Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Fatwa MUI NO. 1/MUNAS/VII/MUI/15/2005
tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual)
Aunurrahim Faqih*dan Budi Agus Riswandi*
Abstrak
Kedudukan Fatwa MUI NO. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang perlindungan HKI berdasarkan hukum Islam adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara luas. Namun, fatwa MUI tentang Perlindungan HKI dapat memiliki kekuatan mengikat jika pertama diterapkan secara terus menerus dalam praktek peradilan atau dilegalisasi oleh lembaga yang memiliki otorisasi untuk menetapkan bahwa fatwa tersebut memiliki kekuatan mengikat; Kedua, dasar hukum dalam mengeluarkan fatwa HKI dalam al-Qur’an semestinya merujuk kepada ayat-ayat tentang pencurian; Ketiga, fatwa tentang perlindungan HKI memberikan kontribusi positif terhadap pendaftaran HKI. Oleh sebab itu, dapat digunakan sebagai filter dalam proses pendaftaran HKI.
Kata kunci: HKI, hukum Islam, fatwa, MUI
A. Pendahuluan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan satu bentuk perlindungan atas karya cipta manusia yang berupa hasil pemikiran dan kreatifitas manusia yang mempunyai sifat kebaruan. Secara historis, konsep ini bermula dari Benua Eropa, di mana pada abad ke-19 Eropa mengalami zaman keemasan yang ditandai dengan banyaknya penemuan baru. Kemunculan penemuan baru di bidang teknologi inilah yang kemudian mendorong bangsa Eropa untuk melindungi hasil ciptaannya dan berkembanglah konsep perlindungan atas ciptaan. Selain revolusi Prancis, revolusi industri di Inggris juga membawa peran yang tidak sedikit dalam perkembangan konsep perlindungan ini. Hal ini terbukti bahwa setelah munculnya kedua revolusi tersebut, permasalahan HKI menjadi
semakin berkembang dan kompleks.1
Perkembangan sosial dan teknologi beberapa dasawarsa terakhir ini sangat cepat, sehingga pengaturan mengenai HKI
juga menjadi semakin kompleks.
Kompleksitas pengaturan ini disebabkan
objek perlindungan HKI senantiasa
berkembang secara pesat. Bagaimanapun, objek perlindungan HKI pada dasarnya terletak pada kreatifitas dan invensi dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi.
Untuk Indonesia, pengaturan HKI ternyata tidak hanya didasarkan pada bentuk regulasi yang dibentuk oleh negara, namun juga telah melibatkan institusi-institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Salah satu
contoh dari kenyataan ini adalah
sebagaimana yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/ MUI/15/2005
tentang Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Dikeluarkannya Fatwa MUI tersebut sangat menarik untuk dilakukan kajian. Beberapa hal yang menarik tersebut adalah:
Fatwa MUI ini merupakan unsur
pelengkap dalam perlindungan HKI.
Namun permasalahannya, apakah Fatwa ini dapat dijadikan sebagai dasar pembenar
bahwa hukum Islam mengenal
perlindungan HKI. Sebagaimana diketahui, di dalam kajian hukum Islam masalah HKI ini masih menjadi pro kontra.
Umat Islam sendiri memiliki
polarisasi pandangan tentang HKI.
Sebagian umat Islam mengatakan bahwa Islam mengakomodasi HKI, akan tetapi, banyak juga yang mengatakan bahwa HKI adalah produk kaum Barat yang tidak sesuai dengan konsep Islam yang kesemuanya itu
adalah milik Allah, sehingga manusia tidak dapat mengakui secara individual apa yang
telah dihasilkannya sebagai bentuk
kreatifitas. Selain itu, Agama Islam disebut
juga sebagai agama yang syaamilah
(menyeluruh), yang meliputi semua aspek kehidupan dan sifatnya sempurna. Dengan demikian, dalam Islam sudah selayaknya mengatur mengenai HKI.
Berkaitan dengan Fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI, ternyata Fatwa yang
mengatur tentang perlindungan HKI
tersebut tidak memberikan uraian yang jelas tentang HKI yang diakui oleh Islam. Ketidakjelasan itu nampak pada tidak adanya batasan apa yang disebut dengan HKI di dalam Islam. Kalaupun ada hanya menyatakan HKI di dalam Islam adalah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa Fatwa MUI tentang perlindungan HKI tersebut dikeluarkan dengan mendasarkan pada nash Al-Qur’an, al Hadist, dan hasil ijtihad. Adapun salah satunya didasarkan
pada nash Al-Qur’an adalah untuk
mengakomodasi HKI dalam hukum Islam. Nash al Qur’an tersebut sebagaimana tercantum dalam Firman Allah SWT surat Annisa’ ayat 29. Pencantuman nash ini sesungguhnya patut untuk dikaji. Sebab dasar difirmankannya nash ini adalah
dengan semakin maraknya riba di
masyarakat. Riba adalah satu tindakan
mendzolimi muslim lainnya. Oleh
karenanya, jual beli adalah jalan yang tidak
merugikan dan mendzolimi muslim
lainnya.2
Dengan adanya hal ini, maka permasalahan yang muncul adalah apakah penerapan nash tersebut telah sesuai dengan kaidah yang seharusnya. Artinya, apakah benar nash tersebut dapat digunakan untuk menjadi dasar bagi ditetapkannya HKI sebagai bagian dari hukum Islam. Di dalam Fatwa ini selain Q.S. An nisa’ ayat 29 ada juga beberapa firman Allah SWT yang lainnya dan tentunya hal ini perlu dicermati kebenarannya seperti Q.S. Asy Syuara’ ayat
183 yang jika dilihat kemabali ayat sebelumnya, ayat ini ternyata melarang berbuat curang dengan cara mengurangi
timbangan dalam jual beli.3 Bahkan nash
terakhir Alqur’an yang digunakan sebagai dasar hukum dalam halaman konsideran fatwa tersebut yaitu Q.S. Al Baqarah 279 sebenarnya adalah ayat yang sangat terkait dekat larangan untuk merugikan orang lain
dengan memberlakukan riba.4
Apabila melihat Fatwa MUI tentang Perlindungan HKI, maka Fatwa ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Fatwa MUI sebelumnya yaitu Fatwa MUI No. 1 Tahun 2003 tentang Perlindungan Hak Cipta. Tetapi, permasalahannya apakah dengan disempurnakannya Fatwa MUI ini mampu memberikan dampak terhadap ketersediaan perlindungan atas objek HKI yang sejalan dengan hukum Islam. Faktanya dalam konteks ini perlindungan HKI
terutama dalam proses pendaftaran
nampaknya belum memposisikan fatwa MUI sebagai acuan dalam pemberian perlindungan atas objek HKI itu sendiri. Hal ini terlihat pada beberapa kasus seperti pendaftaran desain pakaian yang mana desain pakaian tersebut masih menunjukan aurat ternyata diberikan hak atas desain industri. Padahal jelas-jelas di dalam hukum Islam setiap muslim dilarang menggunakan pakaian yang dapat menunjukan aurat tersebut.
B. Kedudukan Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005
1. Sejarah Munculnya Fatwa MUI No.1/MUNAS/VII/MUI/15/ 2005
Fatwa sebagai satu produk ijtihad tidak muncul di ruang yang hampa. Artinya ada suatu keadaan yang mendorong munculnya satu fatwa. Merujuk pada pendapat Atho’ Mudzhar dalam hasil penelitiannya tentang fatwa MUI yang mengatakan bahwa produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak murni atau tidak terlepas dari faktor-faktor sosio politik yang berkembang di wilayah sekitarnya.
Jika demikian, maka keadaan sosio politik tentunya juga dapat mempengaruhi
munculnya Fatwa MUI
NO.1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan HKI.
Fatwa MUI
NO.1/MUNAS/VII/MUI/15/2005
tentang Perlindungan HKI sebagaimana diungkapkan oleh Hasanuddin Sekretaris Komisi Fatwa MUI bahwa secara historis
fatwa MUI
NO.1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 muncul berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor tertentu. Di antara faktor-faktor-faktor-faktor tersebut adalah faktor sosiologis politis dan filosofis yang melatarbelakangi kemunculan
fatwa tersebut.5 Hal ini semakin
memperkuat apa yang dikatakan oleh Atho’ Mudhzhar.
Faktor sosiologis politis kemunculan fatwa tersebut dapat terlihat jelas dari halaman konsideran dalam teks fatwa. Dalam halaman konsideran dinyatakan dengan jelas bahwa fatwa itu atas
permintaan dari MIAP (Masyarakat
Indonesia Anti Pemalsuan). MIAP adalah satu organisasi yang terdiri dari gabungan beberapa perusahaan untuk mendukung secara strategis dan mencari jalan keluar masalah pemalsuan. Dengan kata lain, MIAP adalah komunitas anti pemalsuan. MIAP didirikan di Jakarta pada tahun 2003, sebagai hasil dari kesepakatan diskusi dan kerja sama antara beberapa konsultan hukum. Anggota MIAP terdiri dari beberapa macam industri dan perusahaan
yang menentang praktek-praktek
pemalsuan. (Halaman Konsideran Fatwa MUI No.1/MUNAS/VII/MUI/15/2005).
MIAP yang diwakili oleh Ibrahim Senen, tanggal 26 Mei 2005 menghadap kepada MUI untuk memberikan pemaparan terkait dengan tingkat pembajakan yang ada di Indonesia yang dirasa sudah mencapai pada titik yang benar-benar merugikan pencipta. Hal itu didasarkan pada kondisi sebagai berikut: 1). Pembajakan yang ada ketika itu sudah mencapai kondisi yang
mengkhawatirkan; 2). Belum adanya
instrumen lain di luar undang-undang HKI guna memberantas pembajakan; 3). Fatwa MUI dianggap sebagai salah satu instrumen yang cukup efektif di luar peraturan perundang-undangan; 4). Fatwa MUI diharapkan dapat memberikan efek yang signifikan terhadap masyarakat, mengingat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia penganut agama Islam.
Berdasarkan hal-hal di atas, MIAP mengajukan permohonan kepada MUI untuk dapat mengeluarkan fatwa terkait dengan perlindungan HKI. Harapannya fatwa tersebut dapat membantu penegakan
hukum HKI di Indonesia.6 Dengan latar
belakang yang dimiliki oleh MIAP, terlihat jelas bahwa MIAP mempunyai maksud lain,
di mana fatwa MUI dimintakan
sesungguhnya tidak sekedar untuk
memberantas pembajakan. Namun, hal itu
diharapkan juga produk-produk dari
anggota MIAP tidak dibajak. Bagaimanapun Pembajakan itu lebih banyak merugikan
perusahaan-perusahaan anggota MIAP.
Dalam konteks ini motif ekonomi sangat
kental, sehingga fatwa MUI
No.1/MUNAS/VII/MUI/15/2005
tentang Perlindungan HKI semakin mengukuhkan pendapat Atho’ Mudzhar.
Selain alasan sosiologis politis
sebagaimana tersebut di atas, MUI juga melakukan pertimbangan secara filosofis. HKI menurut MUI adalah bagian dari harta yang dimiliki oleh pencipta. Hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam
halaman konsideran fatwa. MUI dengan mengutip dari berbagai pendapat, di antaranya berasal dari hasil keputusan
Majma` al-Fiqih al-Islami tentang huquq al ma’nawiyyah yang intinya mengatakan bahwa pemilik hak milik non material seperti nama dagang, hak cipta, dan beberapa hak yang lainnya yang mempunyai karakteristik sebagai hasil kreatifitas manusia yang mempunyai nilai kebaruan memiliki hak untuk tidak diganggu dan dikurangi hak
kepemilikannya. (Halaman Konsideran
Fatwa MUI
Alasan lain yang dikemukakan oleh MUI yaitu dengan mengutip dari berbagai pendapat imam madzhab besar seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali yang mengatakan bahwa setiap hak
kepengarangan merupakan hak maaliyah
yang sama dengan hak kebendaan lainnya
sebagaimana yang diatur oleh syara’.
Faktor sosiologis politis inilah yang ketika dipahami secara tidak sempurna akan
memunculkan stigma negatif tentang
obyektivitas fatwa. Akan tetapi, ketika dilihat metodologi yang digunakan MUI dalam penetapan suatu fatwa, maka akan diperoleh satu gambaran komprehensif yang bertentangan dengan stigma negatif tersebut. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam menetapkan fatwanya MUI
mengenal dua sistem yaitu sistem
permohonan dan sistem inisiatif.
Maksud dari sistem permohonan adalah MUI menerima permohonan untuk mengeluarkan fatwa baik dari lembaga
pemerintah, lembaga sosial, atau
masyarakat. Akan tetapi, permohonan tersebut tidak serta merta akan dikabulkan oleh MUI. Namun, melalui komisi fatwa akan ditelaah lebih lanjut yang terkait dengan perlu tidaknya membuat fatwa. Jika dirasa perlu, melalui komisi fatwa dilakukan telaah yang terkait dengan permasalahan yang dimintakan fatwa.
Setelah dilakukan telaah,
permasalahan tersebut diajukan ke sidang majelis untuk dilakukan pembahasan. Setelah disetujui dalam majelis sidang, kemudian dibuatlah draf fatwa untuk dimusyawarahkan. Setelah disetujui secara substansial dan redaksional, maka barulah kemudian fatwa tersebut dapat disahkan menjadi fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga MUI.7
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasanuddin dalam pembahasan sidang komisi yang berkaitan dengan fatwa HKI,
terbukti banyak terjadi pertentangan.
Sebagian peserta sidang ada yang kontra dengan dikeluarkannya fatwa tersebut.
Alasannya hal itu dianggap akan
menyulitkan untuk tidak melakukan
pembajakan. Contoh, ketika tidak dapat
membeli buku referensi dikarenakan
harganya mahal atau memang langka, maka solusinya adalah memperbanyak buku
tersebut dengan meng-copy. Jika merujuk
pada fatwa yang dikeluarkan tersebut, maka
memperbanyak buku dengan cara meng-copy
adalah haram. Permasalahan lainnya terkait dengan merek dagang yang digunakan untuk barang-barang yang bertentangan dengan ajaran Islam, Semisal, alkohol. Hal ini juga menjadi satu pembahasan yang serius.8
Dari pembahasan sidang komisi
tersebut dapat disimpulkan untuk
permasalahan yang pertama, di mana penggandaan buku menjadi dilema, maka diambil kesimpulan bahwa penggandaan buku tersebut adalah boleh ketika dalam
rangka penyebaran ilmu, dan tidak
memberikan kerugian yang signifikan bagi pemegang hak cipta. Hal ini didasarkan
pada qaidah fiqhiyyah yang artinya apabila ada
beberapa dua hal yang bertentangan, maka
didahululukan hal yang memiliki
kemashalahatan yang lebih tinggi.
Maksud dari qaidah fiqhiyyah tersebut,
jika dalam suatu masalah terdapat
pertentangan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka didahulukan dan diambil manfaat yang paling besar / tinggi.
Sebagaimana disebutkan pada bab
sebelumnya perlindungan HKI salah
satunya didasarkan pada apek mashlahah.
Sementara di satu sisi penyebaran ilmu
pengetahuan adalah satu mashlahah juga.
Perlindungan HKI merupakan satu hal yang
sifatnya lebih personal dibandingkan
penyebaran ilmu, maka berdasarkan kepada
qaidah fiqhiyyah di atas, penyebaran Ilmu adalah satu hal yang harus didahulukan.
Terkait dengan permasalahan yang kedua dapat disimpulkan bahwa tidak ada perlindungan atas segala sesuatu produk kreativitas yang bertentangan dengan agama Islam. Sebagaimana tidak ada perlindungan atas merek dari merek minuman keras atau tidak ada perlindungan atas desain bagi
desain pakaian yang membuka aurat wanita. Meskipun Dirjen HKI memberikan hak atas produk-produk sebagaimana tersebut di atas.
Akan tetapi berdasarkan fatwa MUI, produk-produk tersebut tidak mendapatkan
perlindungan.9 Hal ini memang sedikit
membingungkan terkait dengan kedudukan fatwa atas undang-undang yang berlaku. Oleh karenanya, pada bab selanjutnya akan
dibahas permasalahan ini.Dengan beberapa
perdebatan, baik terkait permasalahan redaksional atau substansial, kemudian disepakatilah naskah fatwa oleh majelis sidang komisi fatwa. Hingga akhirnya disahkanlah fatwa tersebut dan kemudian berlaku sebagaimana yang ada saat ini.
Dengan melihat latar belakang
penetapan fatwa tentang HKI ini, semakin membuktikan bahwa penetapan fatwa
khususnya, penetapan fatwa tentang
perlindungan HKI tidak dapat telepas dari kondisi sosiologis dan politis. Bahkan lebih jauh lagi faktor sosiologis dan politis mampu mempengaruhi isi dari fatwa yang ditetapkan oleh MUI.
2. Kedudukan Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 dalam Hukum Islam
Fatwa MUI NO. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 merupakan salah satu fatwa dari sekian banyak fatwa
yang sudah dikeluarkan oleh MUI.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam mengeluarkan fatwa ada tahapan-tahapan yang harus dilewati. Hal ini sejalan dengan pernyataan Quraisy Syihab yang menyatakan bahwa fatwa adalah sebuah
nasihat keagamaan yang diberikan oleh mufti
(orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang atau sekelompok orang Islam dan inisiatif MUI. Fatwa juga
dikeluarkan dalam rangka menjawab
persoalan-persoalan modern yang
jawabannya seringkali tidak dapat
ditemukan secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Hadist.
Jika mengingat kembali tentang definisi tentang ijtihad yang telah diungkap
pada bab sebelumnya, maka definisi yang diberikan oleh Quraisy Syihab, semakin menunjukkan fatwa adalah salah satu bagian dari ijtihad. Dengan kata lain merupakan salah satu produk ijtihad yang berbentuk fatwa.
Ijtihad sebagaimana tersebut dalam bab sebelumnya merupakan satu hal sangat kompleks. Begitu juga dengan fatwa.
Artinya banyak elemen yang harus
dipertimbangkan ketika akan melihat satu hasil ijtihad atau fatwa tersebut. Terlebih ketika akan mempertimbangkan kekuatan hukum dari satu fatwa. Islam memberikan pengertian bahwa ada tingkatan dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Begitu juga dengan orang yang melakukan ijtihad, sehingga hal ini juga akan mempengaruhi kekuatan mengikat suatu hasil ijtihad atau fatwa.
Fatwa MUI NO. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI adalah salah satu dari sekian banyak fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Secara teoritik, posisi fatwa dalam kerangka hukum Islam meliputi tiga hal, yaitu; Pertama, fatwa yang dikeluarkan oleh
qadli (pengadilan); Kedua, fatwa yang diminta oleh lembaga atau perseorangan; Ketiga, fatwa yang tidak dikeluarkan oleh mujtahid akan tetapi oleh ulama’ yang ada di bidangnya.
Ketiga jenis fatwa tersebut memliki kekuatan hukum mengikat yang berbeda. Pada fatwa yang pertama, maka ada kekuatan hukum yang mengikat. Setidaknya pada pihak-pihak yang bersengketa apabila fatwa tersebut terkait putusan hasil sengketa. Kekuatan mengikatnya sangat kuat, mengingat yang mengeluarkan fatwa adalah satu lembaga hukum. Pada fatwa yang kedua ada kekuatan mengikat pada
mujtahid dan muqallid (pemohon fatwa).
Akan tetapi, kekuatan mengikatnya tidak sekuat pada fatwa pertama yang dikeluarkan
oleh qadli. Adapun fatwa yang ketiga hukum
asalnya memang tidak mengikat, kecuali bagi orang yang mengambilnya sebagai
pedoman baginya, atau ketika ditetapkan oleh negara.
Dalam hal ini perlu ditelaah terlebih dahulu terkait dengan posisi MUI sebagai mujtahid. Sebagaimana disebutkan diawal tingkatan mujtahid meliputi empat tingkatan yaitu :
1. Mujtahid mutlaq mustaqil (mujtahid
independen)
2. Mujtahid muntasib (mujtahid afiliasi)
3. Mujtahid fil madzhab
4. Mujtahid murajjih
Masing-masing tingkatan mujtahid tersebut tentu membawa dampak yang berbeda dalam fatwa yang dihasilkan. Katakanlah kekuatan fatwa dari imam madzhab besar yang independen akan berbeda dengan fatwa yang dihasilkan oleh
mujtahid murajjih yang tidak meng-istimbath
-kan hukum furu’. Mereka melakukan ijtihad
sebatas pada membandingkan beberapa pemikiran mujtahid sebelumnya kemudian
memilih salah satu yang dianggap arjah
(paling kuat).
Mujtahid murajjih dalam terminologi
Yusuf Qardlawi disebut juga dengan
mujtahid intiqa’i.10 Yusuf Qardlawi menyebutkan bahwa ijtihad yang sangat diperlukan dalam zaman sekarang ini salah satunya adalah ijtihad intiqa’i. Adapun yang
dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah
memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqh Islam yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Hal ini dilakukan sebagai satu upaya agar tidak terjadi kebingungan terkait dengan satu permasalahan tertentu. Oleh karena itu, bukan satu kesalahan apabila kemudian dalam menentukan satu hukum tertentu kita memilih pendapat imam tertentu atau ulama’ tertentu dengan alasan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang paling kuat.
Ada beberapa instrumen yang sangat
mempengaruhi ijtihad intiqa’i ini selain
metodologi ijtihad. Instrumen tersebut
adalah:
1. Perubahasan sosial dan politik nasional
dan internasional.
Diakui atau tidak perubahan sosial dan
politik mempengaruhi banyak hal
termasuk di antaranya adalah hasil ijtihad dalam koridor fiqh Islam. Perubahan
demikian menuntut sang faqih untuk
melakukan reevaluasi sekaligus memilah
dan memilih pendapat yang dulu dianggap kurang kuat akan tetapi karena perubahan sosial pendapat tersebut malah menjadi satu hal yang dibutuhkan. Contoh, pendapat tentang wanita yang seharusnya shalat di rumah saja. Pendapat ini adalah pendapat yang
sangat kuat, akan tetapi karena
perubahan sosial sekarang ini, seorang wanita tidak dapat untuk tidak shalat di
rumah saja, mengingat kebutuhan
keilmuwan seorang wanita yang juga mengaharuskan mereka dapat keluar rumah, sekolah, termasuk juga masjid, sehingga pendapat yang dulunya kuat dapat jadi lemah untuk sekarang ini diakibatkan adanya perubahan sosial.
2. Ilmu pengetahuan modern yang terkait.
Masa-masa terakhir ini bisa dikatakan masa perkembangan ilmu pengetahuan. Perkambangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Pendapat yang dulunya kuat dapat menajdi pendapat lemah untuk sekarang ini. Hal ini dikarenakan relevansi pendapat tersebut dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Contoh, yang sangat sering dihadapi adalah masalah alkohol. Hadist menetapkan bahwa
”setiap yang memabukkan adalah khamr. Dan setiap yang memabukkan adalah haram baik banyak atau sedikit”. Jika berpegang pada hadist tersebut, maka segala bentuk alkohol, etanol adalah haram. Padahal dalam perkembangannya alkohol, etanol, menjadi bahan campuran dalam parfum, dan juga bahan-bahan kimiawi lainnya. Sehingga perlu adanya pengkajian ulang terkait dengan batasan keharaman menggunakan cairan yang mengandung alkohol, etanol dan bahan-bahan kimia
lainnya sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Desakan zaman dan kebutuhannya.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya
adalah faktor desakan zaman.
Perkembangan zaman yang begitu cepat
memaksa hukum untuk dapat
mengikutinya, termasuk hukum Islam. Dengan adanya perkembangan zaman ini, wanita sekarang ini menjadi boleh untuk bepergian dengan pesawat terbang tanpa didampingi muhrim—tentunya setelah mendapatkan izin dari muhrim dan faktor keamanan terjamin—MUI adalah satu lembaga yang mempunyai lima peran utama. Salah satu dari kelima peran tersebut adalah sebagai pemberi
fatwa (mufty). Akan tetapi, sebagai
pemberi fatwa dalam kapasitasnya
sebagai mujtahid murajjih yang
membandingkan beberapa pendapat dari ulama terdahulu untuk kemudian diambil yang paling kuat.
Hal ini dapat dilihat dalam teks Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan HKI dan beberapa fatwa yang lainnya. Pada awalnya MUI akan melihat kepada satu permasalahan terlebih dahulu. Kemudian dicarilah dasar hukum dari permasalahan tersebut, baik dari al Qur’an, al Hadist, ataupun hasil ijtihad dari para ahli fiqh yang terdahulu.
Dari pemikiran ahli fiqh terdahulu
barulah dianalisis apakah shahih ataupun
tidak, ketika tidak shahih barulah MUI
berijtihad sendiri. Akan tetapi, sejauh ini
MUI hanya berpegang pada pendapat ulama’
fiqh terdahulu yang dianggap shahih.
Sehingga pendapat-pendapat yang
digunakan oleh MUI sebagaimana yang tercantum merupakan pendapat-pendapat yang diangap kuat yang sudah menyisihkan berbagai macam pendapat ulama lainnya yang dianggap oleh MUI merupakan satu pendapat yang kurang kuat.
Oleh karenanya, dalam fatwa tersebut MUI menggunakan pendapat ulama’ fiqh yang mengatakan bahwa HKI adalah produk pemikiran yang kepemilikannya
dipersamakan dengan kepemilikan benda
wujud. Pendapat ini dianggap lebih shahih
dibandingkan dengan pendapat-pendapat
ulama’ lainnya yang mengatakan bahwa kepemilikan hasil pemikiran tersebut tidak dapat disamakan dengan kepemilikan benda
wujud lainnya, atau ulama’ lain yang
mengatakan bahwa dengan adanya
pembatasan dalam hak cipta tersebut sudah masuk dalam kategori penimbunan ilmu
(kitmaanul ‘ilmi) yang mana perbuatan tersebut sangat dilarang oleh Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, telah
diketahui bahwa MUI adalah mujtahid
murajjih dan berdasarkan kekuatan mengikat fatwa sebagaimana yang tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa fatwa MUI
NO. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005
tentang Perlindungan HKI adalah fatwa
yang mengikat antara MUI dan muqallidnya
dalam hal ini adalah MIAP. Fatwa tersebut pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara luas. Sehingga MIAP sebagai lembaga yang meminta fatwa yang
dalam hal ini disebut sebagai muqallid terikat
secara langsung dengan apa yang difatwakan oleh MUI. Sekali lagi fatwa tersebut tidak mengikat secara langsung kepada masyrakat Indonesia secara luas. Akan tetapi, himbuan ulama, himbuan mujtahid bagaimanapun juga merupakan satu pemikiran hukum yang patut juga untuk dihormati, terlebih ketika apa yang difatwakan oleh MUI tersebut merupakan satu hal yang patut dan layak
untuk diikuti karena kebaikan dan
kebenarannya, sehingga kekuatan mengikat sebuah fatwa bukan secara hukum akan tetapi mengikat secara sosio kultural.11
Konsekuensi dari kedudukan fatwa tidak mengikat secara hukum dikarenakan tidak adanya konsep hukuman (sanksi) ketika tidak melaksanakan fatwa. Hal ini akan berbeda jika fatwa itu digunakan oleh
oleh qadli (pengadilan) dalam putusannya,
sehingga berakibat bahwa fatwa tersebut memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum. Oleh karena itu, jika fatwa MUI NO. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
hakim dalam putusan, dan tidak diikuti oleh hakim-hakim lain dalam perkara yang sama, maka masyarakat tidak dapat di hukum karena tidak melaksanakan fatwa tersebut.
Dengan tidak adanya hukuman yang akan diterima bagi pelaku yang melanggar fatwa, hal ini menjadikan kedudukan fatwa sangat lemah. Fatwa tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi pihak yang
melakukan pelanggaran. fatwa lebih
kelihatan sebagai sebuah himbauan MUI
kepada masyarakat muslim di Indonesia.12
Meskipun tidak mengikat secara hukum sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi fatwa sebagai hasil ijtihad memiliki kedudukan yang sangat penting.
Pentingnya disebabkan adanya satu qaidah
fiqhiyyah yang mengatakan bahwa satu ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lainnya. Seorang mujtahid dengan hasil ijtihadnya tidak dapat membatalkan hasil ijtihad mujtahid lainnya. Yang ada adalah satu ijtihad akan dibandingkan dengan ijtihad yang lainnya untuk dapat dilihat kekuatan dalil yang digunakan.
Terkait dengan kedudukan fatwa yang mengikat, maka hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah tentang pemberian judul fatwa. Dalam fatwa tersebut tertulis judulnya adalah Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual. Sementara jika fatwa tersebut tidak mengikat, maka secara otomatis fatwa tersebut tidak mampu dan tidak dapat memberikan perlindungan hukum. Sebagaimana yang sudah diatur dalam perundang-undangan bahwa satu-satunya lembaga yang berhak untuk memberikan perlindungan HKI adalah
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang bertempat di Jakarta. Sehingga judul yang diberikan oleh MUI
dalam fatwanya No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 adalah
kurang tepat.
Terkait dengan pemberian judul fatwa
tersebut, judul yang dirasa dapat
merepresntasikan kedudukan dan fungsi fatwa adalah “Fatwa tentang Hak Kekayaan Intelektual”. Hal ini dirasa lebih sesuai
dengan keberadaan MUI yang merupakan lembaga yang memberikan penjelasan tentang hukum, tidak terkecuali dalam hak kekayaan intelektual.
3. Kedudukan Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 dalam Kerangka Hukum Nasional.
Indonesia adalah Negara hukum, Negara yang berpijak kepada aturan hukum
bukan kepada kekuasaan semata.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans
Kelsen dengan stufen theory yang mengatakan
bahwa dalam setiap negara yang didasarkan kepada peraturan dapat dipastikan akan
terpadat hierarki tentang peraturan-
peraturan tersebut.
Hierarki ini berfungsi sebagai langkah
antisipatif terhadap overlapping
peratuan-peraturan pemerintah yang ada. Karena peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau dalam bahasa hukum dikenal dengan asas lex supperiori derogat lex inferiori.13
Ketika satu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya maka peraturan tersebut dikatakan tidak sah. Karena peraturan yang lebih tinggi merupakan payung bagi peraturan yang berada di bawahnya.
Indonesia memiliki ketentuan
tersendiri terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang hierarki ini terdapat dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004. Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi
Undang-Undang. Undang-undang ini
merupakan atruan yang merevisi dari peratruan-peraturan yang ada sebelumnya yang mengatur hal yang sama.
Sebelumnya ada TAP MPR No. XX/ MPRS/ 1966 yang kemudian diganti dengan TAP MPR No III/ MPR/ 2000 yang mengataur terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan tersebut merupakan peraturan-peraturan yang mengatur tentang hierarki tata perundang-undangan di Indonesia. Dari ketiga peraturan tersebut ada bebrapa perbedaan terkait dengan hierarki peraturan
perundang-undangan. Adapun hierarki tersebut jika dilihat berdasarkan dasar
hukum yang pernah ada dan yang berlaku sekarang adalah: TAP MPR No. XX/ MPRS/ 1966 TAP MPR No III/ MPR/ 2000 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR 3. UU/ Perpu 4. Peratruan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti peraturan mentri, instruksi mentri, dan lain lainnya 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR 3. UU 4. Perpu 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah 1. UUD RI 1945 2. UU/ Perpu 3. Peraturan Penmerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peratruan Daerah
Bagan di atas merupakan bagan yang
menunjukkan kedudukan peraturan
perundang-undangan yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia. Adapun yang
digunakan sebagai landasan untuk
menentukan hierarki peratruan peundang-undangan di Indonesia saat ini sebagaimana disebutkan di atas adalah Undang-Undang No 10 Tahun 2004.
Menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tersebut dikatakan secara jelas bahwa peraturan undang-undang yang paling tinggi adalah Undang-undang RI tahun 1945 dan yang paling bawah adalah Peraturan Daerah (perda). Dalam perda tersebut memiliki bearpa tingkatan lagi yaitu pertama, Perda Provinsi yang dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur; kedua Perda Kab./ Kota yang dibuat oleh DPRD Kab./ Kota dengan Bupati; Peraturan Desa atau peraturan yang dibuat oleh setingkat BPD atau nama lainnya besama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Mengingat kedudukan MUI yang merupakan lembaga non pemerintah yang independen, maka MUI sebagai institusi yang salah satu produk hukum dikeluarkan adalah fatwa tidak pernah berada pada ranah-ranah yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tersebut atau peraturan yang ada
sebelumnya, sehingga konsekuensi logisnya adalah bahwa fatwa dalam kerangka hukum nasional bukan merupakan peraturan yang
mengikat seluruh eleman bangsa.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa fatwa baru dapat mengikat kepada seluruh eleman bangsa apabila fatwa tersebut diakomodasi menjadi undang-undang.
Fatwa dalam hukum positif Dalam konteks teori hukum dapat dipersamakan dengan doktrin, --bahkan dapat lebih tinggi daripada doktrin --yakni berkedudukan sebagai sumber hukum. Baru berkedudukan sebagai hukum apabila digunakan secara terus menurus dalam praktek pradilan. Kalaupun fatwa tersebut dikehendaki mengikat, maka semestinya ada lembaga yang diberikan otorisasi untuk menyatakan bahwa fatwa tersebut mengikat.
Fatwa No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI adalah fatwa yang muncul setelah adanya undang-undang HKI. Maka jika melihat pada teori tentang positivisasi hukum Islam, maka undang-undang HKI yang berlaku di Indonesia pada dasarnya juga merupakan hukum
islam. Amir Mu’allim dan Yusdani
mengatakan bahwa dalam positivisasi
hukum Islam dikenal dengan dua
pendekatan. Pendeketan yang pertama adalah pendekatan formal (normatif) di mana hukum Islam secara formal menjadi hukum yang berlaku di satu masyarakat atau Negara; sedangkan pendekatan yang kedua adalah pendekatan kultural di mana yang terjadi adalah penyerapan nila-nilai Islam ke
Dengan demikian jika melihat posisi fatwa dan undang-undang HKI yang berlaku di Indonesia, maka dapat diambil benang merah bahwa undang-undang HKI yang berlaku di Indonesia merupakan salah satu dari proses positivisasi hukum Islam
akan tetapi dengan menggunakan
pendekatan yang kedua yakni pendekatan kultural, sehingga meskipun fatwa tentang
perlindungan HKI tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat dan
mempunyai posisi yang sangat lemah berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, akan tetapi karena nilai-nilai yang dimiliki oleh fatwa tersebut sudah diakui dan diserap oleh undang-undang HKI, maka hukum perlindungan HKI yang diatur oleh fatwa MUI sama hukumnya sebagaimana yang diatur oleh undang-undang HKI di Indonesia.
Fatwa tentang perlindungan HKI memang bukanlah suatu aturan yang mengikat. Akan tetapi ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap fatwa tersebut, maka secara tidak langsung
seseorang tersebut juga melakukan
pelangaran terhadap undang-undang
tentang HKI. sehingga orang itu dapat juga dihukum, bukan karena melanggar fatwa akan tetapi melanggar undang-undang. Hal ini menjadikan posisi fatwa atas undang-undang HKI adalah memperkuat dan menegaskan bahwa hukum Islam juga mengenal apa yang disebut dengan HKI.
C.Metode Majelis Ulama Indonesia dalam Penetapan Fatwa MUI No. 1/MUNAS /VII/MUI/15/2005
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penatapan fatwanya didasarkan pada tiga hal. Pertama yaitu pada ayat-ayat Al Qur’an, yang kedua adalah hadis nabi dan yang ketiga adalah hasil ijtihad para ulama’ fiqh terdahulu (halaman Mengingat Fatwa MUI NO. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan HKI).
Dalam hal pola ijtihad, MUI
menggunakan pola qiyasi (ta’lili) karena
MUI dalam hal ini mengidentikkan HKI
sebagaimana hak maaliyah yang lainnya
(halaman Ketentuan Hukum Fatwa MUI
No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005
tentang Perlindungan HKI). Pola ijtihad
Qiyasi (ta’lili) adalah satu pola ijtihad di mana
mujtahid berpegang pada adanya illat yang
sama.15 Sebagai contoh adalah adanya hadis
untuk mengambil zakat dari, kurma (kering), gandum, dam anggur (kismis). Akan tetapi sebagian besar ulama’ dengan
menggunakan pola qiyasi memutuskan
bahwa illat dari hadist tersebut adalah
tanaman yang dibudidayakan.
Terkait dengan hal ini peneliti hanya akan fokus kepada penggunaan ayat-ayat al Qur’an yang digunakan oleh MUI dalam melakukan pelarangan pembajakan. Karena sebagaimana dijelaskan di awal bahwa ada
pembatasan dalam pemasalahn ini.
Batasannya adalah asar hukum yang akan dikaji hanyalah al Qur’an semata. Selain itu
sebagaimana yang disebutkan dalam
pendahuluan bahwa penggunaan ayat Al Qur’an oleh MUI tidaklah tepat. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat yang digunakan. Adapun ayat-ayat yang digunakan adalah:
1. Q. S. An Nisa’ : 29.
2. Q. S. Asy Syua’ara’: 183
3. Q. S. Al Baqarah: 279
Ayat yang pertama yaitu ayat yang terdapat dalam Q. S. An Nisa’ : 29 pada dasaranya adalah ayat yang menjelasakan tentang larangan untuk melakukan riba. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu Katsir mengatakan:
ﻰﻬﻨﻳ
ﻙﺭﺎﺒﺗ
ﱃﺎﻌﺗﻭ
ﻩﺩﺎﺒﻋ
ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ
ﻦﻋ
ﻥﺃ
ﺍﻮﻠﻛﺄﻳ
ﻝﺍﻮﻣﺃ
ﻢﻬﻀﻌﺑ
ﹰﺎﻀﻌﺑ
،ﻞﻃﺎﺒﻟﺎﺑ
ﻱﺃ
ﻉﺍﻮﻧﺄﺑ
ﺐﺳﺎﻜﳌﺍ
ﱵﻟﺍ
ﻲﻫ
ﲑﻏ
ﺔﻴﻋﺮﺷ
ﻉﺍﻮﻧﺄﻛ
ﺎﺑﺮﻟﺍ
،ﺭﺎﻤﻘﻟﺍﻭ
ﺎﻣﻭ
ﻯﺮﺟ
ﻯﺮﳎ
ﻚﻟﺫ
ﻦﻣ
ﺮﺋﺎﺳ
ﻑﻮﻨﺻ
،ﻞﻴﳊﺍ
ﻥﺇﻭ
ﺕﺮﻬﻇ
ﰲ
ﺐﻟﺎﻏ
ﻢﻜﳊﺍ
ﻲﻋﺮﺸﻟﺍ
ﺎﳑ
ﻢﻠﻌﻳ
ﷲﺍ
ﻥﺃ
ﺎﻬﻴﻃﺎﻌﺘﻣ
ﺎﳕﺇ
ﺪﻳﺮﻳ
ﺔﻠﻴﳊﺍ
ﻰﻠﻋ
،ﺎﺑﺮﻟﺍ
Kutipan di atas mengatakan bahwa Allah ta’ala melarang hambanya yang beriman untuk memakan harta sebagian saudaranya dengan jalan yang salah, yakni
dengan pekerjaan yang didalmnya
melanggar syaria’t seperti riba dan berjudi. Hal ini menjadi semakin kuat jika melihat sambungan ayat yang mengatakan “….. kecuali dengan jalan jual beli”. Karena sejarah turunnya ayat ini adalah setelah dilakukannya pelarangan riba dan judi, tidak sedikit umat islam yang melakukan
penerobosan hukum (hillatul hukm), yaitu
dengan melakukan praktek riba dan judi akan tetapi dibungkus dengan kegiatan yang lain yang tidak bertentangan dengan syari’at.16
Dalam ayat selanjutnya yang
digunakan oleh MUI, yaitu Q. S. As Syua’ra’ 183 lebih terkait dengan perbuatan curang
dalam melakukan jual beli. Seperti
memberikan pemberat dalam timbangan
agar penjual mendapatkan banyak
keuntungan.17 Hal ini dapat dilihat dari ayat
sebelumnya yakni ayat 181-182 yang berbunyi:
ﹾﺍﻮﹸﻓﻭﹶﺃ
ﭐ
ﹶﻞﻴﹶﻜﹾﻟ
ﹶﻻﻭ
ﹾﺍﻮﻧﻮﹸﻜﺗ
ﻦِﻣ
ﭐ
ﻦﻳِﺮِﺴﺨﻤﹾﻟ
*
ﹾﺍﻮﻧِﺯﻭ
ِﺑﭑ
ِﺱﺎﹶﻄﺴِﻘﹾﻟ
ﭐ
ِﻢﻴِﻘﺘﺴﻤﹾﻟ
yang kemudian ditafsirkan secara lebih jauh oleh Ibnu Katsir dalam Kitabnya:
ﻢﻫﺮﻣﺄﻳ
ﷲﺍ
ﱃﺎﻌﺗ
ﺀﺎﻔﻳﺈﺑ
ﻝﺎﻴﻜﳌﺍ
،ﻥﺍﺰﻴﳌﺍﻭ
ﻢﻫﺎﻬﻨﻳﻭ
ﻦﻋ
ﻒﻴﻔﻄﺘﻟﺍ
،ﺎﻤﻬﻴﻓ
Ayat terakhir yaitu Q. S. Al Baqarah 279, MUI hanya mengambil secuil saja. Padahal jika diambil dari ayat sebelumnya yaitu ayat 278 mengatakan bahwa:
ٰﻳ
ﺎﻬﻳﹶﺄ
ﭐ
ﻦﻳِﺬﱠﻟ
ﹾﺍﻮﻨﻣﺁ
ﭐ
ﹾﺍﻮﹸﻘﺗ
ﭐ
ﻪﱠﻠﻟ
ﹾﺍﻭﺭﹶﺫﻭ
ﺎﻣ
ﻲِﻘﺑ
ﻦِﻣ
ﭐ
ﺎﺑﺮﻟ
ﻥِﺇ
ﻢﺘﻨﹸﻛ
ﲔِﻨِﻣﺆﻣ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Ketiga ayat al Qur’an yang digunakan
oleh MUI sebagai dasar untuk
mengeluarkan fatwa sebenarnya kurang
tepat, meskipun dapat dibenarkan
mengingat ketiga ayat-ayat tersebut
berbicara tentang larangan memakan harta secara bathil atau tanpa hak. Ayat-ayat yang digunakan oleh MUI adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan perngharaman riba. Padahal jika melihat pola ijtihad yang digunakan oleh MUI dalam penetapan fatwa adalah pola ijtihad qiyasi (ta’lili).
Jika dengan pola qiyasi, maka
seharusnya ayat yang digunakan untuk melarang adanya pembajakan tidak hanya ayat yang berkaitan dengan riba dan judi mengingat cara lain yang dalam memakan harta saudaranya tanpa hak termasuk di dalamnya adalah mencuri. Mengingat pencurian juga termasuk salah satu cara memakan harta orang lain dengan bathil.
Bahkan mempunyai illat yang dekat dengan
pembajakan. Hal ini didasarkan pada definisi mencuri, baik yang ada dalam ayat-ayat al Qur’an ataupun ijma’ ulama’ tentang
definisi mencuri. Pencurian diartikan
pengambilan dan penggunaan harta (ide) secara tanpa hak dan tanpa sepengetahuan
si pemilik. Pencurian (sariqoh). Sehingga ayat
tentang pengharaman pencurian juga
seharusnya dimasukkan menjadi
pertimbangan dalam dikeluarkannya fatwa ini.
Selain ayat yang digunakan oleh MUI tersebut dirasa masih belum optimal, yang lebih menarik lagi adalah dalam penetapan fatwa ini. MUI juga tidak merujuk pada argumentasi dari para tokoh mufassir. Padahal hal ini akan sangat mudah dijumpai, terutama mengenai ayat-ayat yang dijadikan pedoman MUI. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan mengingat tidak akan cukup dipahami sebuah kalam ilahi hanya berdasarkan arti tekstual saja, tetapi ada sisi di luar itu yang sangat berpengaruh terhadap penafsiran suatu ayat. Artinya, kalau kita masukkan dalam konteks pola ijtihad, maka pola ijtihad qiyasi (ta’lili) yang digunakan oleh MUI dirasa masih perlu pembenahan.
Pembenahan ini terkait dalam
optimal seperti terlihat dalam fatwa-fatwa lainnya. Contoh, fatwa MUI terkait dengan Ahmadiyah dan Teroroisme. Kelemahan-kelemahan yang seperti inlah yang juga
terjadi dalam penetapan fatwa-fatwa
tersebut. Akan tetapi, kekurangan seperti ini
tidak begitu berpengaruh terhadap
keabsahan dari fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI.
Oleh karenanya, fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI adalah absah secara hukum baik dalam hal materiil ataupun secara formalitasnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardlawi dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa ada beberapa penyimpangan Ijtihad yang itu dapat menjadikan ijtihad yang dihasilkan
tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam.18
Hal-hal tersebut adalah:
1. Mengabaikan nash
2. Salah memahami nash atau menyimpang
pada konteksnya
3. Kontra terhadap Ijma’ yang ada
terdahulu yang telah dikukuhkan
4. Qiyas tidak pada tempat dan
kedudukannya
5. Kealpaan terhadap realitas zaman
6. Berlebih-lebihan dalam mendahulukan
kepentingan umum walaupun harus mengabaikan nash.
Jika melihat beberapa kriteria yang disampaikan oleh Yusuf Qardlawi di atas, maka dapat dilihat bahwa:
1. Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI sebagaiman
dijelaskan di atas tidak bertentangan dan tidak mengabaikan nash, MUI juga tidak salah memahami nash yang digunakan Akan tetapi hanya ada nash yang seharusnya juga digunakan sebagai dasar pertimbangan penetapan fatwa.
2. Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI tidak bertentangan dengan ijtihad yang sudah ditetapkan sebelumnya, bahkan fatwa ini juga
memperkuat hasil ijtihad yang sduah ditetapkan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam halaman memeprhatikan dalam
Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI.
3. Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI menggunakan qiyas dalam tempatnya sebagaimana yang dijelaskan di atas.
4. Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI merupakan bagian dari mengahadapi kemajuan zaman agar yang semakin pesat. Tentunya dengan masih berpegang pada inti dari syaria’t Islam.
5. Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI dikeluarkan memang
salah satunya untuk melindungi
kepentingan umum sebagaimana yang termuat dalam halaman pertimbangan akan tetapi selama tidak bertentangan dengan hukum Islam, sehingga dapat dilihat bahwa fatwa ini tidak berpijak pada kepentingan umum semata akan tetapi juga syari’at Islam.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka
dengan demikian Fatwa MUI No.
1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI dapat menjadi pijakan bagi seluruh umat Islam di Indonesia meskipun masih ada dirasa masih ada beberapa kekurangan terkait dengan penggunaan dasar hukumnya.
D. Implikasi Fatwa MUI No. 1/ MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI terhadap
Pendaftaran HKI
Fatwa sebagaimana disebutkan di atas oleh MB. Hooker dan juga sebagaimana
pengakuan dari pihak MUI bahwa
kemunculannya tidak begitu saja tanpa sebab tertentu. Ada faktor-faktor yang melatarbelakangi kemunculannya, sehingga kemunculan fatwa tersebut sudah dapat
dipastikan akan mempunyai efek kepada masyarakat baik langsung atau tidak langsung.
Oleh karenanya, Imam Ahmad bin Hanbal memberikan persyaratan bagi
seorang mufti (pemberi fatwa) untuk
mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena suatu ketetapan hukum itu harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat,
memperhatikan perubahan-perubahannya
dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak
menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat.19 Dalam artian setiap fatwa
yang dikeluarkan juga harus
mempertimbangkan dampak yang akan terjadi dari ketetapan fatwa tersebut.
Kehadiran fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
perlindungan HKI juga sempat membuat beberapa kalangan masyarakat bereaksi. Ada yang menolak mentah-mentah fatwa ini, namun tidak sedikit juga yang sepakat dengan dikeluarkannya fatwa tersebut. Selain pro dan kontra, jika melihat dari teori yang dikemukakan oleh beberapa pakar sebagaimana disebutkan di atas terkait dengan efek dari fatwa dikeluarkannya, maka fatwa ini tentunya akan memberikan implikasi terhadap proses pendaftaran HKI.
Sebagaimana diketahui jika ada seseorang atau beberapa orang akan
melakukan pendaftaran HKI, maka
pengajuan pendaftaran HKI itu sendiri harus memenuhi persyaratan. Persyaratan yang harus dipenuhi sangat berkaitan erat dengan klasifikasi HKI-nya. Berikut akan
diuraikan persyaratan dan prosedur
pendaftaran dari masing-masing klasifikasi HKI dalam hal ini merek, desain industri dan paten.
1. Merek
Merek merupakan tanda berupa gambar, nama, huruf-huruf, angka-angka, kata dan
susunan warna atau kombinasi dari semuanya yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek dapat dimintakan hak atas merek jika memenuhi ketentuan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan ketentuan ini, maka suatu merek dapat dilindungi apabila telah dilakukan pendaftaran. Untuk pendaftaran sendiri diperlukan persyaratan, yakni;
persyaratan substantif, persyaratan
prosedural dan persyaratan administratif. Untuk persyaratan substantif suatu merek dapat didaftarkan apabila merek yang diajukan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Merek tersebut didaftarkan dengan
dilandasi asas iktikad baik;
b. Merek tersebut tidak memiliki
persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis atau merek yang sudah terkenal milik orang lain untuk barang atau jasa yang sejenis atau dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
c. Merek tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda, tidak menjadi milik umum, tidak merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Untuk persyaratan prosedural, maka suatu merek harus didaftarkan berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001. Secara skematis prosedur pendaftaran merek sebagai berikut:
8/5/2008 18 Pemeriksaan Formalitas
Tanggal Penerimaan
Kelengkapan Formal Prioritas Tidak Lengkap
Lengkap ?
Dilanjutkan tanpa Prioritas
Persyaratan Tidak Lengkap Lengkap ?
Disetujui untuk didaftar ? Diusulkan untuk ditolak
Ada keberatan ? Hearing
Penolakan Diterima ?
Publikasi Banding
Diterima ?
Upaya Hukum Sesuai dengan UU
Ada Oposisi?
Keberatan dari Oposisi
Pemeriksaan Ulang Diterima ? Banding Sertifikat Pemeriksaan Substantif Ditarik Kembali Lengkap? Permohonan
Berdasarkan UU no.15 Tahun 2001
Prosedur Pendaftaran Merek
Untuk persyaratan administratif
merek dapat didaftarkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia
b. Permohonan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya
c. Permohonan dilampiri dengan bukti
pembayaran biaya
Apabila merek telah terdaftar, maka timbul hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
2. Desain Industri
Desain industri lingkupnya mencakup
pada aspek kreasi berupa bentuk,
konfigurasi dan komposisi yang
mengandung unsur estetika yang biasanya digunakan dalam kegiatan industri dan kerajinan. Hak atas desain industri sendiri
diperoleh dengan menggunakan sistem pendaftaran. Pendaftaran desain industri harus memenuhi persyaratan substantif, prosedural dan administratif. Persyaratan substantif yang harus dipenuhi agar desain industri dapat didaftarkan adalah:
a. Baru (Pasal 2).
b. Tidak sama dengan pengungkapan yang
telah ada sebelumnya.
c. Tidak bertentangan dengan
moralitas/kesusilaan (Pasal 4).
d. Merupakan satu desain industri (Pasal
13).
e. Beberapa desain industri yang
merupakan satu kesatuan desain
industri/yang memiliki kelas yang sama (Pasal 13) (klasifikasi locarno).
f. Tidak ditarik kembali permohonannya.
Untuk persyaratan prosedural
pendaftaran desain industri harus
memenuhi prosedur yang terdapat di dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Berikut skema sistem pendaftaran desain industri.
Prosedur Permohonan Desain Industri (Menurut UU Desain Industri No. 31 Tahun 2000)
Permohonan Desain Industri Persyaratan Minimum Sesuai Ps. 18 UUDI Tanggal Penerimaan Persy. Administratif Pengumuman Keberatan Pengumuman Pemberian Sertifikat DI
Dipenuhi Dianggap ditarik kembali
Ada keberatan Atas penolakan Anggapan penarikan
kembali
Permohonan Ditolak
Upaya hukum lainnya
Permohonan Gugur
Sanggahan dari pemohon
Menerima/Menolak Keberatan Pemeriksaan Substantif Tdk Lengkap lengkap tidak ya < 3 bulan < 3 bulan < 3 bulan < 3 bulan Tidak ada < 30 hari Menolak keberatan Menerima keberatan Tidak ada ada ada
Untuk persyaratan pendaftaran desain
industri secara administratif harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia
b. Permohonan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya
c. Permohonan dilampiri dengan bukti
pembayaran biaya
Setelah dilakukan pendaftaran desain industri, maka timbul hak atas desain industri. Hak atas desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
3. Paten
Lingkup paten ada pada invensi dalam bidang teknologi yang sifatnya memecahkan masalah. Invensi ini ada yang bentuknya produk atau proses atau dapat
juga pengembangan/penyempurnaan
produk atau proses. Syarat suatu invensi dapat dipatenkan secara substantif ada tiga,
yakni; syarat kebaruan (novelty), syarat
langkah inventif (inventif step) dan dapat
diterapkan dalam industri (industrial
applicable). Arti invensi mengandung syarat kebaruan adalah jika tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. Arti mengandung syarat langkah inventif adalah jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, sedangkan arti dapat diterapkan dalam industri adalah jika invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri. Paten sendiri diperoleh dengan cara pendaftaran (first to file principle). Akan tetapi, di beberapa negara seperti Amerika Serikat paten diperoleh dengan berlandaskan pada
penemu pertama (first to invent principle).
Indonesia sendiri menganut sistem
pendaftaran (first to file principle).
Namun tidak semua invensi yang
telah ditemukan dapat dipatenkan.
Beberapa invensi yang unpatenable adalah;
1. Proses atau produk yang pengumuman
dan penggunaan atau pelaksanaannya
bertentangan dengan paeraturan
perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Metode pemeriksaan, perawatan pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan atau hewan.
3. Teori dan metode di bidang ilmu
pengetahuan dan matematika.
4. Semua makhluk hidup, kecuali jasad
renik, proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,
kecuali proses non biologis atau proses biologis.
Perlindungan hukum paten ini dapat diperoleh melalui mekanisme pendaftaran.
Pendaftaran dilakukan ke Direktorat
Jenderal HKI Departemen Hukum dan HAM RI. Pendaftaran paten dapat dilihat pada skema berikut ini.
PROSEDUR PERMOHONAN PATEN
PROSEDUR PERMOHONAN PATEN
(MENURUT UNDANG
(MENURUT UNDANG--UNDANG PATEN NO. 14 TAHUN 2001)UNDANG PATEN NO. 14 TAHUN 2001)
PERMOHONAN PEMERIKSAAN PERSYARATAN PENGUMUMAN SERTIFIKAT PATEN DITARIK IBM /IPClinic/MT/Jan 2005 ADA KEKURANGAN ? DIKOREKSI ? YA TIDAK Ps.42 TIDAK YA SANGGAHAN KEBERATAN ADA KEBERATAN ? YA Ps.45 (3) Ps.45 (2) PEMERIKSAAN SUBSTANTIF Ps.45 (4) PERMOHONAN PEMERIKSAAN ADA PERMOHONAN ? DITARIK TIDAK TIDAK YA Ps.49 (2) KEPUTUSAN DISETUJUI ? YA ADA PERBAIKAN ? YA DITARIK TIDAK DITOLAK TIDAK DISETUJUI ? KASASI TIDAK YA PEMBERITAHUAN ADA KETIDAKJELASAN DICATAT DALAM DAFTAR UMU PATEN DAN
DIUMUMKAN DALAM BERITA RESMI PATEN PENGADILAN NIAGA KOMISI BANDING PATEN PERMOHONAN BANDING Ps.33 Ps.48 Ps.53 Ps.54 Ps.55 Ps.56 Ps.60 Ps.55 (3)
Apabila pendaftaran invensi di atas telah dilakukan, maka akan timbul paten. Paten sendiri mengandung arti hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri invensinya tersebut atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Apabila memperhatikan pada uraian persyaratan pendaftaran pada masing-masing klasifikasi HKI dalam hal ini merek, desain industri dan paten sangat jelas bahwa ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar HKI tersebut dapat didaftar sekaligus hal ini menjadikan HKI tersebut dapat dilindungi secara hukum.
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi pada masing-masing klasifikasi HKI di atas yakni persyaratan substantif. Persyaratan substantif ini secara lebih spesifik yang berhubungan dengan implikasi fatwa MUI tentang Perlindungan HKI, yakni berkenaan dengan HKI secara substantif dapat didaftar apabila tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama,
ketertiban umum dan kesusilaan. Moralitas agama menjadi suatu persyaratan dalam mendaftarkan HKI. Secara konkrit kriteria moralitas agama tidak dijelaskan di dalam UU di bidang HKI. Namun dengan kehadiran fatwa MUI tentang Perlindungan HKI setidaknya hal ini dapat membantu bagi aparat Dirjen HKI untuk menjadi filter dalam menetapkan apakah sebuah karya
tersebut dapat didaftar atau tidak. Tegasnya,
dengan adanya fatwa MUI tentang
Perlindungan HKI, maka implikasi fatwa
terhadap pendaftaran HKI dapat
diposisikan sebagai salah satu filter dalam konteks moralitas agama.
E. Penutup
Dari penjelasan yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa: Pertama, Kedudukan
Fatwa MUI NO. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
perlindungan HKI berdasarkan hukum Islam adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara luas.
Fatwa tersebut sama dengan sebuah himbauan ulama’. Himbuan seorang ulama yang juga seorang mujtahid bagaimanapun juga merupakan satu pemikiran hukum yang patut juga untuk dihormati. Hal ini
dikarenakan Fatwa MUI No. 1/
MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI jika dilihat dari aspek hostoris adalah fatwa yang merupakan permintaan dari MIAP.
Jika dalam hukum Islam MIAP
disebut dengan muqallid yang meminta fatwa
terkait dengan hukum HKI dalam hukum Islam kepada Mujtahid yang dalam hal ini
adalah MUI. Konsekuensinya fatwa
tersebut hanya mengikat antara MUI dan
muqallidnya dalam hal ini adalah MIAP, sedangkan jika dilihat dari sisi, hirarki peraturan perundang-undangan indonesia, fatwa MUI tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi seluruh masyarakat indonesia.
Hal ini dikarenakan bahwa UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak pernah
mencantumkan fatwa sebagai peraturan yang mengikat bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Fatwa MUI tentang
Perlindungan HKI dalam konteks teori hukum dapat dipersamakan dengan doktrin. Fatwa MUI tentang Perlindungan HKI dapat memiliki kekuatan mengikat jika diterapkan secara terus menerus dalam
praktek peradilan atau dilegalisasi oleh lembaga yang memiliki otorisasi untuk menetapkan bahwa Fatwa tersebut memiliki kekuatan mengikat; Kedua, salah satu dasar hukum yang digunakan oleh MUI adalah ayat alqur’an. Akan tetapi penerapannya
dalam penetapan fatwa tentang
perlindungan HKI ini di rasa belum optimal.
MUI dalam fatwanya tersebut lebih banyak menggunakan dasar hukum ayat perbuatan curang dalam jual beli, riba dan berjudi. Sehingga dirasa belum optimal. Karena pembajakan HKI bukan termasuk dalam kategori judi, riba atau praktek curangan dalam jual beli melainkan lebih
cenderung kepada pencurian, yaitu
pencurian hasil ide dan kreatifitas manusia. Maka, sejalan dengan itu ayat tentang pencurian semestinya menjadi dasar rujukan juga dalam mengeluarkan fatwa ini dan; Ketiga, fatwa tentang perlindungan
HKI memberikan kontribusi positif
terhadap pendaftaran HKI. Kontribusi Fatwa MUI tentang Perlindungan HKI dapat digunakan sebagai filter dalam proses pendaftaran HKI.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Amir Mualim dan Yusdani, Pemikiran dan
Konfigurasi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Hasil Wawancara dengan Hasanudin
Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
Ibn Katsir, Tafsir Qur’an Al Adzim, Libanon:
Dar al Ma’rifah, 2004.
Djumhana, M. dan R. Djubaedillah, Hak
Milik Intelektual; Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh II,
Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995.
al-Zarqa, Musthofa Ahmad, Al-Fiqh al-Islami fi Saubihi al-Jadid, Juz III, Beirut: Dar al Fikr, t.t.
Ali, Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama;
Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
al-Qardlawi, Yusuf, Ijtihad Kontemporer Kode
Etik dan berbagai Penyimpangan (terj) Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
* Pusat HKI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
* Pusat HKI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
1
M Djumhana dan R. Djubaedillah., Hak Milik Intelektual; Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia., (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), p. 7.
2 Ibn Katsir, Tafsir Qur’an al-Adzim, (Libanon: Dar al Ma’rifah, 2004), p. 366. 3 Ibid., p. 1160. 4 Ibid., p. 254. 5
Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
6
Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat tahun 2008.
7 Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
8
Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
9
Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
10
Yusuf al-Qaradlawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan berbagai Penyimpangan (terj), (Surabaya: Risalah Gusti: 1995), p. 24.
11
Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
12
Hasil Wawancara dengan Hasanudin Anggota MUI Pusat Tahun 2008.
13
Musthofa Ahmad al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islami fi Saubihi al-Jadid, Juz III, (Beirut: Dar al Fikr,t.t.), p. 17.
14 Amir Mualim dan Yusdani, Pemikiran dan
Konfigurasi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), pp. 173-175.
15
Ibid.
16
Ibn Katsir, Tafsir, p. 366. 17
Ibid., p. 1160. 18
Yusuf al-Qaradhawi, Ijtihad, pp. 63-120. 19 Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh II, (Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995), p. 181.