PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Santrock (Appulembang & Agustina, 2019), pandangan tersebut menggambarkan bahwa resiliensi memegang peranan penting pada remaja dari keluarga patah hati dalam menghadapi permasalahan identitas. Krisis identitas yang terus-menerus dapat berdampak signifikan pada ketahanan remaja dari keluarga yang berantakan. Kegagalan ketahanan di kalangan remaja yang berasal dari keluarga yang berantakan membuat mereka tidak mampu menghadapi tantangan sosial seperti kejahatan dan penyalahgunaan narkoba.
Fokus penelitian
Remaja dengan keluarga yang berantakan masih mempunyai pilihan ke arah negatif atau positif dalam proses pembentukan identitas dirinya, yang tentunya memerlukan dukungan baik dari sumber internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat resiliensinya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi resiliensi remaja yang mengalami Broken Home di SMA 5 Makassar.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong resiliensi pada remaja mengalami Broken Homes di SMA 5 Makassar. Penelitian ini akan memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang peran ketahanan remaja di rumah dalam membangun identitas diri remaja yang positif. Hal ini dapat membantu mereka menjalani proses eksplorasi identitas bahkan dalam kondisi rumah tangga yang berantakan.
Broken home dapat digolongkan menjadi dua aspek utama, yaitu (1) keretakan struktur keluarga akibat perceraian orang tua atau kehilangan anggota keluarga, (2) ketidakharmonisan dinamika keluarga (Willis, 2016). Loughlin (seperti dikutip Nasiri, 2016) menjelaskan bahwa anak atau remaja yang mengalami Broken Home mungkin menunjukkan tanda-tanda gangguan kesehatan mental jangka pendek, antara lain stres, kecemasan, dan depresi. Penelitian Victor Omoruyi (2014) juga mengungkapkan bahwa anak atau remaja yang mengalami perpisahan rumah tangga menghadapi berbagai permasalahan antara lain kesulitan akademik, perilaku menyimpang, perilaku anti sosial, kecemasan dan depresi.
Peran keluarga yang tidak selalu berfungsi dengan baik seringkali berakibat pada disfungsi atau keadaan rumah tangga yang rusak dalam keluarga. Dampak dari Broken Home tidak hanya dirasakan oleh orang tua, namun juga oleh anak-anak atau remaja. Dampak Broken Home pada Remaja: Remaja yang mengalami Broken Home cenderung memiliki permasalahan emosional, perilaku, dan sosial.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali, mendalami, mengumpulkan dan menganalisis informasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai ketahanan remaja yang mengalami patah rumah. Ketahanan anak muda korban Broken Home yang mendapat dukungan sebaya di Kabupaten Cilacap (Disertasi Doktor, Uin Raden Mas Said Surakarta). Faktor-Faktor Pembentuk Ketahanan Remaja Keluarga Broken Home di Desa Pucung Lor Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap.
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Resiliensi
Sedangkan menurut Richardson (2002), resiliensi adalah suatu proses mengatasi stresor, kesulitan, perubahan dan tantangan, yang dipengaruhi oleh kemampuan untuk pulih dari pengalaman emosional negatif. Dengan demikian, resiliensi dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi sulit, setelah itu seseorang dapat beradaptasi secara positif terhadap hambatan yang dihadapinya. Aku adalah aspek kekuatan batin yang mencakup hal-hal seperti perasaan, emosi, perilaku atau keyakinan yang ada dalam diri individu dalam keyakinan bahwa ia dapat mencintai dan layak dicintai.
Individu yang memiliki aspek ini memiliki pemikiran yang positif terhadap dirinya, sehingga dapat berpikir optimis, penuh harapan dan memahami bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab penuh terhadap dirinya. I Have mencakup keyakinan individu bahwa ia tidak akan menghadapi sesuatu sendirian, namun ada orang-orang yang dapat dipercaya dalam setiap situasi dan keadaan. Individu merasa memiliki teladan yang baik yang dapat memberikan arahan berupa dukungan informasi, dukungan emosional, dan dukungan sosial berupa pertolongan, seperti mendengarkan cerita ketika individu sedang tidak enak badan.
Individu dengan aspek I Have juga akan mampu menyadari dan mengidentifikasi bahwa dirinya mempunyai sumber daya eksternal berupa hubungan baik dengan orang-orang disekitarnya, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Bagian terakhir adalah kemampuan mengenali bantuan yang dapat membantunya dengan membangun hubungan yang dapat diandalkan.
Broken Home
Istilah 'keluarga rusak' dapat diartikan sebagai suatu keadaan keluarga yang didalamnya terjadi keretakan, misalnya kurangnya perhatian atau kasih sayang dari orang tua, yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya perceraian yang memaksa anak untuk tinggal bersama salah satu orang tuanya ( Wilis, 2015). ). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keluarga patah (broken family) adalah suatu keadaan dimana fungsi-fungsi keluarga terganggu atau tidak berfungsi sehingga mengakibatkan krisis keluarga atau tidak adanya keharmonisan dalam keluarga. Hubungan buruk antara orang tua dan anak (Hubungan buruk antara orang tua dan anak).
Salah satu atau bahkan kedua orang tuanya mempunyai gangguan psikologis seperti gangguan kepribadian (personality atau gangguan psikologis). Kekurangan ini sering kali menimbulkan hambatan dalam pertukaran informasi, menimbulkan kesalahpahaman, dan pada akhirnya dapat menjadi titik awal perpecahan rumah tangga. Kesibukan suami, istri, atau anggota keluarga lainnya juga bisa menjadi penyebab keretakan rumah tangga.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa anak atau remaja yang mengalami Broken Home cenderung merasa tidak aman, ditolak oleh keluarga, merasa marah, sedih, kesepian dan menyalahkan diri sendiri (Sarbini et al., 2018). Situasi keluarga yang berantakan juga diketahui memberikan dampak negatif pada remaja yang mengalaminya, seperti masalah akademik, masalah perilaku, masalah seksual, dan masalah spiritual (Hurlock, 2023).
Dampak Psikologis Resiliensi pada Remaja yang Broken Home
Dalam konteks remaja yang berasal dari keluarga berantakan, dukungan emosional yang diberikan oleh keluarga juga berperan penting dalam membentuk ketahanannya. Dukungan tersebut tidak hanya menciptakan landasan emosional yang kuat, namun juga membantu remaja mengembangkan kemampuan untuk menghadapi stres, ketidakpastian, dan tantangan dengan lebih efektif. Saat mereka mengeksplorasi berbagai aspek identitas, dukungan emosional positif memberikan kepercayaan dan keyakinan, yang berkontribusi pada kemampuan mereka menghadapi perubahan dan kesulitan dengan ketahanan.
Penelitian Hasiolah & Sutejo (2015) menemukan bahwa dukungan emosional tidak hanya memperkuat hubungan emosional antara remaja dan anggota keluarga lainnya, tetapi juga membantu membangun harga diri dan kepercayaan diri pada remaja. Keterampilan ini merupakan bagian integral dari ketahanan, yang memungkinkan remaja dari keluarga yang berantakan untuk mengatasi tantangan yang mungkin mereka hadapi lebih sering. Hasil penelitian Karundeng, dkk. 2019) menunjukkan bahwa dukungan emosional dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar dapat membantu remaja dengan latar belakang keluarga berantakan (broken home) mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri mereka sendiri.
Kesimpulannya, hubungan Broken Home dengan resiliensi menunjukkan peranan penting dalam pembentukan resiliensi mental pada remaja. Dukungan emosional yang positif tidak hanya membantu memperkuat faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketahanan, namun juga memungkinkan remaja untuk lebih siap menghadapi tantangan dan menavigasi perubahan dengan lebih baik dalam konteks keluarga yang berpotensi tidak stabil.
Kerangka Pikir
Broken family: merupakan keadaan dimana keluarga tidak harmonis dan terjadi konflik antar orang tua yang berujung pada perceraian atau perpisahan (Khotimah, 2018). Pendekatan fenomenologi dipilih dalam penelitian ini karena tujuan utamanya adalah untuk mengeksplorasi kedalaman pengalaman subjek dalam dunia pengalamannya. Dalam pendekatan fenomenologi, penelitian ini akan merinci dan mendeskripsikan makna pengalaman subjek terhadap fenomena yang diteliti.
Berdasarkan temuan sementara peneliti, SMA 5 Makassar merupakan salah satu SMA yang banyak terdapat remaja yang mengalami patah rumah. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dalam setting alam, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data sebagian besar adalah observasi partisipan dan wawancara mendalam (Sugiyono, 2019). Observasi naturalistik pada penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu di rumah sakit dan di rumah, sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan sebelumnya.
Wawancara dalam penelitian ini digunakan sebagai alat utama penelitian data, sedangkan peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen. Dokumentasi dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengumpulkan data tentang profil, struktur dan aktivitas yang berkaitan dengan pembentukan identitas diri. Hubungan pola asuh orang tua dengan pencapaian identitas diri remaja di Kelurahan Tumatangga Kecamatan Tomohon Selatan Kota Tomohon.
Jurnal Konseling Inovatif: Teori, Praktek, dan Penelitian Peran lingkungan keluarga dalam pembentukan identitas diri remaja di Desa Selajambe Kecamatan Selajambe Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Lokasi Penelitian
Unit Analisis
Teknik Pengumpulan Data
Selain itu, observasi naturalistik dilakukan dengan cara yang dapat menggambarkan perilaku dengan cukup jelas tanpa dipengaruhi oleh kesadaran diri atau motivasi subjek untuk menunjukkan kesan tertentu, seperti yang biasa terjadi pada observasi terkontrol (Mariai, 2021). Wawancara adalah situasi peran interpersonal tatap muka, ketika seseorang – yaitu pewawancara – mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian (Kerlinger, 2022). Sebab, memahami fenomena dari sudut pandang subjek hanya dapat dilakukan dengan mengungkap makna terdalam dari pengalaman subjek.
Wawancara dalam bidang psikologi khususnya psikologi klinis diawali dengan perbincangan awal yang bertujuan untuk menjalin hubungan antara peneliti dan subjek. Permulaan seperti ini diharapkan dapat membantu subjek untuk merasa rileks dan nyaman di hadapan peneliti (Mariani, 2021).
Teknik Analisis Data
Dokumentasi mencari data tentang suatu hal atau variabel dalam bentuk catatan tertulis dan lain sebagainya. Teknik analisis data diawali dengan observasi data yang tersedia dari sumber berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Reduksi data artinya merangkum, memilih hal yang paling penting, memusatkan perhatian pada hal yang penting, mencari tema dan pola.
Tampilan Data (Data Presentation) adalah data yang terorganisir, disusun dalam pola relasional, sehingga lebih mudah dipahami.Cara menyajikan data dalam penelitian kualitatif yang paling banyak digunakan adalah teks naratif. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi adalah tempat peneliti mencoba mencari makna dan data yang dikumpulkannya memberikan pola, tema, hubungan, persamaan, kejadian umum, hipotesis dan sebagainya. Kesimpulan pertama ditemukan sebagai bukti pendukung yang kuat dan tahap pengumpulan data selanjutnya, namun jika kesimpulan yang ditemukan pada tahap pertama didukung oleh bukti-bukti yang valid ketika peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, maka apa yang disajikan adalah masuk akal. kesimpulan.
Haq, D. A. Dukungan emosional keluarga dalam proses rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum di Balai Handayani, Jakarta. Dukungan sistem keluarga pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RS Ulin Banjarmasin 2020.