• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan kota/wilayah dengan konsep kota tepian air (waterfront city) sejak lama dikenal di seluruh dunia, sebagai bagian kota atau distrik yang dicirikan berbatasan dengan air, baik berupa sungai, laut maupun danau. Umumnya terdapat darmaga dengan kesibukan lalu lintas perdagangan yang menggunakan kapal, perahu, motor boat sebagai fasilitas transportasinya.

Menurut Landry (2008), pengembangan konsep kota tepian air merupakan cara pemecahan masalah perkotaan yang terfokus pada masalah kultur dan budaya. Sementara tidak ada paradigma standar untuk konsep tepian air, dimana sangat tergantung dari visi/misi kota tepian air tersebut yang bersifat unik dan berbeda antara suatu kota tepian dengan kota tepian lainnya. Pemecahan masalah perkotaan tersebut dilakukan dengan membuat keseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan preservasi, menjadi kawasan terpadu (mixed used). Implementasi dilakukan dengan cara mendorong revitalisasi tepian air dan pemanfaatan ketergantungan akan air sambil melindungi ikan dan margasatwa, ruang terbuka hijau & daerah permai, akses publik ke garis pantai & lahan pertanian, dan meminimalisasi perubahan sistem ekologi yang merugikan seperti erosi dan bahaya banjir.

Menurut Routledge (1999), peningkatan kualitas air merupakan pendorong sangat penting terhadap kemajuan perekonomian. Menurut Vollmer (2009), rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan lingkungan di dunia yang sedang berkembang. Sebagai contoh Toronto merupakan wilayah tepian danau tercemar berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air, dalam waktu singkat dari tahun 1980 sampai tahun 2000 telah bisa meningkatkan tahapan pengelolaan dari semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya: lingkungan sehat, pemulihan ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas.

(2)

Secara fisik, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, terdapat sekitar 216 kota tepian air, di antaranya adalah: Jakarta, Pontianak, Semarang, Balikpapan, Menado, Palembang, Banjarmasin.

Mengacu pada penelitian ini, dimana Kota Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian. Kota Semarang sebagai salah satu metropolitan juga merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, berada pada kawasan pesisir utara Jawa dengan garis pantai sepanjang ± 13,6 km. memanjang di bagian utara kota mulai dari wilayah Kecamatan Tugu bagian barat sampai dengan wilayah Kecamatan Genuk di bagian timur. Mempunyai letak sangat strategis karena terletak pada lalu lintas perdagangan internasional dan mempunyai potensi besar untuk menjadi “water front city” berkelas dunia (Ecolmantech, 2006). Kota Semarang mempunyai jumlah penduduk sebesar 1.434.025 jiwa (2006). Berdasarkan statistik (Kota Semarang dalam angka, 2008) peningkatan jumlah penduduk 1,02% per tahun. Penambahan jumlah penduduk akan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal/permukiman maupun untuk kegiatan usaha. Menurut Marfai MA. 2003. (dalam GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in a Waterfront City. Case study: Semarang City. Central Java), Semarang “water front city”

mempunyai kendala rutin dan menahun dimana banjir dan rob merupakan fenomena yang sering terjadi. Adapun akar permasalahannya adalah besarnya konversi lahan pertanian/hutan dibagian hulu dan saluran drainase yang kurang terawat menyebabkan banjir lokal. Data dan informasi tentang distribusi spasial, besaran dan kedalaman banjir serta pengaruh banjir terhadap penggunaan lahan telah ditelaah dalam produk modeling diatas. Berbagai potensi bencana yang terdapat di Kota Semarang adalah banjir sungai, banjir rob/genangan, tanah longsor dan land subsidence sebesar 11,50- 20 cm/tahun.Genangan air hujan dan banjir kiriman dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Selain itu pencemaran badan air baik oleh limbah industri, non industri maupun intrusi air laut menyiratkan bahwa kebijakan Kota Semarang belum mempertimbangkan kesinambungan hidup air. Dalam hal ini sungai dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor tempat pembuangan limbah, sampah dan hajat. Air sungai

(3)

sudah lama tak layak untuk diminum. Sementara, kota-kota besar dunia yang beradab dan termashur kebanyakan adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air. Sebagai contoh, kota pesisir New York, Sydney, Los Angeles, Miami, kota kanal Venice, Amsterdam, dan sebagainya dimana air ditempatkan pada tempat yang bermartabat (Tjallingii. 1995).

Bermacam-macam usaha telah dilakukan berupa pembangunan saluran banjir kanal, pembangunan subsistem drainase dengan perlengkapan pemompaan, pembangunan drainase pasang surut dengan sistem polder, pembangunan waduk-waduk, tetapi tidak menyelesaikan masalah, dimana disamping telah dikeluarkan pendanaan yang sangat besar, tetapi kejadian rob dari tahun ke tahun semakin besar. Di sisi lain, pada kenyataannya telah berabad-abad lamanya masyarakat pesisir Kota Semarang telah dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan rob dan banjir. Maka diasumsikan bahwa alternatif terbaik untuk pengelolaan wilayah pesisir adalah dengan cara pemeliharaan harmoni dengan air (pendekatan sistem tepian pantai) dengan paradigma pengelolaan secara berkelanjutan, sesuai Undang-undang UU No. 32/2009 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air; UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Pengelolaan wilayah “water front city” dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi tiga kriteria keberlanjutan pembangunan yakni ekologi, ekonomi dan sosial (Gallagher, 2010). Kriteria ekologi antara lain: tekanan terhadap lahan mangrove rendah yang ditandai oleh berhasilnya penanaman kembali mangrove, sedimentasi rendah, intrusi air laut rendah, kualitas perairan memenuhi baku mutu lingkungan, abrasi dan erosi pantai rendah, penyusutan tanah (land subsidence) rendah, ada kegiatan konservasi, jumlah tangkapan ikan tidak berkurang, dan metoda budidaya yang ramah lingkungan. Kriteria ekonomi antara lain: kontribusi terhadap PDRB tinggi, pendapatan nelayan terhadap upah minimum regional relatif tinggi, penyerapan tenaga kerja tinggi, distribusi pendapatan merata, pasar berskala nasional, pola kemitraan ada dan berfungsi, perkembangan sarana ekonomi meningkat. Kriteria sosial antara lain: pengetahuan terhadap lingkungan yang memadai, tingkat pendidikan masyarakat

(4)

pesisir relatif sama terhadap kabupaten, frekwensi konflik rendah, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tinggi, ada alternatif usaha selain pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata, kesehatan masyarakat meningkat, ketersediaan peraturan pengelolaan, ada transparansi dalam pengambilan keputusan, pengembangan kelembagaan lokal atau inisiatif masyarakat (Pitcher, 1999). Sifat wilayah pesisir yang multi objective, multi stakeholder, dan berbagai konflik kepentingan mengakibatkan dilema dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa fokus pengelolaan kota tepian pantai tersebut tertuju pada kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Persoalan pemanfaatan inilah yang kemudian memicu konflik antar stakeholder. Untuk itu diperlukan suatu sistem manajemen yang efektif dan partisipatif yang dapat menyelesaikan dan minimalisasi konflik diantara berbagai stakeholder (Behr C et al.1998).

Untuk menunjang kegiatan pembangunan wilayah tepian pantai Semarang, dan menjawab permasalahan dan tantangan di atas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan utama: Membuat/merancang suatu desain kebijakan pengelolaan berdasar konsep ”water front city” berkelanjutan dalam bentuk arahan kebijakan dan strategi yang dapat mengilhami pembentukan model kebijakan pengelolaan bagi kota tepian pantai Semarang khususnya dan Indonesia pada umumnya.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan Kota Semarang tepian pantai agar bisa dikelola secara berkelanjutan adalah sangat erat kaitannya dengan dinamika ekosistem alami (darat dan pantai) dengan daya dukung/daya tampung Kota Semarang dan pemanfaatannya oleh masyarakat, dimana pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya diatas daya dukung/ daya tampungnya akan mengakibatkan kerusakan lahan, seiring fungsinya terhadap populasi, lahan/area dan waktu.

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.

Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau

(5)

dimasukkan ke dalamnya. (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009)

Daya dukung Kota Semarang dipengaruhi oleh aspek-aspek biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 Faktor-faktor berpengaruh terhadap Daya Dukung Kota Semarang.

Aspek biofisik mencakup daratan dan pantai dimana permasalahan yang dapat diidentifikasi di daratan adalah berupa polusi (industri, rumah tangga dan limbah umumnya); terbatasnya cadangan air tanah karena penggunaan atau eksploitasi yang berlebihan; perubahan tata guna lahan dan pembabatan hutan yang semakin tak terkendali; kurangnya Ruang Terbuka Hijau ( < 30%), sistem pembuangan sampah dan drainase yang buruk. Hal tersebut menyebabkan banjir lokal dan kiriman.

Berdasarkan data Perubahan Luas Area Sawah, Hutan, TKL(Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya dan Areal Tambak dan Kolam) dan Perubahan

DAYA DUKUNG /TAMPUNG KOTA SEMARANG

BIOFISIK EKONOMI SOSIAL

Daratan Pantai 1.Penurunan air tanah 2.Konversi lahan 3.Ruang terbuka hijau <30% 1. Abrasi 2. Alih Fungsi 3. Intrusi 4. Sedimentasi 5. Limbah 1. Pasang surut air laut 2. Landsubsid ent 3. Kenaikan muka laut 1. Industria & perdagangan, wisata terpadu 2. Kelola dan kembangkan potensi SDA 1.Persaingan lapangan.kerja. 2.Pengangguran 3.Ketimpangan Penghasilan 4.Kurang sejahtra. karena banjir 5.Konflik Sosial 1. Polusi  Industri  R.T  Alami  Limbah  Sedimen tasi-DAS. BANJIR SUNGAI

POLUSI ROB KURANGNYA

KETERPADUAN

MASALAH SOSIAL

(6)

Luas Area Permukiman dan Bangunan di Semarang (Semarang dalam angka, BPS, 2008) diperoleh informasi bahwa dari tahun 2003-2007 terjadi peningkatan konversi lahan area tambak dan kolam sangat tajam dari 2271, 64 Ha pada tahun 2003 menjadi 312,74 Ha pada tahun 2007. Sementara itu konversi areal-areal Ruang Terbuka Hijau (RTH), seperti area sawah, area hutan dan area tegal, kebun & lahan kering lainnya dari tahun 2003-2007 cenderung mengalami perbaikan ditunjukan oleh peningkatan luasan ketiga area tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan pengembangan areal bangunan untuk permukiman dan industri pada saat ini telah berdampak terhadap penurunan luasan area tambak dan kolam di Kota Semarang.

Walaupun pada saat ini luasan area terbuka hijau relatif masih baik, namun diperkirakan di masa-masa akan datang akan terkonversi akibat konversi area kolam dan tambak sudah pada tahap kritis, sedangkan peningkatan area bangunan untuk permukiman dan industri diperkirakan akan terus meningkat.

Di wilayah pantai, diidentifikasi semakin tingginya ancaman terhadap ekosistem alami Kota Semarang berupa: Peningkatan pasang surut air laut dari 0.87 m pada tahun 1991 menjadi 0.97 m pada tahun 1994 (JICA 1994) atau berupa peningkatan permukaan air laut rata-rata 6 mm/tahun karena pemanasan global atau sebab lainnya (Bappedal/KMNLH 1999); Sedimentasi yang diikuti dengan land subsidence 2-25 cm/tahun (Dit.Geologi dan Tata Lingkungan, 1999). Hal-hal tersebut mengakibatkan peningkatan banjir rob dari sekitar 1,200 ha pada tahun 2003 dan diperkirakan menjadi sekitar 1,346 ha pada tahun 2008 (Data Ka.Sub-bidang Pengawasan Bappeda Kota Semarang 2003); Semakin tingginya tingkat pencemaran baik oleh limbah (industri dan domestik), abrasi, sedimentasi, intrusi air laut (penyedotan air bawah tanah secara berlebihan menyebabkan air tanah tercemar berupa peningkatan salinitas diatas ambang batas), peningkatan penyedotan air tanah dari 23 juta m3 pada tahun 1990 menjadi 39 juta m3 pada tahun 2000 (Dit. Geologi dan Tata Lingkungan 1999).

Di tinjau aspek ekonomi dan perdagangan, Kota Semarang dengan pelabuhan/dermaga Tanjung Mas, meskipun memiliki tingkat pertumbuhan industri yang mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi perekonomian wilayah, tetapi diidentifikasikan bahwa hal tersebut kurang

(7)

bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholder dan pengelolaan potensi lain (tourisme, mangrove, beach resources) yang belum terintegrasi secara optimal. Tingginya tingkat degradasi sumberdaya alam hayati berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.

Aspek sosial diantaranya adalah aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Pertumbuhan penduduk yang tinggi namun dengan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah justru menjadi permasalahan pembangunan yang serius mengenai persaingan lapangan kerja, pengangguran, ketimpangan pendapatan, peningkatan frekuensi konflik, menurunnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat karena banjir dan hidup didalam sistem lingkungan air yang kurang bersih dan diatas ambang batas/ kurang layak untuk dikonsumsi.

Saling keterkaitan diantara berbagai masalah tersebut memunculkan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

 Bagaimana merancang skenario pengelolaan lingkungan wilayah tepian air Kota Semarang yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.

 Bagaimana merancang model interaksi diantara berbagai variabel dalam subsistem biofisik, SDM masyarakat, dan ekonomi di wilayah tepian air dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

1.3.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan kebijakan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai berdasar konsep kota tepian air berkelanjutan dalam bentuk arahan kebijakan dan strategi yang dapat mengilhami pembentukan model kebijakan pengelolaan bagi Kota Tepian Air lainnya di Indonesia. Tujuan utama itu di rincikan ke dalam tujuan antara, adalah sebagai berikut :

(1) Menentukan kelayakan pengelolaan SDA

(2) Menentukan tingkat keberlanjutan dan faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan Semarang “water front city

(8)

(3) Membangun model pengelolaan Semarang “water front city” secara berkelanjutan

(4) Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan kawasan Semarang “water front city” yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan

(5) Menentukan prioritas atau skenario arahan kebijakan dan strategi Pengelolaan Semarang “water front city”.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan kontribusi nyata pada pengembangan studi-studi tentang pengelolaan, preservasi SDA, proteksi kawasan tepian pantai dan memberikan pemikiran serta pondasi ilmiah pada pengelolaan dengan konsep “water front city”.

2. Memberikan masukan kepada seluruh pemangku kepentingan akan status dimensi keberlanjutan Kota Semarang dan penyusunan strategi berdasar faktor pengungkit atau atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan.

3. Memberikan arahan kebijakan pemerintah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan Semarang “water front city” secara berkelanjutan

4. Memberikan masukan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan dan skenario pengelolaan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder.

1. 5. Ruang Lingkup Penelitian

Pengelolaan yang diamati dalam penelitian ini terutama adalah yang terkait dengan kebijakan pengelolaan tepian pantai, mengingat adanya keterbatasan data dan waktu yang tersedia dalam melaksanakan penelitian ini. Pengelolaan yang dimaksud adalah mencakup pengelolaan dan peningkatkan potensi sumberdaya yang ada secara lebih efektif dan efisien, adaptasi banjir, prasarana penyehatan lingkungan lainnya seperti ruang terbuka hijau, serta

(9)

pemilihan skenario dan alternatif pengelolaan sebagai kawasan industri, perdagangan atau wisata.

1.6. Kerangka Pemikiran

Permasalahan wilayah Kota Semarang dapat dicermati dengan analisis masalah

(Gambar 1.2) sebagai berikut:

Semarang Kota Tepian Pantai merupakan ekosistem Tepian Air yang didukung oleh: (1) Daerah tangkapan air berupa sungai-sungai, kolam, sumber air tanah yang dikelola oleh masyarakat sebagai area pertanian, perkebunan lahan kering, tambak dan pemukiman. Maraknya konversi guna lahan di hulu dan eksploitasi air tanah (di atas daya dukung lingkungan) sekitar daerah tangkapan ini menyebabkan erosi dan intrusi air laut. Bahan-bahan yang terbawa oleh erosi akan mengendap sebagai sedimentasi, sedangkan intrusi menyebabkan pencemaran badan air. (2) Daerah perairan berupa pesisir pantai yang mempunyai potensi sebagai perikanan tangkap, pelabuhan , perdagangan peti kemas, wisata bahari dan transportasi laut, dimana kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan pencemaran (3) Daerah sosial ekonomi, konservasi merupakan daerah perkotaan yang mempunyai potensi sebagai kawasan industri, perdagangan, pemukiman, dan sebagainya, yang juga menimbulkan pencemaran industri dan limbah2 organik maupun non organik. Sedimentasi, intrusi dan pencemaran-pencemaran tersebut mengakibatkan pendangkalan, akresi, banjir kiriman, rob dan kondisi tidak nyaman yang menyebabkan terjadinya konflik. Masalah-masalah tersebut menunjukkan telah terjadinya degradasi ekologi, sosial dan ekonomi yang mengancam fungsi kota tepian pantai.

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut (1) wilayah tepian pantai Kota Semarang tersebut harus dikelola melalui mekanisme kesesuaian lahan (kriteria kesesuaian lahan), daya dukung lahan ( daya dukung ekologi dan daya dukung ekonomi). (2) Alternatif pengelolaan (ICZM, The Coastal Zone Management Subgroup) berupa retreat, akomodasi/adaptasi dan proteksi. Dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yang kemudian dikembangkan menjadi lima dimensi: ekonomi, ekologi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi untuk menganalisis

(10)

keberlanjutan dengan menggunakan Multidimensional Scalling) dan berdasar kebijakan pemerintah (Rencana Tata Ruang Wilayah, Pembangunan Ekonomi, Pengembangan SDM, dll) dilakukan pengelolaan secara terpadu, sehingga diperoleh desain pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan yang bisa melakukan langkah-langkah perbaikan pada ekosistem tepian pantai.

Dalam hal ini, keterpaduan bermakna tiga dimensi: intersectoral integration (koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor pemerintah), interdisciplinary approaches (keterlibatan berbagai disiplin ilmu) dan ecological linkages (keterkaitan berbagai macam ekosistem yang saling berhubungan serta dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia dan proses alamiah di daerah hulu-hilir maupun di laut lepas). Digunakan analisis Sistem Dinamik dan Spatsial Dinamik sehingga permasalahan yang terjadi dapat dilihat secara menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholder yang ada di dalamnya.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yang terfokus pada kebijakan pengelolaan kota tepian pantai dengan asumsi bahwa alternatif terbaik untuk pengelolaan wilayah tepian pantai adalah dengan cara pemeliharaan harmoni dengan air (pendekatan konsep kota tepian air berkelanjutan), dimana pembahasannya dibatasi pada masalah biofisik pantai, masalah ekonomi dan masalah sosial. Adapun masalah biofisik daratan ada di luar fokus penelitian. Kerangka Pemikiran Pengelolaan dapat dilihat pada Gambar 1.2

(11)

Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air berkelanjutan

EKOSISTIM TEPIAN AIR

DAERAH TANGKAPAN AIR

DAERAH EKONOMI SOSIAL BUDAYA KELEMBAGAAN (PERKOTAAN) PERAIRAN PERTANIAN, PERIKANAN, TAMBAK, PEMUKIMAN PERIKANAN TANGKAP, PELABUHAN, TRANSPORTASI LAUT INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERMUKIMAN EROSI, ABRASI, INTRUSI PENCEMARAN INTRUSI SEDIMENTASI, PENCEMARAN PENDANGKALAN, ABRASI, BANJIR / ROB, KONFLIK,

PENYAKIT DIMENSI EKONOMI DIMENSI SOSIAL DIMENSI EKOLOGI FUNGSI KOTA TEPIAN AIR

TERANCAM

TRILOGI KEBERLANJUTAN PRINSIP PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN PEMANFAATAN SESUAI DAYA

DUKUNG DAN KESESUAIAN

LAHAN EKOLOGI

SOSIAL EKONOMI

EKONOMI EKOLOGI SOSIAL KELEMBAGAAN TEKNOLOGI

KETERPADUAN PENGELOLAAN

PARTISIPASI STAKEHOLDER PENGELOLAAN KOTA TEPIAN

PANTAI BERKELANJUTAN KRITERIA KESESUAIAN

LAHAN

DAYA DUKUNG EKOLOGI

DAYA DUKUNG EKONOMI DAYA DUKUNG SOSIAL

ANT AR S E KT OR ANT AR DI S IP L IN IL M U KE T E R KAI T AN E KOL OGI ALTERNATIF PENGELOLAAN KEBIJAKAN PEMERINTAH 11

(12)

1.7. Kebaruan

Kebaruan penelitian ini adalah Rancangan kebijakan pengelolaan kota tepian pantai Kota Semarang dengan: 1) Paradigma harmonisasi dengan air sebagai response adaptasi terhadap banjir, 2) penggunaan model analisis sistem dinamis dan spasial dinamis terpadu untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kota tepian pantai secara berkelanjutan, yang didukung oleh analisis keberlanjutan menggunakan Multi Dimention Analysis. Model ini dapat diaplikasikan untuk memprediksi tata guna lahan dan mendukung RTRW.

Gambar

Gambar 1.1 Faktor-faktor berpengaruh terhadap Daya Dukung Kota Semarang.
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air berkelanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Dari area bisnis yang ada, ditemukan beberapa hal menyangkut permasalahan yang ada, yaitu: (1) Pihak manajemen dalam melakukan perencanaan penjualan dan produksi memperoleh data dari

Hasil uji reliabilitas instrumen variabel motivasi belajar (Y) akan diukur tingkat reliabilitasnya berdasarkan interpretasi reliabilitas yang telah ditentukan pada

tidak dapat mengukur non-perform dari suatu kredit padahal terdapat variabel total loans dalam perhitungan efisiensi; investor di Indonesia masih berorientasi short term

Penelitian dilaksanakan dengan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan mengikuti desain penelitian Kemmis dan Mc. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Sebagai tambahan, Anda akan membuat sebuah ObjectDataSource yang berparameter sehingga dapat melewatkan item yang yang terpilih pada DropDownList ke data komponen untuk

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR