• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mitigasi Pemanasan Global

Dalam rangka mitigasi pemanasan global, terdapat beberapa pilihan tindakan yang tersedia untuk mengurangi emisi melalui rosot karbon dalam sektor kehutanan, pilihan tersebut dikempokkan dalam empat kategori umum, yakni (IPCC, 2007):

a. Menjaga atau meningkatkan luas hutan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.

b. Menjaga atau meningkatkan rosot karbon (tonC/ha) pada tegakan hutan (stand level) dengan mengurangi degradasi hutan melalui penanaman, pengolahan lahan, pemuliaan tanaman, pemupukan, pengelolaan tegakan tidak seumur serta penerapan teknik-teknik silvikultur yang sesuai.

c. Menjaga atau meningkatkan rosot karbon permukaan tanah (landscape level) melalui konservasi hutan, memperpanjang jangka rotasi hutan, pengendalian kebakaran hutan dan perlindungan terhadap berbagai jenis serangga.

d. Mempertahankan stok karbon di luar tegakan (Off-site) yang tersimpan dalam produk-produk kayu dan turunannya serta subtitusi bahan bakar fosil dengan menggunakan produk turunan biomassa dari hutan.

2.1.1 Menjaga atau Meningkatkan Luas Hutan Melalui Pengurangan Deforestasi dan Degradasi

Secara singkat, deforestasi merupakan tindakan yang melibatkan campur tangan manusia dalam mengubah suatu kawasan hutan menjadi suatu bentuk penggunaan lahan non-hutan, yang pada umumnya dikaitkan dengan pengurangan stok karbon di dalam hutan dengan jumlah besar dalam waktu singkat, melalui tindakan pembukaan lahan. Sedangkan degradasi hutan, merupakan pengurangan biomassa hutan melalui tindakan pemanenan hasil hutan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya serta tindakan penggunaan lahan dengan melibatkan penebangan liar, api, pengambilan kayu bakar yang berlebihan dan gangguan tindakan manusia lainnya yang dapat mengakibatkan pengurangan stok karbon hutan (Asner et al., 2005).

(2)

Pada beberapa keadaan tertentu, deforestasi dan degradasi dapat dihentikan, atau setidaknya dikurangi dengan suatu tindakan perlindungan hutan yang menyeluruh melalui penerapan kebijakan pengelolaan hutan lestari atau meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan non-kayu serta pemanfaatan kawasan hutan tanpa melibatkan penebangan, misal untuk tujuan wisata (Soares-Filho et al., 2006). Menjaga hutan dari segala bentuk pemanenan kayu, umumnya akan berakibat pada terjaganya atau bahkan peningkatan stok karbon hutan, tapi juga mengurangu pemenuhan kebutuhan akan kayu, lahan dan kebutuhan sosial lainnya. (IPCC, 2007)

Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan merupakan pilihan utama dalam mitigasi pemanasan global. Biaya mitigasi pemanasan global melalui pengurangan deforestasi tergantung pada penyebab deforestasi tersebut, misal eksploitasi kayu dan kayu bakar, konversi lahan menjadi lahan pertanian, serta pembangunan berbagai sarana dan prasarana (IPCC, 2007)

Berkaitan dengan mitigasi pemanasan global melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, terdapat suatu mekanisme yang disebut dengan REDD (Reducing Emissions From Deforestation and Degradation in Developing Countries), mekanisme ini sedang dinegosiasikan untuk menggantikan mekanisme dalam Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012. REDD merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Kanninen et al., 2007).

2.1.2 Menjaga atau Meningkatkan Luas Hutan Melalui Aforestasi/Reforestasi

Aforestasi dan reforestasi merupakan kegiatan konversi kawasan non-hutan menjadi kawasan non-hutan yang melibatkan manusia secara langsung, melalui kegiatan penanaman. Dua istilah tersebut dibedakan berdasarkan atas seberapa lama kondisi kawasan non-hutan diberlakukan (IPCC, 2007).

Menurut ketentuan yang digunakan dalam sektor kehutanan di bawah Joint Implementation (JI), aforestasi merupakan kegiatan penghutanan kembali pada lahan yang selama 50 tahun tidak berhutan. Sedangkan reforestasi merupakan

(3)

kegiatan penghutanan kembali pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990 (Murdiyarso, 2003).

2.1.3 Pengelolaan Hutan untuk Meningkatkan Stok Karbon Pada Tegakan dan Permukaan Tanah (Stand and Landscape Level)

Kegiatan pengelolaan hutan untuk meningkatkan stok karbon pada tegakan, mencakup sistem pemanenan yang tetap menjaga tutupan hutan, meminimalisir hilangnya bahan-bahan organik (serasah) dan karbon tanah, dengan cara mengurangi laju erosi tanah dan menghindari pembakaran serasah serta kegiatan yang dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca lainnya ke udara. Penanaman setelah pemanenan dengan permudaan alami dapat mempercepat pertumbuhan pohon dan mengurangi laju hilangnya karbon. Manfaat potensial dari rosot karbon dapat hilang apabila terjadi peningkatan penggunaan pupuk kimia yang dapat melepaskan emisi N2O dalam jumlah besar ke dalam tanah (IPCC, 2007).

2.1.4 Meningkatkan Stok Karbon di Luar Tegakan (Off-site) yang Tersimpan Dalam Produk-produk Kayu dan Turunannya, Serta Subtitusi Bahan Bakar

Produk-produk kayu yang didapat dari hutan yang dikelola secara lestari ditujukan untuk menjaga batas ketahanan stok karbon hutan. Pemanenan dapat dilakukan dengan jumlah sama dengan atau kurang dari riap tahunan tegakan. Pembatasan jumlah pemanenan kayu tersebut bertujuan agar stok karbon pada tegakan dapat terjaga, atau bahkan meningkat (IPCC, 2007).

Jangka waktu simpanan karbon dalam produk kayu berkisar dari beberapa hari (misal, biofuels) hingga bertahun-tahun (misalnya, rumah dan furnitur) lamanya. Produk-produk dari kayu mampu menggantikan bahan-bahan yang proses pembuatannya memerlukan bahan bakar fosil dalam jumlah besar, seperti besi, baja, alumunium dan plastik, yang mengakibatkan penurunan emisi secara signifikan (IPCC, 2007).

2.2 Biomassa dan Rosot Karbon 2.2.1 Biomassa

(4)

Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organic hidup di atas permukaan tanah pada pohon yang dinyatakan dalam berat kering tanur ton per unit area. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon, pengaruh terjadinya deforestasi dan penyerapan karbon secara global (Ketterings et al., 2001).

Jumlah karbon yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan suatu faktor konversi (Rusolono, 2006).

2.2.2 Rosot Karbon

Rosot karbon umumnya diartikan sebagai pengambilan CO2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al., 2001). Dalam konteks pertumbuhan hutan, rosot karbon adalah riap atau pertambahan terhadap persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso dan Herawati, 2005)

2.3 CDM di Sektor Kehutanan Indonesia

Dalam sektor kehutanan kegiatan yang diizinkan untuk dijadikan proyek CDM adalah kegiatan aforestasi dan reforestasi, sementara pencegahan terhadap deforestasi tidak dapat dilakukan (Murdiyarso, 2003). Dari hasil National Strategy Study (NSS) tentang CDM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atas dukungan Bank Dunia dan Pemerintah Australia, Indonesia memliki potensi untuk memasok karbon ke pasar melalui CDM sebesar 36 juta tonCO2/th, 28 juta tonCO2/th di antaranya dapat dipasok dari sektor kehutanan (Murdiyarso, 2003). 1 juta tonC/th setara dengan 3,664 juta tonCO2/th (Kraenzel et al., 2003).

Penjualan karbon ke pasar melalui proyek CDM dinyatakan dengan suatu unit penurunan emisi gas rumah kaca yang disebut Certified Emission Reduction (CER). Menurut Murdiyarso (2003), dengan batasan-batasan waktu, jenis kegiatan dan kuantitas yang ketat proyek CDM di sektor kehutanan perlu dirancang secara hati-hati dan benar untuk menghasilkan CER bermutu tinggi dan bertahan di periode komitmen selanjutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan kriteria pembangunan berkelanjutan dan melalui proses konsultasi yang luas dan transparan. Hal-hal yang harus ditekankan dalam

(5)

upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan adalah bahwa proyek CDM kehutanan harus:

a. Menghindari hilangnya keanekaragaman hayati dan senantiasa menggunakan spesies lokal.

b. Memberikan keuntungan ekonomi yang memadai sehingga membantu mengentaskan kemiskinan.

c. Menghindari penggunaan lahan yang status hukumnya tidak jelas sehingga tidak menimbulkan konflik sosial.

2.4 Perhitungan Certified Emission Reduction (CER)

Secara teknis, sektor kehutanan yang mencoba menangani kelebihan karbon pada rosotnya akan mengalami beberapa masalah karena rosot biologis seperti hutan tidak pernah menjadi simpanan atau gudang yang permanen atau tetap.Sehubungan dengan cadangan tetap tersebut, perhitungan CER pada proyek karbon hutan memerlukan aturan tersendiri. Beberapa metode telah diusulkan dan masih memerlukan keputusan di tingkat internasional. Di antara metode tersebut adalah perhitungan tahunan (ton-year) dan CER sementara (temporary CER, T-CER) (Murdiyarso, 2003).

2.4.1 Ton-year

Untuk menjawab masalah kecermatan perhitungan karbon yang terlepas selama periode kredit, perhitungan dapat dilakukan dalam interval yang lebih sering, misalnya setiap tahun. Konsep ton-year mempertimbangkan emisi baseline dan penyerapan proyek setiap tahun (Murdiyarso, 2003).

Kredit yang dihasilkan dalam interval yang lebih panjang sehingga dapat disertifikasi dan dijual dengan harga pasar yang berlaku. Dengan perhitungan seperti ini tidak diperlukan garansi jangka panjang bahwa simpanan tetaptelah terjadi. Dalam tenggang periode kredit tertentu, proyek yang beresiko dengan sendirinya akan didiskon setiap tahun (Murdiyarso, 2003).

2.4.2 T-CER

T-CER adalah konsep perhitungan CER yang berasal dari usulan Kolombia. Konsep ini menekankan perlunya batas waktu berlakunya CER karena sifat simpanan biologis yang tidak permanen tersebut. Dengan kata lain CER dari

(6)

proyek CDM kehutanan bisa kadaluwarsa sehingga harus digantikan dengan CER yang baru (Murdiyarso, 2003).

Bagi pihak tuan rumah T-CER memberikan keleluasaan atas pilihan penggunaan lahan sesuai dengan kondisi pasar untuk komoditas yang lain. Secara psikologis konsep ini menghilangkan stigma kolonialisme dalam konteks penggunaan lahan oleh “pihak asing” yang selama ini menghantui pikiran banyak pihak karena lahan tidak boleh diapa-apakan selama masa sewa dan pemiliknya hanya menonton saja (Murdiyarso, 2003).

2.5 Jati (Tectona GrandisLinn. f.), Sifat Umum Tanaman dan Penyebarannya Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau (Tini, 2002).

Gambar 1. Pucuk Jati dan Buahnya

Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari katathekku (ࠉࠥߺࠪߺࠪ) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. (Tini, 2002).

2.5.1 Sifat Umum Tanaman

Jati banyak tumbuh di tanah datar dan berbukit rendah dengan ketinggian 600 mdpl. Jati merupakan jenis tanaman yang tidak selalu hijau atau biasa disebut deciduons, yakni ada saatnya mengalami gugur daun (Tini, 2002).

Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang (Tini, 2002).

Kerajaan: Plantae Divisio: Magnoliophyta Kelas: Magnoliopsida Ordo: Lamiales Familia: Verbenaceae Genus: Tectona Spesies: grandis

(7)

Pohon jati (Tectona grandis Linn. f.) dapat tumbuh selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter. Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih dari 80 tahun (Tini, 2002).

Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm, sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya (Tini, 2002)

Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm, berumah satu (Tini, 2002).

Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil (Tini, 2002).

2.3.2 Penyebaran Jati

Jati merupakan tanaman asli di sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna (Sulawesi Tenggara). Di luar daerah tersebut, tanaman jati merupakan tanaman asing atau tanaman eksotik (pendatang) (Tini, 2002).

Jika dilihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 9° LS - 25° LU, mulai dari Benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia, bahkan sampai ke Selandia Baru. Di Asia, tanaman jati secara alami tersebar di negara-negara Asia Tenggara, Taiwan, India dan Sri Lanka. Di Australia dan Pasifik, ditemukan di Queensland, Kepulauan Fiji, Kepulauan Ryuku, Kepulauan Solomon serta

(8)

Selandia Baru. Di Afrika, tanaman jati terdapat di Sudan, Kenya, Tanzania, Tanganyika, Uganda, Ghana, Senegal, Nigeria, dan beberapa negara di Afrika Barat. Sementara di Amerika, tanaman jati terdapat di Jamaika, Panama, Argentina, dan Puerto Riko. Jati tersebut tumbuh sebagai tanaman spesifik dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda (Tini, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap membuat aplikasi perangkat mobile dengan APP inventor memudahkan kita, hal ini dikarenakan dengan APP Inventor pada sebuah web browser yang telah kita

Pada ranah kehutanan Industri kayu adalah kegiatan yang mengolah kayu atau bahan berkayu (hasil hutan atau hasil perkebunan, limbah pertanian dan lainnya) menjadi

Closed display (Penataan dalam ruang tertutup): Barang-barang dipajangkan dalam suasana tempat tertutup. Barang-barang tersebut tidak dapat dihampiri dan dipegang atau diteliti

Nilai rat-rata pada saat tes siklus pertama dari 25 siswa adalah 6,0 untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik lagi, maka guru kelas V kembali melaksanakan

Kemudian Google mengambil source code Chromium proyek tersebut untuk membuat browser baru dengan menambah beberapa fitur tambahan, termasuk juga tambahan nama,

Salah satu jenis hutan berdasarkan kepemilikan (status hukum) yaitu hutan kemasyarakatan (social forest) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk

Pasal 1 ayat 30: upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW