelinek dan kawan-kawan (2006) bahwa memori verbal dan nonverbal dipengaruhi oleh PTSD.

(25)

bahwa menurunnya aktivasi dan tingkat metabolism dialami oleh individu yang telah mengalami trauma, khususnya selama berlangsung memori trauma. Lebih rendahnya level aktivitas ini jika dibandingkan dengan individu normal, berkaitan dengan temuan bahwa penglaman trauma kronis telah menyusutkan volume hippocampal (Gilbertson dkk., 2002; Kim & Diamond, 2002) . Dalam proses yang mirip terjadi pada prefrontal cortex, penyusutan ini bisa berawal dari deteriorasi atau atrofi proses-proses neural, termasuk penurunan dalam densitas neurons dan percabangan dendrit yang mengusung informasi ke sel syaraf, dan dalam pertumbuhan neuron-neuron baru, serta degenerasi pada terminal neuron tempat sinapsis berlangsung dengan neuron yang lain (McEwen, 1999; Weiss, 2007; Wellman, 2011). Vermetten & Bremmer (2002) berpendapat bahwa perubahan-perubahan semacam ini bisa disebabkan oleh eksposur berlebihan terhadap kimia-kimia yang berkaian dengan stress seperti kortikosteroid dan glutamat. Defisit neuronal ini bisa menjelaskan symptom avoidance dan numbing pada PTSD, seperti ketidak-mampuan mengingat fakta dan detail trauma,

fragmentasi berbagai aspek memori, pengalaman disosiatif, atau bahkan amnesi total untuk trauma. Volume hippocampal dan substantia alba yang lebih kecil juga ditemukan oleh Villareal et al., (2002) pada inidividu dengan PTSD. Berbeda dari studi yang melibatkan

orang dewasa yang menunjukkan reduksi volume hippocampus, Jackowski, de Araujo, de Lacerda, Mari dan Kaufman (2009) melihat bahwa anak-anak dan remaja dengan PTSD

menunjukkan porsi media dan posterior yang lebih kecil pada corpus callosum.

Data dari studi longitudinal anak-anak (n = 15) dengan riwayat maltritment diberikan oleh Garrion, Weems, dan Reiss (2007) dengan menggunakan evaluasi PTSD, kortisol dan neuroimaging. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara stress dengan reduksi hipoccampal pada anak-anak dengan PTSD. Hasil ini memberikan bukti awal bahwa stress menimbulkan kerusakan pada hippocampus. Garrison dan kawan kawan mengajukan hipotesis bahwa volume kortisol memprediksi reduksi volume hippocampal pada pasien dengan symptom-simptom posttraumatik.

(26)

emosional dari pengalaman trauma ke amygdala, yang merupakan situs plastisitas kritikal dalam pengkondisian rasa takut (Wellman, 2011). Bahan ini selanjutnya diteruskan ke struktur motorik subkortikal dan batang otak untuk memunculkan reflex and respons motorik yang dinilai tepat.

Amygdala memberikan masukan kepada hypothalamus, di mana respons-resons neuroendokrin dan otonomik dipicu dan dikontrol. Amygdala yang aktif berlebihan bertanggungjawab untuk symptom-simptom hyperarousal, seperti startle response yang berlebihan, irritabilitas, ledakan rasa marah, dan hypervigilance. Hiperaktivitas juga berkontribusi pada dialaminya kembali peristiwa trauma sebagai buah dari reaktivitas fisiologis dan emosional yang kuat terhadap apa saja yang bisa mengingatkan individu pada traumanya (McNally, 2003 ; Roozendaai, McEwen, & Chattarji, 2009).

Jadi selama stress yang berlebihan, amygdala mengimbas pelepasan ekstra

katekolamin dan kortisol dengan resiko mengusik regulasi perilaku, pikiran dan afek oleh korteks prefrontal.

Namun perlu diperhatikan bahwa korteks prefrontal mempunyai jaringan ekstensif ke amygdala. Dengan begitu, apabila amygdala menggelontor korteks prefrontal dengan

katekolamin, kejadian ini juga menciptakan mekanisme inhibisi oleh korteks prefrontal terhadap amygdala dan korteks sensorimotor, yang selanjutnya memangkas pengaruh rasional

atas perilaku dan pikiran (Southwick, Ramusson, Barron, & Arnsten, 2005; Vasterling & Brailey, 2005).

Bagan 2. Disfungsi dalam aktivasi region-regio otak dan neurotransmitter yang

(27)

IMPLIKASI INTERVENSI

Keluhan yang paling lazim dari penderita stress traumatic adalah mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada diri mereka dan juga merasa salah dipahami oleh orang lain. Mereka mengeluh tentang ketidak-mampuan mereka untuk meninggalkan beban memori pengalaman trauma. Dengan kata lain, pengalaman itu senantiasa menjadi bayang-bayang yang mengikuti baik saat terjaga maupun tertidur. Hal ini memnunjukkan bahwa respons stress neurofsiologis tidak pernah berakhir. Setiap hal atau kejadian dalam yang dijumpai dalam kehidupan

seharian bisa menjadi pengingat akan trauma sehingga terjadi traumatisasi-ulang, dan keadaan ini disertai dengan disregulasi biologis.Tanpa pertolongan medis dan psikologis, gangguan yang mereka alami bisa memburuk. Dalam intervensi, fokus diarahkan pada pengungkapan efek pengalaman mereka sehingga aspek-aspek trauma menjadi terpapar pada medan kesadaran. Kesadaran ini lalu dalam proses psikoterapuetik dikaitan dengan penciptaan rasa aman dan mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan kehidupan mereka.

Format terapi yang melibatkan rekonstruksi pengalaman traumatik di dalam imaginasi

telah memberikan hasil yang positif (Brewin, 2005; Ehler & Clark, 2000). Dalam pendekatan yang bertujuan meningkatkan restructuring kognitif, kognisi adaptif dipakai untuk

menghidupkan kembali pengalam trauma. Dalam metode ini restructuring keyakinan pasien menjadi bagian dari terapi kognitif baku yang digunakan untuk mengakses memori-memori yang terbentuk dari image-image yang berkaitan dengan trauma. Berbagai tilikan yang muncul dan berkembang dalam intervensi juga pada gilirannya memberikan sumbangan bagi studi neuropsikologis dan neuroimaging tentang stress traumatik.

Fokus yang lain adalah pada upaya untuk mengatur atau mengontrol proses-proses biologis yang mengalami alterasi sebagai akibat dari pengalaman traumatis. Untuk ini, medikasi menjadi tindakan yang terbukti efektif untuk PTSD. Topik ini adalah di luar skopa dari tulisan ini.

(28)

KESIMPULAN

Konsep allostasis atau homeostasis dan allostatic load adalah konsep yang iklusif dari pengertian stress. Model ini dapat digeneralisasikan kepada sistem-sistem fisiologis lainnya yang berhubungan dengan stimuli lingkungan. Model ini bermaksud untuk menyuguhkan prinsip biologis umum bahwa sistem yang membantu proteksi tubuh dan meningkatkan kemampuan adaptif dalam jangka pendek juga merupakan sistem yang ikut serta dalam proses patofisiologis bilamana menjadi berlebihan.

Model biologis untuk menjelaskan psikopathologi setelah stress traumatic melibatkan sirkuit batang otak (brain stem circuits), regio-regio kortikal dan subkortikal yang terlibat dalam memori, modulasi emosi, serta responsivitas stress. Sejumlah sistem neurobiologist seperti sistem Locus Coeroleus/Norepinefrin dan CRF/HPA axis, bisa menjadi peka mengikuti waktu oleh karena stress traumatik. Keadaan ini memberi andil bagi munculnya simptom-simptom hyperarousal, konsentrasi buruk, insomnia dan memori intrusif pada PTSD. Berbagai temuan pada umumnya memperlihatkan plastisitas atau perubahan struktural

dna fungsional pada berbagai sistem di atas sebagai akibat dari stress traumatik.

Studi tentang stress traumatik telah berkembang karena kontribusi dari kolaborasi berbagai disiplin seperti neuroanatomi, elektropfisiologi, neurpsikologi, dan psikologi kognitif. Konsensus dari temuan berbagai sumber menunjukkan bahwa emosi mempunyai efek yang kompleks atas memori, bisa meningkatkan atau menghambat, dan efek

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Arnsten, A.F. (2009). Stress signaling pathways that impair prefrontal cortex structure and function. Nature Review/Neuroscience, 10, 410 – 422.

Bremmer, J.D. (2005). Does stress damage the brain. Phi Kappa Phi Forum, 85, 27-29. Bonne, O., & Charney, D.S. (2004). Neuropathology of stress: Prospects and caveat. Psychiatry, 67, 407 – 411.

Brewin, C.R. (2005a). Encoding and retrieval of traumatic memories. In J.J. Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological, cognitive, and clinical perspectives (pp. 131- 150). New York: Guilford.

Brewin, C.R. (2005b). Implications for psychological intervention. In J.J. Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological, cognitive, and clinical

perspectives (pp. 271- 291). New York: Guilford.

Constans, J.I. (2005). Information-processing biases in PTSD. In J.J. Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological, cognitive, and clinical perspectives (pp. 105-130). New York: Guilford.

Davis, M., & Whalen, P.J. (2001). The amygdale: Vigilance and emotion. Molecular Psychiatry, 6, 13 – 34.

De Bellis, M.D., Hooper, S.R., & Sapia, J.L. (2005). Early trauma exposure and the brain. In J.J.Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological, cognitive, and clinical perspectives (pp. 153 – 177). New York: Guilford.

Ehlers, A., & Clark, D.M. (2000). A cognitive model of posttraumatic stress disorder. Behavior Research and Therapy, 38, 319 – 345.

El-Hage, W., Gaillard, P. (2006). Trauma-related deficits in working memory. Cognitive Neuropsychiatry, 11, 33 – 46.

Filley, C.M. (2011). Neurobehavioralanatomy (3rd ed). Boulder, CO:University Press of Colorado.

Garrison, V.G., Weems, C.F., & Reiss, A.L. (2007). Stress predicts brain changes in children: A pilot longitudinal study on youth stress, posttraumatic stress disorder, and the

hippocampus. Pediatrics, 119, 509 – 516.

Gilbertson, M,W., Shenton, M.E., Ciszewski, A., Kasai, K., Lasko, N.B., Orr, S.P., & Pitman, R.K. (2002). Smaller hippocampal volume predicts pathological vulnerability to

psychological trauma. Nature Neuroscience,5, 1242 – 1247.

Herman, J.P. (2011). Central nervous system regulation of the Hypothalamic-Pituitary- Adrenal axis stress response. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain (pp. 29-46). Malden, MA.: Blackwell. Jackowski, A.P., de Araujo, C.M., de Lacerda, A.L.T., Mari, J.J., & Kaufman, J. (2009).

Neurostructural imaging findings in children with post-traumatic stress disorder: Brief review. Psychiatry and Clinical Neuroscience, 63, 1 – 8.

(30)

Kolassa, I-T., & Elbert, T. ( ). Neuroplasticity in relation to traumatic stress. Current Directions in Psychological Science, 16, 321 – 325.

LaBar, K.S. (2007). Beyond fear: Emotional memory mechanisms in the human brain. Current Directions in Psychological Science,16, 173 - 177.

Lazarus, R.S. (1991). Emotion and adaptation. New York: Oxford University Press. Lazarus, R.S. & Lazarus, B.N. (1994). Passion and reason: Making sense of our emotions.

New York: Oxford University Press.

Lazarus, R.S. (2006). Emotions and interpersonal relationships: Toward a person-centered conceptualization of emotions and coping. Journal of Personality, 74, 9–46. LeDoux, J.E. (2000). Emotion circuits in the brain. Annual Review of Neuroscience, 23, 155 – 184.

Lupien, S.J., McEwen, B.S., Gunnar, M.R. & Heim, C. (2009). Effects of stress throughout the lifespan on the brain, behavior and cognition. Nature Review Neuroscience, 10, 434-445.

Marin, M.F., & Lupien, S.J. (2011). Stress and glucocorticoid effects on learning and

memory. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain (pp. 248-265). Malden, MA: Blackwell.

Mason, J.W. (1975). A historical view of the stress field. Journal of Human Stress, 1,6 – 12. McEwen, B.S. (1999). Stress and hippocampus plasticity. Annual Review of Neuroscience,

22,105 – 122.

McEwen, B.S. (2003). Early life influences on life-long patterns of behavior and health. Mental Retardation and Developmental Disabilities Research Reviews, 9, 149 – 154. McEwen, B., & Lupien, S. (2002). Stress: Hormonal and neural aspects. In V.S.

Ramachandran (Ed.), Encyclopedia of the human brain, Vol. 4 (pp. 463 – 474). San Diego, CA: Academic Press.

McEwen, B.S., & Magarinos, A.M. (2001). Stress and hippocampal plasticity: Implications for the pathophysiology of affective disorders. Human Psychopharmacology & Clinical Experiments, 16, S7 – S19.

McNally, R.J. (2003). Remembering trauma. Cambridge, MA: Belknap Press.

Mirescu, C., Peters, J.D., & Gould, E. (2004). Early life experience alters response of adult neurogenesis to stress. Nature Neurosceince,7, 841 – 846.

Newport, D.J., & Nemeroff, C.S. (2002). Stress. In V.S. Ramachandran (Ed.), Encyclopedia of the human brain, VOl. 4 (pp. 449 – 462). San Diego, CA: Academic Press.

Ogden, J. (2007). Health psychology: A textbook (4th ed.). England: McGraw-Hill – Open University Press.

Perry, B. (2002). Childhood experience and the expression of genetic potential: What childhood neglect tells us about nature and nurture. Brain and Mind, 3, 79 – 100. Rao , U. , Chen, L. A. , Bidesi, A. S. , Shad, M. U. , Thomas, M. A. , & Hammen, C. L.

(2010). Hippocampal changes associated with early - life adversity and vulnerability to depression. Biological Psychiatry , 67 ( 4 ), 357 – 364.

Roozendaai, B., McEwen, B.S., & Chatterji, S. (2009).Stress, memory and the amygdala. Nature Review/Neuroscience, 16, 423 – 433..

(31)

Schoenfeld, T.J. & Gould, E. (2011). Stress and adult neurogenesis. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychology effects on the brain (pp. 137 – 156).

Malden, MA: Blackwell.

Soesilo, A. (2012). Traumatic events and autobiographical memory. Psikodimensia – kajian Ilmiah Psikologi, 11, 197 – 222.

Southwick, S.M., Rasmusson, A., Barron, J., & Arnsten, A. (2005). Neurobiological and neurocognitive alterations in PTSD: A focus on norepinephrine, serotonin, and hypothalamic-pituitary-adrenal axis. In J.J. Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological, cognitive, and clinical perspectives (pp. 27- 58). New York: Guilford.

Suvak, M.K., & Barrett, L.F. (2011). Considering PTSD from the perspective of brain processes: A psychological construction approach. Journal of Traumatic Stress, 24, 3-

24.

Thiel, K.J., & Dretsch, M.N. (2011). The basics of stress response: A historical context and introduction. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain (pp. 3-28). Malden, MA.: Blackwell.

Van der Kolk, B.A., Roth, S., Pelcovitz, D., Sunday, S., & Spinazzola, J. (2005). Disorders of extreme stress: The empirical foundation of a complex adaptation to trauma. Journal of Traumatic Stress, 18, 389-399.

Vasterling, J.J., & Brailey, K. (2005). Neuropsychological findings in adults with PTSD. In J.J. Vasterling & C.R. Brewin (Eds.), Neuropsychology of PTSD: Biological,

cognitive, and clinical perspectives (pp. 178 – 207). New York: Guilford.

Vermetten, E., & Bremmer, J.D. (2002). Circuits and systems in stress. II. Applications to neurobiology and treatment in posttraumatic stress disorder. Depression and Anxiety, 16, 14-38.

Villareal, G., et al. (2002). Reduced hippocampal volume and total white matter in posttraumatic disorder. Biological Psychiatry, 52, 119 – 125.

Weiss, S.J. (2007). Neurobiological alterations associated with traumatic stress. Perspective in Psychiatric Care, 43, 114 – 122.

Wellman, C.L. (2011). Chronic stress on corticolimbic morphology. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain (pp. 201 – 229). Malden, MA: Blackwell.

Yehuda, R. (2005). Neuroendocrine aspects of PTSD. In T. Steckler, N.H. Kalin, &

J.M.H.M. Reul (Eds.), Handbook of stress and the brain: Part 2: Stress: Integrative and clinical aspects (pp. 251 – 272). Amsterdam: Elsevier.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan

Cara mengatasi kelelahan juga dapat dilakukan dengan membuat jadwal kerja shift yang baik, seperti Perawat tidak bekerja lebih dari 12 jam dalam periode 24 jam

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Untuk mengetahui kesesuaian antara Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang telah ditetapkan di Universitas Dharmas Indonesia dengan pelaksanaan yang terjadi dalam

Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan ( innate immunity ), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun

Informasi hanya untuk bahan spesifik yang telah ditentukan dan mungkin tidak berlaku jika bahan tersebut digunakan dalam kombinasi dengan bahan. lain atau dalam proses lain,

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil

Berdasarkan motif alel gen sd1 dari hasil analisis sekuen, 30 galur F 2 tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori dengan konstitusi genetik gen sd1 yang