• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infeksi Virus Pada Saluran Nafas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Infeksi Virus Pada Saluran Nafas"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

INFEKSI VIRUS PADA SALURAN

PERNAPASAN

I. Pendahuluan

Infeksi saluran pernapasan memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan di seluruh dunia. Sebagian besar infeksi pernapasan berasal dari virus.1 Angka kejadian infeksi saluran napas akut sekitar 75-80% dari semua penyakit infeksi akut di Amerika Serikat. Dan sekitar 80%-nya disebabkan oleh virus. Insiden infeksi saluran napas ini sangat bervariasi bergantung dari umur penderita, dimana biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak, selain itu iklim juga sangat berpengaruh, dimana prevalensi meningkat pada musim dingin dan menurun pada musim panas.2 Namun, 10%-50% dari pasien yang terinfeksi virus akan berkembang menjadi infeksi bakteri sekunder.1 Pada usia yang sangat muda (bayi dan balita), orang tua dan orang dengan kondisi medis yang kronis, infeksi virus pernapasan dapat menyebabkan penyakit yang parah.1

Virus-virus yang berperan sebagai penyebab penting infeksi saluran napas akut adalah virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, adenovirus, virus sinsitial pernapasan (respiratory syncytial virus) dan virus korona pernapasan. Reovirus masih diperdebatkan apakah masuk ke dalam golongan ini atau bukan. Virus lain seperti enterovirus dan virus measles juga dapat menyebabkan gejala infeksi saluran napas.2 Di Amerika Serikat, 100.000 bayi dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk infeksi respiratory syncytial virus (RSV).1 Epidemi influenza dan infeksi RSV masing-masing berhubungan dengan 36.000 dan 11.000 kematian setiap tahunnya.1

Masa inkubasi virus-virus tersebut tergolong cukup pendek sekitar 1-4 hari dan penularannya secara langsung dari orang ke orang melalui droplet yang infektif atau transmisi tidak langsung, melalui tangan yang terkontaminasi sekret hidung atau epitel konjungtiva. Infeksi ini dapat dijumpai di seluruh belahan dunia. Virus penyebab infeksi saluran pernapasan menimbulkan gejala yang hampir serupa berupa sindrom batuk pilek, namun pada beberapa jenis seperti virus sinsitia

(2)

pernapasan dan CoV-SARS yang merupakan keluarga Coronaviridae, dapat menimbulkan gejala yang lebih berat dimana dapat menyerang saluran pernapasan bagian bawah seperti bronkiolitis dan pneumonia.2 Di negara-negara berkembang, 2 juta anak usia di bawah 5 tahun meninggal setiap tahun akibat infeksi virus pada saluran pernapasan bawah. Oleh karena itu, pemahaman yang baik dan berkelanjutan tentang peran virus dalam menyebabkan infeksi berat pada pernapasan sangat penting untuk membuat kemajuan dalam pencegahan dan tatalaksana yang sesuai.1

II. Definisi

Infeksi virus pada saluran pernafasan adalah infeksi yang menyerang salah satu atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung sampai ke alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura),3 dimana mikroorganisme penyebabnya adalah virus.

III. Asal Evolusi Virus

Asal virus tidak diketahui. Terdapat banyak perbedaan di antara virus DNA, virus RNA, dan virus-virus yang menggunakan DNA dan RNA sebagai bahan genetiknya selama tahap yang berbeda dalam siklus hidupnya. Jenis agen yang berbeda kemungkinan juga mempunyai asal yang berbeda. Dua teori mengenai asal virus dapat diringkas sebagai berikut :

(1) Virus mungkin berasal dari komponen asam nukleat DNA atau RNA sel pejamu yang mampu melakukan replikasi secara otonom dan berkembang secara bebas. Virus-virus tersebut menyerupai gen yang mendapatkan kapasitas untuk hidup secara bebas dalam sel. Beberapa sekuens viral dihubungkan dengan bagian gen-gen selular yang mengode domain fungsional protein. Beberapa virus kemungkinan berkembang dengan cara tersebut.

(2) Virus-virus mungkin merupakan bentuk degenerasi parasit intraselular. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus berkembang dari bakteri, meskipun organisme intraselular obligat lain, misal riketsia dan klamidia, kemungkinan demikian. Namun, poxvirus sangat besar dan kompleks yang mungkin merupakan produk evolusi dari beberapa sel asalnya.4

(3)

IV. Faktor Risiko

Faktor risiko umum infeksi virus pada saluran pernapasan adalah keadaan status eonomi yang rendah, faktor pejamu seperti status gizi dan lingkungan.

A. Usia

Usia pejamu adalah satu faktor dalam patogenesitas virus. Penyakit yang lebih berat sering terjadi pada neonatus. Selain maturasi respon imun seiring pertambahan usia, tampaknya terdapat juga perubahan terkait usia pada kerentanan jenis sel tertentu terhadap infeksi virus. Infeksi virus biasanya dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi mungkin mempunyai dampak utama pada waktu yang berbeda dalam kehidupan.4

B. Polusi Udara dan Paparan Asap Rokok

Polusi udara meningkatkan kejadian infesksi saluran napas dengan menurunkan kemampuan pertahanan imun spesifik dan nonspesifik. Polusi udara dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit saluran nafas dengan merusak pertahanan paru. Partikel dalam polusi udara menyebabkan penumpukan di saluran napas bawah dan akan menyebabkan kerusakan fungsi mukosiliar, meningkatkan perlekatan virus ke sel epitel, meningkatkan permeabilitas sel epitel maupun alveolus dan pada akhirnya mempengaruhi sel inflamasi di paru. Mekanisme paparan asap rokok dapat menjadi faktor risiko masih belum jelas diketahui. Nikotin dapat menekan sel Th1 (yang bertanggungjawab menghasilkan immunoglobulin) tetapi secara selektif merangsang sel Th 2 untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Sitokin ini juga menyebabkan manifestasi klinis serupa pada penyakit-penyakit atopi. Selanjutnya nikotin tidak hanya merangsang eosinofil, tetapi juga merangsang sel B merubah produksi immunoglobulin, dari Ig G menjadi Ig E. Dengan penekanan sel Th 1 akan menyebabkan pengurangan produksi Ig G. Disamping itu nikotin dapat menyebabkan kerusakan sel epitel sebagai pertahanan mekanik tubuh, yang akan menyebabkan peningkatan perlekatan pathogen pada permukaan mukosa sel.5

C. Status Ekonomi Rendah

(4)

dalam satu kamar mempunyai risiko 44% lebih besar untuk menderita pneumonia. Kepadatan penghuni rumah khususnya sekamar, dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran napas dengan meningkatkan kemungkinan terhadap infeksi silang dengan orang lain yang tinggal bersama. Virus dapat ditularkan melalui udara dalam bentuk partikel droplet, khususnya dalam rumah yang padat, dimana banyak orang yang bersin, batuk atau bahkan komunikasi biasa.5

D. Frekuensi Kontak dengan Binatang Peliharaan

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa kontak dengan binatang peliharaan juga meningkatkan risiko infeksi saluran napas dimana risiko tersebut makin tinggi jika jumlah binatang makin banyak. Beberapa binatang dapat mengalami penyakit yang dapat ditularkan kepada manusia, seperti monyet, babi, kuda, tikus, burung, kucing dan ayam. Bulu-bulu binatang tersebut yang rontok juga dapat masuk ke saluran napas sehingga menimbulkan gangguan pada saluran pernapasan.5

E. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran napas. Berat badan lahir rendah menjadi faktor risiko dengan menurunkan sistem imun bayi, dan juga terjadi gangguan fungsi paru. Sistem imun pada bayi dengan berat badan lahir rendah masih belum berfungsi dengan baik. Gangguan fungsi imun ini dapat terjadi secara sendiri ataupun merupakan bagian dari kekurangan nutrisi semasa bayi, seperti besi, zink, tembaga. Bayi berat badan lahir rendah dengan prematur memiliki fungsi paru yang terganggu. Gangguan fungsi paru ini dapat terjadi karena bronkopulmoner displasia, akibat pemakaian ventilator. Bronkopulmoner displasia ini berhubungan dengan penyempitan diameter saluran napas.5

F. Penyapihan Dini

Penyapihan dini sebelum usia 6 bulan berkaitan dengan infeksi saluran napas. Anak yang tidak mendapatkan ASI mempunyai risiko mortalitas akibat infeksi saluran napas akut 3,6 kali lebih besar daripada anak yang mendapatkan ASI. Pemberian ASI dapat menurunkan beratnya derajat penyakit hingga 50%. ASI

(5)

memiliki mekanisme anti infeksi, melalui proteksi terhadap bakteri dan anti viral seperti immunoglobulin A, laktoferin, makrofag, limfosit dan netrofil.5 G. Malnutrisi

Malnutiri terutama pada anak dapat mengalami mengalami gangguan sistem imun yang mengakibatkan anak lebih mudah terkena infeksi. Kurang energi dan protein berdampak pada mekanisme pertahanan tubuh baik sistem imun non spesifik maupun spesifik. Gangguan sistem imun yang terjadi yaitu respon imun T cell- mediated, perubahan bahkan atrofi timus dan jaringan limfoid lainnya, gangguan produksi dan fungsi limfosit T, dan gangguan reaksi hipersensitifiti. Respon imun humoral tidak banyak terpengaruh, meskipun konsentrasi immunoglobulin A pada beberapa organ termasuk saluran nafas menurun. Mekanisme lain yakni gangguan sistem komplemen dan fagositosis.5 H. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol tidak hanya menghambat batuk dan refleks epiglotis sehingga resiko aspirasi meningkat, tetapi juga mengganggu mobilisasi dan kemotaksis leukosit.6

V. Patogenesis

Secara umum proses dasar infeksi virus adalah terjadinya siklus replikatif virus (parsial atau komplet) pada sel pejamu. Patogenesis virus merupakan interaksi faktor virus dan pejamu yang menimbulkan penyakit. Virus harus masuk ke dalam pejamu, melakukan kontak dengan sel yang rentan, bereplikasi dan menimbulkan cedera sel.4 Adapun langkah-langkah patogenesis virus secara umum adalah sebagai berikut :

A. Masuknya Virus dan Replikasi Primer

Agar terjadi infeksi pada pejamu, virus mula-mula harus menempel dan memasuki sel pada saluran pernapasan. Virus biasanya bereplikasi ditempat pertama kali masuk. Virus seperti influenza menimbulkan penyakit di port d’entree dan tidak harus menyebar secara sistemik. Penyakit tersebut menyebar secara lokal pada permukaan epitel, tetapi tidak terdapat infiltrasi jaringan di bawahnya atau penyebaran di tempat yang jauh.4

(6)

B. Penyebaran Virus dan Tropisme Sel

Setelah replikasi primer di tempat masuk, virus tersebut menyebar dala pejamu. Virus cenderung memperlihatkan spesifikasi sel dan organ. Tropisme sel dan jarungan seperti ini oleh virus tertentu biasanya menunjukkan adanya reseptor permukaan sel yang spesifik untuk virus tersebut. Mekanisme lain yang menentukan tropisme jaringan melibatkan enzim proteolitik. Replikasi virus yang berulang tidak akan terjadi pada jaringan yang tidak mengekspresikan enzim pengaktif yang sesuai. Penyebaran juga dapat ditentukan sebagian oleh gen virus spesifik.4

C. Cedera Sel dan Penyakit Klinis

Destruksi sel yang terinfeksi virus pada jaringan target dan perubahan fisiologi yang terjadi pada pejamu akibat cedera jaringan sebagian menyebabkan timbulnya penyakit. Penyakit klinis dari infeksi virus merupakan akibat rangkaian kejadian yang kompleks dan banyak faktor yang menentukan derajat penyakit tidak diketahui. Gejala umum yang disebabkan oleh banyak infeksi virus seperti malaise dan anoreksia, dapat disebabkan oleh unsur respon pejamu seperti produksi sitokin. Penyakit klinis adalah indikator yang tidak sensitif pada infeksi virus; infeksi subklinis akibat virus sangat sering terjadi.4

D. Penyembuhan dari Infeksi

Pejamu dapat meninggal atau sembuh dari infeksi virus. Mekanisme penyembuhan melibatkan imunitas selular dan humoral, interferon dan sitokin lain, serta kemungkina faktor pertahanan pejamu yang lain. Kepentingan relatif masing-masing komponen berbeda dengan virus dan penyakit. Pada infeksi akut, penyembuhan disebabkan hilangnya virus. Namun, ada saatnya ketika pejamu tetap terinfeksi oleh virus.

E. Pelepasan Virus

Tahap akhir patogenesis adalah pelepasan virus infeksius ke lingkungan. Tahap tersebut merupakan langkah penting untuk mempertahankan infeksi virus pada populasi pejamu. Pelepasan biasanya terjadi dari permukaan tubuh tempat masuknya virus. Pelepasan terjadi pada stadium penyakit yang berbeda bergantung pada agen tertentu yang terlibat. Keadaan tersebut merupakan waktu seseorang yang terinfeksi bersifat infeksius.

(7)

VI. Pertahanan dan Respon Imun Pejamu A. Pertahanan Pejamu

Berikut ini adalah tabel pertahanan pejamu di paru : Pertahanan Pejamu di Paru

Lokasi Mekanisme Pertahanan Pejamu

Nasofaring Rambut hidung

Turbinatus

Perangkat mukosilia Sekresi IgA

Orofaring Air liur

Pengelupasan sel epitel Pembentukan komplemen lokal Interferensi dan flora residen

Trakea, Bronkus Batuk, reflek epiglotis

Percabangan jalan napas yang bersudut tajam

Perangkat mukosilia

Pembentukan imunoglobulin (IgG, IgM, IgA) Saluran Napas Terminal,

Alveolus

Cairan yang melapisi alveolus

(surfaktan, imunoglobulin, komplemen, fibronektin)

Sitokin (interleukin 1, faktor nekrosis tumor) Makrofag alveolus

Leukosit polimorfonukleus Imunitas selular

Tabel 1. Pertahanan Pejamu di Paru (Kepustakaan 6)

B. Respon Imun Pejamu

Mekanisme pertahanan pejamu yang tidak spesifik biansanya diperoleh segera setelah infeksi virus. Respon yang paling menonjol adalah induksi interfron. Respon imun tersebut membantu menghambat pertumbuha virus selama waktu yang diperlukan untuk menginduksi imunitas selular dan humoral spesifik. Leukosit polimorfonuklear membentuk respon imun selular utama terhadap radang akut yang disebabkan oleh bakteri piogenik, sedangkan inflamasi sel mononuklear dan limfosit menandai reaksi radang pada lesi virus yang tidak mengalami komlikasi.

Protein yang dikode virus berperan sebagai target bagi respon imun. Sel yang terinfeksi virus dapat dilisiskan oleh limfosit T sitotoksik akibat polipeptida sel pada permukaan virus dikenali. Imunitas humoral melindungi pejamu terhadap reinfeksi virus yang sama. Antibodi penetralisir yang ditujukan untuk melawan

(8)

protein kapsid menghambat inisiasi infeksi virus, kemungkinan pada tahap pelekatan atau pelepasan pembungkus luar. Antibodi IgA sekretoris penting untuk melindungi saluran pernapasan terhadap infeksi virus.

Virus telah mengembangkan berbagai cara untuk menekan atau menghindar dari respon imun pejamu sehingga dapat terhindar dari eradikasi. Virus seperti adenovirus dapat mengode protein imunomodulatoris yang menghambat fungsi MHC, dan influenza yang dapat melakukan mutasi dan mengubah tempat antigenik pada protein virion.4

VII. Etiologi dan Manifestasi Klinis

Virus yang berperan penting dan sering menyebabkan infeksi pada saluran napas adalah :

1) Rhinovirus

2) Virus korona pernapasan (CoV-SARS) 3) Virus sinsitial pernapasan (RSV) 4) Virus parainfluenza

5) Virus influenza 6) Adenovirus

Berikut ini tabel adalah sindrom dan gejala utama berdasarkan virus penyebab pada berbagai kategori usia, yaitu :

Sindrom Gejala Utama Virus Penyebab Tersering Bayi Anak-anak Dewasa

Selesma Obstruksi hidung

Discharge hidung Rino Adeno Rino Adeno Rino Korona

Faringitis Nyeri tenggorok Adeno

Herpes simplek

Adeno Coxsackie

Adeno Coxsackie Laringitis/croup Suara serang

Batuk menggonggong Parainfluenza Influenza Parainfluenza Influenza Parainfluenza Influenza

Trakeobronkitis Batuk Parainfluenza

Influenza

Parainfluenza Influenza

Parainfluenza Adeno

Bronkiolitis Batuk, dispnea RSV

Parainfluenza Jarang Jarang Pneumonia Batuk Nyeri dada RSV Influenza Influenza Adeno Influenza

(9)

A. Rhinovirus

Rhinovirus masuk ke dalam keluarga pikornaviridae. Sebelumnya, Genus Rhinovirus terdiri dari dua spesies yaitu Human Rhinovirus A (HRA) dan Human Rhinovirus B (HRB). Baru-baru ini telah ditemukan Human Rhinovirus C. Virus ini berukuran sekitar 30 nm, tidak memiliki selubung dengan struktur ikosahedral dan mengandung genom RNA untai tunggal yang bersifat positive sense yakni dapat berlaku sebagai mRNA. Berbeda dengan Pikornavirus lain seperti Enterovirus, Rhinovirus tidak tahan terhadap asam dan hampir tidak aktif sama sekali pada pH 3 atau kurang. Rhinovirus merupakan virus yang resisten terhadap eter. Kapsid Rhinovirus terdiri dari 4 jenis protein virus yaitu VP1, VP2, VP3 dan VP4. VP1, VP2 dan VP3 merupakan komponen utama dari protein kapsid. Sedang VP 4 merupakan struktur tambahan yang terletak diantara kapsid dan genom RNA. Epitope terhadap antibodi terletak pada bagian luar dari VP1-VP3. Rhinovirus hanya menginfeksi manusia dan simpanse. Pembiakan virus dapat dilakukan pada biakan fibroblas paru-paru embrio manusia (WI-38) dan dalam biakan jaringan epitelium trakea manusia dan ferret. In vitro, replikasi berlangsung optimum pada temperatur 33°C, sama seperti suhu pada nasofaring manusia. Lebih kurang 115 serotype yang dikenal dari Rhinovirus. Beberapa diantaranya bereaksi silang, misalnya pada tipe 9 dan 32.4,7,8

(10)

Patogenesis

Rhinovirus dikenal juga dengan virus selesma (common cold). Virus masuk melalui saluran pernapasan bagian atas, dan menyebabkan infeksi ringan saluran pernapasan atas. Masuknya virus melalui ikatan dengan receptor ICAM-1 (intracelluler adhesión molecule-1) yang terletak pada sel epitel saluran pernapasan. Kemudian virus bereplikasi dan menyebar, sel yang terinfeksi akan mengeluarkan sinyal yang kita kenal dengan kemokin dan sitokin yang kemudian mengaktivasi mediator inflamasi. Aktivasi dari bradikinin, menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi hidung (pilek/selesma) dan sakit tenggorokan.4,7

Gejala Klinis

Masa inkubasi singkat, 2-4 hari dan infeksi akut biasanya berlangsung 7 hari meskipun batuk tidak produktif dapat menetap selama 2-3 minggu. Rata-rata orang dewasa terserang virus ini dua kali dalam setahun. Gejala pada orang dewasa biasanya meliputi iritasi saluran napas bagian atas, pilek, sakit kepala, batuk ringan, lesu dan menggigil. Demam hanya sedikit bahkan mungkin saja tidak disertai demam. Terdapat kemerahan dan pembengkakan selaput lendir hidung dan nasofaring. Kemampuan mencium biasanya berkurang. Kadang-kadang timbul suara serak.4 Infeksi sekunder dapat menghasilkan otitis media akut, sinusitis, bronkitis atau pneumonitis, terutama pada anak-anak.1

Imunitas

Imunitas alamiah mungkin ada namun hanya berlangsung sebentar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa resistensi terhadap selesma tidak tergantung pada antibodi serum. Tetapi mungkin berhubungan dengan antibodi spesifik dalam sekresi hidung. Antibodi spesifik dalam sekresi hidung terutama IgA 11S yang dihasilkan secara lokal dalam selaput lendir. Antibodi ini tidak bertahan seperti yang ada dalam serum, dan inilah yang menerangkan paradoks reinfeksi pada orang dengan antibodi serum yang cukup.4

(11)

Epidemiologi

Infeksi Rhinovirus dapat terjadi di seluruh dunia. Di daerah beriklim sedang, serangan lebih sering pada musim gugur awal dan musim dingin, dan berkurang di akhir musim semi. Virus diduga ditularkan melalui kontak dekat, melalui droplet. Jari penderita flu biasanya terkontaminasi karena seringnya berkontak dengan virus yang dikeluarkan dari hidung. Penularan pada orang yang rentan kemudian terjadi dari tangan ke tangan atau dari tangan ke benda lalu ke tangan. Penularan melalui kontaminasi tangan lebih sering daripada melalui droplet.2,4

Pengobatan dan Pengendalian

Tidak ada pengobatan khusus untuk Rhinovirus. Penggunaan interferon-alfa intranasal mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi Rhinovirus. Namun obat ini mempunyai efek samping yang besar yaitu menyebabkan perdarahan pada hidung dan cepat menimbulkan resistensi. Pleconaril, merupakan antivirus oral yang dapat mengatasi infeksi oleh Picornavirus ini. Obat ini bekerja dengan membentuk ikatan pada daerah hidrophobik VP1 dan menstabilkan protein kapsid sehingga virus tidak dapat melepaskan genom RNA-nya ke sel target. Pada penelitian menggunakan Pleconaril, menunjukkan adanya penurunan sekresi mukus dan meredanya gejala klinis.Pada penelitian terakhir diduga antibodi monoklonal pada reseptor virus ICAM-1 dapat menghambat masuknya Rhinovirus ke dalam sel. Mencuci tangan atau menggunakan penghalang terhadap autoinokulasi dapat mengurangi penularan infeksi.2,4,9

B. Koronavirus

Koronavirus merupakan virus hewan yang masuk ke dalam keluarga Coronaviridae. Coronaviridae terdiri dari dua genus yaitu Coronavirus dan Toravirus. Koronavirus sendiri memiliki dua serotipe yang menginfeksi manusia dan 10 serotipe lainnya menginfeksi burung dan binatang mamalia lain. Kata Coronavirus berasal dari kata Crown yang berarti mahkota. Virus ini biasanya menginfeksi saluran pernapasan manusia.10

(12)

Replikasi Koronavirus

Perincian replikasi koronavirus berasal dari penelitian dengan virus hepatitis tikus, yang berhubungan erat dengan strain OC43 manusia, hal ini disebabkan koronavirus tidak tumbuh dalam biakan sel.Virus melekat pada reseptor sel sasaran melalui glikoprotein pada selubung virus (melalui E2 atau E3). Glikoprotein E2 menyebabkan penyatuan selubung virus dengan selaput sel. Setelah pelepasan selubung, kemudian terjadi sintesis polimerase RNA yang bergantung pada RNA spesifik virus yang merekam RNA komplementer. Molekul RNA genomik yang baru disintesis dalam sitoplasma berinteraksi dengan protein nukleokapsid membentuk nukleokapsid heliks. Nuleokapsid bertunas melalui selaput retikulum endoplasma kasar dan aparatus golgi pada daerah yang mengandung glikoprotein virus. Virus matang kemudian dapat dibawa dalam vesikel ke bagian tepi sel untuk keluar atau menunggu hingga sel mati untuk dilepaskan. Beberapa coronavirus lebih sering menimbulkan infeksi sel yang menetap daripada menjadi sitosidal.4,10

Patogenesis

Koronavirus cenderung sangat spesifik spesies. Hanya sedikit yang diketahui tentang patogenesis dari virus ini. Koronavirus hewan memperlihatkan tropisme terhadap sel epitel saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Koronavirus manusia biasanya hanya terbatas pada saluran napas bagian atas. Infeksi koronavirus menyebabkan bercak destruksi sel epitel bersilia dan hilangnya gerakan silia. Koronavirus manusia yang saat ini banyak diperbincangkan adalah Koronavirus SARS-CoV yang menyebabkan penyakit SARS (severe acute respiratory syndrome). SARS-CoV ini memiliki keunikan tersendiri dimana virus mampu menyebabkan infeksi saluran napas atas sampai saluran napas bawah dan disertai gastroenteritis.4,11

Gejala Klinis

Koronavirus manusia menyebabkan batuk-pilek, malaise, biasanya tidak diikuti dengan demam, pada orang dewasa. Masa inkubasi 2-5 hari, biasanya gejala berlangsung satu minggu. Saluran pernafasan bagian bawah biasanya jarang terlibat. Beberapa koronavirus hewan menyebabkan penyakit susunan saraf

(13)

pada hewan. Namun, sampai saat ini belum ada bukti keterlibatan koronavirus dalam penyakit neurologik manusia. Tahun 2003 dilaporkan adanya wabah SARS, di benua Asia. Di daerah epidemik, SARS menyebabkan lebih dari 8000 infeksi dan 10% menyebabkan kematian. Penelitian x-ray crystallography yang dilakukan pada Laboratorium Nasional Lawrence Barkleymenunjukkan pemberian vaksin yang mengandung spike protein dapat merangsang sistem imun penderita SARS.4,12

Imunitas

Sama seperti virus pernapasan lain, timbul kekebalan tetapi tidak absolut. Resistensi terhadap infeksi dapat berlangsung beberapa tahun, tetapi reinfeksi dengan strain yang serupa lazim terjadi. Reinfeksi dapat terjadi akibat sistem imun yang jelek atau adanya mutasi antigenik atau kedua-duanya. Kekebalan terhadap antigen tonjolan permukaan mungkin yang paling penting untuk perlindungan.4,10

Diagnosis Laboratorium

Isolasi koronavirus dalam biakan sangat sulit dilakukan, karena proses replikasi yang sangat jelek pada kultur sel dan kultur pada trakea embrio manusia atau sel epitel hidung. Untuk menegakkan diagnosa coronavirus dapat dilakukan pemeriksaan serodiagnosis menggunakan serum akut dan konvalesen. Untuk itu digunakan uji CF, ELISA dan hemaglutinasi.4,10

Epidemiologi

Koronavirus merupakan penyebab utama penyakit pernapasan orang dewasa selama beberapa bulan musim dingin. Antibodi terhadap koronavirus pernapasan timbul pada awal masa kanak-kanak, prevalensinya meningkat dengan umur, dan ditemukan pada lebih dari 90% orang dewasa. Diperkirakan bahwa koronavirus menyebabkan 10-30% dari semua kejadian batuk pilek. Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan dan pengobatan pilek yang disebabkan koronavirus hampir sama dengan penyakit yang disebabkan oleh rhinovirus. Cara pengendalian yang efektif untuk pengendalian SARS antara lain adalah isolasi pasien, karantina

(14)

orang-orang yang telah terpajan, pembatasan perjalanan, juga penggunaan sarung tangan, baju, kacamata, serta respirator oleh tenaga kesehatan.

C. Virus Sinsitial Pernapasan (RSV)

Virus sinsitial pernapasan (Respiratory Synsitial Virus=RSV) merupakan penyebab paling penting dari penyakit saluran napas bagian bawah pada bayi dan anak-anak. Virus ini menyebabkan sekitar separuh kasus bronkiolitis dan seperempat pneumonia pada bayi. Hal ini diperkirakan mengakibatkan sekitar 4500 kematian pertahun di Amerika Serikat.

RSV adalah anggota keluarga Paramyxoviridae, genus Pneumovirus. Virus ini memiliki selubung, berukuran sekitar 150-300 nm. Dinamakan virus sinsitial disebabkan karena replikasi virus menyebabkan fusi sel yang bersebelahan membentuk sinsitia besar berinti banyak. Genom RNA beruntai tunggal, dengan enam protein struktural. Keenam protein struktural tersebut analog dengan struktur virus influenza. Tiga protein disatukan dengan RNA virus yaitu nukleoprotein (NP atau N) yang membentuk nukleokapsid heliks, protein ini merupakan protein internal utama dan dua protein besar (disebut P dan L) yang kemungkinan terlibat dalam aktivitas polimerase virus yang berfungsi dalam transkripsi dan replikasi RNA. Tiga protein lagi ikut dalam pembentukan envelop virus, yaitu matriks protein (M) mendasari envelop virus, protein ini mempunyai afinitas terhadap NP dan glikoprotein permukaan virus serta penting dalam perakitan virus. Glikoprotein yang lebih besar (HN atau H) yang memiliki aktivitas hemaglutinin maupun neuraminidase dan merupakan penyebab perlekatan sel inang. Glikoprotein lain (F) memperantarai penyatuan selaput dan aktivitas hemolisin.4

Patogenesis

RSV ditularkan melalui tetesan berukuran besar, dengan demikian penyebaran dapat terjadi kontak dengan tangan atau permukaan yang terkontaminasi. Replikasi virus pada awalnya terjadi pada sel epitel nasofaring, kemudian virus dapat menyebar ke saluran pernapasan bagian bawah, yang kemungkinan dibawa melalui sekresi. Masa inkubasi berkisar antara 4-5 hari. Pelepasan virus dapat menetap selama 1-3 minggu. Sistem imun individu merupakan faktor penting untuk mengatasi infeksi oleh virus ini, bila seorang penderita

(15)

mengalami gangguan sistem imun maka infeksi akan menetap sampai berbulan-bulan dan dapat menyebar ke luar dari sel epitel prnapasan misalnya penyebaran ke ginjal, hati dan miokardium.4,10

Gambaran Klinis

Umumnya virus ini akan menimbulkan gejala mulai dari batuk pilek terutama pada orang dewasa, bronkitis demam pada bayi dan anak-anak, serta pneumonia bayi hingga bronkiolitis pada bayi yang lebih muda. 25-40% infeksi RSV melibatkan saluran napas bagian bawah. Selain itu virus ini merupakan penyebab penting dari otitis media.4,10

Reinfeksi lazim terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Walaupun reinfeksi dapat terjadi pada semua umur dan bersifat simptomatik, namun biasanya hanya terbatas pada saluran pernapasan bagian atas saja.2

Imunitas

Pada dua bulan pertama kehidupan bayi biasanya dia terlindung oleh antibodi maternalnya, oleh karena itu penyakit sinsitial pernapasan biasanya mulai berat pada bayi diatas 2 bulan, dimana antibodi ibu sudah menurun.

Antibodi serum dan sekretorik timbul sebagai respon terhadap infeksi virus sinsitial pernapasan. IgA sekretorik dalam sekresi hidung bertanggung jawab dalam perlindungan terhadap reinfeksi dan imunitas seluler.2

Diagnosis Laboratorium

Virus sinsitial pernapasan tidak memiliki hemaglutinin, itulah yang membedakan virus ini dengan virus paramyxovirus yang lain, oleh karena itu virus ini tidak dapat diperiksa menggunakan metode hemaglutinasi atau hemadsorpsi.

1) Isolasi dan identifikasi dari virus. Bahan pemeriksaan biasanya diambil dari usap nasofaring atau bilasan hidung. Virus sinsitial pernapasan sangat labil , sehingga harus segera diinokulasi ke dalam biakan sel. Jalur sel heteroploid HeLa dan Hep-2 manusia merupakan isolasi virus yang paling peka. Adanya virus sinsitial pernapasan biasanya dikenali dengan melihat perkembangan sel raksasa dan sinsitia dalam biakan terinokulasi.

(16)

Diperlukan waktu 10 hari untu menimbulkan efek sitopatik. Diagnosa pasti dengan mengidentifikasi antigen virus pada sel yang terinfeksi menggunakan uji immunofluoresensi atau menggunakan ELISA.4,10

2) Serologi. Antibodi serum dapat diperiksa dengan metode immunofluoresensi, ELISA, CF dan Nt.

Epidemiologi

Virus sinsitia pernapasan merupakan patogen utama pada saluran pernapasan anak-anak. Bronkiolitis atau pneumonia yang serius paling mudah terjadi pada bayi antar umur 2 bulan sampai 6 bulan. Selain dapat menimbulkan pneumonia pada anak-anak di bawah 5 tahun, virus sinsitia pernapasan juga mampu menimbulkan pneumonia pada manula dan orang-orang dengan gangguan sistem imun. Sering terjadi reinfeksi, namun gejala yang muncul biasanya ringan hanya berupa batuk pilek. Infeksi saluran pernapasan akibat virus sinsitia pernapasan biasanya meningkat pada musim dingin atau musim hujan di negara tropis. Virus sinsitia pernapasan merupakan penyebab infeksi nosokomial di bangsal pediatri rumah sakit atau di tempat-tempat penitipan anak. Penularan biasanya melalui tangan petugas medis yang terkontaminasi dengan virus ini.2,4

Pengobatan

Pengobatan pada infeksi yang serius terutama bergantung pada perawatan suportif. Pemberian ribavirin aerosol selama 3-6 hari dapat mengurangi simptom. Pemberian globulin imun dengan titer antibodi yang tinggi terhadap virus sinsitia pernapasan pernah dilaporkan bermanfaat dalam rangka mencegah infeksi yang serius pada bayi dan anak.4

D. Virus Parainfluenza

Virus Parainfluenza merupakan penyebab sepertiga dari keseluruhan kasus infeksi saluran pernapasan dan setengah dari kasus infeksi saluran pernapasan pada usia pra-sekolah dan bayi.10

HPIV terdiri dari 4 serotipe yaitu HPIV 1,2,3 dan 4. HPIV-1 dan HPIV-2 biasanya berhubungan dengan laringotrakeobronkitis, dimana anak laki-laki

(17)

lebih sering terserang dibanding anak perempuan. HPIV-3 merupakan penyebab infeksi saluran pernapasan bagian bawah, bronkiolitis dan pneumonia. HPIV-4 menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan. Saat ini HPIV dibagi dua genus yaitu genus respirovirus (HPIV-1 dan HPIV-2) dan genus Rubulavirus (HPIV-2 dan HPIV-4).13

Morfologi

Virus ini masuk ke dalam kelompok Paramyxovirus. Morfologinya menyerupai virus influenza, namun kelompok Paramyxovirus lebih besar dan lebih pleomorfik. Virus ini memiliki envelop, namun envelopnya tampak rapuh, sehingga partikel virus ini labil terhadap penyimpanan dan sering mengalami kerusakan dalam mikrograf elektron.4

HPIV memiliki genom yang tidak bersegmen, mengandung RNA untai tunggal, negative-sense dan mirip dengan virus influenza, yang mengandung neuraminidase dan hemaglutinin pada selubungnya. Cara penularannya mirip dengan virus influenza.2

HPIV dapat dibedakan dengan virus Influenza dalam hal sintesis RNA, dimana pada HPIV sintesis RNA terjadi di sitoplasma. Antigen dari keempat serotipe HPIV relatif stabil dan tidak terjadi pertukaran dan tumpang tindih antar antigen tersebut. Keempat serotipe dapat dibedakan secara jelas.2

Patogenesis

Penularan HPIV secara langsung melalui kontak orang ke orang atau droplet. Viremia jarang terjadi. Replikasi hanya terbatas pada epitel saluran nafas. Infeksi hanya mengenai hidung dan tenggorokan, menyebabkan sindroma batuk pilek yang tidak begitu berbahaya. Namun infeksi dapat meluas ke laring dan trakea menyebabkan laringotrakeobronkitis, khususnya infeksi yang disebabkan oleh HPIV-1 dan HPIV-2. Pada HPIV-3, infeksi dapat menjalar lebih dalam ke trakea dan bronkus yang lebih rendah dan akhirnya dapat menimbulkan pneumonia atau bronkiolitis atau keduanya.4

Faktor yang menentukan berat ringannya infeksi HPIV tidak jelas tetapi meliputi sifat virus maupun inang, seperti kerentanan protein terhadap

(18)

pembelahan oleh berbagai protease, dihasilkannya protease yang sesuai oleh sel inang, status imun penderita dan hiperaktivitas saluran pernafasan.4

Infeksi primer cenderung lebih berat dan lazimnya terjadi dalam 5 tahun pertama kehidupan. Sering terjadi reinfeksi, namun gejala infeksi saluran nafas yang ringan, biasanya non-demam. Antibodi dari infeksi sebelumnya tidak memberikan perlindungan absolut terhadap reinfeksi namun berpengaruh dalam perjalanan penyakit.4

Manifestasi Klinis

Onset penyakit ini biasanya berlangsung cepat dimana terjadi batuk yang spasmodik, namun berlangsung ringan. Masa inkubasinya bervariasi antara 4-21 hari, namun yang tersering 7-10 hari.2

Infeksi primer pada anak-anak biasanya menimbulkan rinitis dan faringitis, seringkali disertai dengan demam dan sedikit bronkitis. Namun anak-anak dengan infeksi primer yang disebabkan oleh HPIV-1, HPIV-2 atau HPIV-3 dapat mengalami sakit berat, berkisar dari laringotrakeobronkitis dan batuk pilek (terutama pada tipe 1 dan 2) hingga bronkiolitis dan pneumonia (terutama pada tipe 3). Penyakit berat yang berkaitan dengan tipe 3 terutama terjadi pada bayi di bawah umur 6 bulan, batuk pilek atau laringotrakeobronkitis lebih mungkin terjadi pada anak-anak yang lebih tua. Sedang HPIV-4 tidak menyebabkan penyakit yang serius, bahkan pada infeksi pertama.4

Imunitas

Sebenarnya semua bayi memiliki antibodi maternal dalam serumnya, namun antibodi ini tidak mampu mencegah infeksi atau penyakit. Reinfeksi pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa juga dapat terjadi walaupun antibodi sudah timbul dari infeksi sebelumnya. Infeksi alamiah merangsang timbulnya antibodi IgA dalam sekresi nasal dan sekaligus resistensi terhadap reinfeksi. Namun sayang antibodi ini biasanya hilang dalam beberapa bulan, dengan demikian reinfeksi akan terus terjadi pada orang dewasa sekalipun.4

(19)

Diagnosis Laboratorium

Akibat seringnya terjadi infeksi yang berulang, menimbulkan respon yang heterotipik. Hal ini menyebabkan diagnosis spesifik melalui pengujian serologik menjadi sangat sukar. Diagnosa definitif biasanya mengandalkan isolasi virus dari bahan yang sesuai.4

1) Isolasi dan identifikasi virus. Usap tenggorokan dan hidung serta bilasan hidung merupakan bahan yang baik untuk isolasi virus. Sel ginjal manusia dan kera merupakan sel yang peka untuk isolasi HPIV. Identifikasi langsung antigen virus dapat menggunakan imunofluoresensi atau ELISA dengan mendeteksi sel-sel nasofaring. Namun metode ini kurang sensitif, walaupun metode ini cepat.

2) Serologi. Serodiagnosis harus didasarkan pada serum yang berpasangan. Respon antibodi dapat diukur dengan menggunakan uji Nt, HI, ELISA atau CF. Peningkatan titer sampai empat kali merupakan tanda adanya infeksi dengan HPIV.

Epidemiologi

HPIV tersebar luas secara geografik. Virus yang paling prevalen adalah tipe 3. Diperkirakan separuh dari semua anak di dunia mendapat infeksi ini selama tahun pertama kehidupannya, 95% mempunyai antibodi terhadap tipe 3 pada umur 6 tahun.4

Pengobatan dan Pencegahan

Sebenarnya tidak ada metode pencegahan dan pengobatan yang spesifik terhadap infeksi virus ini. Namun penggunaan antivirus ribavirin memberikan manfaat bila diberikan melalui aerosol partikel kecil. Vaksin virus mati secara in vitro dapat menginduksi antibodi serum tetapi tidak melindungi terhadap infeksi.2,4

E. Virus Influenza

(20)

morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh penyakit pernafasan dan wabah infeksi kadang-kadang terjadi epidemi di seluruh dunia. Ada tiga tipe imunologik dari virus influenza yaitu tipe A, B dan C. Influenza tipe A secara antigenik sangat bervariasi dan merupakan penyebab dari sebagian besar kasus epidemi influenza. Perubahan antigenik terus menerus terjadi dalam kelompok tipe A dari virus influenza. Influenza tipe B juga memperlihatkan perubahan-perubahan antigenik dan kadang-kadang menyebabkan epidemi. Sedang virus influenza tipe C bersifat stabil dan hanya menyebabkan penyakit ringan. Strain influenza A juga dikenal pada babi, kuda dan burung. Beberapa strain yang diisolasi dari hewan secara antigenic serupa dengan strain yang beredar pada populasi manusia.4

Gambar 2. Virus influenza (Kepustakaan 14)

Struktur

Partikel virus biasanya bulat dengan diameter 100 nm. Genom RNA beruntai tunggal, pada virus influenza tipe A dan B terdiri dari delapan segmen terpisah. Sebagian besar dari segmen merupakan sandi untuk protein tunggal. Partikel virus mengandung tujuh protein struktural yang berbeda. Tiga protein besar (PB1, PB2, PA) terikat pada RNA virus dan merupakan penyebab dari transkripsi dan replikasi RNA. Nukleoprotein berkaitan dengan RNA virus membentuk struktur berdiameter 9 nm yang mengambil bentuk heliks. Protein matriks (M) yang membentuk suatu lapisan di bawah selubung lipid virus, penting dalam morfogenesis partikel dan merupakan komponen utama dari

(21)

virion. Selubung lipid mengandung protein hemaglutinin virus (HA) dan neuraminidase (NA), yang merupakan antigen penting yang menentukan variasi genetik dari virus.

Replikasi

1) Perlekatan, Penetrasi dan Pelepasan Selubung Virus

Virus melekat pada asam sialat permukaan sel melalui tempat reseptor yang terletak pada puncak globulus besar dari HA. Influenza C melekat pada reseptor yang berbeda dengan Influenza A dan B. Partikel virus kemudian diinternalisasi di dalamendosom. Lalu terjadi peleburan antara envelop virus dengan selaput sel, dan mengakibatkan pelepasan envelop. Ujung amino HA2, dibangkitkan oleh pembelahan proteolitik polipeptida HA prekursor, yang merupakan hal penting untuk langkah ini. Kemudian nukleokapsid virus dilepaskan ke dalam sitoplasma sel.

2) Transkripsi dan Translasi

Mekanisme transkripsi ortomiksovirus sangat berbeda dari transkripsi virus RNA lain, dimana fungsi seluler terlibat secara lebih erat. Transkripsi terjadi di dalam inti. Polimerase-tersandi virus yang mengandung suatu kompleks protein tiga P, merupakan penyebab primer terjadinya transkripsi. Namun, kerjanya harus dilengkapi oleh ujung 5’ termetilasi dan ujung berpenutup yang termakan dari transkrip seluler yang baru disintesis melalui polimerase RNA II seluler.

Enam dari segmen genomik menghasilkan mRNA monosistronik yang diterjemahkan dalam sitoplasma menjadi enam protein virus. Dua transkrip lainnya mengalami penyambungan, masing-masing menghasilkan dua mRNA yang diterjemahkan dalam kerangka pembacaan yang berbeda. Glikoprotein HA dan NA, disintesis dan dimodifikasi dengan menggunakan lintasan sekretorik

3) Replikasi RNA virus

Langkah pertama replikasi genom adalah memproduksi salinan lengkap untai-positif dari masing-masing segmen. Salinan antigenom ini berbeda dari mRNAs pada kedua ujung; ujung 5’ tidak berpenutup dan ujung 3’

(22)

untuk sintesis salinan sebenarnya untuk RNAs genomik. 4) Maturasi

Virus menjadi matang melalui pertunasan dari permukaan puncak sel. Komponen virus tersendiri tiba pada tempat pertunasan dengan jalur yang berbeda. Nukleokapsid terpasang dalam inti dan bergerak ke luar ke permukaan sel. Glikoprotein, HA dan NA, disintesis dalam retikulum endoplasmik, dimodifikasi dan dirangkai menjadi trimer dan tetramer , dan disisipkan ke dalam selaput plasma. Protein matriks yang disintesis dalam sitoplasma, bertinda sebagai jembatan, menghubungkan nukleokapsid dengan ujung sitoplasmik dari glikoprotein. Virion keturunan bertunas ke luar dari sel. Selama rangkaian peristiwa ini, HA dibelah menjadi HA1 dan HA2 jika sel inang memiliki enzim proteolitik ekstraseluler yang sesuai. NA mengangkat asam sialat ujung dari glikoprotein permukaan seluler dan virus, dengan demikian mempermudah pelepasan partikel virus dari sel dan mencegah agregrasi, sehingga masing-masing bertindak sebagai penular terpisah. Siklus pembelahan virus berlangsung dengan cepat. Keturunan virus baru dihasilkan dalam 8-10 jam.4

Patogenesis

Penyebaran virus influenza dari orang ke orang melalui tetesan yang mengudara atau melalui kontak dengan tangan atau permukaan yang terkontaminasi. Beberapa sel epitel pernapasan akan terinfeksi jika partikel virus yang masuk terhindar dari pengeluaran melalui refleks batuk dan lolos dari netralisasi oleh antibodi IgA spesifik yag sudah ada sebelumnya atau inaktivasi oleh inhibitor nonspesifik dalam sekresi mukosa. Virion progeni dihasilkan dengan segera dan tersebar ke sel-sel yang berdekatan , dimana siklus replikatif diulangi. NA virus menurunkan viskositas cairan mukosa dalam saluran pernapasan, membuka reseptor permukaan seluler dan memudahkan penyebaran cairan yang mengandung virus ke saluran napas bagian bawah.

Masa inkubasi oleh virus influenza bervariasi, sekitar 1-4 hari, bergantung dari imunitas inang dan ukuran dosis virus. Pelepasan virus dimulai sehari sebelum gejala muncul dan memuncak dalam 24 jam, tetap meningkat selama 1-2 hari, kemudian menurun dengan cepat. Interferon dapat dideteksi dalam sekresi

(23)

pernapasan sekitar 1 hari setelah pelepasan virus dimulai. Virus influenza peka terhadap efek antivirus dari interferon, dan diduga respon interferon mendukung pemulihan inang dari infeksi.

Klasifikasi

1. Avian Influenza a. Gejala Klinis

Gejala infeksi biasanya timbul mendadak, berupa menggigil, sakit kepala, batuk kering, yang diikuti demam tinggi, nyeri otot menyeluruh, malaise dan anoreksia. Gejala pernafasan secara khas dapat berlangsung selama 3-4 hari. Namun dapat pula terjadi gejala ringan atau asimptomatik. Gejala klinis pada anak sama seperti orang dewasa, pada anak biasanya demam lebih tinggi dan gejala gastrointestinal menonjol. Virus influenza dapat menimbulkan komplikasi berupa pneumonia, terutama pada pasien usia lanjut dan lemah, khususnya penderita kardiopulmoner dan penyakit kronik lain. Pneumonia ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri sekunder atau kedua-duanya. Peningkatan sekresi mukosa membantu membawa kuman masuk ke dalam saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi influenza meningkatkan kerentanan penderita terhadap infeksi sekunder. Hal ini disebabkan karena hilangnya muosiliar di sepanjang saluran napas, gangguan fungsi sel-sel fagosit dan tersedianya medium pertumbuhan bakteri yang kaya eksudat alveolar. Bakteri patogen yang sering menyertai virus influenza adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenzae. Sindrom Reye merupakan komplikasi lain yang disebabkan oleh infeksi virus influenza terutama tipe B. Sindrom Reye merupakan ensefalopati akut pada anak-anak dan remaja, biasanya yang terkena berumur sekitar 2-16 tahun. Diduga sindrom ini ada hubungannya dengan penggunaan aspirin dalam mengatasi influenza pada anak.

b. Diagnosis

DEPKES tahun 2007 mengeluarkan petunjuk untuk definisi kasus avian influenza, yaitu :

(24)

1) Penderita dalam Penyelidikan

Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 38°C) dan satu atau lebih tanda berikut :

 Batuk

 Nyeri tenggorokan  Sesak napas

Dimana pengawasan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium masih sedang dikerjakan.15

2) Kasus Suspek

Seseorang yang menderita demam dengan suhu ≥ 38°C disertai satu atau lebih gejala yaitu batuk sakit tenggorokan, pilek dan/atau sesak napas. Selain itu juga

disertai salah satu atau lebih keadaan di bawah ini:

 Dalam 7 hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, mempunyai riwayat kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirmasi) seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dalam jarak < 1 meter

 Dalam 7 hari , mempunyai riwayat kontak erat dengan unggas (misalnya menyembelih, menangani, membersihkan bulu atau memasak)

 Dalam 7 hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, mempunyai riwayat kontak dengan unggas, bangkai unggas, kotoran unggas, bahan atau produk mentah lainnya di daerah yang satu bulan terakhir telah terjangkit flu burung pada unggas, atau adanya kasus pada manusia (suspek, probabel atau konfirmasi)

 Dalam 7 hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, mempunyai riwayat mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna, yang berasal dari daerah yang satu bulan terakhir telah terjangkit flu burung pada unggas, atau adanya kasus pada manusia (suspek, probabel atau konfirmasi)  Dalam 7 hari terakhir sebelum muncul gejala klinis kontak erat

(25)

dengan binatang selain unggas yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1, antara lain : babi atau kucing

 Dalam 7 hari terakhir sebelum muncul gejala klinis memegang atau menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1

 ditemukan leukopenia (jumlah leukosit/sel darah putih dibawah nilai normal)

 ditemukan titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji H1 menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA untuk influenza A tanpa subtipe

 foto rontgen dada/toraks menggambarkan penumonia yang cepat memburuk pada serial foto

3) Kasus Probable Avian Influenza

Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini:

 Ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali dengan pemeriksaan uji KI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA.

 Hasil laboratoirum terbatas untuk influenza H5 ( terdeteksinya antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi (dikirim ke laboratorium rujukan) ATAU Seseorang yang meninggal karena penyakit saluran nafas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya, dan secara epidemiologis menurut waktu, tempat dan pajanan berhubungan dengan kasus probabel atau kasus konfirmasi

4) Kasus Confirmed Avian Influenza

Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau kasus probabel dan sisertai hasil positif salah satu hasil pemeriksaan laboratorium berikut:

 Isolasi virus influenza A/H5N1 positif  PCR Influenza A/ H5N1 positif

(26)

 peningkatan 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari specimen konvaselen dibandingkan dengan specimen akut (diambil 7 hari setelah muncul gejala penyakit), dan titer antibodi neteralisasi konvalesen harus pula 1/80.

 titer antibodi mikronetralisasi H5N1 1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke- 14 atau lebih setelah muncul gejala penyakit (onset), disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda 1/160 atau western blot spesifik H5 positif.

2. Swine Influenza a. Gejala Klinis

Setelah masa inkubasi 1-5 hari, onset penyakit berlangsung cepat dan menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis dibagi menjadi gejala spesifik dan nonspesifik, berdasarkan CDC (2009) gejala tersering yang dilaporkan adalah : batuk (98%), panas badan (96%), lemah badan (89%), nyeri kepala (82%), nyeri telan (82%), pilek (82%), kedinginan (80%), diare (48%), sesak (48%), nyeri sendi (46%). Semua gejala diatas dikenal dengan ILI (influenza Like Illness) yaitu demam > 39.8°C satu atau lebih gejala batuk, nyeri telan, tanpa ditemukan penyebab lain selain influenza.15

Berdasarkan derajat, WHO secara klinis membagi menjadi : 1) Kriteria ringan (rawat jalan dengan pengawasan)

 Tanpa gejala atau gejala minimal  Demam tanpa sesak

 Tidak didapatkan pneumonia  Tidak didapatkan komorbid  Usia muda

2) Kriteria sedang (rawat di ruang isolasi)  Ada faktor komorbid

 Sesak napas  Pneumonia

(27)

 Usia tua  Hamil

 Keluhan lain yang mengganggu : diare, muntah, tidak dapat makan dan minum

3) Kriteria berat (rawat di ICU)  Pneumonia yang luas  Gagal napas  Sepsis  Syok  Kesadaran menurun  ARDS  MODS b. Diagnosis Definisi kasus15

1) Kasus dugaan (suspek) : seseorang dengan gejala ILI disertai riwayat :

 Kontak dengan kasus konfirmasi influenza A baru H1N1 2009, 7 hari sebelum masuk rumah sakit

 Berkunjung ke daerah yang terdapat satu atau lebih kasus konfirmasi virus influenza A baru H1N12009, 7 hari sebelum masuk rumah sakit

 Bertempat tinggal di daerah 1 atau lebih kasus konfirmasi

2) Kasus Probable : seseorang dengan gejala dugaan (suspek) dari hasil pemeriksaan laboratorium positif influenza A virus tetapi, tidak dapat mendeteksi subtipenya atau seseorang dengan gejala klinis sesuai dengan ILI yang meninggal oleh karena gagal napas akut yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berhubungan secara epidemiologi dengan kasus probable atau konfirmasi.

3) Kasus pasti (Konfirmasi) : seseorang dari hasil pemeriksaan laboratorium dipastikan terinfeksi oleh virus influenza A baru H1N1 2009, melalui satu atau lebih pemeriksaan :

(28)

 Real time (RT) PCR  Kultur virus

 Peningkatan 4 kali antibodi spesifik virus influenza A baru H1N1 dengan tes netralisasi

Imunitas

Antibodi terhadap HA dan NA penting dalam imunitas terhadap influenza, sementara antibodi terhadap protein tersandi-virus tidak bersifat melindungi. Resistensi terhadap infeksi awal berhubungan dengan antibodi terhadap HA, sementara penurunan beratnya penyakit dan penurunan kemampuan penularan virus berhubungan dengan antibodi yang ditujukan terhadap NA. Antibodi terhadap ribonukleoprotein adalah spesifik untuk menentukan tipe isolat virus. Perlindungan berkaitan dengan antibodi serum dan antibodi IgA sekretorik dalam sekret nasal. Antibodi sekretorik berperanan penting dalam mencegah infeksi. Antibodi juga memperngaruhi perjalanan penyakit. Tiga tipe virus influenza secara antigenik tidak berhubungan, oleh karena itu tidak menimbulkan perlindungan silang.4

Diagnosis Laboratorium

1) Isolasi dan Identifikasi virus. Yang terbaik sebagai bahan pemeriksaan adalah bilasan hidung dan usapan tenggorokan, yang didapat dalam 3 hari sejak timbulnya gejala. Sampel harus dipertahankan pada suhu 4°C hingga inokulasi ke dalam biakan sel. Metode isolasi pilihan menggunakan telur yang diembrionasi dan sel ginjal monyet primer. Baru-baru ini dipilih ginjal caninus (MDCK) atau ginjal kera rhesus (LLC-MK-2). Biakan sel diinokulasi, diinkubasi tanpa adanya serum dan ditambahkan tripsin yang mampu mengaktifkan HA sehingga virus bereplikasi ke seluruh biakan. Setelah 7 hari, cairan biakan diperiksa terhadap virus melalui hemaglutinasi. Jika hasilnya negatif, maka dilakukan penanaman ke dalam media segar. Isolat virus diidentifikasi melalui penghambatan hemaglutinasi, CF dan uji imunofluoresensi menggunakan antisera spesifik untuk protein NP atau M. 2) Serologi. Uji serodiagnosis rutin yang digunakan saat ini didasari pada

(29)

ELISA dan RIA antigen yang dimurnikan semakin mudah didapat. Epidemiologi

Insiden influenza memuncak selama musim dingin. Wabah yang paling luas dan berat disebabkan oleh virus influenza tipe A. Influenza tipe B menyebabkan wabah yang biasanya kurang meluas. Influenza tipe C jarang dihubungkan dengan penyakit pada manusia, meskipun prevalensi antibodi serum terhadap tipe C tersebar luas.

Pencegahan dan Pengobatan

Amantadin hidrokhlorida dan salah satu analognya, rimantadin, merupakan obat antivirus untuk penggunaan sistemik dalam mencegah influenza A, obat ini menghalangi pelepasan selubung virus infuenza A dalam sel inang dan mencegah replikasi virus. Namun, obat ini tidak efektif untuk influenza B dan C. Obat ini juga tidak efektif untuk melindungi kontak rumah tangga dari influenza dan timbulnya mutan virus yang resisten obat dan menyebar. Amantadin dapat mempengaruhi keparahan influenza A jika dimulai pemberiannya dalam waktu 24-48 jam setelah timbulnya penyakit.

Penggunaan aspirin dapat meredakan gejala sakit kepala, myalgia dan demam pada sindrom influenza. Namun tidak boleh diberikan pada anak di bawah usia 16 tahun karena berhubungan dengan timbulnya sindrom Reye.

Vaksin virus yang diinaktivasi merupakan cara primer pencegahan influenza di Amerika Serikat. Namun karakteristik tertentu dari virus influenza, menyulitkan pencegahan dan pengendalian penyakit melalui imunisasi.4

F. Adenovirus

Infeksi adenovirus biasanya bersifat subklinik, dan virus dapat menetap berbulan-bulan dalam tubuh manusia. Adenovirus dapat bereplikasi dan menyebabkan penyakit pada mata, saluran pernapasan, saluran pencernaan dan saluran kemih.4

Struktur dan komposisi

Adenovirus berdiameter 70-90 nm dan memperlihatkan simetri ikosahedral. Kapsid terdiri atas 252 kapsomer. Adenovirus tidak mempunyai selubung dan mengandung DNA 13% dan protein 87%. Adenovirus memiliki keunikan

(30)

karena memiliki struktur yang disebut “serabut”, yang mencuat dari ke 12 puncak, atau dasar pentona. Kapsid lainnya terdiri atas 240 kapsomer heksona. Heksona, pentona dan “serabut” merupakan antigen-antigen adenovirus yang penting dalam klasifikasi virus dan diagnosis penyakit.

Genom virus berupa DNA beruntai ganda. Kandungan guanine plus sitosin digunakan sebagai salah satu kriteria dalam pengelompokan isolat yang berasal dari manusia. Adenovirus dapat dibagi menjadi 7 kelompok berdasarkan homologi genom. DNA memadat di dalam inti virion dalam susunan yang menyerupai 12 bola besar yang saling berdesakan. Suatu protein yang disandikan oleh virus, yaitu polipeptida VII, berperan dalam membentuk struktur inti.

Terdapat tiga protein struktural yang diproduksi dalam jumlah besar, yang merupakan ”antigen terlarut” yang disebut alfa, beta dan gama. Heksona yang membentuk sebagian besar kapsomer mempunyai kelompok antigen reaktif alfa. Kelompok antigen reaktif beta diwakili oleh basa pentona. Sedang serabut gama yang merupakan antigen tipe khusus, penting dalam menentukan serotipe.

Klasifikasi

Adenovirus dibagi dalam dua genus yaitu adenovirus yang menginfeksi manusia (mastadenovirus) dan adenovirus yang menginfeksi burung (aviadenovirus). Semua adenovirus mamalia memiliki antigen serupa yang dapat dideteksi dengan fiksasi komplemen. Sedikitnya terdapat 41 tipe antigenik yang telah diisolasi dari manusia.

Adenovirus manusia dibagi dalam enam kelompok (A-F) berdasarkan sifat fisika, kimia, dan biologi. Virus dalam kelompok yang sama cenderung mempunyai penyebaran epidemiologi dan hubungan penyakit yang sama. Sesungguhnya nama adenovirus mencerminkan ditemukannya isolat pertama virus ini pada adenoid manusia.

Pengaruh virus terhadap sel

Adenovirus bersifat sitopatik terhadap biakan sel manusia, terutama biakan primer ginjal dan biakan sel epitel. Efek sitopatik meliputi pembulatan, pembesaran, dan agregasi sel yang terinfeksi membentuk rangkaian seperti

(31)

anggur. Pada sel yang terinfeksi Adenovirus, terlihat badan inklusi bulat yang mengandung DNA. Badan inklusi ini tidak membentuk sel raksasa sinsitia atau inti ganda seperti pada sitomegalovirus. Partikel virus di dalam inti sel sering terlihat menyerupai kristal. Pada setiap sel yang terinfeksi, dihasilkan sekitar 7000 partikel virus. Sebagian besar partikel ini tetap berada di dalam sel setelah siklus berakhir dan sel mejadi mati.

Patogenesis

Adenovirus menginfeksi sel-sel epitel faring, selaput mata, usus kecil, dan kadang-kadang sistem organ lain. Biasanya penyebaran virus tidak sampai ke daerah getah bening. Virus kelompok C menetap sebagai infeksi laten pada kelenjar adenoid dan tonsil selama bertahun-tahun dan dikeluarkan melalui tinja selama berbulan-bulan sejak dimulainya infeksi. Sebagian besar Adenovirus manusia tumbuh pada epitel usus setelah tertelan, dan biasanya menghasilkan infeksi subklinik daripada gejala atau lesi.

Gambaran klinis

Adenovirus 1-7 merupakan tipe yang umum ditemukan di seluruh dunia dan berperan pada sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan Adenovirus. a. Penyakit pernapasan

Infeksi Adenovirus akan menimbulkan gejala berupa batuk keluar cairan hidung, sakit kepala, dan koriza. Dapat juga diikuti gejala sistemik seperti demam, rasa dingin, lemah dan mialgia. Empat sindrom yang dikaitkan dengan Adenovirus adalah :

1) Demam faringitis akut. Terutama mengenai anak-anak. Infeksi ini berkaitan dengan virus kelompok C. Gejala berupa batuk, hidung tersumbat, demam dan sakit tenggorokan.

2) Demam faringokonjungtiva. Gejala sama seperti demam faringitis akut disertai perradangan pada konjungtiva (konjungtivitis). Biasanya disebabkan oleh virus keompok B, terutama tipe 3, 7 dan 14.

3) Penyakit pernapasan akut. Sindrom ini ditandai dengan radang faring, demam, batuk dan rasa lemah. Infeksi ini disebabkan oleh tipe 4 dan 7, kadang-kadang tipe 3.

(32)

4) Pneumonia. Pneumonia pada Adenovirus merupakan komplikasi dari penyakit pernapasan akut pada calon tentara. Biasanya disebabkan oleh virus tipe 3 dan 7.

b. Infeksi pada mata

Penyakit mata ringan merupakan salah satu sindrom faringitis pernapasan yang disebabkan Adenovirus. Biasanya terjadi penyembuhan sempurna. Konjungtivitis kolam renang dapat disebabkan oleh Adenovirus kelompok B, khususnya tipe 3 dan 7. Penyakit yang lebih berbahaya adalah keratokonjungtivitis epidemik. Penyakit ini sangat menular dan ditandai oleh konjungtivitis akut, pembesaran nodus preaurikular, diikuti keratitis yang menimbulkan kabut subepitel berbentuk bundar pada kornea selama lebih dari 2 tahun. Penyakit ini disebabkan oleh Adenovirus tipe 8,19 dan 37. c. Penyakit saluran pencernaan

Adenovirus banyak bereplikasi di dalam sel usus dan dapat ditemukan pada tinja. Dua serotipe baru ditemukan sebagi penyebab gastroenteritis pada anak-anak (tipe 40 dan 41). Adenovirus enterik ini ditemukan pada tinja diare.

d. Penyakit lain

Adenovirus tipe 11 dan 21 penyebab sistitis hemoragik akut pada anak-anak, virus biasanya terdapat pada urin penderita. Tipe 37 terdapat pada lesi servik dan uretritis pada pria dan dapat ditularkan secara seksual. Anak-anak yang menerima pencangkokan hati dapat menderita Adenovirus pada alografnya. Pada penelitian yang melibatkan 262 penerima cangkok pada anak-anak, 22 orang terinfeksi Adenovirus, 5 diantaranya merupakan Adenovirus hepatitis (tipe 5). Dua orang meninggal akibat kegagalan fungsi hati. Penderita dengan AIDS mungkin menderita infeksi Adenovirus tipe 35.

Imunitas

Adenovirus menginduksi secara efektif imunitas jangka panjang terhadap infeksi ulangan. Hal ini mungkin menggambarkan kenyataan bahwa Adenovirus juga menginfeksi kelenjar getah bening regional dan sel-sel limfoid pada saluran pencernaan. Resistensi terhadap penyakit klinis tampaknya berhubungan langsung dengan adanya antibodi netralisasi yang beredar. Walaupun antibodi

(33)

netralisasi khusus-tipe dapat memberikan perlindungan terhadap gejala penyakit, namun antibodi ini tidak selalu dapat mencegah reinfeksi.4

Antibodi maternal biasanya memberikan perlindungan pada bayi terhadap infeksi Adenovirus. Antibodi netralisasi terhadap satu tipe atau lebih telah dideteksi pada lebih dari 50% bayi berumur 6-11 bulan. Antibodi netralisasi untuk tipe 1,2, dan 5 terdapat pada 40-60% individu berumur 6-15 tahun.

Diagnosa laboratorium

Virus dapat diperoleh dari tinja, urine, usapan tenggorok, konjungtiva dan usapan rektum. Biakan primer sel ginjal embrio manusia merupakan sel yang paling peka, tetapi biasanya sukar diperoleh. Adanya sel-sel yang membengkak membulat dan berkelompok menunjukkan adanya Adenovirus pada biakan yang dinokulasi. Adenovirus meningkatkan glikolisis sel, sehingga cenderung menurunkan pH medium pertumbuhan biakan (bersifat asam).

Isolat kemudian dapat diidentifikasi menggunakan antibodi fluoresensi atau uji fiksasi komplemen (CF) yang mendeteksi antigen khusus-kelompok. Uji ini dilakukan dengan menggunakan antibodi antiheksona dan cairan biakan dari sel yang terinfeksi. Uji HI dan Nt untuk mengukur antigen-antibodi khusus-tipe dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi serotipe khusus.4

Epidemiologi

Adenovirus terdapat di seluruh dunia, dan terdapat sepanjang tahun. Virus ini tidak menyebabkan wabah penyakit di masyarakat. Penyebarran Adenovirus terutama melalui jalur oral-tinja, tetapi dapat juga ditularkan melalui droplet pernapasan atau lewat benda-benda yang terkontaminasi.

Infeksi oleh tipe 1,2,5, dan 6 terutama terjadi pada tahun pertama kehidupan dan berhubungan dengan demam dan faringitis atau infeksi asimptomatik. Pada Adenovirus enterik terjadi ekskresi virus secara berkala selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun sejak infeksi awal. Ekskresi virus seperti ini merupakan ciri khas tipe 1, 2, 3 dan 5. Biasanya infeksi Adenovirus bersifat asimptomatik. Adenovirus hanya menyebabkan 2—5% dari semua penyakit pernapasan pada masyarakat umum. Infeksi yang disebabkan Adenovirus tipe 3, 4, 7, 14, dan 21 biasanya berjangkit pada anggota militer baru.

(34)

mata. Berjangkitnya konjungtivitis kolam renang teerutama disebabkan oleh air kolam, biasanya terjadi pada musim panas, dan umumnya disebabkan oleh tipe 3 dan 7. Keratokonjungtivitis epidemik adalah penyakit yang sangat menular dan berbahaya, yang disebabkan oleh Adenovirus tipe 8. Penyakit ini menyebar dengan cepat melalui galangan kapal, oleh karena itu disebut penyakit mata galangan kapal. Baru-baru ini Adenovirus tipe 19 dan 37 menyebabkan epidemi keratokonjungtivitis yang khas.

Adenovirus tipe 34 dan 35 merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada penerima cangkok ginjal dan pada urine penderita AIDS. Sumber infeksi yang paling mungkin adalah pengaktifan kembali virus endogen.

Pencegahan dan pengendalian

Usaha untuk mengendalikan infeksi Adenovirus pada satuan militer telah dipusatkan pada penggunaan vaksin. Vaksin virus hidup terhadap tipe 4 dan 7 telah diijinkan, tapi hanya dianjurkan pada kesatuan militer. Selain vaksinasi, terdapat cara lain yaitu dengan klorinasi pada kolam renang dan air limbah.4 VIII.Obat-obat Antiviral

Berikut ini adalah obat-obat antivirus untuk influenza :16 A. Amantadin dan Rimantadin

Kedua obat ini mempunyai cara kerja yang sama. Efikasi keduanya terbatas pada influenza A saja.

Mekanisme kerja obat ini yaitu pada protein M2 virus, suatu kanal ion membran yang diaktivasi oleh PH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein-protein serta proses transpor DNA virus ke nukleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur PH ke kompartemen intraselular, terutama apparatus golgi. Perubahan kompartemental pada PH ini menstabilkan hemaglutinin virus influenza A selama transpor ke intrasel. Dosis amantadin 2 × 100 mg dan rimantadin 2 × 150 mg.

B. Inhibitor neuraminidase

Zanamivir dan oseltamivir merupakan obat antivirus dengan mekanisme kerja yang sama terhadap virus influenza A dan B yang serupa. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-asetilneuraminat

(35)

(reseptor permukaan sel virus influenza), dan desain struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi; virus berikatan pada mukus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi. Neuraminidase juga penting untuk penglepasan virus yang optimal dari sel yang terinfeksi, yang menyebabkan penyebaran virus dan intensitas infesksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan timgkat keparahan, jika penyakitnya kemudian berkembang. Zanamivir diberikan perinhalasi dengan dosis 20 mg perhari (2 × 5 mg, setiap 12 jam) selama 5 hari. oseltamivir diberikan peroral dengan dosis 150 mg perhari (75 mg kapsul setiap 12 jam) selama 15 hari. terapi dengan obat ini dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48 jam setelah onset gejala.

C. Ribavirin

Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap. Setelah mengalami fosforilasi intrasel, ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein. Obat ini efektif terhadap influenza tipe A dan B. Indikasi ribavirin juga diberikan pada terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Dosis peroral 800-1200 mg perhari.

IX. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah tergantung jenis virus yang menyerang dan fokus infeksi atau lokasi infeksi, namun secara umum adalah sebagai berikut :17 1. Otitis media 2. Bronkitis 3. Bronkiolitis 4. Penumonia bakteri 5. Sepsis 6. Meningitis 7. Abses intrakranial

(36)

9. Rabdomiolisis

X. Prognosis

Prognosis pada infeksi virus saluran pernapasan bergantung pada usia penderita, jenis virus yang menyerang, ada atau tidaknya infeksi sekunder serta tatalaksana yang memadai. Pada infeksi oleh RSV diusia bayi maka kecenderungan akan menjadi asma sebesar 40%.15 Selain itu, infeksi karena koronavirus dapat menyebabkan sindrom pernapasan akut berat, dimana telah diketahui terdapat lebih dari 6200 kasus dengan kematian sebanyak 435 penderita dengan SARS.11 Selanjutnya adalah virus influenza, avian influenza dapat menyebabkan insiden pneumonia (61% kasus), kebutuhan perawatan intensif (51%) dan kematian yang cukup tinggi (33%), Sedangkan swine influenza yang tergolong virus baru dapat segera mewabah dan dapat menyebabkan kematian.15

XI. Kesimpulan

Infeksi virus pada saluran pernapasan masih banyak dijumpai di tengah masyarakat. Virus yang sering menginfeksi saluran napas adalah rhinovirus, RSV, virus influenza, adenovirus, koronavirus dan virus para influenza. Gejala-gejala infeksi virus pada saluran napas berupa batuk, demam, lemah badan, sesak, nyeri sendi dan sebagainya yang hampir pernah dialami oleh semua orang. Infeksi yang berbahaya apabila terjadi superinfeksi sekunder oleh bakteri atau terjadi distress pernapasan oleh infeksi virus korona. Umumnya infeksi virus dapat sembuh sendiri, meskipun demikian diagnosis dini pada infeksi avian dan swine influenza harus segera ditegakkan mengingat cepatnya penyakit tersebut mewabah dan dapat menyebabkan kematian.

Gambar

Tabel 1. Pertahanan Pejamu di Paru (Kepustakaan 6)
Gambar 1. Filogenetik dari VP4-VP2 (Kepustakaan 8)
Gambar 2. Virus influenza (Kepustakaan 14)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian ilmiah sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Pada penelitian

Perbaikan yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan tabel 5w+2h yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.8), perbaikan tersebut dilakukan pada

Kompetensi Guru Agama adalah kewenangan untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar, dan sebagai seorang

Kegiatan yang berbasis pada keterampilan dan penguatan karakter (softskill) dan konseling terus dilakukan guna untuk pembekalan mahasiswa kelak dalam dunia kerja,

Denga Dengan n meng menggunaka gunakan n kincir air yang ada di dalam bangunan kincir angin tersebut, air yang ada di tanah kincir air yang ada di dalam bangunan kincir

Peralihan nilai-nilai sebagaimana dijabarkan dalam sub-bab ini menjelaskan upaya Zainichi Korea generasi ketiga untuk menggeser identitas Zainichi Korea sebagai

anggap seperti ibu saya yang telah memberikan banyak sekali ilmu dan kebaikan terhadap saya,Ibu riski yang telah mengajarkan banyak hal terhadap saya, pak Irawan yang

Dengan metode ini laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengoreksi pengaruh dari transaksi bukan kas, penangguhan atau akrual dari penerimaan atau pembayaran kas untuk