• Tidak ada hasil yang ditemukan

BELAJAR DARI SYAKHYAKIRTI: PERGURUAN TINGGI MASA SRIWIJAYA. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BELAJAR DARI SYAKHYAKIRTI: PERGURUAN TINGGI MASA SRIWIJAYA. Abstrak"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

11 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) A. PENDAHULUAN

Sriwijaya, beribukota sebuah kota berbenteng dikelilingi tembok…. kota ini dihuni oleh kurang lebih seribu orang bhiksu, yang mendalami ajaran agama Budha seperti halnya di India… Para Bhiksu yang belajar itu dibawah bimbingan gurunya yang terkenal bernama Dharmapala di Perguruan tinggi Syakhyakirti…..

kemajuan Sriwijaya sebagai pusat agama Budha….. I-Tsing menganjurkan agar pendeta-pendeta Cina yang akan belajar di India terlebih

dahulu singgah di

Sriwijaya untuk mempelajari dasar-dasar agama Budha dan tata bahasa Sansekerta,

selama setahun atau dua tahun…. Tentunya, pada perguruan tingginya,

Universitas Syakhyakirti……

(Takakusu, 1896, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago)

Ada dua versi tentang

Syakhyakirti, pertama beberapa

sejarawan menyebutkan bahwa

Syakhyakirti adalah seorang mahaguru agama Buddha yang ada di Kerajaan

BELAJAR DARI SYAKHYAKIRTI:

PERGURUAN TINGGI MASA SRIWIJAYA

Oleh:

Dedi Irwanto

Abstrak

Tulisan ini adalah bagian dari penelitian hibah bersaing yang didapat oleh penulis. Kajian utamanya adalah alam pendidikan pada masa Sriwijaya dengan melihat peranan perguruan tinggi Syakhyakirti sebagai kawasan candradimuka mendidik para bikshu pendeta agama buddha. Peranannya dalam menarik pengunjung, para pelajar di Sriwijaya sangat berkenaan dengan kepentingan untuk memperdalam agama Buddha. Karena faktor agama inilah, para pelajar yang datang ke Sriwijaya untuk belajar di Perguruan Tinggi Syakhyakirti, tidak saja para pelajar lokal tetapi juga, para pelajar Nusantara lainnya, bahkan pelajar dari mancanegara. Perguruan tinggi Syakhyakirti, menposisikan diri sebagai bagian dari transit para pelajar mancanegara, untuk belajar di universitas-universitas lain agama Buddha, di India. Oleh karena itu, ada kewajiban, sebelum belajar ke India, mereka “diharuskan” belajar terlebih dahulu ke Sriwijaya. Datangnya para pelajar ini, menafsirkan bahwa selain tujuan untuk perdagangan, kunjungan mancanegara ke Sriwijaya juga untuk belajar menuntut ilmu.

(2)

12 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) Sriwijaya. Versi kedua, mahaguru yang

dimaksud bukan Syakhyakirti, namun bernama Dharmapala, sementara nama

Syakhyakirti tersebut justru nama

perguruan tinggi yang dimaksud.

Sebenarnya versi kedua inilah, yang ditulis oleh Takakusu (1896) dalam bukunya A Record of the Buddhist

Religion as Practised in India and the Malay Archipelago.

Menurut kesaksian I-Tsing

Sriwijaya telah menjadi pusat agama Buddha. Di sana ada lebih dari seribu pendeta yang belajar agama Buddha. Diperkirakan di Sriwijaya sudah berdiri sebuah perguruan Buddha, Universitas Syakhyakirti. Perguruan ini mempunyai hubungan baik dengan perguruan Buddha yang ada di Nalanda, India.

Saat ini, nama Syakhyakirti, melekat pada dua hal, pertama nama jalan, Jalan Syakhyakirti yang terletak di daerah Tangga Buntung Palembang, di

mana terdapat Taman Purbakala

Kerajaan Sriwijaya (TPKS). Kedua,

dihubungkan dengan salah satu

perguruan tinggi swasta (PTS) di Palembang yang beralamat pada Jalan Sultan Muhammad Mansyur, Kecamatan Ilir Barat II Palembang.

Nama Syakhyakirti tenggelam akibat kebesaran nama Sriwijaya, yang

dilaketkan pada Universitas Sriwijaya, Pupuk Sriwijaya, Daerah Militer (Kodam) II

Sriwijaya, dan klub sepak bola

kebanggaan masyakarat Sumatera

Selatan Sriwijaya FC. Padahal, pada tahun

1950-an, nama Syakhyakirti identik

dengan perguruan tinggi itu sendiri di Palembang. Yayasan perguruan tinggi Syakhyakirti, dianggap pioneer berdirinya Universitas Sriwijaya.

Menurut Sejarah Universitas

Sriwijaya (Alfitri, dkk, 2011), pendirian Yayasan perguruan tinggi Syakhyakirti pada awalnya dibentuk oleh keinginan masyarakat Sumatera Selatan untuk

memiliki sebuah perguruan tinggi.

Setelah hari kemerdekaan, 17 Agustus

1952, dibentuklah “Panitia Fakulteit

Sumatera Selatan”. Perguruan tinggi

pertama yang dibentuk adalah Fakultas Ekonomi di bawah naungan yayasan

perguruan tinggi Syakhyakirti pada

tanggal 1 April 1953. Pada tanggal 1 November 1957, kemudian Yayasan Perguruan Tinggi Syakhyakirti, mendirikan Fakultas Hukum. Gedung permanen perguruan tinggi Syakhyakirti tersebut kemudian dibangun di kawasan Bukit Besar Palembang.

Perguruan tinggi Syakhyakirti tersebut, kemudian pada tahun 1960, tepatnya tanggal 29 November 1960

(3)

13 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) statusnya berubah menjadi universitas

negeri dengan peraturan pemerintah No. 42 tahun 1960 dengan nama Universitas Sriwijaya. Menurut Buku

Pedoman Akademik FKIP (2012),

selanjutnya, kursus B-1 Bahasa Inggris

Negeri Palembang yang didirikan

tanggal 1 Oktober 1958, pada tanggal 13 Juni 1961 digabungkan ke perguruan tinggi baru, Universitas Sriwijaya tersebut dengan menambah jurusan bahasa Indonesia, Ekonomi dan Hukum dijadikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Akhir sampai pada saat ini, Universitas Sriwijaya telah memiliki beberapa fakultas.

Sejalan dengan penegerian

Universitas Sriiwijaya tersebut, perlahan namun pasti, nama perguruan tinggi Syakhyakirti tenggelam. Kemudian pada

tanggal 12 Agustus 1980, nama

Syakhyakiriti diaktifkan kembali sebagai

Sekolah Tinggi Swasta di ranah

pendidikan Sumatera Selatan (Buku

Pedoman Akademik Universitas

Syakhyakirti, 2012). Dua tahun kemudian,

1982, Sekolah Tinggi Syakhyakirti

berubah menjadi Universitas Syakhyakirti (Unisti) Palembang sebagai salah satu

Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di

Sumatera Selatan.

Yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini, bukan sejarah Universitas

Sriwijaya atau Universitas Syakhyakirti, namun tulisan ini ingin menelaah mengenai “kebesaran” nama Syakhyakirti

tersebut sebagai tempat kawasan

candradimuka pendidikan di Sumatera Selatan. Syakhyakirti ditulis dalam sejarah Sriwijaya, sebagai kerajaan besar masa silam di Sumatera Selatan, sebagai perguruan tinggi yang memiliki nama harum di seantaro penjuru dunia. Perguruan ini pada masanya, tidak kalah dengan perguruan tinggi lain di dunia, seperti Universitas Nalanda di India atau Universitas Baghdad di Persia.

Perguruan tinggi Syakhyakirti menjadi kiblat pendidikan dunia timur, khususnya sebagai syiar dan kajian agama Buddha. Oleh karena itu, pada masa Sriwijaya, kerajaan ini didatangi oleh para perantau dari berbagai tempat, tidak saja para pedagang, namun juga para pelajar. Boleh dikatakan, pada masa itu dan di masa lampau, Palembang karena keberadaan Perguruan tinggi Syakhyakirti menjadi simbol kota pelajar di Nusantara.

Dalam tulisan ini, menjadi

sebuah hal menarik untuk melihat bagaimana perkembangan perguruan tinggi pada masa lampau tersebut, terutama Universitas Syakhyakirti, dengan

(4)

14 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) Buddhanya di Sriwijaya? Dan mengapa

serta bagaimana universitas Syakhyakirti ini dapat menjadi perguruan tinggi

“go-internasional” pertama di Nusantara?

B. AJARAN BUDDHA DI SRIWIJAYA

Sriwijaya merupakan kerajaan

“terbesar”, dan dianggap “kerajaan tua”

bercorak “pemerintahan modern”.

Namun, Kerajaan Sriwijaya relatif berusia “muda” di antara kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan ini “lahir” berkat temuan dan jasa George Coedes, pada awal abad ke-20. Tahun 1918, Goerge Coedes menulis buku legendarisnya, Le Royaume de Crivijaya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Kedatuan Sriwijaya”.

Mula-mula Prof. Chavannes,

sejarawan Perancis, yang

menerjemahkan buku perjalanan

Pendeta I-ts'ing, berjudul

Ta-t'ang-si-yu-ku-fa-kao-seng-ch'uan, pada tahun 1894

ke dalam bahasa Prancis dengan judul

Memoire compose a l'epoque de la grande dynastie T'ang sur les religieux eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d'Occident.

Lalu kemudian disusul Sarjana Jepang Takakusu, pada tahun 1896

menerjemahkan karya perjalanan

Pendeta I-ts'ing lainnya,

Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch'uan, ke dalam bahasa Inggris

berjudul A Record of the Buddhist

Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Dalam kedua buku

tersebut, belum mengenal nama

Sriwijaya. Walaupun dalam kedua karya perjalanannya ini, I-ts’ing, menyebut pernah mengunjungi Shih-li-fo-shih, atau dalam ejaan Perancis ditulis Che-li-fo-che.

Tetapi dalam interpretasi kedua

penerjemah tersebut dan juga sejarawan lainnya, nama itu masih dianggap dan diperkirakan transkripsi Cina dari nama asli Sribhoja, belum Sriwijaya. Dalam kedua buku itu, nama Shih-li-fo-shih, yang sering disingkat Fo-shih saja, telah digunakan untuk menyebut negara, ibukota pusat kerajaan, dan sungai yang muaranya sebagai pelabuhan, namun lokalisasinya kerajaan tersebut belum jelas.

Menurut Irwanto (2011), titik terang tentang Sriwijaya diangkat oleh Goerge Coedes dalam bukunya di atas, yang mula-mula memberi gambaran jelas dan melokasikan Sriwijaya. Ketika Kern (1913), berhasil menerjemahkan dan menerbitkan isi prasasti piagam Kota Kapur, salah satu piagam Sriwijaya dari tahun 686 M. Namun Kern masih menganggap bahwa nama Sriwijaya yang tercantum pada piagam tersebut

(5)

15 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) adalah nama seorang raja, karena Cri

biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang

bersangkutan. Coedes, berdasar

terjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, dimana terdapat nama Sriwijaya, dan terjemahan karya I-ts'ing, dimana terdapat transkripsi Cina Shih-li-fo-shih, yang kemudian memungkinkan Coedes untuk menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama negara dan kerajaan di Sumatera Selatan.

George Coedes pun tidak

berhenti pada penemuan itu saja, ia

berusaha pula menetapkan letak

ibukotanya di Palembang berdasarkan anggapan Groeneveldt (1876), dalam karangannya, Notes on the Malay

Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources, yang menyatakan

bahwa Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i adalah Palembang.

Sebenarnya, sarjana Beal (1886)

telah mengemukakan pendapatnya,

bahwa negara Shih-li-fo-shih terletak

ditepi sungai Musi dekat Kota

Palembang. Tetapi, ia masih menyebut kerajaan itu sebagai Shih-li-fo-shih atau

San-fo-ts'i dengan nama Tionghoa yang

tidak diketahui nama aslinya, belum Sriwijaya. Meskipun anggapan Beal

tersebut boleh dipandang sebagai

penemuan ilmiah yang asli, namun karena kepincangan tersebut masih kabur sekali. Sehingga dapat dikatakan bawah, nama Sriwijaya belum dikenal sampai pertengahan kedua abad ke-19 tersebut.

Selain, temuan George Coedes di atas, nama Sriwijaya terabit kemudian dalam Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 M). Prasasti ini merupakan prasasti berangka tahun yang tertua di Indonesia, terdiri atas sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa

Melayu Kuno, masing-masing baris

berbunyi sebagai berikut:

…. (1) bahagia! Pada tahun saka 605 hari kesebelas, (2) dari bulan terang bulan waisakha dapunta

hyang naik (3) di perahu

melakukan shiddhayatra. Pada hari ketujuh bulan terang (4) bulan Jyetsha dapunta hyang berangkat dari minanga (5) tma membawa tentara dua laksa orang (6) dua ratus orang di perahu yang berjalan seribu (7) 312 banyaknya datang di matada… (8) dengan senang hati pada hari kelima dari terang bulan (asada) (9) dengan lega gembira datang membuat wanua (10) sriwijaya melakukan perjalanan dengan lengkap…

Isi Prasasti Kedukan Bukit

ditafsirkan sebagai proklamasi Sriwijaya oleh Boechari (1979). Menurutnya pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di

(6)

16 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri,

dengan alasan minanga = muara = kuala

= kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta

Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.

Tetapi tafsir asal mula Kerajaan Sriwijaya oleh Boechari tersebut dibantah oleh Mulyana (1981). Ia berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya, dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slamet Mulyana melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.

Menariknya, tafsir kata wanua memiliki arti ganda yakni kota (negeri)

dan rumah (bangunan). Dalam

beberapa bahasa daerah di Sumatera bagian selatan, sampai sekarang kata

wanua berarti “rumah”, sering disingkat

menjadi nua atau nuo. Coedes,

memberikan arti: wanua = pays,

royaume, forteresse (kota, kerajaan, rumah pertahanan). Van Ronkel yang

mula-mula menerjemahkan prasasti

Kedukan Bukit mengartikan wanua

dengan fortress (rumah pertahanan). Jadi kalimat “marwuat wanua” dapat berarti "membuat kota" atau "membuat rumah". Jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa kota Sriwijaya sudah ada pada tahun 671.

Maka satu-satunya pilihan adalah

mengartikannya membuat rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, de Casparis (1956) yang isinya serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis: ... wihara

ini, di wanua ini. Jelaslah bahwa wanua

(rumah) yang dibuat Dapunta Hyang tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).

Secara agama, wihara pada teks Prasasti Kedukan Bukit adalah konsep agama dalam pendidikan. Ajaran utama

Buddha terletak dalam kewajiban

seseorang menjadi Boddhi, maka

kewajiban seorang Buddha adalah

menjadi Boddhi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam ajaran Buddha ada konsep

Samsara dan Moksha, hidup itu adalah samsara, menderita, sehingga manusia

cenderung menjahui sifat keduniawian, untuk itu ia diharuskan menempuh

moksha, hidup di dunia dalam

penyiksaan menjahui semua kemewahan godaan duniawi.

(7)

17 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) Maka gambaran seorang Buddha

hidup dalam biara berkepala gundul, dengan pakaian jubah tanpa jahitan, hidup dengan alat berbentuk tongkat dan piring dengan mencari makan secara mengemis. Jika ia tidak bisa melakukan moksha, maka ia tidak dapat dapat dan tidak pernah menjadi Boddhi, yang artinya tidak akan mati menuju Nirwana, surga adalah pilihan utama. Selama kematian tidak dapat menuntun ia ke Nirwana, maka ia akan terus berreinkarnasi. Jika dalam kehiduapan duniawi ia bersifat tamak dan rakus, mati dan menemupuh reinkarnasi dalam bentuk lain yang lebih hina, ia hidup kembali dalam wujud binatang tikus, anjing, babi dan binatang hina lainnya. Begitulah seterusnya, sampai ia dapat menjadi seorang Boddhi.

C. PERGURUAN TINGGI INTERNASIONAL DI SRIWIJAYA

Berdasarkan teks Prasasti Kedukan Bukit, maka daerah Bukit Siguntang adalah wilayah suci, di mana wihara, yang tertinggal dalam berbentuk bata candi, tinggalan patung, dan arca penanda pentingnya daerah ini pada masa itu. Pada abad ke-9, Bukit Siguntang merupakan pusat belajar agama para pendeta Buddha. Berdasarkan tafsir

diyakini pada daerah inilah Universitas Syakhyakirti didirikan.

Pendeta-pendeta dari Asia

berguru ke sini kepada mahaguru

Suvarnadvipa Dharmakirti. Daerah

lerengnya, mulai dari Padang Kapas hingga Kambang Unglen adalah daerah

produksi industri Sriwijaya dengan

diketemukannya berbagai macam

pecahan prasasti, arca dan keramik.

Berdasarkan tafsir (Irwanto, 2011),

Prasasti Kedukan Bukit sebagai

interpretan atas konsep gerbang kota adalah pengingat bahwa masuk ke kota ini merupakan refleksi atas sebuah kelahiran. Berguru agama ada di Bukit

Siguntang, di mana Universitas

Syakhyakirti berada serta berdagang di daerah lereng sekitar Bukit Siguntang dari Padang Kapas hingga Kambang Unglen.

Setelah masuk ke wilayah ini, mereka seperti dilahirkan kembali, baik sebagai pedagang, tentunya ekonom yang jangan terlalu mementingkan dunia, maupun sebagai pelajar yang

mendalami agama Buddha atau

keduanya, pedagang yang sambil belajar agama Buddha sekaligus. Lebih jauh dari tafsir semiotika ini, dapat dikatakan Kota

Fo-shih, untuk menyebut Palembang

pada waktu itu, adalah simbol Kota Dagang, Kota Agama dan Kota Pelajar.

(8)

18 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22)

Menariknya mengenai pelajar

Universitas Syakhyakirti terdapat dalam “mitos terbaik tentang Perguruan Tinggi Syakhyakirti” sebagai arena kawasan Chandradimuka pendidikan bagi pelajar internasional di dapat dalam legenda Pulau Kemaro. Berdasarkan berbagai sumber, maka diceritakan, dahulu kala, di masa Kerajaan Sriwijaya, Palembang sebagai pusat pemerintahan terdapat sebuah perguruan tinggi agama Budha

yakni Sjakhyakirti. Lalu salah satu

pangeran dari Tiongkok, yang bernama Tan Bun An menuntut ilmu di perguruan tinggi tersebut. (Legenda Pulau Kemaro, 2012)

Dalam proses belajarnya di

Palembang, Tan Bun An mengenal seorang putri dari seorang pangeran

Palembang yang beragama Islam.

Namanya Siti Fatimah. Mereka pun jatuh cinta, dan sepakat menikah. Orangtua Siti Fatimah setuju, begitu pun dengan orang tua Tan Bun An. Tan Bun An

kemudian mengirim seorang

pengawalnya pulang ke Tiongkok untuk

meminta emas kawin. Tentu saja

permintaan ini disetujui orang tua Ta Bun An. Mereka pun mengirim keramik, guci, koin emas dan perak. Agar tidak dicuri atau dirampok di tengah perjalanan, semua emas kawin itu diletakkan di

dalam guci raksasa yang di atasnya

diletakkan sayur-sayuran. Panglima

maupun hulubalang yang membawa guci-guci itu sama sekali tidak tahu keberadaa emas kawin tersebut.

Namun, saat kapal bersandar di pelabuhan Kuto Gawang, Tan Bun An terkejut, sebab tidak ada barang yang sesuai dengan permintaannya. Dia hanya menemukan puluhan guci berisi sayuran. Tan Bun An pun marah dan Kesal. Dia menyangka kedua orangtuanya tidak setuju dirinya menikah dengan Siti

Fatimah. Bukan mengetengahkan

legendanya, namun yang terlihat disana adalah “sosok” pelajar dari Universitas Syakhyakirti tersebut yang berasal dari seorang “putra pangeran” Cina. Jadi yang belajar di Universitas Syakhyakirti tersebut kebanyakan anak-anak pejabat dari negeri Cina.

Secara naratif, catatan tentang

Universitas Syakhyakirti pada masa

Sriwijaya terdapat dalam kisah perjalanan I-Tsing. Kerajaan Sriwijaya menjadi salah

satu pusat pengembangan agama

Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China

bernama I-Tsing yang melakukan

perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang

(9)

19 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) mengunjungi Indonesia adalah Atisa,

Dharmapala, seorang profesor dari

Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang

penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

“Calon” pendeta I-Tsing, sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, melakukan kunjungan ke Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan

I-tsing, Sriwijaya, dengan Universitas

Syakhiyakirtinya, merupakan rumah bagi sarjana Buddha, dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini

membuktikan bahwa selama masa

kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis

berkembang sangat pesat dengan

sentranya pada Universitas Syakhyakirti. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada, kadang disebut Hinayana dan Mahayana. Kemudian semakin lama

Buddhisme di Sriwijaya mendapat

pengaruh dari aliran Vajrayana dari India. Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya,

yakni Dharmapala yang menjadi

mahaguru di perguruan tinggi

Syakhyakirti, I-Tsing melaporkan

perguruan tinggi Buddhis, Universitas Syakhyakirti, memiliki hubungan baik

dengan Universitas Nalanda, India,

sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan Sriwijaya. Mereka, selain pelajar local

banyak juga yang dating dari

mancanegara untuk belajar agama Buddha dengan digembleng untuk menjadi pendeta. Dalam catatannya, I-Tsing juga menulis ada lebih dari 1000

pendeta yang belajar Buddhis di

Sriwijaya.

I-Tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai bhiksu di India

dan Sumatera. Seluruh bukunya

merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India

seluruhnya berdasarkan peraturan

vinaya. Menurut Soekmono (1980), bila dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan catatan I-Tsing, dapat

diambil kesimpulan bahwa Agama

Buddha di pulau Jawa dan Sumatera telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga

menulis buku tentang perjalanan

seorang guru agama asal China

bernama Hwui Ning yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di Jawa.

Dalam bukunya dikatakan bahwa

bhiksu asli Jawa dan Sumatera

merupakan sarjana bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah

(10)

20 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) Jnanabhadra yang merupakan orang

Jawa asli asal Kerajaan Kalingga yang bertindak sebagai guru bagi para bhiksu

China, termasuk Hwui Ning, dan

membantu menerjemahkan sutra ke dalam bahasa China.

I-Tsing juga menceritakan bahwa beberapa naskah yang diterjemahkan oleh Hwui Ning adalah mengenai mangkatnya (parinibbana) Sang Buddha. Namun, ia mengatakan bahwa naskah tersebut berbeda dengan naskah yang biasa digunakan dalam Mahayana. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Agama Buddha yang dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara pada

waktu itu adalah non-Mahayana

meskipun bahasa yang digunakan

adalah bahasa Sanskerta. Namun di Melayu juga terdapat sedikit masyarakat yang mengadopsi Mahayana.

Dari berita I-Tsing yang

diterjemahkan sangat baik oleh Takakusu (1896) serta beberapa prasasti yang ada tentang Sriwijaya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu, Kerajaan Sriwijaya merupakan

kerajaan yang termasyur karena

merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis, tentunya dengan berpusat kepada perguruan tinggi Syakhyakirti. Di

sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu.

Pada Perguruan Tinggi Agama

Buddha, Universitas Syakhyakirti di

Sriwijaya tersebut, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama

Buddha terkenal, salah satunya

Dharmapala pernah mengajar di

Perguruan Tinggi tersebut dan

menyebarkan aliran Mahayana.

Selain I-Tsing, seorang

pengunjung dan pelajar Perguruan Syakhyakirti, Atisa dari Tibet, tercatat bahwa setelah mendalami ilmu di Perguruan Syakhyakirti, Ia kemudian

berperan dalam mengembangkan

Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka.

D. PENUTUP

Sriwijaya dengan Perguruan

Tinggi Syakhyakirti menjadi pusat

pengajaran Buddha. Perguruan Tinggi Syakhyakirti menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sriwijaya dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, dengan terlebih dahulu

(11)

21 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) belajar di Universitas Syakhyakirti di

Sriwijaya.

Pada tahun 671 dan 695, I-Tsing ketika belajar di Universitas Syakhyakirti melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama

Buddha. Di Sriwijaya, Perguruan

Syakhyakirit menampung lebih dari 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Syakhyakirti, yang tidak saja berasal dari Nusantara, namun juga dari mancanegara.

(12)

22 (Ripteksi Kependidikan PGRI, Volume 1, Nomor 1, Februari 2013: Hlm. 11-22) PUSTAKA ACUAN

Beals, S. 1886. “The Situation of the

country called Shi-li-fo-shai”,

NBG, 24, 1886, I-V bijlage I.

Coedes, George. 1919. “le Royaume de

Crivijaya”,. B.E.F.E.O. XVIII.

Termuat juga dalam Kumpulan Coedes dan L. Ch. Damais. 1989. terj. “Kedatuan Sriwijaya: Penelitian Tentang Sriwijaya”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the Malay Archipelago and Malacca,

Compiled from Chinese

Sources”, VBG XXXIX, 1876. Kern, H. 1913. “Insripties van de Indischen

Archipel, Verspeide Geschriften

VI, VII, ‘s Gravenhage.

Krom, N.J. 1930. Les incriptions Malaises

de Crivijaya. TBG. LIX, 1930, h. 426-431.

Irwanto, Dedi. 2011”, Dekonstruksi Lokasi Sriwijaya: Usaha Meningkatkan Pemahaman Kesejarahan Lokal Siswa Menengah Atas. Laporan

Penelitian Hibah Bersaing 2011.

Tidak dipublikasikan. Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya.

Yogyakarta: LkiS.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya

dan Suwarnabhumi. Jakarta:

Idayu.

Moens, J.L. 1938. Crivijaya, Yava en Kataha. T.B.G. LXXVII, afl. 3. 1938. dan disalin dalam jurnal bahasa Inggris Journal of the

Malayan Branch No. XVII.

Takakusu, J. 1896. A Record of the

Buddhist Religion as Practised in

India and the Malay

Archipelago. Oxford : Claredon

Referensi

Dokumen terkait

Ilmu tentang ‘illah ini biasa disebut sebagai ilmu ‘ilal hadis memuat tentang kaidah-kaidah mengenai ‘illah pada hadis yang berfungsi untuk menyingkap kecacatan tersembunyi dan

1 Peningkatan Ruas Jalan Sayung - Sekaruh Kec. Samalantan 1 Paket 4,000,000,000.00 Subsidi Provinsi PML Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan Dan Jembatan.. 1

Preeklampsi berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau disertai udema

Data tentang profil pengelolaan penanganan lahan kritis yang ada ditiap satker dan kelompok tani belum tersedia dengan memadai, sehingga keberhasilan yang telah dicapai

Dengan adanya perubahan yang signifikan pa- da mukosa respiratorius yang dipaparkan pengha- rum ruangan cair, membuktikkan bahwa kandung- an zat kimia pada pengharum ruangan

Setelah melakukan analisis terhadap kondisi perguruan tinggi di Sumatera Selatan, serta memperhatikan Teknologi Informasi yang telah diterapkan, maka penulis mengusulkan

Produk yang dihasilkan dikeringkan untuk mengurangi kandungan air (lebih kurang 20%), kemudian disimpan dalam kantung polypropilen yang tertutup rapat. 4) Uji daya simpan

Kerajaan Sriwijaya terletak di provinsi Sumatera Selatan yang dikenal sebagai kerajaan maritim terbesar di nusantara. Kebudayaan maritim mendarah daging dalam masyarakat