• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) awal Maret 2005, mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok ini disebut juga oleh Suyanto sebagai “masa rentan, kelompok marjinal” atau masyarakat miskin. Saat ini ada 37,4% dari total penduduk yang mencapai 227 juta jiwa lebih berada di bawah garis kemiskinan. (Prosiding Seminar Program Pengembangan Diri 2006 Bidang Ilmu Sosiologi, 2007: 180).

Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) memperkirakan, pada Tahun 2006 lalu terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta. Sementara pada Tahun 2007 di Sumatera Utara, Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) memperkirakan jumlah anak jalanan di seluruh 25 Kabupaten dan Kota sekitar 5000 anak jalanan.

(2)

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi “masalah” bagi banyak pihak; keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar, padahal mereka adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Dalam pandangan Soetarso (2004) yang dikutip dari (Huraerah, 2006: 78) bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:

1. Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.

2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua sehingga menyebabkan anak lari ke jalanan.

3. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah.

4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah meningkat.

5. Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan.

(3)

6. Anak lebih lama berada di jalanan sehingga mengundang masalah lain.

7. Anak jalanan menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama terhadap anak jalanan perempuan.

Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Berdasarkan pra riset yang penulis peroleh dari Dinas Sosial yakni, Bapak Umur Ginting selaku bagian penanganan anak jalanan mengatakan bahwa konkritnya di Kota Medan ada tiga faktor umum yang menjadi persoalan mengapa anak turun ke jalanan, yaitu:

1. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.

2. Ketidakharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan si anak tidak betah tinggal di rumah, dan

3. Akibat pengaruh lingkungan komunitas anak yang menyebabkan anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan.

Ternyata dari ketiga faktor tersebut, bahwa faktor kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinanlah yang menjadi masalah utama seringkali orang tua memaksa anaknya untuk bekerja dan juga atas inisiatif si anak tersebut mencari nafkah untuk membantu orang tuanya atau hidup mandiri di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan anak jalanan berikut yakni Rianto, berusia 16 tahun yang merupakan salah seorang anak yang dibina oleh Yayasan Econom yang mengatakan bahwa:

(4)

Saya turun ke jalanan untuk bekerja, karena saya ingin membantu tambahan pendapatan orang tua. Pekerjaan Bapak saya pedagang asongan, saya ada enam bersaudara dan itu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami, jadi

saya harus membantu Bapak untuk meringankan beban mereka”.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan), pusat-pusat kegiatan anak jalanan di Kota Medan berada

pada sejumlah titik. Diantaranya, simpang Ramayana jalan Brigjen Katamso, jalan Letda Sudjono, simpang jalan A.H Nasution, kawasan Titi Kuning, Café Harapan di seputar jalan Imam Bonjol Medan. Kemudian di Terminal Terpadu Amplas di jalan Panglima Denai, di seputar lapangan jalan Gajah Mada, simpang Sei Kambing di jalan Kapten Muslim, simpang jalan Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah dan Pusat Pasar.

Dari keseluruhan tempat tersebut, pendataan sementara Tahun 2007 yang dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) keseluruhan anak jalanan yang kerap beraktifitas di kawasan tersebut berjumlah 481 orang. Namun, data ini selalu berubah-ubah, ada anak yang sudah mendapatkan pekerjaan tetap atau pindah ke daerah lain, namun selalu muncul wajah baru.

Aktifitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil, pengemis, tukang sapu angkot dan lain sebagainya.

(5)

Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umum seperti di perempatan jalan (traffic light), pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus dan pusat perbelanjaan. Menurut (Huraerah, 2006: 79), tidak jarang anak jalanan seringkali menjadi objek kekerasan. Anak-anak jalanan ditantang oleh risiko yang mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu pada International Conference on Street Children yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 10-11 September 1996, risiko-risiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiyaan, eksploitasi seksual, penangkapan dan perampasan modal kerja); kelangsungan hidup terancam, kurang/salah gizi; minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan kriminal dan seks bebas); ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial.

Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang membuat mereka bisa bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, di sisi lain mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban di jalanan misalnya; memaksa pengemudi kendaraan bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa), merusak body

(6)

Mengapa sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima? Menurut Farid dalam (Sularto, 2000: 54), tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan sering hidup berkembang di bawah tekanan dan stigma atau dicap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada mereka dan justru perilaku mereka sebenarnya mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka sebagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan.

Menurut UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 34 ayat (1) “Anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”, artinya Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Beberapa perangkat hukum dan kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah sebagai upaya untuk menangani permasalahan anak jalanan tersebut. Di tingkat Provinsi, memang Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara belum ada mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Penetapan Program Pembinaan Anak Jalanan, namun mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak.

(7)

Sementara di tingkat Nasional, telah ada UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of

the Child (Konvensi tentang hak Anak). Mereka perlu mendapatkan

hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).

Akan tetapi, instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum terimplementasi dengan baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.

(8)

Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Sosial harus mengadakan program pembinaan anak jalanan, dimana dengan program yang realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan. Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata, dan yang paling diharapkan oleh anak jalanan misalnya dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu membahayakan keselamatan jiwanya sehingga mereka tidak turun ke jalanan untuk bekerja, serta masih mendapat kesempatan untuk sekolah dan bermain maka tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab.

Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan agar mereka terampil dan mandiri dalam menuju kedewasaan nantinya, hal terpenting yang juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan kemandirian, sehingga akhirnya dengan berbagai program pembinaan yang diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka tidak kembali lagi ke jalanan.

(9)

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

“ Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota Medan”.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.

2. Untuk menggambarkan kendala-kendala atau hambatan implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan informasi tentang hal yang diteliti serta mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui penulisan karya ilmiah ini.

2. Secara praktis, dapat memberikan masukan dan informasi yang bermanfaat terutama bagi Dinas Sosial dan bagi instansi terkait, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta masyarakat secara umum untuk lebih memperhatikan keberadaan anak jalanan ini, karena bagaimanapun mereka adalah tanggung jawab Pemerintah dan juga tanggung jawab kita bersama.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Implementasi Kebijakan

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar. Seperti Friedrick dalam (Winarno, 2002: 16) mendefenisikan kebijakan sebagai “Suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran ataupun maksud tertentu”.

(11)

Sedangkan menurut Anderson yang dikutip dari (Nurcholis, 2007: 263) memandang kebijakan sebagai “Suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah”. Selanjutnya, Anderson mengklasifikasikan kebijakan (policy) menjadi dua: subtantif dan prosedural. Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan.

Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 12), kebijakan itu diartikan sebagai “Pedoman untuk bertindak”. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana.

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya dalam (Islamy, 2001: 17), yang memberikan defenisi kebijakan sebagai “Suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”, oleh karena itu suatu tujuan kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

(12)

Selanjutnya Mustopadidjaja dalam (Nurcholis, 2007: 263), menjelaskan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan “Tindakan atau kegiatan Pemerintah serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan”.

Dari beberapa pengertian yang diuraikan oleh berbagai pakar tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan merupakan “Segala tindakan atau kegiatan yang mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan berbagai prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk memecahkan berbagai masalah”.

1.5.1.2Tahapan Kebijakan

Pendekatan tahapan kebijakan merupakan siklus yang menjadi dasar untuk menganalisis proses kebijakan. Berikut ini adalah deskripsi dari berbagai pakar yang memperkenalkan tentang tahapan kebijakan yang dikutip dari (Wicaksono, 2006: 76), yakni sebagai berikut:

a. Simon, dalam bukunya Administrative Behaviour (1947):

1. Intelegensi. Merupakan tahapan dimana analis dituntut untuk peka dan teliti dalam melihat situasi masalah yang ada. Dalam tahapan ini analis dituntut untuk mampu mengorganisasi informasi dan data tentang masalah yang menjadi fokus kajian. Oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan yang memadai agar proses penyusunan dan organisasi data dan informasi menjadi lebih sistematis dan membantu analis dalam membuat keputusan.

(13)

2. Desain. Tahapan ini memperbincangkan tentang penyusunan rancangan kegiatan yang menunjang pencapaian tujuan kebijakan. Desain ini biasanya berupa kumpulan kegiatan berbeda yang saling berhubungan satu dengan lainnya yakni pencapaian tujuan atau dapat pula berbentuk kegiatan yang saling bertautan satu dengan lainnya (sekuensial).

3. Pilihan. Tahapan ini berfokus pada pengembangan alternatif pemecahan masalah, dimana analis sedapat mungkin menghasilkan aneka alternatif kebijakan yang diharapkan dapat memecahkan masalah. Lalu berdasarkan analisis cost-benefit memilih salah satu alternatif terbaik yang dianggap akurat dalam menyelesaikan fokus kajian masalah.

b. Lasswell, dalam bukunya Decision Making (1956):

1. Intelegensi, yaitu bagaimana informasi kebijakan yang menjadi perhatian dari pembuat kebijakan dikumpulkan dan diproses.

2. Promosi, yaitu bagaimana rekomendasi kebijakan yang telah disusun untuk memecahkan sebuah masalah ditawarkan kepada decision maker.

3. Preskripsi, yaitu bagaimana aturan umum dipakai atau disosialisasikan dan siapa yang akan menggunakan.

4. Invokasi (Invocation), yaitu siapa yang menentukan apakah perilaku yang ada bertentangan dengan peraturan atau hukum.

5. Aplikasi, yaitu bagaimana hukum atau peraturan sesungguhnya dilaksanakan atau diterapkan.

6. Penghentian (Termination), yaitu bagaimana peraturan atau hukum dihentikan atau diteruskan dengan bentuk yang diubah atau diperbaiki.

(14)

7. Penilaian (Appraisal), yaitu bagaimana peraturan dinilai atau dievaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan atau ketidakberhasilan aturan tersebut pada saat pelaksanaan.

c. R. Mack, dalam bukunya Planning and Uncertainty (1971):

1. Memutuskan untuk menetapkan: Pengenalan masalah. Pada tahap awal ini analis kebijakan menetapkan titik fokus masalah yang akan diselesaikan. 2. Merumuskan alternatif dan kriteria: setelah masalah ditemukan, maka

analis menentukan aneka alternatif yang dianggap relevan dan akurat untuk menyelesaikan masalah berdasarkan kriteria nilai sosial yang diyakini dan dijadikan prioritas utama oleh masyarakat.

3. Menentukan keputusan yang tepat: Selanjutnya, alternatif yang tersedia dianalisis kembali dan dibandingkan dengan alternatif yang lain berdasarkan analisis cost-benefit, sehingga dihasilkan suatu keputusan atau rekomendasi pemecahan masalah.

4. Akibat keputusan (Effectuation): Setelah rekomendasi keputusan dilaksanakan, maka selanjutnya adalah melihat bagaimana hasil pelaksanaan keputusan tersebut, apakah memang dampak yang dimunculkannya sesuai dengan harapan yakni menyelesaikan masalah atau malah sebaliknya.

5. Koreksi dan penambahan (Supplementation): Apabila dirasa perlu, maka dilakukan koreksi terhadap keputusan yang dianggap kurang tepat dan dilakukan penambahan terhadap keputusan tersebut untuk mereduksi kelemahan dari keputusan tersebut.

(15)

Dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya ingin dicapai (sebagai hasil prestasi dari pelaksanaan kebijakan), sehingga kebijakan yang ditetapkan sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hogwood dan Gunn dalam (Wahab, 1991: 47) telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failute) ini dalam dua kategori, yaitu: 1) Tidak terimplementasikan (Non implementation), dalam hal ini mengandung

arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.

2) Implementasi yang tidak berhasil (Unsuccessful implementation), dalam hal ini mengandung arti bahwa implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan. Kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek, kebijakannnya sendiri memang jelek atau kebijakan itu memang bernasib jelek.

(16)

Dengan demikian suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek, atau baik pembuat kebijakan maupun mereka yang ditugasi untuk melaksanakannya sama-sama sepakat bahwa kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektifitas implementasi.

1.5.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Setiap perumusan suatu kebijakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

Dalam kamus Webster yang dikutip dari (Wahab, 1991: 50), merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai “Suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit Presiden”).

(17)

Pressman dan Wildavsky dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 295), merumuskan implementasi sebagai “Proses interaksi diantara perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya”, dan “Serangkaian aktifitas langsung yang diarahkan untuk menjadikan program berjalan”, dimana aktifitas tersebut mencakup:

a. “Organisasi (Organization): pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan;

b. “Interpretasi (Interpretation); menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat untuk dapat diterima dan dilaksanakan;

c. “Penerapan (Application); ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program”.

Mazmanian dan Sabatier yang dikutip dari (Wahab, 1991: 51), mengatakan bahwa makna implementasi adalah “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut Edwards III, yang dikutip dari (Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, 2006: 31) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah “Tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya”.

(18)

Sedangkan menurut Grindle dalam (Wahab, 1991: 45), implementsi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Lebih lanjut, menurut Grindle yang dikutip dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 296) mengidentifikasi bahwa ada dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dari implementasi, yakni:

1. Isi kebijakan (Content of Policy), yang meliputi:

a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (Interests affected). b. Macam-macam manfaat (Type of benefit).

c. Sejauhmana perubahan akan diwujudkan (Extent of change envisioned). d. Tempat pembuatan keputusan (Site of decision making).

e. Siapa yang menjadi implementor agensi (Program implementers). f. Sumber daya yang disediakan (Resources committed).

(19)

2. Konteks dari implementasi (Context of Implementation), yang meliputi:

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (Power, interest and strategy of actors involved).

b. Karakteristik lembaga dan rezim (Institutions and regime characteristics). c. Sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif (Compliace and

responsiveness).

Untuk lebih jelasnya berikut diagram implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle.

(20)

Tujuan-tujuan kebijakan

Tujuan tercapai

Kegiatan-kegiatan Hasil akhir: implementasi dipe-

ngaruhi oleh: a. Dampaknya terhadap a. Konten kebijakan: masyarakat, Program- 1. Pihak yang ke- perseorangan program aksi pentingannya dan kelompok- dan proyek- dipengaruhi kelompok proyek ter- 2. Jenis manfaat b. Tingkat peru- tentu di- yang bisa di- bahan dan rancang dan peroleh penerimaannya. dibiayai. 3. Jangkauan peru-

bahan yang di harapkan 4. Letak pengam- bilan keputusan 5. Pelaksana-pelak Program- sana program program disampai- 6. Sumber-sumber kan sesuai yang dapat di- dengan rancangan. sediakan.

b. Konteks implementasi: 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi-strategi dari para aktor yang terlibat 2. Ciri-ciri kelembagaan dan regim

3. Konsistensi dan daya tanggap

PENGUKURAN KEBERHASILAN

Gambar: Diagram implementasi kebijakan oleh Grindle yang dikutip dalam (Wahab, 1990: 126).

(21)

Dari apa yang disampaikan oleh Grindle, dapat dinyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalammya. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan oleh Grindle tersebut, maka dengan demikian jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Inilah syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan, tanpa adanya syarat-syarat tersebut maka kebijakan yang ditetapkan hanya dianggap sekedar retorika politik atau selogan politik.

Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan.

1.5.1.4 Model-Model Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.

(22)

Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.

Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 57), yakni:

A. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn. Model mereka ini kerapkali oleh para ahli disebut sebagai “The top down

approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik. Adapula kemungkinan hambatan-hambatan itu bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam ini cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya.

(23)

Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.

(24)

4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya. Penyebab dari kesemua ini, kalau mau dicari tidak lain karena kebijakan itu telah disadari oleh tingkat pemahaman lain karena tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

Pada kebanyakan program Pemerintah, sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai hubungan kausalitasnya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal-balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

(25)

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu melainkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelasanaan program dapat dimonitor.

(26)

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita sangsikan lagi. Disamping itu juga diperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal.

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Pernyataan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapa pun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka ia harus dapat diidentifikasi oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal.

(27)

B. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja. kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut masalah kepatuhan). Atas dasar pandangan seperti ini Meter dan Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut:

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan.

b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

(28)

Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.

Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (Independent variable) yang saling berkaitan.

Variabel-variabel bebas tersebut adalah: 1. Ukuran dan tujuan kebijakan.

2. Sumber-sumber kebijakan.

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Variabel-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.

(29)

C. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier, yang disebut kerangka analisis implementasi.

Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.

2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya, dan

3. Pengaruh langsung berbagai variabel-variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

1.5.2 Program Pembinaan

1.5.2.1 Pengertian Program Pembinaan

Dalam pandangan (Wiriaatmadja, 1973: 68), mengemukakan bahwa program diartikan sebagai “Suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan”. Dan dalam pernyataan itu akan terdapat:

a. Situasi dimana orang-orang itu berada.

(30)

c. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai bersangkutan dengan masalah-masalah tersebut.

d. Rekomendasi cara-cara pencapaian tujuan-tujuan tersebut secara jangka panjang (beberapa tahun) maupun secara jangka pendek (1 tahun atau kurang).

Jadi dalam suatu program itu tidak saja diuraikan tentang kegiatan apa, tetapi juga mengenai mengapa dilakukan kegiatan tersebut.

Sedangkan menurut Stoner dalam (Ketaren, 1992: 114), program secara harfiah diartikan sebagai “Rencana aktifitas atau rencana kegiatan dalam suatu wadah tertentu”. Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Stoner tersebut maka program meliputi seperangkat kegiatan yang relatif luas dimana program ini memperlihatkan:

1. Langkah utama diperlukan untuk mencapai tujuan.

2. Unit atau anggota yang bertanggung jawab untuk setiap langkah. 3. Ukuran atau pengaturan dari setiap langkah.

Penyusunan program itu tidak semudah yang diperkirakan banyak orang, karena memerlukan waktu, uang dan pemikiran. Tidak saja dari orang-orang yang membuatnya tetapi juga dari pihak-pihak yang akan terlibat dalam pelaksanaannya kelak dikemudian hari. Lebih lanjut, (Wiriaatmadja, 1973: 69) mengatakan bahwa dalam penyusunan program perlu diperhatikan azas-azas seperti di bawah ini:

a. Disusun berdasarkan analisa fakta-fakta situasi.

(31)

c. Ditentukan tujuan-tujuan dan cara-cara pemecahannya yang akan memberikan kepuasan kepada semua pihak.

d. Mempunyai kekekalan tetapi luwes (fleksibel).

e. Mempunyai keseimbangan-keseimbangan untuk keseluruhan masyarakat tetapi dengan mengutamakan yang terpenting.

f. Ada rencana kerja yang jelas dan tetap. g. Merupakan suatu proses yang terus-menerus.

h. Merupakan suatu proses pengajaran dan pembimbingan. i. Merupakan suatu proses koordinasi.

j. Memberikan kesempatan untuk penilaian (evaluasi) hasil-hasil pekerjaan. Menurut (Mangunhardjana, 1986: 37), pembinaan adalah ”Menekankan pada pengembangan manusia dari segi praktis, yaitu pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan”. Lebih lanjut Mangunhardjana mengatakan bahwa dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu murni, tetapi ilmu yang dipraktekkan, tidak dibantu untuk mendapatkan pengetahuan demi pengetahuan tetapi pengetahuan untuk dijalankan.

Dalam pembinaan, orang terutama dilatih untuk mengenal kemampuan dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah mendapatkan sikap dan kecakapan. Dengan demikian pembinaan merupakan proses belajar untuk melepaskan hal-hal yang dianggap sudah tidak berguna dan menggantinya dengan mempelajari pengetahuan dan praktek baru.

(32)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembinaan berfungsi untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan, merubah dan mengembangkan sikap, memberikan latihan, mengembangkan kecakapan dan keterampilan. Oleh sebab itu, menurut (Mangunhardjana, 1986: 37) apabila pembinaan berjalan dengan baik maka seseorang yang telah mengikuti pembinaan akan memiliki kemampuan untuk:

a. Melihat diri dan pelaksanaan hidup serta kerjanya.

b. Menganalisa situasi kehidupan dan kerjanya dari segi positif dan negatif. c. Menemukan masalah-masalah dalam kehidupan serta berusaha mengatasinya. d. Menemukan hal-hal yang sebaliknya diubah atau diperbaiki.

e. Merenungkan sasaran yang ingin dicapai dalam hidup setelah mengikuti pembinaan.

Dalam (Thoha, 1993: 7), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pembinaan adalah “Suatu tindakan, proses hasil atau pernyataan menjadi lebih baik”. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang atau peningkatan atas sesuatu. Ada dua unsur dari pengertian yang dikemukakan oleh Thoha, yakni pembinaan itu sendiri, bisa berupa tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan dan kedua pembinaan itu bisa menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu.

Sementara, (Suparlan, 1983: 95) memberikan pengertian pembinaan sebagai “Segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan penyusunan pelaporan, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan sesuatu pekerjaan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan hasil yang semaksimal mungkin.

(33)

Selanjutnya, program pembinaan menurut (Mangunhardjana, 1986: 16) adalah “Prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan”.

Suatu pembinaan yang tidak mempunyai sasaran yang jelas dapat mengandung bahaya yang besar karena kegiatan itu tidak akan memiliki arah dan tujuan. Bila sasaran tidak dirumuskan maka sulit untuk dinilai berhasil atau tidaknya program tersebut. Untuk itu sasaran perlu dirumuskan dengan jelas dan tegas dan sasaran harus ada hubungannya dengan minat dan kebutuhan yang dibina.

1.5.2.2 Sasaran Program Pembinaan Anak Jalanan

Menurut (Soedijar, 1990: 9) isi dari program pembinaan harus sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, dengan demikian sasaran tersebut akan menjadi jawaban dari permasalahan yang dihadapi para anak jalanan.

Dalam seminar advokasi anak jalanan yang dikutip oleh (Soedijar, 1990: 9) mengatakan bahwa sasaran pembinaan anak jalanan adalah:

1. Melindungi dan berusaha mengangkat derajat anak jalanan.

2. Memberikan pelayanan secara teliti sehingga kesehatan dan gizi mereka tetap terjamin.

3. Menumbuhkan rasa sadar diri, semangat kerja dan mengangkat derajat hidup mereka sendiri bahkan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

4. Memberikan pengarahan pada waktu bermain, rekreasi dan pada saat waktu luangnya.

(34)

Di dalam program pembinaan perlu juga diperhatikan integritas dari seluruh program pembinaan, maka:

1) Perlu dijaga agar dalam seluruh program diciptakan variasi, metode dalam mengolah kegiatan agar program berjalan lancar serta memikat dan tidak monoton serta membosankan.

2) Perlu diketahui sikap, pengalaman dan keahlian Pembina dalam bidang pembinaan. Sikap Pembina sangat menentukan cara pelaksanaan program. (Soedijar, 1990: 9).

1.5.3 Keberadaan Anak Jalanan

1.5.3.1 Pengertian Anak Jalanan

Arti anak jalanan menurut peserta Lokakarya Nasional Anak Jalanan dengan Departemen Sosial sebagai penyelenggara adalah “Anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya”. (Departemen Sosial, 2006: 22).

Dalam tulisan Shalahuddin dan KHA (Konvensi Hak Anak) yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) memberikan pengertian anak jalanan sebagai “Satu kelompok anak yang berada dalam kesulitan khusus (children in especially difficult circumtance) yang menjadi prioritas untuk segera ditangani”.

(35)

Sedangkan menurut Johanes dalam (Huraerah, 2006: 80) pada seminar tentang pemberdayaan anak jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung menyebutkan bahwa anak jalanan adalah “Anak yang menghabiskan waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga”.

Lebih lanjut, menurut Sudijar dalam (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 65) mendefenisikan anak jalanan sebagai “Anak-anak usia 7-21 tahun yang bekerja di jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketertiban dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya, yang pada umumnya bekerja sebagai pengamen, penjual koran, penyemir sepatu, pedagang asongan dan pemulung”.

Dari batasan pengertian tersebut, Sudijar mengemukakan bahwa ciri-ciri anak jalanan yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 65) yaitu:

1. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, tempat hiburan, terminal atau stasiun).

2. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit sekali yang tamat SD).

3. Berasal dari keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya).

(36)

Sementara dalam pengertian Ilmu Sosiologi yang dikutip dari (Nugroho, 2003: 97) istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan, orang awam mengatakan sebagai kenakalan anak dan perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan dalam pengertian Ilmu Ekonomi, istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orang tua yang miskin.

Dari beberapa defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar dan pusat-pusat keramaian lainnya.

1.5.3.2 Karakteristik Anak Jalanan

Menurut data (Departemen Sosial, 2006: 23) ciri anak jalanan terbagi dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan yang mempunyai warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus dan berpakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, tidak berfikir panjang (berani menanggung resiko).

(37)

Masih menurut data Departemen Sosial, bahwa seorang anak dikatakan anak jalanan bilamana mempunyai indikasi sebagai berikut:

1. Usia di bawah 18 tahun.

2. Orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka:

a. Ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan keluarganya.

b. Masih ada hubungan sosial secara teratur minimal dalam arti bertemu sekali setiap hari.

c. Masih ada kontak dengan keluarganya, namun tidak teratur. 3. Orientasi waktu.

Mereka tidak mempunyai orientasi mendatang. Orientasi waktunya adalah masa kini. Dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap harinya.

4. Orientasi tempat tinggal.

a. Tinggal bersama orang tuanya.

b. Tinggal dengan teman-teman sekelompoknya.

c. Tidak mempunyai tempat tinggal, tidur disembarang tempat.

5. Orientasi tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh, kotor, banyak makanan sisa, tempat berkumpulnya orang-orang, misalkan; pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan raya, di kendaraan umum (mengamen) dan tempat pembuangan sampah.

(38)

6. Orientasi aktifitas pekerjaan.

Aktifitas yang mereka kerjakan adalah aktifitasnya yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup, seperti; menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut dan menjadi penghubung penjual jasa.

7. Pendanaan dalam aktifitasnya. a. Modal sendiri.

b. Modal kelompok. c. Modal majikan. d. Stimulan/bantuan.

8. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi. a. Korban eksploitasi sex.

b. Dikejar-kejar aparat. c. Terlibat kriminal.

d. Konflik dengan kelompok lain atau teman dalam kelompok. e. Potensi kecelakaan lalu lintas.

f. Ditolak masyarakat.

9. Kebutuhan-kebutuhan anak jalanan. a. Haus kasih sayang.

b. Rasa aman.

(39)

d. Kebutuhan pendidikan. e. Bimbingan keterampilan. f. Bantuan usaha.

g. Harmonisasi hubungan sosial dengan keluarga, orang tua dan masyarakat. Sedangkan menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) bahwa terdapat 3 (tiga) kategori dalam menilai seorang anak apakah anak jalanan atau tidak, yaitu: 1. Anak-anak jalanan yang betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari

orang tuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan.

2. Anak-anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali kepada orang tuanya. Anak jalanan seperti ini umumnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.

3. Anak-anak jalanan yang lain, yang tinggal jauh dari orang tuanya. Mereka ini kehilangan kontak sama sekali dengan orang tuanya.

Disamping itu, Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) juga memberikan karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan diantaranya adalah:

1. Kelihatan kumuh atau kotor. Baik kotor tubuh maupun kotor pakaian

2. Memandang orang lain, yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang.

3. Mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur dan makan.

(40)

4. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan berbicara dengan siapa pun selama di jalanan.

5. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tidak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian dan menyimpan pakaian.

1.5.3.3 Model Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan

Sehubungan dengan masalah anak jalanan tersebut, maka menurut (Departemen Sosial, 2006: 5) dalam Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan mengembangkan 3 (tiga) model pelayanan sosial bagi anak jalanan yaitu:

1. Community Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan masyarakat dimana anak dan keluarga anak jalanan bertempat tinggal. Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak dan keluarga anak jalanan serta anggota masyarakat yang lainnya dalam proses pelayanan. Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak dari keluarga miskin terutama anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk) menjadi anak jalanan. Diupayakan agar mereka tidak mungkin mempunyai peluang terjun ke jalan dan dimungkinkan untuk dikembalikan kepada keluarga mereka.

(41)

2. Street Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan jalanan atau tempat publik lainnya, dimana anak jalanan menjalani hidup di jalan. Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak jalanan dan para pihak yang bersinggungan dengan kehidupan anak jalanan dalam proses pelayanan. Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak jalanan dengan kategori anak yang bekerja di jalan (children of the street) untuk tidak terjerumus dan menjadi pelaku kejahatan. Diupayakan agar mereka menjalani kehidupan seperti semula dan dapat dipertemukan kembali dengan keluarga mereka.

3. Centre Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lembaga pelayanan khusus dalam bentuk panti atau yang sejenisnya. Anak diambil dari lingkungan jalanan atau tempat publik lainnya. Mereka diberi fasilitas untuk dapat menjalani hidup seperti semula. Selain itu, pelayanan ini dilakukan untuk mengisolir mereka dari lingkungan yang dapat menjadikan diri mereka berperilaku melanggar norma. Tujuan pelayanan ini adalah untuk menyembuhkan anak jalanan dari luka-luka fisik maupun psikologis dan sosial yang dialaminya. Mereka menerima pelayanan ini untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan setelah sembuh dari pengaruh kehidupan jalanan, kemudian mereka dapat dikembalikan kepada keluarga mereka.

(42)

Masing-masing pendekatan tersebut, memiliki kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi, sehingga dalam penggunaannya antara pelayanan sosial yang satu dengan pelayanan sosial yang lain harus bersifat simultan. Pelayanan ketiganya dapat dilakukan dalam bentuk program rumah singgah, pelayanan keliling anak jalanan, pondok sosial, rumah perlindungan anak jalanan dan pelayanan sosial alternatif lainnya.

1.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisis dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok atau individu. Oleh karena itu yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

2. Program pembinaan adalah prosedur yang disediakan sebagai landasan untuk menentukan isi dan urutan kegiatan pembinaan.

3. Anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar dan pusat-pusat keramaian lainnya.

(43)

1.7 Defenisi Operasional

Defenisi operasional dibutuhkan untuk mengukur konsep yang masih mempersoalkan hal-hal abstrak. Dalam penelitian sosial, tahapan ini menjadi penting karena konsep yang berbentuk variabel itu perlu dioperasionalisasikan untuk memperoleh kejelasan dalam pengukuran secara empiris.

Defenisi operasional dari penelitian ini terdiri dari satu variabel atau variabel tunggal, yaitu implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.

Untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan, penulis menggunakan indikator dari pendapat Grindle yang mengidentifikasi bahwa ada dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dari implementasi, yang kemudian lebih disederhanakan oleh peneliti dengan tujuan untuk mempermudah pelaksanaan penelitian tanpa mengurangi kebenaran data yang diperoleh nantinya. Adapun indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Isi kebijakan (Content of Policy), yang meliputi:

a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (Interests affected). b. Macam-macam manfaat (Type of benefit).

c. Sejauhmana perubahan akan diwujudkan (Extent of change envisioned). d. Siapa yang menjadi implementor agensi (Program implementers). e. Sumber daya yang disediakan (Resources committed).

(44)

2. Konteks dari implementasi (Context of Implementation), yang meliputi:

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (Power, interest and strategy of actors involved).

b. Sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif (Compliace and responsiveness).

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum lokasi penelitian, yaitu Kantor Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara dan gambaran umum kehidupan anak jalanan di Kota Medan.

(45)

BAB IV : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan dan observasi lapangan, yang kemudian dianalisis oleh penulis.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan melalui google form yang dibagikan kepada 38 peserta didik SMAN 18 kelas X Palembang menyatakan bahwa 81,6% merasa kesulitan dalam mempelajari

Proses pembuatan karakter ini dilakukan dengan menggambar sketsa namun sketsa disini diambil menjadi satu gambar saja dari beberapa contoh dan ini sketsa yang

Memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab sepenuhnya ( ) kepada Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan atas tindakan pengawasan dan pengurusan yang telah dilakukan selama

Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik

İ mdi, dervî ş -i tâlib dahi öyledir ki, kendi vücûdunda tabîat-i mahz olup, gizli olan s ı fât- ı zemîmeleri te ş hîs edip, hiç iz‘ânda hatâ etmeyip, her birin

Seba liknya, apabila perbandingan kinerja syaraf baru dan kinerja syaraf lama kurang dari maksimum kenaikan kerja, maka nilai bobot-bobot akan dipertahankan, dan nilai

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS PRIMA USD dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan Kembali

Lawrence Kincaid (1981) komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada gilirannya