• Tidak ada hasil yang ditemukan

Learning Issue & AM Aulia Tutorial FK Unsri Blok 8 8A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Learning Issue & AM Aulia Tutorial FK Unsri Blok 8 8A"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

 Learning Issue Tutorial

 Learning Issue Tutorial

Cacing

Cacing Ascaris lumbricoides

 Ascaris lumbricoides dan Edukasi dan

 dan Edukasi dan Higienitas

Higienitas

 pada Anak

 pada Anak

 Nama

 Nama

: Aulia Qudusi Ramadhani

: Aulia Qudusi Ramadhani

 NIM

 NIM

: 04011281621105

: 04011281621105

Blok

Blok

:

: 8

8

FAKULTAS KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AJARAN 2017/2018

TAHUN AJARAN 2017/2018

(2)

A.

A. CacingCacing A Ascscaariri s s lumlumbbriri cocoiiddeess

1.1.Askariasis 1.1.Askariasis

Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh

Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh  Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides atauatau yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang (Onggowaluyo, 2002).

yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang (Onggowaluyo, 2002).  Ascaris Ascaris lumbricoides

lumbricoides adalah salah satu spesies cacing yang termasuk ke dalam Filumadalah salah satu spesies cacing yang termasuk ke dalam Filum  Nemathelminthes,

 Nemathelminthes, Kelas Kelas Nematoda, Nematoda, Ordo Ordo Rhabditia, Rhabditia, Famili Famili Ascarididae Ascarididae dandan Genus Ascaris. Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran Genus Ascaris. Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding terbesar pada manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang  panas (Ideham dan Pusarawati, 2007).

 panas (Ideham dan Pusarawati, 2007).

1.2.Epidemiologi 1.2.Epidemiologi  Ascaris

 Ascaris lumbricoideslumbricoides tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan), terutama ditersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan), terutama di daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi (Soedartono, daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi (Soedartono, 2008). Berdasarkan survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, 2008). Berdasarkan survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia,  prevalensi

 prevalensi infeksi infeksi cacing cacing gelang gelang ini ini mencapai mencapai sekitar sekitar 60-90% 60-90% dan dan merupakanmerupakan  prevalensi

 prevalensi terbesar terbesar dibandingkan dibandingkan infeksi infeksi cacing cacing lainnya lainnya (Ismid(Ismid et al.et al., 2008). Di, 2008). Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis cacing. Jumlah orang dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis cacing. Jumlah orang yang terinfeksi

yang terinfeksi  Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides di Asia, Afrika dan Latin Amerika adalahdi Asia, Afrika dan Latin Amerika adalah 1,2 sampai 1,4 milyar dengan rata-rata 1,8 sampai 10,5 juta per hari. Angka 1,2 sampai 1,4 milyar dengan rata-rata 1,8 sampai 10,5 juta per hari. Angka kematian akibat cacing ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2012). kematian akibat cacing ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2012). Hasil survei kecacingan oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8% Hasil survei kecacingan oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8% siswa-siswi SD menderita kecacingan. Berdasarkan survei Dinas Kesehatan siswa-siswi SD menderita kecacingan. Berdasarkan survei Dinas Kesehatan Tingkat 1 Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada siswa-siswi SD di 13 Tingkat 1 Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada siswa-siswi SD di 13 Kabupaten/kota, prevalensi

Kabupaten/kota, prevalensi  Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides 39%,39%,  Hookworm Hookworm 5%, dan5%, dan Trichuris trichiura

Trichuris trichiura 24% (Daim, 2011).24% (Daim, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2010) di tiga SD di Kecamatan Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2010) di tiga SD di Kecamatan Kabanjahe dan Simpang Empat, Kabupaten Karo melaporkan bahwa prevalensi Kabanjahe dan Simpang Empat, Kabupaten Karo melaporkan bahwa prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 58.7%. Prevalensi infeksi

kecacingan didapatkan sebesar 58.7%. Prevalensi infeksi Trichuris trichiuraTrichuris trichiura sebesar 22.6%, infeksi

sebesar 22.6%, infeksi  Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides sebesar 6.8%, dan infeksi campuransebesar 6.8%, dan infeksi campuran antara

antara Trichuris trichiuraTrichuris trichiura dengandengan Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides sebesar 70.6%. Penelitiansebesar 70.6%. Penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2011) pada muruid SD Negeri 067244 Kecamatan yang dilakukan oleh Tarigan (2011) pada muruid SD Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang mendapat hasil bahwa dari total 23 orang anak yang terinfeksi Medan Selayang mendapat hasil bahwa dari total 23 orang anak yang terinfeksi cacing, 13 orang (56,5%) terinfeksi

cacing, 13 orang (56,5%) terinfeksi Trichuris trichiuraTrichuris trichiura, 6 orang (26,0 %), 6 orang (26,0 %) terinfeksi

terinfeksi Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides dan 4 orang (17,5%) terinfeksidan 4 orang (17,5%) terinfeksi Trichuris trichiuraTrichuris trichiura dan

(3)

murid SD Negeri 101837 Suka Makmur Kecamatan Sibolangit melaporkan bahwa dari 64 sampel yang fesesnya diperiksa ditemukan 49 anak (76,6%) terinfeksi  Ascaris lumbricoides.

1.2.Morfologi

Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem/ merah muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40cm. Ukuran cacing betina 20-35cm, diameter 3-6mm dan cacing jantan 15-31cm dan diameter 2,4mm. Mulut cacing ini memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan mempunyai ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule  panjangnya 2mm yang muncul dari orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina mempunyai ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh dan mempunyai tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur (oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Telur Ascaris lumbricoides ditemukan dalam dua bentuk, yang dibuahi ( fertilized ) dan tidak dibuahi (unfertilized ). Telur cacing ini memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi infektif. Perkembangan telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan, misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan, dan tanah liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari langsung, dan pemanasan 70oC. Telur yang dibuahi berbentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur yang dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen, lapisan  paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi, berwarna coklat keemasan  berasal dari warna pigmen empedu). Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang dibuahi ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi mempunyai panjang 88

 – 

 94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur unfertile dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi atau pada periode awal pelepasan telur oleh cacing betina fertil (Ideham dan Pusarawati, 2007).

(4)

Gambar 1.1. Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides

(5)

Gambar 1.3. Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi ( fertilized )

1.3.Siklus Hidup

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas, dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing berpindah ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah tersebut disebut lung migration. Dua bulan sejak infeksi (masuknya telur infektif per oral) terjadi, seekor cacing  betina mampu mulai bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai

200.000 butir per hari (Soedarto, 2008).

(6)

Sumber : https://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html Keterangan gambar:

Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus. Cacing betina menghasilkan telur sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan bersama tinja . Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) bisa saja tertelan tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi (fertilized) yang mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu , hal ini tergantung pada kondisi lingkungan (tempat yang lembap, hangat dan teduh). Setelah telur yang berkembang menjadi infektif tertelan oleh hospes, larva akan menetas, menginvasi mukosa usus, selanjutnya terbawa aliran darah portal kemudian melalui aliran darah sistemik ke paru-paru . Larva yang matang menuju ke paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada dinding alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan, dan selanjutnya tertelan . Setelah mencapai usus, berkembang menjadi cacing dewasa .

1.4.Cara Infeksi atau Penularan

Penularan umumnya dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup melalui udara bersama debu (Soedartono, 2008). Infeksi sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur  Ascaris lumbricoides. Diperoleh juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesuburan tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia menyebabkan sayuran merupakan sumber infeksi dari cacing ini (Irianto, 2009).

1.5.Patofisiologi

Tarigan (2011) menyebutkan bahwa gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel darah putih dan epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris pneumonitis. Menurut Tarigan (2011) gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada

(7)

anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan ( Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan  pada usus ( Ileus obstructive).

1.6.Gejala Klinis

Kurang lebih 85% kasus ascariasis tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis), namun beberapa individu dengan keluhan rasa terganggu di abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi.

Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis, namun pada infeksi berat dapat menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat menimbulakan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan  pada individu yang sensitif dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya  batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan paru dan hipersensitifitas lokal menyebabakan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar dan eksudat serosa. Pada kondisi berat karena larva yang mati, menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Inflamasi eosinofilik dikenal dengan sindrom

loffler’s, dahak mengandung eosinofil dan larva kadang

-kadang ditemukan.

Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada mata dan insomnia karena reaksi alergi terhadap ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa, cacing dewasa yang mati, infeksi intestinal. Cacing dewasa menimbulkan gejala klinis ringan , kecuali pada infeksi berat. Gejala klinis yang sering timbul, gangguan abdominal, nausea, anoreksia dan diare. Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa ke pencernaan lebih atas akan menyebabkan muntah (cacing keluar lewat mulut atau hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai akibat rangsangan panas (38,9oC).

Sejumlah cacing dapat membentuk bolus (massa) yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal secara parsial atau komplet dan menimbulkan rasa sakit pada abdomen, muntah dan kadang-kadang massa dapat di raba. Migrasi cacing ke kandung empedu, menyebabkan kolik biliare dan kolangitis. Migrasi pada saluran  pankreas menyebabkan pankreatitis. Apendisitis dapat disebabkan askaris yang  bermigrasi ke dalam saluran apendiks.

Pada anak di bawah umur 5 tahun menyebabakan gangguan nutrisi berat karena cacing dewasa dan dapat di ukur secara langsung dari peningkatan nitrogen pada

(8)

tinja. Gangguan absorpsi karbohidrat dapat kembali normal setelah cacing dieleminasi. Askaris dapat menyebabkan protein energy malnutrition. Pada anak-anak yang diinfeksi 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gram protein dari diet yang mengandung 35-

50 gram protein/hari(Ideham dan Pusarawati, 2007).

1.7.Diagnosis

Selama fase intestinal diagnosis dapat ditetapkan dari penemuan cacing dewasa atau telur cacing. Cacing betina Askaris mengeluarkan telur secara konstan, telur dapat dihitung untuk memperkirakan jumlah cacing dewasa yang menginfeksi. Cacing dewasa Askaris dapat keluar melalui anus atau mulut, karena sudah tua atau karena reaksi tubuh hospes. Sedangkan telur ( fertile dan unfertile) dapat ditemukan pada pemeriksaan tinja. Telur dapat dengan mudah ditemukan pada sediaan basah apus tinja (direct wet smear ) atau sediaan basah dari sedimen pada metode konsentrasi (Ismid, 2008).

Untuk mendignosis adanya larva pada paru-paru dapat dilakukan dengan melakukan rontgen pada rongga dada atau dapat ditetapkan dari penemuan larva  pada sediaan sputum atau kumbah lambung (Irianto, 2009).

1.8.Pengobatan

Beberapa obat yang efektif terhadap ascariasis adalah sebagai berikut : Pirantel  pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan dosis tunggal. Efek samping : gangguan gastrointestinal, sakit kepala, pusing, kemerahan pada kulit

dan demam.Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3

hari. Efek samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang-kadang leukopenia. Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil karena dapat membahayakan

 janin.Piperasin sitrat : dosis 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g/hari), pemeberian

selama dua hari. Efek samping : kadang

 – 

  kadang menyebabkan urtikaria, g

angguan gastrointestinal dan pusing.Albendazol : dosis tunggal 400 mg,

dengan angka kesembuhan 100% pada infeksi cacing

 Ascaris

(Ideham dan Pusarawati, 2007).

1.9.Pencegahan

Penularan  Askaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur askaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan. Selain hal tersebut, hindari juga mengkonsumsi sayuran mentah dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat mengontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga yang

(9)

membawa telur-telur tersebut.

Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke  penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-telur Askaris.

Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis pada anak-anak, maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing askaris ini.

Dianjurkan juga untuk membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama diluar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberikan pendidikan dengan cara  peragaan berupa gambar atau video, sehingga dengan cara ini dapat dengan

mudah dimengerti oleh mereka.

Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dengan penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga sebagaimana telah terjadi program nasional, rehabilitasi sarana perumahan juga merupakan salah satu perbaikan keadaan sosial-ekonomi yang menjurus kepada perbaikan kebersihan dan sanitasi. Cara- cara perbaikan tersebut adalah buang air pada jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya, makan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur. Halaman rumah selalu dibersihkan (Irianto, 2009).

1.10. Prognosis

Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Kesembuhan askariasis dengan pengobatan mencapai 70% hingga 99% (Ismid et al., 2008).

B. Edukasi dan Higienitas yang Baik dan Benar

2.1. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada  periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998). Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara

(10)

lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Penyakit cacingan dapat terjadi sebagai berikut (Nadesul, 1997).

a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

 b. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

c. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap  jempol.

d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.

e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan  buang kotoran di jamban.

f. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

g. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.

h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.

i. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas

 j. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.

k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau setengah matang.

l. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.

m. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap  penyakit kecacingan

n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir.

Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi

(11)

lingkungan dan hygiene  perorangan serta partisipasi masyarakat (Hadidjaja, 1994).

Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya  beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan,  bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahuntahun. Negara maju sepenti Jepang pun  pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu

saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, masyarakat menggunakan kotoran manusi sebagai pupuk pertanian. Akibatnya,  penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk.

2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.

Secara epidemiologi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan, salah satunya adalah faktor manusia (Soedarto, 1991) dijelaskan sebagai berikut:

2.1.1. Hygiene Perorangan

Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi:

a.

Memelihara kebersihan 

 b.

Makanan yang sehat 

c.

Cara hidup yang teratur 

d.

Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani 

(12)

f.

Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah 

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-

fasilitas yang menjamin hidup sehat 

h.

Pemeriksaan kesehatan 

Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip tel ur cacing akan

tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan.

Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.

2.3. Konsep Perilaku.

 Notoadmodjo (2005) mendefinisikan perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respon terhadap situasi diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat aktif (tindakan) dan dapat  juga bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku ini dapat

dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan

rangsangan dari luar. 

2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup didalamnya. Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik yang akan mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan al am tersebut. 3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa

action/perbuatan terhadap situasi atau

rangsangan dari luar. 

(13)

tidak berarti bahwa bentuk dari perilaku itu hanya dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku dapat juga bersifat konvensional, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi dan motivasi.

Bloom (1956), membedakan bentuk perilaku menjadi 3 macam yakni”

cognitive, effective dan  psikomotor. Para ahli lain menyebutnya dengan pengetahuan (knowledge), sikap (Attitude), dan tindakan (practice). Kihajar dewantoro m

enyebutkan dengan cipta, rasa dan karsa atau perirasa dan peritindakan.

2.3.1. Pengetahuan

Menurut notoadmodjo (2003), Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi

setelah seseorang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah (2002), menunjukkan bahwa terdpat kecenderungan makin tinggi pengetahuan semakin baik  perilaku dalam hu

 bungannya dengan penyakit kecacingan.

2.3.2. Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai  perilaku yang tertutup. Menurut Allport (1954), seperti yang dikutip dari  Notoadmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :

1.

Kepercayaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek) 

2.

Kehidupan emosional atau evaluasi emocional terhadap statu objek 

3. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave

). 

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Total

 Attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini kemampuan berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.  Decicion Theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994), menganggap bahwa pasien sebgai seorang pengambil keputusan. Hal ini juga tercermin dalam Conflict Theory dari Janin dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart

(14)

(1994), bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan medis.

2.3.3. Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi satu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka (Notoadmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek ( practice) yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain oleh karena itu disebut juga Over behaviour .

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud dengan  perilaku pada hakikatbya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati olah pihak luar.(Notoatmodjo, 2003).

Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang  berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Wachidanijah (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi  pengetahuan seseorang semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit

kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada  penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada

umumnya terjadi disekitar rumah (Bakta, 1995).

Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi

infeksi oleh ”

Soil-

Transmited Helminths”

 pada masyarakat.

2.4. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

(15)

makanan dan minuman serta lingkungan, atau reaksi manusia baik bersifat pasif maupun bersifat aktif. Dengan demikian perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan ( Health Maintenance) ini terdiri dari 3 aspek

a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan

(Health promotion Behavior) 

 b. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit ( Health prevention

behavior 

) 

c. Perilaku terhadap gizi makanan dan minuman ( Health nutrion behavior 

) 

2. Perilaku pencarian pengobatan ( Health seeking behavior 

)

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Indra Kusuma. 2013. Soil-Transmitted Helminths

 – 

  Ascaris lumbricoides. Semarang: Universitas Diponegoro.

Alfian, Yulia. 2016. Ascaris Lumbricoides. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Hendrawan, Antonius W. 2013. Soil-Transmitted Helminths. Semarang: Universitas Diponegoro.

(17)

Analisis Masalah

 Nama

: Aulia Qudusi Ramadhani

 NIM

: 04011281621105

Blok

: 8

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

(18)

1. Seorang anak laki-laki A usia 9 tahun dibawwa orang tuanya ke puskesmas dengan nyeri perut didaerah sekitar pusar, nyeri bersifat hilang timbul dan menjalar ketempat lain serta muntuh-muntah dan konstipasi selama 4 hari ini.vvv

a. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem digestivus ? ihtp

 b. Mengapa nyeri pada anak A bersifat hilang dan timbul dan menjalar ke tempat lain ? ihtp

c. Apa dampak dari konstipasi dan muntah-muntah selama 4 hari ? ihtp d. Bagaimana mekanisme dan penyebab nyeri perut pada anak A ? ihtp e. Bagaimana mekanisme dan penyebab muntah pada anak A ? ihtp f.  bagaimana keterkaitan usia dengan gejala yang dialami anak A ? ihtp g.  bagaimana meknisme konstipasi pada anak A ? idk

2. Menurut orang tuanya dari muntahan anak A keluar organisme berbentuk silindris sepanjang 10-15 cm.vvvv

a. Jenis cacing apa yang mungkin keluar dari muntahan anak A ? ihtp

Dilihat dari ciri-ciri yang disebutkan, cacing yang keluar bersama muntahan anak A ialah cacing Ascaris lumbricoides yang dapat mencapai panjang hingga 30 cm.  b. Bagaimana mekanisme cacing tersebut keluar bersama muntahan ? idk

3. Anak A berasal dari masyarakat sosial ekonomi rendah, ayah dan ibu seorang petani, sehari-hari keluarga terbiasa makan sayuran mentah (lalapan) tampa di cuci.

Hyginenitas kurang baik terlihat dari kuku tangan dan kaki yang tidak terawatt dan kotor, anak A juga sering main di tanah tanpa alas kaki.vv

a. Bagaimana pencegahan dan higienitas yang baik untuk menanggulangi kasus  pada anak A? ihtp

Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena  pada periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan

kualitas hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998). Pencegahan dan pemberantasan  penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan,

yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi:

a.

Memelihara kebersihan 

 b.

Makanan yang sehat 

c.

Cara hidup yang teratur 

(19)

e.

Menghindari terjadinya penyakit 

f.

Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah 

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup

sehat 

h.

Pemeriksaan kesehatan 

 b. Apa hubungan keadaan sosial ekonomi rendah dengan kasus anak A? ihtp

Keadaan sosial ekonomi rendah membuat anak A tidak dibekali dengan  pengetahuan tentang kebersihan saat bermain

 – 

  ini biasanya terjadi pada anak-anak -- ataupun konsumsi sayuran. Keadaan social ekonomi rendah juga cenderung tidak memerhatikan cara membersihkan sayuran dengan benar.

c. Apa hubungan mengonsumsi sayuran mentah tanpa dicuci dengan kasus anak A ? ihtp

Sayuran mentah serta tidak dibersihkan dapat memiliki larva ataupun cacing yang tidak tampak sehingga jika tidak dibersihkan dengan benar larva dapat tertelan orang yang mengonsumsi.

d. Apa pengaruh kurangnya hyginenitas kuku tangan dan kaki serta bermain tanpa alas kaki dengan kasus anak A ? ( siklus hidup cacing yang menular dari kulit dan makanan) ihtp

Anak-anak umumnya rentan terjangkit cacing Ascaris lumbricoides karena seringkali mereka tidak memakai alas kaki saat bermain. Hal ini dapat menjadi celah masuknya larva cacing ke dalam tubuh anak melalui kaki ataupun tangan yang terkena tanah.

4. Fisik umum v

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik umum anak A ? idk

5. Fisik khusus v

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik khusus pada abdomen anak A ? idk

6. Laboratoriumv

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium anak A? idk

7. Pada pemeriksaan dengan teknik langsung lugol dan iodin ditemukan telur berbentuk oval, dengan tiga lapisan dinding berisi sel.vv

a. Jenis telur cacing apa yang terdapat pada kasus anak A ? ihtp

Telur yang ditemukan dalam pemeriksaan ialah telur cacing Ascaris lumbricoides.

(20)

 b. Bagaimana morfologi cacing pada kasus anak A? ihtp

Cacing  Ascaris lumbricoides. dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem/ merah muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40cm. Ukuran cacing betina 20-35cm, diameter 3-6mm dan cacing jantan 15-31cm dan diameter 2,4mm. Mulut cacing ini memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan mempunyai ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule  panjangnya 2mm yang muncul dari orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina mempunyai ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh dan mempunyai tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur (oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Telur  Ascaris lumbricoides ditemukan dalam dua bentuk, yang dibuahi ( fertilized ) dan tidak dibuahi (unfertilized ). Telur cacing ini memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi infektif. Perkembangan telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan, misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan, dan tanah liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari langsung, dan pemanasan 70oC. Telur yang dibuahi berbentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur yang dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada  pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen, lapisan paling

luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi, berwarna coklat keemasan  berasal dari warna pigmen empedu). Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang dibuahi ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi mempunyai  panjang 88

 – 

  94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur unfertile

dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi atau pada  periode awal pelepasan telur oleh cacing betina fertil (Ideham dan

(21)

Gambar 1.1. Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides

Gambar 1.2. Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi (unfertilized )

(22)

c. Bagimana epidemiologic(keberadaan) cacing pada kasus anak A? ihtp  Ascaris lumbricoides tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan),

terutama di daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi (Soedartono, 2008). Berdasarkan survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, prevalensi infeksi cacing gelang ini mencapai sekitar 60-90% dan merupakan prevalensi terbesar dibandingkan infeksi cacing lainnya (Ismid et al., 2008). Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai  jenis cacing. Jumlah orang yang terinfeksi  Ascaris lumbricoides di Asia,

Afrika dan Latin Amerika adalah 1,2 sampai 1,4 milyar dengan rata-rata 1,8 sampai 10,5 juta per hari. Angka kematian akibat cacing ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2012). Hasil survei kecacingan oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8% siswa-siswi SD menderita kecacingan. Berdasarkan survei Dinas Kesehatan Tingkat 1 Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada siswa-siswi SD di 13 Kabupaten/kota, prevalensi  Ascaris lumbricoides 39%,  Hookworm 5%, dan Trichuris trichiura 24% (Daim, 2011).

d. Bagimana siklus hidup cacing pada kasus anak A? ( j elaskan HP dan HD) ihtp

Gambar 1.4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Sumber : https://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

(23)

Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus. Cacing betina menghasilkan telur sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan  bersama tinja . Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) bisa saja tertelan

tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi (fertilized) yang mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu , hal ini tergantung pada kondisi lingkungan (tempat yang lembap, hangat dan teduh). Setelah telur yang berkembang menjadi infektif tertelan oleh hospes, larva akan menetas, menginvasi mukosa usus, selanjutnya terbawa aliran darah portal kemudian melalui aliran darah sistemik ke paru-paru . Larva yang matang menuju ke paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada dinding alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan, dan selanjutnya tertelan

. Setelah mencapai usus, berkembang menjadi cacing dewasa .

e. Bagaimana etiologi(penyebab) cacing pada kasus anak A? ihtp

Penularan umumnya dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup melalui udara bersama debu (Soedartono, 2008). Infeksi sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat  berkembangnya telur Ascaris lumbricoides. Diperoleh juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesuburan tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia menyebabkan sayuran merupakan sumber infeksi dari cacing ini (Irianto, 2009).

f. Bagaimana gejala klinis penderita cacing pada kasus anak A? ihtp

Kurang lebih 85% kasus ascariasis tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis), namun beberapa individu dengan keluhan rasa terganggu di abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi.

Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis, namun pada infeksi berat dapat menyebabkan  pneumonitis. Larva askaris dapat menimbulakan reaksi hipersensitif  pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang sensitif dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan paru dan hipersensitifitas lokal menyebabakan

(24)

 peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar dan eksudat serosa. Pada kondisi berat karena larva yang mati, menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Inflamasi eosinofilik dikenal dengan

sindrom loffler’s, dahak mengandung eosinofil dan larva kadang

-kadang ditemukan.

Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri  pada mata dan insomnia karena reaksi alergi terhadap ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa, cacing dewasa yang mati, infeksi intestinal. Cacing dewasa menimbulkan gejala klinis ringan , kecuali pada infeksi  berat. Gejala klinis yang sering timbul, gangguan abdominal, nausea, anoreksia dan diare. Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa ke  pencernaan lebih atas akan menyebabkan muntah (cacing keluar lewat mulut atau hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai akibat rangsangan panas (38,9oC).

g. Bagaimana teknik pemeriksaan cacing parasite secara kuantitatif dan kualitatif ? idk

8. Juga ditemukan telur berbentuk tong berdindng dua lapis dengan tutup mucoid plug di kedua kutubnya.vv

a. Jenis telur cacing apa yang terdapat pada kasus anak A ? ihtp  b. Bagaimana morfologi cacing pada kasus anak A? ihtp

c. Bagimana epidemiologic(keberadaan) cacing pada kasus anak A? ihtp

d. Bagimana siklus hidup cacing pada kasus anak A? ( j elakan HP dan HD ) ihtp e. Bagimana etiologi(penyebab) cacing pada kasus anak A? ihtp

f. Bagimana gejala klinis penderita cacing pada kasus anak A? ihtp

9. Pada pemeriksaan dengan teknik kato katz dihitung juga jumlah telur pergram didapat intensitas infeksi berat untuk telur berdinding 3 lapis dan intensitas infeksi ringan untuk telur berdnding 2 lapis.vv

a. Bagaimana tata cara pemeriksaan dengan teknik kato katz ? i dk  b. Apa manfaat dan tujuan pemeriksaan kato katz ? idk

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Indra Kusuma. 2013. Soil-Transmitted Helminths

 – 

  Ascaris lumbricoides. Semarang: Universitas Diponegoro.

Alfian, Yulia. 2016. Ascaris Lumbricoides. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Hendrawan, Antonius W. 2013. Soil-Transmitted Helminths. Semarang: Universitas Diponegoro.

Gambar

Gambar 1.2. Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi (unfertilized )
Gambar 1.3. Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi ( fertilized )
Gambar 1.2. Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi (unfertilized )
Gambar 1.4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi antara perbandingan jambu biji merah dengan lemon dan konsentrasi gelatin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu dan berpengaruh tidak nyata

Kecenderungan peserta didik yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan android dibandingkan dengan buku-buku mereka hanya dekat dengan pelajaran saat di kelas namun jauh

Sementara, tim yang anggotanya dipilih sendiri oleh mahasiswa dengan intervensi dosen untuk tahapan selanjutnya (tahap input pada McGrath’s Model), membuat suatu kontrak kerja

Matriks Usulan Kebutuhan Pembiayaan Sektor Pembinaan dan Pengembangan Penataan Bangunan dan Lingkungan Tahun : 2018-2022 Kota : Surakarta Anggaran dalam X1000 N O KODE AKUN

Hasil penelitian untuk motivasi peternak dalam beternak sapi serta mengetahui karakteristik peternak yang secara simultan memberikan pengaruh terhadap motivasi

Hasil penelitian ini didapat dari peta kesesuaian lahan sawit yang berada di Desa Nunggal Sari Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin yang memiliki jenis tanah Glei dan

Mulai edisi Mei 2016 hingga Mei 2017, jurnal SOSIOHUMANIKA telah dikelola oleh para Dosen dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, dan diterbitkan oleh Minda

Untuk memperoleh pemahaman yang sama dalam melaksanakan kegiatan dimaksud, maka disusun Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita