• Tidak ada hasil yang ditemukan

Janeman Usmany STIPAK MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Janeman Usmany STIPAK MALANG"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

100 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

Spiritualitas Guru Pendidikan Agama Kristen dalam Teori Perkembangan

Kepercayaan Fowler dan Teori Perkembangan Moral Kohlberg:

Penafsiran Perspektif Al-Kitab

Janeman Usmany

STIPAK MALANG

email: [email protected]

Abstrak: Seorang guru tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi memberi hidup seutuhnya dalam tanggung jawab mengajar. Rasul Yakobus mengingatkan bahwa menjadi guru memiliki tanggung jawab yang besar. Tuhan Yesus sendiri adalah seorang Guru Agung, tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, tetapi melalui teladan hidup. Bagaimana melaksanakan tanggung jawab mengajar melalui kata-kata, dan pada saat yang bersamaan dapat memberikan teladan hidup? Di antara dua sisi inilah hadir spiritualitas. Spiritualitas atau kerohanian bersifat absrtak yang lahir dari perjumpaan pribadi seseorang dengan Tuhan.. Spiritualitas adalah riak gerakan insani yang timbul karena merasakan sentuhan halus dari Yang Ilahi. Secara filosofis, spiritualitas berhubungan dengan kualitas diri. James Fowler, menjelaskan ada enam tingkatan perkembangan iman atau spiritualitas. Sementara Lawrence Kolhberg mengkaji dari perkembangan moral individu untuk pencapai kematangannya. Kedua teori ini meskipun menggunakan pendekatan psikologi, namun sangat membantu evaluasi perkembangan spiritualitas. Hasil kajian menemukan sedikitnya tujuh hal yang berkaitan dengan spiritualitas pendidikan Agama Kristen dalam perspektif teori perkemabangan kepercayaan Fowler dan teori perkembangan moral Kolhberg. Pertama, spiritualitas Kristen memperdalam relasi guru Pendidikan Agama Kristen dengan Tuhan. Kedua, spiritualitas Kristen dapat membedakan guru Pendidikan Kristen dengan guru pada umumnya. Ketiga, spiritualitas Kristen mengidentifikasi tingkat kedewasaan seorang guru Pendidikan Agama Kristen. Keempat, spiritualitas Kristen memungkinkan guru Pendidikan Agama Kristen melakukan koreksi dan perbaikan terhadap diri sendiri. Kelima, Spiritualitas Kristen memungkinkan seorang guru Pendidikan Agama Kristen mendidik melalui teladan hidup. Keenam, spiritualitas Kristen menyebabkan seorang guru Pendidikan Agama Kristen dapat membangun relasi dengan semua kalangan, bersifat inklusif. Ketujuh, spiritualitas Kristen memotivasi guru Pendidikan Agama Kristen meningkatkan kualitas diri dan kualitas pendidikan.

Kata Kunci: spiritualitas, kepercayaan, moral

Menjadi guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang ilmu pendidikan di samping kemampuan membentuk kepribaian anak didik agar menjadi manusia ideal, menyadari diri, memiliki tanggung jawab, dan memiliki tujuan hidup. Rasul Yakobus dalam tulisannya kepada orang-orang Kristen berlatarbelakang Yahudi yang ada di perantauan, mengingatkan beratnya tugas dan tanggung jawab menjadi guru “Saudara- saudaraku, janganlah banyak di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak

hal; barangsiapa yang tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalahorang sempurna, yang

(2)

101 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

kewaspadaan bahwa seorang guru dapat dengan mudah mengajarkan banyak hal dengan lidahnya, namun belum tentu guru dapat berperilaku sebagimana yang diajarkannya. Tuhan Yesus Kristus, Sang Guru Agung dalam salah satu kesempatan bersama para murid-Nya, mengatakan bahwa sebagai Guru, Ia telah memberikan “teladan” tentang bagaimana seharusnya perilaku para murid dalam korelasinya dengan sesama (lihat Yohanes 13:15). Tuhan Yesus Kristus juga mengatakan bahwa seorang murid tidak lebih dari gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.” (Lukas 6:10). Melalui pernyataan ini, Tuhan Yesus hendak mengatakan bahwa seorang guru adalah “parameter” pertumbuhan dari siswanya. Seorang guru memiliki tanggung jawab untuk mendidik siswanya agar menjadi sama seperti gurunya. Berdasar pada argumentasi tentang peran guru sebagai (transfer of knowladge) dan pendidik yang membentuk karakter dan kepribadian siswa maka terdapat dua sisi yang berbeda dalam diri seorang guru, yaitu sisi kecerdasan intelektual dan sisi kecerdasan spiritual. Kedua sisi tersebut secara bersamaan harus dimiliki dan dapat digunakan secara seimbang dalam praktik pembelajaran agar siswa benar-benar menjadi pribadi yang ideal. Tidak hanya cerdas secara intelektual namun juga memiliki kematangan spriritual.

Kajian ini hanya membahas kecerdasan spritualitas guru Pendidikan Agama Kristen dalam perspektif teori perkembangan kepercayaan Fowler dan teori perkembangan moral Kolhberg. Paradigma yang akan dibangun adalah perspektif Postmoderen. Menurut Slife dan Williams (1995) konsep dasarnya adalah dunia harus disusun dalam konteks saat ini dan dalam berbagai perspektif yang mencakup peran penting dari diskursus. Selanjutnya Bogotta dan Bogotta (1992) menyatakan bahwa perspektif ini pada hakikatnya memperlajari berbagai titik balik atau situasi problematis yang dialami oleh masyarakat (dalam Hamzah, 2019: 21) dalam hal ini adalah konteks peran guru Pendidikan Agama Kristen di era moderen yang serba dilematis, sementara harus tetap menjadi contoh yang baik bagi seluruh anak didiknya demi terwujudnya generasi yang ideal, memiliki tanggung jawab dan tujuan hidup.

SRIRITUALISTAS DAlAM TEORI FOWLER DAN TEORI KOHLBERG

Spiritual dalam pengertian filosofis, menurut Bagus (2005: 1034) memiliki empat dimensi: (1) Imaterial atau tidak jasmani, terdiri dari roh, (2) mengacu pada kemampuan - kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religious) dan nilai -nilai pikiran, (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran dan sukacita, dan (4) mengacu ke perasaan-perasaan dan emosi-emosi religious dan estetik. Dalam Webster Dictionary, spiritualitas

(3)

102 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan agama atau keadaan (menjadi spiritual). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Spirituality (is) something that ecclesiastical low belongs to the church or to cleric as such, clergy, sensitivity or attachement to religious values; the

quality or state of being spiritual. Sementara Ismail (2014: 1) menyatakan bahwa

spiritualitas adalah riak getaran hati yang halus atau citarasa yang halus tentang Yang Ilahi, yang terdapat dalam hati sanubari seseorang. Spiritualitas adalah riak gerakan insani yang timbul karena merasakan sentuhan halus dari Yang Ilahi. Spiritualitas tidak selalu terikat dengan agama tertentu tetapi bersifat universal, sebab spiritualitas adalah perasaan yang bisa timbul pada setiap orang yang menyadari dirinya sebagai makhluk yang disapa Sang Khalik. Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah kualitas dan nilai-nilai (values) yang menunjukkan kekhususan diri seseorang yang memiliki realitas yang abstrak, unseen, realitas humanis yang bernilai (values) tinggi, berhubungan dengan “rasa” keagamaan, dan realitas keindahan yang bersifat universal. Intinya, spiritualitas adalah dimensi kepercayaan yang berhubungan dengan nilai yang bersifat abstrak dan universal.

Spiritualitas ada dan tumbuh dalam diri setiap manusia. Fowler mengdentifikasi enam tahapan perkembangan sprtualitas dalam dimesi iman, Tahap pertama: Iman intuitif atua proyektif Pada tahap ini kira-kira dari usia empat sampai delapan tahun. Makna dibuat dan kepercayaan dibentuk berdasarkan intuitif dengan cara meniru. Tahap kedua, Mitis atua harfiah, pada tahap ini terjadi kira-kira antara tujuh atau delapan tahun sampai batas sebelas atau dua belas tahun. Tahap ini adalah tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Tahap ketiga, Sintesis atau konvensional; pada tahap ini biasanya mulai dari usia sebelas atau duabelas tahun ketika pengalaman seseorang diperluas melampaui kelompok sosial primer dan keluarga. Tahap ini dapat berlangsung lama hingga dewasa, dan untuk sejumlah orang tahap ini dapat berlangsung hingga masa berkeluarga secara parmanen. Tahap keempat adalah Individuatif atau reflektif; pada tahap ini biasanya dimulai sebelum usia tujuh belas atau delapan belas tahun. Bagi sebagian orang, tahap ini muncul hanya pada usia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, dan banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini. Tahap Kelima adalah Iman Konjungtif. Kegiatan iman tahap kelima jarang muncul sebelum setengah baya. Tahap Keenam, yaitu iman yang mengacu pada universalitas (dalam Geroome, 2011). Tahap-tahap perkembangan kepercayaan tersebut menurut Fowler (1982) dipengaruhi oleh aspek kepercayaan, di mana kepercayaan memiliki sifat ilmiah yang mengandung unsur empiris dalam diri manusia. Artinya, iman atau kepercayaan tidak hanya merupakan realitas rohani semata, tetapi juga terdapat

(4)

unsur-103 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8 unsur atau pengaruh pengetahuan atau logika.

Berbeda dengan Fowler, Lawrence Kholberg memandang spiritualitas dalam dimensi moral yang dibagi menjdi enam tingkat perkembangan. Tingkat 1 (prakonvensional) pada tahap ini dicirikan dengan orientasi pada kepatuhan dan hukuman dan orientasi pada minat pribadi. Tingkat 2 (konvensional), dicirikan dengan adanya orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik) dan orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (moralitas hukum dan aturan). Tingkat 3 (pascakonvensional) adalah tingkatan tertinggi yang ditandai dengan orientasi kontrak sosial dan prinsip etika universal. Tingkat 5, individu- individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Tingkat 6, penalaran moral berdasarkan pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasarkan keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.

PERSPEKTIF ALKITAB

Alkitab menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk materi yang dibuat dari tanah semata. Manusia menjadi manusia, yang sepeta dengan Allah justru karena manusia itu di’hembusi’ dengan napas Allah sehingga manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Materi adalah satu sisi, napas (nepes), roh (ruach) adalah sisi lain yang bersifat rohani, tidak terlihat, non material. Roh (spirit) inilah yang memungkinkan manusia membangun hubungan dengan Penciptanya. Roh inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Allah yang lain. Tuhan Yesus pada saat dicobai oleh Iblis, senantiasa menghadapkan Iblis pada kenyataan bahwa manusia bukan sekedar makhluk materi, tetapi manusia juga adalah makhluk rohani. Iblis menggunakan hal-hal materi atau fisik, seperti roti, melompat dari bait Allah, dunia serta segala kemewahannya. Namun Tuhan Yesus menentang Iblis dengan kenyataan realitas spiritual, yakni Firman Allah. “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah… Ada tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan Allahmu… Enyahlah, Iblis!Sebab ada tertulis: Engkau harus

menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti.” (Matius

4:1-11). Tuhan Yesus berkata kepada perempuan Samaria: “….Allah itu roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24). Pada malam Tuhan Yesus ditangkap di taman Getsemani, Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nyauntuk berdoa: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41; Markus 14:38).

(5)

104 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

perkembangan spiritualitas. Dalam Lukas 2:52, “Dan Yesus makin bertambah besar dan

bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia.” Teks ini

sederajat dengan 1 Samuel 2:26, tentang Samuel yang mengalami bertumbuhan fisik maupun kerohanian. Hal yang sama juga ditulis Injil Lukas tentang Tuhan Yesus yang pada saat itu berusia dua belas tahun. Teks lain dalam 1 Korintus 13:11, dituliskan demikian: “Ketika aku

kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat

kanak- kanak itu.” Dalam teks ini terlihat adanya perkembangan secara utuh dari berkata-

kata, rasa, dan pikiran dari tahap kanak-kanak menuju pada kedewasaan. Dengan demikian, terdapat perkembangan dalam spiritualitas seseorang. Teks lain yang membicarakan perkembangan spiritualitas atau kerohanian seseorang dijelaskan Paulus secara tersirat: “Dan aku, saudara- saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat

menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya. (1 Korintus 3:1-2). Teks

ini sejajar dengan Ibrani 5:12-13. Sehubungan dengan perselisihan yang terjadi dalam jemaat di Korintus, Paulus menyatakan bahwa jemaat tersebut belum dewasa secara rohani. Sehingga jemaat di Korintus hanya dapat menikmati ”susu” sebagai gambaran ketidakdewasaan rohani. Indikasi tentang ketidakdewasaan rohani terlihat dalam sifat-sifat duniawi yang dijelaskan Paulus.

Ismail (2014) menghubungkan teori Kolhberg dengan apa yang dijalani oleh Tuhan Yesus. Bahwa sebagai pemeluk agama Yahudi, Yesus menaati peraturan hari Sabat (Lukas 4:16). Namun pada saat peraturan Sabat itu tidak membantu, melainkan merugikan orang, maka Yesus melawan aturan tersebut (Matius 12:1-15). Pertimbangan ini menunjukkan tahap 5 dari pertimbangan moral. Pernah juga Tuhan Yesus meringkaskan seluruh kitab Taurat dan kitab para nabi dalam satu kalimat, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka (Matius 7:12). Di sini pertimbangannya adalah sikap peka dan peduli serta menghargai hak orang lain. Teori Perkembangan Iman Fowler maupun Perkembangan Moral Kholberg memperlihatkan denganjelas bahwa sekalipun iman, kerohanian atau spiritualitas manusia bersifat abstrak, namun memiliki parameter dan teridentifikasi.

(6)

105 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

Menjadi seorang guru merupakan anugerah Tuhan yang istimewa. Menjadi guru Kristen merupakan panggilan dan pengutusan Tuhan yang khusus yang disertai dengan tanggung jawab yang berat. Alkitab menjelaskan bahwa Tuhan Yesus Kristus lebih sering dipanggil dengan sebutan “guru”, sekalipun Ia adalah seorang penyembuh dan seorang pembuat mujizat. Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang kebetulan, namun ada makna khusus di balik sebutan Guru Agung tersebut. Namun, menjadi guru Kristen memiliki tanggung jawab dan konsekwensi yang berat, sebagimana yang ditulis Rasul Yakobus (3:1 -2). Seorang guru adalah seorang yang pekerjaannya lebih banyak berbicara, berkata-kata, menggunakan lidahnya. Apakah semua yang diucapkannya adalah benar? Bukan bohong atau rekayasa? Apakah yang diucapkannya sesuai fakta? Apakah yang diucapkannya dilakukannya juga? Atau?

Hocking (1980) menjelaskan tiga belas prinsip dasar dari filsafat pendidikan Kristen. Pada prinsip ketigabelas, dijelaskan tentang guru, sebagai berikut: “The Christian philosophy of education is based on Christian teachers who understand these basic principles of Christian education, who are personally commited to them, and who demonstrate

effectiveness in their ability to communicate them….The excellence of the educationalprocess

is tied inextricably to excellence of the teacher. By contrast, a truly Christian education will be subverted if the teaching is characterized as follows: 1) A teacher is not a Christian. 2) A teacher who does not understand the Christian philosophy of education. 3)A teacher who is not personally commited to these principles. 4) A teacher who performs the task only because he is paid. 6) A teacher who is not controlled by the Holy Spirit. 7) A teacher who merely imparts information”.

Filsafat pendidikan Kristen didasarkan pada guru- guru yang beragama Kristen yang memahami dan melaksanakana prinsip-prinsip dasar pendidikan Kristen. Secara pribadi (guru) tersebut harus memiliki komitmen dan mampu mendemonstrasikan kemampuan komunikasi mereka secara efektif. Sebaliknya, kegagalan suatu proses pendidikan Kristen juga terjadi karena ketidakmampuan dan karakter guru yang buruk. Penjelasan Hocking terntang guru dapay diringkas menjadi dua hal khusus sehubungan spiritualitas guru Kristen, yakni memiliki karakter yang baik dan telah mengalami kelahiran baru oleh Roh Kudus. Demikian pula Kniel (1980), menyatakan bahwa filsafat pendidikan Kristen didasarkan pada guru-guru Kristen yang memahami prinsip- prinsip dasar pendidikan Kristen, mereka adalah orang-orang yang memiliki komitmen, dan menunjukan efektifitas dalam mengajar. Tung (2016) mengutip pandangan George Knight menjelaskan persyaratan utama yang harus

(7)

106 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

dimiliki seorang guru Kristen, yaitu telah lahir baru dalam Kristus yang dapat mentransmisikan kasih anugerah Tuhan pada orang lain atau melayani orang lain dalam anugerah tersebut. Kemudian dijekaskan juga empat dimens peran dan tugas guru Agama Kristen: (1) guru Kristen adalah gembala bagi murid-muridnya, (2) guru Kristen adalah rekan sekerja Allah; artinya harus menyadari bahwa hak mengajar dan mendidik diberikan Allah sehingga ia harus bertanggung jawab kepada Allah; “guru-guru Kristen mengetahui bahwa tidak ada satu fakta pun bisa diketahui dan oleh karena itu benar-benar diajarkan kecuali ditempatkan di bawah terang penyingkapan ilahi”, (3) guru Kristen adalah guru yang berperan dalam In

Loco parentis; guru adalah rekan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, bertanggung

jawab pada orang tua atas kepercayaan yang sudah diberikan padanya, dan (4) guru Kristen adalah guru yang memegang otoritas tertinggi dalam kelas, menjadi teladan dalam kehidupan orang Kristen dalam mendidik, membina, dan membimbing anak untuk menjadi murid Kristus.

PENUTUP

Tinjauan Alkitab terhadap spitualitas Guru Pendidikan Agama Kristen dipresentasikan oleh pendapat Kniel, Thung dan Van Till yang diwujudkan melalui kelahiran baru dan menghasilkan karakter dan komitmen berkualitas terhadap pendidikan. Pendapat tersebut selaran dengan teori Fowler dan Kholberg yang mengkaji perkembangan iman dan moral. Kedua pendekatan tersebut lebih menekankan pada unsur ruhani atau kejiwaan, bukan pada tampilan fisik semata. Oleh karenanya, berdasar kajian tersebut maka disimpulkan tujuh hal pokok bagi seorang guru Pendidikan Agama Kristen, yaitu:

1. Spiritualitas Kristen memperdalam relasi guru Pendidikan Agama Kristen dengan Tuhan. Spiritualitas adalah riak getaran hati yang halus atau citarasa yang halus tentang Yang Ilahi, yang terdapat dalam hati sanubari seseorang. Spiritualitas adalah riak gerakan insani yang timbul karena merasakan sentuhan halus dari Yang Ilahi. Semakin dalam relasi dengan Tuhan, maka akan semakin tinggi spiritualitasnya. Semakin dalam memahami Tuhan, maka semakin dalam memahami diri, tanggung jawab dan peran yang harus dijalankan sebagai seorang guru.

2. Spiritualitas Kristen membedakan guru Pendidikan Agama Kristen dengan guru lainnya. Seorang guru Pendidikan Agama Kristen pada satu sisi adalah guru sebagai pengajar ilmu pengetahuan dan pendidik. Namun dimensi lain dari guru Pendidikan Agama Kristen adalah seorang gembala. Lebih dari sekedar relasi antara guru dan murid di sekolah, guru PAK memiliki tanggung jawab lain yakni sebagai orang tua di sekolah,

(8)

107 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

In loco parentis, memiliki karakter baik dan telah mengalami kelahiran baru yang

dikerjakan oleh Roh Kudus.

3. Spiritualitas Kristen mengidentifikasi tingkat kedewasaan seorang guru Pendidikan Agama Kristen. Seorang guru Pendidikan Agama Kristen harus berada pada tingkat keempat teori Fowler, yakni seseorang menjadi diri sendiri, tanggung jawab untuk melaksanakan sintesis dan membuat makna berubah dari mengandalkan otoritas konvensional ke arah tanggung jawab sendiri atas komitmen-komitmen, gaya-gaya hidup, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap. Bahkan dapat mencapai tahapan kelima dalam pertumbuhan iman, yaitu tahap seseorang tidak lagi melihat kehidupan dari satu dari dua sudut yang ada, tetapi ada kerelaan untuk hidup bersama ambiguitas-ambiguitasnya, mampu melihat suatu masalah dalam berbagai perspektif dan mampu menjadi teladan bagi sesama. Dalam teori Kolhberg guru Pendidikan Agama Kristen minimal berada Tahap Pascakonvensional, individu-individu dipandang memiliki pendapat-pendapat dan nilai- nilai yang berbeda, dan mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak, dapat memahami nilai-nilai yang berlaku secara universal.

4. Spiritualitas Kristen memungkinkan guru Pendidikan Agama Kristen melakukan koreksi dan perbaikan terhadap diri sendiri, jika kedewasaan iman dan tingkat moralitasnya tinggi karena akan melihat apa yang benar dan apa yang salah yang telah dilakukannya

5. Spiritualitas Kristen memungkinkan seorang guru Pendidikan Agama Kristen mendidik melalui teladan hidup karena spiritualitas dapat menghasilkan karakter yang baik, karakter yang baik menghasilkan tindakan baik yang dapat diteladani oleh orang lain.

6. Spiritualitas Kristen menyebabkan seorang guru Pendidikan Agama Kristen dapat membangun relasi dengan semua kalangan, bersifat inklusif, artinya tidak sebatas dalam ruang agama saja, tidak lagi memandang sesama manusia berdasarkan kepercayaan yang eksklusif, namun melihat sesama sebagai humanitas, kemanusiaan yang bersifat universal; spiritualitas mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran dan sukacita.

7. Spiritualitas Kristen memotivasi guru Pendidikan Agama Kristen meningkatkan kualitas diri dan kualitas pendidikan, berdasar pada perkembangan standar iman dari satu fase kepada fase yang berikutnya berimplikasi langsung pada peningkatan kualitas diri. Kualitas diri adalah kemampuan untuk mengenal diri dengan benar, memahami tugas dantanggung jawab hidup dengan benar, dan mengetahui tujuan dan sasaran hidup

(9)

108 | J u r n a l S T I P A K M a l a n g V o l u m e 1 N o 2 D e s e m b e r 2 0 1 8

dengan benar. Kualitas diri seorang guru Pendidikan Agama Kristen akan berdampak pada orang- orang atau peserta didik yang dididiknya.

8. Spiritualitas pada dasarnya adalah kedalaman hubungan manusia dengan Tuhan, bersifat abstark karena substansinya adalah roh yang tidak terlihat. Namun demikian, spiritualitas yang baik, yang tinggi yang sesuai dengan standar, akan memperlihatkan hasil dalam tindakan-tindakan hidup dan nyata yang didasarkan pada karakter yang telah diubah oleh Roh Kudus.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. (2005) Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Clinebel, Howard John. (2002) Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. Yogyakarta: Kanisius

Fowler, James W. (1981) Stages of Faith, The Psychology of Human Develoment and the

Quest for Meaning. San Fransisco: Harper and Row.

Groome Thomas. (2011) Christian Religious Education, Pendidikan Agama Kristen

Berbagi Cerita dan Visi, Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Hocking David. (1980) The Theological Basic For The Philosophy Of Christian School Education, dalam The Philosophy of Christian School Education (Edited by. Dr. Ismail, Andar. (2014) Selamat Berkembang, Artikel Pertimbangan Moral. Jakarta BPK Gunung Mulia.

Licona, Thomas. (2004) Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity and Other Essential Virtues, New York: Touchstone

Paul A. Kienel, USA: ACSI-CGS-CHC. Tahap Perkembangan Moral Kholberg, Wikipedia Bahasa Indonesia, https://id.m.wikipedia.org>wiki diakses pada 16 Februari 2019, Pkl. 00.30 Wib.

Tung, Khoe Yao. (2016) Terpanggil Menjadi Pendidik Kristen Berhati Gembala,

Mempersiapkan Sekolah dan Pendidik Kristen Menghadapi Tantangan Global Masa Kini, Yogyakarta: Yayasan Andi.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep rancangan alat ini terdiri dari rangkaian CCTV sebagai media untuk mendeteksi objek manusia, aplikasi machine learning sebagai software, Node js yang

Tiga variabel yang mempunyai kontribusi terbesar dalam pengaruh motif terhadap minat menggunakan Instagram adalah motif melihat-lihat (0.66), motif interaksi

sudah ditetapkan; 2) komitmen berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Dengan demikian, makin tinggi komitmen karyawan, kinerja akan semakin baik; 3) pemenuhan

Untuk mengetahui masalah dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penilaian kinerja di Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan kajian teoritis dalam psikologi lingkungan, psikologi klinis dan penelitian yang berkaitan dengan

1) Kartu jam hadir harus dibandingkan dengan kartu jam kerja sebelum kartu yang terakhir ini dipakai sebagai dasar distribusi biaya tenaga kerja langsung. Rekap

Proses utama yang pertama adalah analisis kebutuhan, yaitu proses identifikasi dan deskripsi kebutuhan, permintaan, dan kendala dalam pengembangan Pembelajaran