ISBN 978-602-8429-72-6
Proceedings
Seminar Nasional KEOlahragaAN 2016
Refleksi Prestasi dan Budaya Olahraga
dalam Perspektif Ilmu Keolahragaan yang Inovatif
FIK UNY, 31 Oktober 2016
ISBN 978-602-8429-72-6
Proceedings
Seminar Nasional Keolahragaan
dalam rangka Dies Natalis Ke-65 Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Yogyakarta
Humas Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta 55281 Jl. Kolombo No. 1 Karangmalang, Yogyakarta. Telp./Fax. (0274) 550826, 513092
E-mail: [email protected]
Tulisan yang dimuat di Proceedings belum tentu merupakan cerminan sikap dan atau pendapat Penyunting Pelaksana, Penyunting, dan Penyunting Ahli. Tanggung jawab terhadap
ISBN 978-602-8429-72-6
Proceedings
Seminar Nasional KEOlahragaAN 2016
Refleksi Prestasi dan Budaya Olahraga
dalam Perspektif Ilmu Keolahragaan yang Inovatif
FIK UNY, 31 Oktober 2016
KATA PENGANTAR
Prosiding ini disusun berdasarkan hasil SEMINAR NASIONAL KEOLAHRAGAAN Tahun 2016 yang
bertemakan “Refleksi Prestasi dan Budaya Olahraga dalam Perspektif Ilmu Keolahragaan yang Inovatif”. Penyelengaraan seminar tersebut dimaksudkan untuk mempublikasikan hasil penelitian dan
karya ilmiah dalam bidang keolahragaan serta merefleksikan berbagai hal dan isu-isu terkait dengan prestasi olahraga dan budaya olahraga dalam perspektif ilmu keolahragaan yang inovatif.
Kegiatan Seminar Nasional diikuti peserta yang terdiri atas pakar, peneliti, akademisi dan praktisi dalam bidang keolahragaan di Indonesia.
Ucapan terima kasih kami disampaikan kepada pimpinan Universitas Negeri Yogyakarta dan Panitia Dies Natalis Ke-65 FIK UNY yang telah memberikan kesempatan terselenggarkannya Seminar Nasional Keolahragaan pada tanggal 31 Oktober 2016 di FIK UNY.
Selanjutnya kepada para presenter dan editor serta pelaksana seminar Nasional ini disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas jerih payahnya sehingga seminar dapat berlangsung dengan baik sampai tersusunnya prosiding ini.
Akhir kata, semoga prosiding ini bermanfaat khususnya dalam bidang keolahragaan serta memberikan rekomendasi pemikiran ilmiah dalam bidang keolahragaan di Indonesia.
Yogyakarta, 31 Oktober 2016 Ketua Panitia
Dr. Or. Mansur, M.S.
PENGARUH PELATIHAN FISIK DAN RUTINITAS DALAM BATALYON INFANTERI TERHADAP VO2MAX DAN KADAR MDA SERUM PERSONEL KORPS RAIDER
TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT
Personel militer adalah individu yang dituntut siap secara mental dan fisik menghadapi berbagai situasi yang memungkinkan aktifitas fisik intensitas tinggi secara tiba-tiba. Karena tuntutan fisik yang tinggi, personel militer harus memiliki daya tahan kardiovaskuler yang baik, namun aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan radikal bebas dalam tubuh sehingga tercipta kondisi stres oksidatif yang berpotensi mengakibatkan kerusakan sel. Studi ini membahas tentang pengaruh pelatihan fisik dan rutinitas personel dalam Batalyon Infanteri (YONIF) terhadap Volume O2 Maksimum yang dapat diserap tubuh
(VO2Max) dan kadar Malondialdehyde (MDA) serum. Pemeriksaan VO2Max dilakukan dengan
membandingkan VO2Max pada siswa yang masih dalam masa awal Pendidikan Pertama (DIKMA) dan
VO2Max personel YONIF Korps Raider. Analisis MDA dilakukan berdasarkan hasil studi sebelumnya
yang membandingkan kadar MDA serum personel YONIF yang menerima suplementasi antioksidan (K1) dan kelompok yang menerima air mineral (K0). Hasil menunjukkan VO2Max personel YONIF
(37,7 ml×kg-1×min-1) lebih tinggi dari VO2Max siswa DIKMA (36,5 ml×kg-1×min-1), namun hasil uji t
didapati p>0,05 sehingga perbedaannya tidak bermakna. MDA serum pada K1 (938,27 ng/mL) lebih
rendah dibanding K0 (965 ng/mL), namun hasil uji t didapati p>0,05 sehingga perbedaannya tidak
bermakna. Simpulan dari studi ini adalah VO2Max personel YONIF tidak berbeda bermakna dengan
VO2Max siswa DIKMA, program pelatihan dan rutinitas dalam YONIF meningkatkan antioksidan
endogen sehingga tubuh personel YONIF mampu menangkal radikal bebas dengan baik ketika dikenai aktifitas fisik intensitas tinggi. Personel YONIF memiliki daya tahan yang baik terhadap radikal bebas namun perlu adanya pelatihan kardiovaskuler terprogram sebelum melakukan aktifitas fisik intensitas tinggi terjadwal.
Kata Kunci: Aktivitas Fisik, Militer, Stres Oksidatif, VO2Max
PENDAHULUAN
Personel militer merupakan individu yang dituntut untuk selalu siap menghadapi kemungkinan apapun yang mengancam keamanan negara. Dalam tugasnya, personel militer tidak pernah lepas dari aktivitas fisik hingga intensitas tinggi. Aktivitas fisik secara biologis melibatkan banyak kerja sistem dalam tubuh manusia. Salah satu sistem yang memiliki peran sangat penting ketika beraktivitas fisik adalah sistem kardiorespirasi yang terdiri dari sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Sistem kardiorespirasi berperan penting bagi personel militer ketika melakukan aktivitas fisik baik dalam tugas maupun latihan karena sistem kardiorespirasi menentukan transpor oksigen yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi dalam metabolisme. Sistem kardiorespirasi
yang baik akan memungkinkan transpor oksigen secara optimal dalam tubuh sehingga kebutuhan oksigen tercukupi dan tubuh dapat melakukan aktivitas fisik hingga intensitas tinggi dengan lebih baik (Treacher & Leach, 1998). Kebugaran sistem kardiorespirasi dapat diketahui, salah satunya dengan mengetahui kapasitas oksigen maksimum yang dapat diserap tubuh (VO2Max) (Léger,
Mercier, Gadoury, & Lambert, 1988). Semakin tinggi VO2Max seseorang maka tubuh semakin
terampil dalam menggunakan oksigen untuk melakukan metabolisme menghasilkan energi. Personel militer memerlukan sistem kardiorespirasi yang baik dalam melakukan tugasnya, sehingga personel militer perlu memiliki VO2Max yang tinggi. Nilai VO2Max dipengaruhi oleh aktivitas fisik
atau latihan dengan intensitas tertentu secara rutin (Lin et al., 2015; MacInnis & Gibala, 2016) sehingga kesatuan militer seperti batalyon infanteri memerlukan program pelatihan fisik dan rutinitas yang dapat meningkatkan atau mempertahankan tingkat VO2Max personelnya. Aktivitas
fisik meningkatkan laju metabolisme dalam tubuh untuk menyediakan energi yang dibutuhkan saat aktivitas fisik, namun selain menghasilkan energi metabolisme juga menghasilkan senyawa radikal. Salah satu mekanisme yang terjadi, aktivitas fisik melibatkan kontraksi otot rangka, mengaktifkan NADPH oksidase (NOX) pada membran sel dan mengubah molekul oksigen menjadi oksigen reaktif (Brandes, Weissmann, & Schröder, 2014). Oleh karena itu, semakin tinggi intensitas aktivitas fisik, semakin besar produksi senyawa radikal dalam tubuh. Dalam tubuh sudah terdapat antioksidan endogen, namun aktivitas fisik yang tinggi mengakibatkan produksi senyawa radikal meningkat hingga akumulasi senyawa radikal melebihi kapasitas antioksidan yang tersedia (Lamina, Ezema, Theresa, & Anthonia, 2013). Jika jumlah senyawa radikal semakin meningkat maka akan menciptakan kondisi stres oksidatif, senyawa-senyawa radikal tersebut dapat mengoksidasi dinding sel dan mengakibatkan kerusakan sel bahkan kematian sel (Halliwell, 2006). Kerusakan sel karena senyawa radikal menghasilkan senyawa yang disebut Malondialdehyde
(MDA) (Halliwell, 1987), oleh karena itu MDA dapat dijadikan biomarker terjadinya kerusakan sel
akibat stres oksidatif (Gaweł, Wardas, Niedworok, & Wardas, 2004). Tingkat kebugaran personel
yang ditandai dengan nilai VO2Max dan ketahanan personel terhadap senyawa radikal yang
diproduksi ketika beraktivitas fisik merupakan dua hal yang dapat menunjang kinerja personel di lapangan. Kurangnya VO2Max personel dapat mengakibatkan personel mudah kelelahan dalam
melakukan aktivitas fisik. Hal tersebut dapat menurunkan performa dan mengganggu kelancaran latihan maupun sebuah operasi militer. Kondisi stres oksidatif yang dipicu oleh aktivitas fisik intensitas tinggi perlu ditekan dengan adanya senyawa antioksidan. Kondisi stres oksidatif dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga sel akan mengalami perubahan struktur maupun fungsi dan secara keseluruhan dapat menurunkan performa fisik personel.
KAJIAN PUSTAKA
Sistem kardiorespirasi merupakan salah satu sistem utama penunjang kehidupan manusia. Sistem kardiorespirasi terdiri dari sistem kardiovaskuler atau sistem peredaran darah yang meliputi jantung dan pembuluh darah, saling mempengaruhi dengan sistem pernafasan yang meliputi paru-paru dan saluran nafas, sehingga paru-paru, pembuluh darah dan jantung menjadi satu sistem tak terpisahkan yaitu sistem kardiorespirasi (Sherwood, 2015). Kinerja kardiorespirasi akan meningkat ketika tubuh melakukan aktivitas fisik. Ketika aktivitas fisik, otot-otot tubuh bekerja dan membutuhkan energi. Energi dibentuk dari reaksi metabolisme menggunakan oksigen, sehingga peran sistem kardiorespirasi menjadi sangat penting dalam proses suplai oksigen ke jaringan otot. Daya tahan kardiorespirasi adalah kemampuan kerja paru dan jantung dalam mendistribusi sejumlah oksigen kepada otot yang sedang bekerja, menyediakan oksigen untuk pembentukan energi pada otot
tersebut sehingga memungkinkan aktivitas dan performa dalam waktu yang lama (Foss & Keteyian, 1998). Semakin baik daya tahan kardiorespirasi seseorang, maka semakin lancar distribusi oksigen ke seluruh tubuh dan memungkinkan performa fisik yang optimal. Daya tahan kardiorespirasi seseorang dapat diketahui dengan mengukur nilai VO2Max. VO2Max adalah jumlah senyawa
oksigen dalam satuan mililiter yang dapat dikonsumsi tubuh per kilogram berat badan dalam satu menit (Dlugosz et al., 2013; Léger et al., 1988). Nilai VO2Max yang tinggi memungkinkan
seseorang melakukan aktivitas fisik intensitas tinggi hingga intensitas maksimal dalam waktu yang lebih lama tanpa mengalami gangguan atau penurunan performa fisik yang bermakna, karena tubuh mendapat suplai oksigen yang cukup untuk melakukan tugasnya. Untuk meningkatkan VO2Max
diperlukan latihan fisik yang terprogram. Nilai VO2Max seseorang dapat ditingkatkan dengan
melakukan latihan fisik berbasis aerobik secara rutin minimal dengan intensitas moderat (Caine & Garfinkel, 1999; Lin et al., 2015).
Menurut studi (Powers & Jackson, 2008), baik otot rangka yang sedang diam maupun yang sedang berkontraksi keduanya memproduksi senyawa oksigen reaktif (ROS) dan senyawa nitrogen reaktif (RNS) yang merupakan senyawa radikal. Senyawa radikal adalah atom, molekul atau ion yang memiliki elektron valensi ganjil dan tidak berpasangan (Hayyan, Hashim, & AlNashef, 2016) sehingga bersifat reaktif dan mudah mengikat molekul, atom atau ion lain yang berada didekatnya. Molekul lain yang diikat dapat mengalami perubahan struktur maupun sifat molekul sehingga molekul tersebut akan mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi. Peningkatan intensitas aktivitas fisik meningkatkan laju metabolisme pembentukan energi, namun produksi senyawa radikal dalam tubuh juga meningkat. Peningkatan jumlah senyawa radikal dalam tubuh jika tidak diimbangi dengan produksi senyawa antioksidan yang memadai, akan mengakibatkan kondisi stres oksidatif, yaitu ketidakseimbangan antara jumlah senyawa radikal dengan senyawa antioksidan di mana jumlah senyawa radikal jauh melebihi kapasitas antioksidan yang tersedia dalam tubuh. Kondisi stres oksidatif berpotensi mengakibatkan kerusakan sel. Senyawa radikal dapat mengoksidasi membran sel sehingga sel yang teroksidasi akan mengalami kerusakan struktur hingga kematian sel (Grimsrud, Xie, Griffin, & Bernlohr, 2008). Hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan performa fisik seseorang ketika sedang melakukan aktivitas fisik intensitas tinggi.
Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa yang dihasilkan dari proses peroksidasi lemak. Saat ini MDA banyak dijadikan biomarker kerusakan sel akibat stres oksidatif. Menurut studi (Harjanto, 2003), hingga satu jam setelah aktivitas fisik berhenti, masih terjadi produksi MDA dalam tubuh dan MDA dapat ditemukan dalam aliran darah, sehingga untuk mengetahui tingkat stres oksidatif dapat dilakukan dengan memeriksa kadar MDA dalam darah hingga satu jam setelah aktivitas fisik.
Militer adalah angkatan bersenjata dari suatu negara, satuan dan organisasi pertahanan dan penyerangan yang dibentuk oleh pemerintah suatu negara untuk mempertegas kebijakan domestik dan luar negeri pemerintah. Dalam tugasnya, militer tidak lepas dari aktivitas perencanaan dan penerapan ilmu-ilmu militer untuk mencapai tujuan tertentu yang disebut operasi militer (Glantz, 1991). Operasi militer merupakan konsep dan penerapan ilmu militer untuk merencanakan manuver pasukan sesuai ketentuan, pelatihan dan tujuan dilakukan operasi tersebut. Untuk menunjang keberhasilan sebuah operasi militer diperlukan perencanaan yang matang dalam rencana strategi maupun kondisi fisik personel yang akan terlibat dalam kegiatan operasi. Secara fisik, personel militer dituntut untuk mampu bertahan dalam berbagai kondisi yang akan mempengaruhi fisiknya, termasuk adanya kemungkinan aktivitas fisik intensitas tinggi hingga intensitas maksimal. Dalam tugas militer, personel mungkin akan mengalami aktivitas fisik intensitas moderat hingga intensitas tinggi,
ditambah dengan membawa beban dari perlengkapan yang dibawa, namun waktu pemulihan yang tersedia sangat terbatas. Personel militer dituntut untuk dapat bertahan dalam kondisi tersebut dalam satu waktu (Van Dijk, 2009) sehingga kondisi fisik dan kebugaran personel merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi personel militer dalam menjalankan tugas. Salah satu kebugaran yang harus dipenuhi adalah kebugaran kardiorespirasi. Karena perseonel militer dituntut memiliki kebugaran yang tinggi, diperlukan program pelatihan fisik yang mampu meningkatkan kebugaran personel termasuk kebugaran kardiorespirasi.
Infanteri merupakan unit tempur darat yang merupakan pasukan berjalan kaki, dilengkapi persenjataan ringan, dilatih dan dipersiapkan untuk pertempuran jarak dekat (English & Gudmundsson, 1994). Pasukan infanteri modern pada umumnya dapat diangkut ke daerah pertempuran menggunakan sarana transportasi militer pendukung seperti pesawat terbang, kapal atau perahu, truk, kendaraan lapis baja, atau helikopter. Batalyon Infanteri atau YONIF merupakan satuan dasar tempur pasukan infanteri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Batalyon Infanteri memiliki program pelatihan fisik dan pelatihan tempur yang menjadi rutinitas untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan tempur personelnya.
METODE
Metode yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada asumsi bahwa siswa DIKMA adalah individu yang belum mendapatkan perlakuan program pelatihan dari TNI namun telah memenuhi standar rekrutmen TNI sehingga kondisi fisik seluruh siswa DIKMA pada awal pendidikan dianggap sama dan homogen. Asumsi lain bahwa seluruh personel YONIF pernah melalui tahap pendidikan pertama sebelum ditugaskan dan menjadi bagian dalam sebuah batalyon tertentu, sehingga seluruh personel YONIF memiliki kronologi karir dan mengalami fenomena aktivitas fisik yang relatif sama dan memungkinkan kondisi fisik yang homogen. Unit eksperimen yang digunakan dalam studi ini adalah 22 orang siswa DIKMA TNI AL berusia 19-22 tahun (Putra & Haridito, 2013) dan 22 orang personel YONIF Raider TNI AD (Putra & Purwanto, 2015) berusia 22-29 tahun yang semuanya dipilih secara acak. Kriteria inklusi bagi unit eksperimen siswa DIKMA (Putra & Haridito, 2013) adalah 1) Merupakan siswa yang baru lulus seleksi penerimaan prajurit TNI. 2) Berusia 19-22 tahun. 3) Berjenis kelamin laki-laki. 4) Tidak melakukan aktivitas fisik intensitas tinggi tiga hari sebelum pengambilan data. Kriteria inklusi bagi unit eksperimen personel YONIF (Putra & Purwanto, 2015) adalah 1) Berusia 22-29 tahun. 2) Berjenis kelamin laki-laki. 3) IMT normal (18,5-25 kg/m2). 4) Tidak mengonsumsi teh atau kopi tiga hari sebelum hari pengambilan data. 5) Tidak memiliki masalah atau gangguan saluran pencernakan. 6) Tidak memiliki alergi terhadap bahan yang terkandung dalam teh. 7) Tidak melakukan aktivitas fisik intensitas tinggi tiga hari sebelum pengambilan data.
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan VO2Max adalah membandingkan antara nilai
VO2Max dari 22 orang personel YONIF dengan nilai VO2Max 22 orang siswa DIKMA yang masih
dalam masa awal pendidikan. VO2Max diperiksa dengan menggunakan instrumen beep test, yaitu
tes lari bolak balik sejauh 20 meter mengikuti isyarat audio. Capaian level dan balikan yang berhasil ditempuh kemudian dikonversi menggunakan tabel VO2Max untuk mendapatkan nilai angka
VO2Max (Leger & Lambert, 1982). Data dari masing-masing kelompok kemudian dianalisis
dengan uji t independen.
Analisis MDA serum didasarkan pada studi sebelumnya (Putra & Purwanto, 2015) yang mempelajari pengaruh seduhan teh hijau terhadap stres oksidatif pada personel YONIF, yaitu dengan
membandingkan kadar MDA dalam serum darah pada personel YONIF yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang memperoleh suplementasi antioksidan berupa 2 gram teh hijau yang diseduh dalam 250 ml air mineral (seduhan teh hijau) (K1) dan kelompok kontrol (K0) yang
memperoleh 250 ml air mineral. Kedua bahan tersebut dikonsumsi 2 jam sebelum melakukan aktivitas fisik maksimal dalam bentuk beep test. Pengambilan sampel darah dilakukan 30 menit setelah melakukan beep test dan sampel darah kemudian diproses dengan metode sentrifugasi untuk mendapatkan serum. Pemeriksaan MDA menggunakan pereaksi thiobarbituric acid (TBA) dengan metode colorimetri. Kadar MDA dalam serum diperiksa menggunakan spectrophotometry dengan panjang gelombang 532 nm (Janero, 1990). Analisis statistik yang digunakan untuk membandingkan kadar MDA serum kedua kelompok adalah uji t independen.
HASIL
Tabel 1: Hasil Analisis VO2Max
Kelompok Rerata VO2Max Std. Error Rerata F p
Setelah dilakukan analisis statistik, tampak bahwa nilai F pada kedua kelompok uji VO2Max
maupun MDA lebih dari 0,05 yang berarti secara statistik varian antar kedua kelompok pada kedua variabel uji adalah homogen. hasil pemeriksaan VO2Max menunjukkan bahwa VO2Max personel
YONIF (37,78 ml×kg-1×min-1) lebih tinggi dari VO2Max siswa DIKMA (36,56 ml×kg-1×min-1)
yang masih dalam masa awal pendidikan, namun hasil uji t independen didapati p>0,05 sehingga perbedaan keduanya tidak bermakna. Hasil pemeriksaan Kadar MDA serum (Putra & Purwanto, 2015) pada K1 (938,27 ng/mL) lebih rendah dibandingkan dengan K0 (965 ng/mL), namun hasil uji
t independen didapati p>0,05 sehingga perbedaan keduanya tidak bermakna.
PEMBAHASAN
Hasil analisis VO2Max menunjukkan bahwa nilai VO2Max personel YONIF tidak berbeda
bermakna dengan nilai VO2Max siswa DIKMA yang masih dalam masa awal pendidikan. Hal
tersebut bisa terjadi karena program pelatihan fisik personel YONIF tidak hanya menekankan pada daya tahan kardiorespirasi saja, namun keseluruhan aspek yang dibutuhkan dalam pertempuran seperti kekuatan, daya ledak otot, kelincahan, dan daya tahan otot. Selain pelatihan aspek fisik dan biomotor, batalyon infanteri juga memiliki program pelatihan tempur untuk meningkatkan keahlian tempur personelnya seperti menembak, survival, dan beladiri. Keseluruhan pelatihan tersebut diperlukan untuk meningkatkan kemampuan personel dan menunjang berbagai misi dan operasi militer. Daya tahan kardiorespirasi hanya merupakan bagian dari keseluruhan pelatihan militer dan dapat dilatih secara individu ketika mempersiapkan diri untuk sebuah tugas tertentu. Berdasarkan hasil studi MDA (Putra & Purwanto, 2015) didapati bahwa kadar MDA serum kelompok yang
menerima suplementasi antioksidan berupa seduhan teh hijau dan kelompok yang menerima air mineral tidak berbeda bermakna. Hal ini bisa disebabkan karena personel YONIF merupakan individu terlatih yang memiliki jadwal pelatihan fisik yang rutin dan teratur. Pelatihan fisik yang dilakukan secara rutin dapat menjadikan tubuh lebih terampil dalam memroduksi antioksidan endogen (Azizbeigi, Stannard, Atashak, & Mosalman Haghighi, 2014), sehingga jumlah antioksidan endogen personel YONIF cukup untuk menangkal radikal bebas yang terbentuk dari aktivitas fisik intensitas tinggi. Oleh karena itu, untuk menjalankan tugas di lapangan tubuh personel YONIF telah siap menghadapi kemungkinan beban aktivitas fisik hingga intensitas maksimal tanpa mengalami penurunan performa yang disebabkan oleh stres oksidatif karena dalam tubuh personel YONIF telah tersedia cukup antioksidan endogen, dan tubuh personel YONIF telah terampil dalam memroduksi antioksidan endogen untuk mengimbangi senyawa radikal yang dihasilkan ketika aktivitas fisik intensitas tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan VO2Max dan analisis kadar MDA serum pada personel
YONIF, dapat disimpulkan bahwa nilai VO2Max personel YONIF relatif sama dengan VO2Max
siswa yang baru lulus seleksi penerimaan prajurit TNI dan akan menjalani pendidikan pertama (DIKMA). Program pelatihan fisik dan rutinitas dalam YONIF Raider mungkin tidak meningkatkan atau mempertahankan tingkat VO2Max personel, namun dapat meningkatkan kadar antioksidan
endogen sehingga tubuh personel YONIF tahan terhadap radikal bebas dan mampu menangkal stres oksidatif yang terjadi ketika aktivitas fisik mencapai intensitas tinggi bahkan maksimal.
SARAN
Studi ini didasarkan pada asumsi bahwa tiga matra TNI memiliki program pelatihan fisik dalam pendidikan pertama yang relatif sama dan hampir semua batalyon infanteri korps Raider memiliki program pelatihan fisik yang relatif sama pula. Belum jelas apakah hasil studi ini dapat digeneralisasikan untuk batalyon infanteri korps lain dan perlu dilakukan studi lanjutan untuk membuktikan hal tersebut. Beberapa faktor keterbatasan membuat variabel usia, tinggi badan dan berat badan pada unit eksperimen yang digunakan dalam pemilihan personel YONIF tidak terkontrol dan memiliki rentang yang cukup besar. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk studi serupa yang akan dilaksanakan sehingga pada studi selanjutnya diharapkan peneliti dapat mengontrol semua variabel yang berpengaruh terhadap hasil.
PUSTAKA
Azizbeigi, K., Stannard, S. R., Atashak, S., & Mosalman Haghighi, M. (2014). Antioxidant enzymes and oxidative stress adaptation to exercise training: Comparison of endurance, resistance, and concurrent training in untrained males. Journal of Exercise Science and Fitness, 12(1), 1–6. https://doi.org/10.1016/j.jesf.2013.12.001
Brandes, R. P., Weissmann, N., & Schröder, K. (2014). Nox family NADPH oxidases: Molecular mechanisms of activation. Free Radical Biology and Medicine, 76, 208–226. https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2014.07.046
Caine, K. W., & Garfinkel, P. (1999). The Male Body - Buku Pintar Kesehatan Pria. Batam: Interaksara.
Dlugosz, E. M., Chappell, M. A., Meek, T. H., Szafrańska, P. A., Zub, K., Konarzewski, M., …
Garland, T. (2013). Phylogenetic analysis of mammalian maximal oxygen consumption during exercise. Journal of Experimental Biology, 216(24).
English, J. A., & Gudmundsson, B. I. (1994). The Military Profession series. London: Praeger Publishers.
Foss, M. L., & Keteyian, S. J. (1998). Fox’s Physiological Basis for Exercise and Sport (6th ed.). USA: WCB/McGraw-Hill Companies.
Gaweł, S., Wardas, M., Niedworok, E., & Wardas, P. (2004). [Malondialdehyde (MDA) as a lipid
peroxidation marker]. Wiadomosci Lekarskie (Warsaw, Poland : 1960), 57(9–10), 453–5. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15765761
Glantz, D. M. (1991). Soviet Military Operational Art: In Pursuit of Deep Battle. London, Portland: Frank Cass.
Grimsrud, P. A., Xie, H., Griffin, T. J., & Bernlohr, D. A. (2008). Oxidative stress and covalent modification of protein with bioactive aldehydes. The Journal of Biological Chemistry,
283(32), 21837–41. https://doi.org/10.1074/jbc.R700019200
Halliwell, B. (1987). Oxidative damage, lipid peroxidation and antioxidant protection in chloroplasts. Chemistry and Physics of Lipids, 44(2), 327–340. https://doi.org/10.1016/0009-3084(87)90056-9
Halliwell, B. (2006). Reactive species and antioxidants. Redox biology is a fundamental theme of aerobic life. Plant Physiology, 141(2), 312–322. https://doi.org/10.1104/pp.106.077073
Harjanto. (2003). Petanda Biologis Yang Mempengaruhi Derajat Stres Oksidatif Pada Latihan Olahraga Aerobic Sesaat. Program Pasca Sarjana FK Unair.
Hayyan, M., Hashim, M. A., & AlNashef, I. M. (2016). Superoxide Ion: Generation and Chemical
Implications. Chemical Reviews, 116(5), 3029–3085.
https://doi.org/10.1021/acs.chemrev.5b00407
Janero, D. R. (1990). Malondialdehyde and thiobarbituric acid-reactivity as diagnostic indices of lipid peroxidation and peroxidative tissue injury. Free Radical Biology & Medicine, 9(6), 515– 40. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2079232
Lamina, S., Ezema, C., Theresa, A., & Anthonia, E. (2013). Effects of Free Radicals and Antioxidants on Exercise Performance. Oxidants and Antioxidants in Medical Science, 2(2), 83–91. https://doi.org/10.5455/oams.010413.rv.005
Leger, L. A., & Lambert, J. (1982). A Maximal.Multistage 20-m Shuttle Run Test to Predict VO2
max*. Eur J Appl Physiol, 49, 1–12. Retrieved from
http://www.sportexperts.org/publication/56.pdf
Léger, L. A., Mercier, D., Gadoury, C., & Lambert, J. (1988). The multistage 20 metre shuttle run test for aerobic fitness. Journal of Sports Sciences, 6(2), 93–101. https://doi.org/10.1080/02640418808729800
Lin, X., Zhang, X., Guo, J., Roberts, C. K., McKenzie, S., Wu, W.-C., … Song, Y. (2015). Effects of Exercise Training on Cardiorespiratory Fitness and Biomarkers of Cardiometabolic Health: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Journal of the American Heart Association, 4(7), e002014. https://doi.org/10.1161/JAHA.115.002014
MacInnis, M. J., & Gibala, M. J. (2016). Physiological adaptations to interval training and the role of exercise intensity. The Journal of Physiology. https://doi.org/10.1113/JP273196
Powers, S. K., & Jackson, M. J. (2008). Exercise-induced oxidative stress: cellular mechanisms and impact on muscle force production. Physiological Reviews, 88(4), 1243–76.
https://doi.org/10.1152/physrev.00031.2007
Putra, K., & Haridito, I. (2013). Pengaruh Program Pelatihan Fisik Militer Terhadap Peningkatan Vo2max Siswa Pendidikan Pertama Tamtama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi di Puslatdiksarmil Kobangdikal Surabaya). Jurnal Kesehatan Olahraga, 1(1). Retrieved from http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-kesehatan-olahraga/article/view/1922/baca-artikel
Putra, K., & Purwanto, B. (2015). Personel Militer Sebagai Individu Terlatih Tidak Membutuhkan Suplementasi Antioksidan Tambahan. Jurnal Ilmu Kesehatan Olahraga Indonesia, 1(4). Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. (D. R. Herman Octavius Ong,
Albertus Agung Mahode, Ed.) (8th ed.). Jakarta: EGC.
Treacher, D. F., & Leach, R. M. (1998). Oxygen transport-1. Basic principles. BMJ (Clinical
Research Ed.), 317(7168), 1302–6. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9804723
Van Dijk, J. (2009). Chapter 3–COMMON MILITARY TASK: MARCHING (RTO-TR-HFM-080).
Utrecht, NETHERLANDS. Retrieved from
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?rep=rep1&type=pdf&doi=10.1.1.214.8896