• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

 Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3  Laporan Tutorial Blok Kardiovaskular Skenario 3

GAGAL GINJAL BESERTA MANIFESTASINYA

GAGAL GINJAL BESERTA MANIFESTASINYA

KELOMPOK 14 : KELOMPOK 14 : Aryo

Aryo Seno Seno G0010030G0010030 Asih

Asih Anggraini Anggraini G0010032G0010032 Damar

Damar Dyah Dyah Mentari Mentari G0010048G0010048 Erma

Erma Malindha Malindha G0010074G0010074 Fariz

Fariz Edi Edi Wibowo Wibowo G0010078G0010078 Fitroh

Fitroh Annisah Annisah G0010084G0010084 Himmatul

Himmatul Fuad Fuad G0010094G0010094 Rizqi

Rizqi Ahmad Ahmad Nur Nur D. D. G0010168G0010168 Wahyu

Wahyu Aprillia Aprillia G0010194G0010194

Pembimbing : Pembimbing :

dr. Udi Heru Nefihancoro, Sp.B, Sp.OT dr. Udi Heru Nefihancoro, Sp.B, Sp.OT

NIP.

NIP. 196502111991965021119910310031031003

UNIVERSITAS SEBELAS MARET UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

(3)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

(4)

BAB II BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

A.

A. Mekanisme Siklus JantungMekanisme Siklus Jantung

Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol

siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasiyang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi otot jantung ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi otot jantung (Santoso, 2001).

(Santoso, 2001).

Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Tahap ini sesuai dengan interval TP pada EKG, interval setelah diastol. Tahap ini sesuai dengan interval TP pada EKG, interval setelah repolarisasi ventrikel dan sebelum depolarisasi atrium berikutnya. Karena aliran repolarisasi ventrikel dan sebelum depolarisasi atrium berikutnya. Karena aliran masuk darah yang kontinyu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium masuk darah yang kontinyu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas.

sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. KarenaKarena perbedaan tekanan ini, katup atrioventrikularis (AV) terbuka, dan darah mengalir perbedaan tekanan ini, katup atrioventrikularis (AV) terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akibatnya langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akibatnya volume ventrikel perlahan-lahan meningkat, bahkan sebelum

volume ventrikel perlahan-lahan meningkat, bahkan sebelum atrium berkontraksi.atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (nodus SA) mencapai ambang dan Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (nodus SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium, yang terekam di membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium, yang terekam di EKG sebagai gelombang P. Depolarisasi atrium menimbulkan kontraksi atrium, EKG sebagai gelombang P. Depolarisasi atrium menimbulkan kontraksi atrium, yang memeras lebih banyak darah ke dalam ventrikel sehingga terjadi yang memeras lebih banyak darah ke dalam ventrikel sehingga terjadi peningkatan kurva tekanan atrium.

peningkatan kurva tekanan atrium. Proses penggabungaProses penggabungan eksitasi-kontraksi n eksitasi-kontraksi terjaditerjadi selama jeda singkat antara gelombang P dan peningkatan tekanan atrium. selama jeda singkat antara gelombang P dan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan tekanan ventrikel yang berlangsung bersamaan dengan peningkatan Peningkatan tekanan ventrikel yang berlangsung bersamaan dengan peningkatan tekanan atrium disebabkan oleh penambahan volume darah ke ventrikel oleh tekanan atrium disebabkan oleh penambahan volume darah ke ventrikel oleh kontraksi atrium. Selama kontraksi atrium, tekanan atrium tetap sedikit lebih kontraksi atrium. Selama kontraksi atrium, tekanan atrium tetap sedikit lebih tinggi daripada tekanan ventrikel, sehingga katup AV tetap terbuka (Santoso, tinggi daripada tekanan ventrikel, sehingga katup AV tetap terbuka (Santoso, 2001).

2001).

Diastol ventrikel berakhir pada awal kontraksi ventrikel. Pada saat ini, Diastol ventrikel berakhir pada awal kontraksi ventrikel. Pada saat ini, kontraksi atrium dan pengisian ventrikel telah selesai. Volume darah di ventrikel kontraksi atrium dan pengisian ventrikel telah selesai. Volume darah di ventrikel

(5)

pada akhir diastol dikenal sebagai volume diastolik akhir ( end diastolic volume, EDV), yang besarnya sekitar 135 ml. Selama siklus ini tidak ada lagi darah yang ditambahkan ke ventrikel. Jadi, volume diastolik akhir adalah jumlah darah maksimum yang akan dikandung ventrikel selama siklus ini (Santoso, 2001).

Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Secara simultan, terjadi kontraksi atrium. Pada saat pengaktifan ventrikel terjadi, kontraksi atrium telah selesai. Kompleks QRS yang mewakili eksitasi ventrikel ini, menginduksi kontraksi ventrikel. Kurva tekanan ventrikel meningkat secara cepat segera setelah kompleks QRS muncul, mengisyaratkan permulaan sistol ventrikel. Jeda singkat antara kompleks QRS dan awitan sebenarnya sistol ventrikel adalah waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses penggabungan eksitasi-kontraksi. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik ini mendorong katup AV menutup (Santoso, 2001).

Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV telah tertutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat sebelum tekanan tersebut dapat melebihi tekanan aorta untuk membuka katup aorta. Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta pada saat ventrikel menjadi suatu bilik tertutup. Karena semua katup tertutup tidak  ada darah yang masuk atau keluar ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isovolumetrik (isovolumetrik berarti volume dan panjang konstan). Karena tidak ada darah yang yang masuk atau keluar ventrikel, volume bilik ventrikel tetap dan panjang, serat-serat otot juga tetap. Keadaan isovolumetrik ini serupa dengan kontraksi isometrik pada otot rangka. Selama periode kontraksi ventrikel isovolumetrik, tekanan ventrikel terus meningkat karena volume tetap (Santoso, 2001).

Pada saat tekanan ventrikel melebihi tekanan aorta, katup aorta dipaksa membuka dan darah mulai menyemprot. Kurva tekanan aorta meningkat ketika

(6)

ventrikel berkurang secara drastis sewaktu darah dengan cepat dipompa ke luar. Sistol ventrikel mencakup periode kontraksi isovolumetrik dan fase ejeksi (penyemprotan) ventrikel. Ventrikel tidak mengosongkan diri secara sempurna selama penyemprotan. Dalam keadaan normal, hanya sekitar separuh dari jumlah darah yang terkandung di dalam ventrikel pada akhir diastol dipompa keluar selama sistol. Jumlah darah yang tersisa di ventrikel pada akhir sistol ketika fase ejeksi usai disebut sebagai volume sistolik akhir ( end-systolic volume, ESV), yang besarnya sekitar 65 ml. Ini adalah jumlah darah yang paling sedikit yang terdapat di dalam ventrikel selama siklus ini (Santoso, 2001).

Jumlah darah yang dipompa ke luar dari setiap ventrikel pada setiap kontraksi dikenal sebagai volume/isi sekuncup ( stroke volume, SV); SV setara dengan volume diastolik akhir dikurangi volume sistolik akhir; dengan kata lain, perbedaan antara volume darah di ventrikel sebelum kontraksi dan volume setelah kontraksi adalah jumlah darah yang disemprotkan selama kontraksi. Jadi volume sekuncup besarnya sekitar 70 ml (Santoso, 2001).

Gelombang T menandakan repolarisasi di akhir sistol ventrikel. Ketika ventrikel mulai berelaksasi karena repolarisasi, tekanan ventrikel mulai turun dibawah tekanan aorta dan katup aorta menutup. Penutupan katup aorta menimbulkan gangguan atau takik pada kurva tekanan aorta yang dikenal sebagai takik dikrotik (dicrotic notch). Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini karena katup aorta telah tertutup. Namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi daripada tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik. Panjang serat otot dan volume bilik tidak berubah. Tidak ada darah yang masuk atau keluar seiring dengan relaksasi ventrikel dan tekanan terus turun. Sewaktu tekanan ventrikel terus turun di bawah tekanan atrium, katup AV membuka dan pengisian ventrikel terjadi kembali. Diastol ventrikel mencakup periode relaksasi ventrikel isovolumetrik  dan fase pengisian ventrikel (Santoso, 2001).

Repolarisasi atrium dan depolarisasi ventrikel terjadi secara bersamaan, sehingga atrium berada dalam diastol sepanjang sistol ventrikel. Darah terus

(7)

mengalir dari vena pulmonalis ke dalam atrium kiri. Karena darah yang masuk ini terkumpul di atrium, tekanan atrium terus meningkat. Sewaktu katup AV terbuka pada akhir sistol ventrikel, darah yang terkumpul diatrium selama sistol ventrikel secara cepat mengalir ke ventrikel. Dengan demikian, mula-mula pengisian ventrikel berlangsung cepat karena peningkatan tekanan atrium akibat penimbunan darah didalam atrium. Kemudian pengisian ventrikel melambat karena darah yang yang tertimbun tersebut telah disalurkan ke ventrikel, dan tekanan atrium mulai turun. Selama periode penurunan pengisian ini, darah terus mengalir dari vena-vena pulmonalis ke dalam atrium kiri dan melalui katup AV yang terbuka ke dalam ventrikel kiri. Selama diastol ventrikel tahap akhir, sewaktu pengisian ventrikel berlangsung lambat, nodus SA kembali mengeluarkan potensial aksi dan siklus jantung dimulai kembali (Santoso, 2001).

Sebagian besar pengisian ventrikel harus terjadi pada awal diastol saat fase pengisian cepat. Ketika kecepatan denyut jantung meningkat, durasi diastol berkurang jauh lebih besar daripada penurunan lama sistol. Sebagai contoh, apabila kecepatan denyut jantung meningkat dari 75 menjadi 180 kali per menit, durasi diastol berkurang sekitar 75 %, dari 500 mdet menjadi 125 mdet. Hal ini sangat mengurangi waktu yang tersedia untuk relaksasi dan pengisian ventrikel. Namun, karena sebagian besar pengisian ventrikel terjadi pada awal diastol, pengisian tidak terlalu terganggu ketika kecepatan denyut jantung meningkat, misalnya ketika berolah raga. Namun, terdapat batas sampai seberapa cepat   jantung dapat berdenyut tanpa mengalami penurunan periode diastol sampai ke

titik tertentu pengisian ventrikel sangat terganggu. Dalam keadaan normal, kecepatan ventrikel tidak melebihi 200 kali per menit karena periode refrakter nodus AV yang relatif lama tidak akan memungkinkan penghantaran impuls ke ventrikel lebih cepat daripada tingkat tersebut. Pada kecepatan denyut jantung lebih dari 200 kali per menit, waktu diastolik terlalu singkat untuk pengisian ventrikel yang adekuat. Apabila pengisian tidak adekuat, curah jantung berkurang (Santoso, 2001).

(8)

B. Mekanisme Regulasi Tekanan Darah

Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor, yaitu : curah jantung ( cardiac output, CO) dan tahan vaskuler perifer (  peripheral vascular resistance), masing-masing pada gilirannya ditentukan oleh sejumlah faktor lain. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Curah jantung ditentukan oleh dua faktor, yaitu kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata-rata 70 kali per menit, yang ditentukan oleh irama nodus SA, sedangkan volume sekuncup rata-rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata-rata-rata-rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Normalnya, nodus SA merupakan pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi atau berdenyut. Sementara itu, tahanan vaskuler perifer ditentukan oleh keseimbangan antara aktifitas vasokonstriktor dan vasodilator (Santoso, 2001; Suryohudoyo, 2007).

Bila tekanan darah menurun maka saraf simpatis akan terangsang, neuron pascaganglion saraf simpatis akan mensekresi neurotransmitter norepinefrin (NE) yang selanjutnya akan mengakibatkan vasokonstriksi dan kontraksi otot jantung. Norepinefrin menyebabkan penurunan permeabilitas K+ dengan mempercepat inaktivasi saluran K+. Dengan berkurangnya ion kalium yang keluar, bagian dalam sel menjadi kurang negatif dan timbul efek depolarisasi. Pergeseran ke ambang yang berlangsung lebih cepat dibawah pengaruh simpatis ini menyebabkan peningkatan frekuensi pembentukan potensial aksi dan dengan demikian, kecepatan denyut jantung meningkat. Pada nodus AV, stimulasi saraf  simpatis mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran, mungkin melalui peningkatan arus masuk Ca++ yang berjalan lambat. Stimulasi saraf simpatis juga mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus. Di sel-sel kontraktil atrium dan ventrikel,

(9)

stimulasi simpatis meningkatkan kekuatan kontraktil sehingga jantung berdenyut lebih kuat dan memeras lebih banyak darah keluar. Efek ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas Ca++, yang meningkatkan influks Ca++ dan memperkuat partisipasi Ca++ dalam proses penggabungan eksitasi-kontraksi. Dengan demikian, efek keseluruhan stimulasi simpatis pada jantung adalah meningkatkan efektifitas jantung sebagai pompa dengan meningkatkan kecepatan kecepatan denyut jantung, menurunkan jeda antara kontraksi atrium dan ventrikel, menurunkan waktu hantaran ke seluruh jantung, dan meningkatkan kekuatan kontraksi (Santoso, 2001; Suryohudoyo, 2007).

Sebaliknya apabila tekanan darah meningkat sistem saraf parasimpatis akan terangsang, neuron pascaganglion saraf simpatis akan mensekresi nerurotransmitter asetilkolin (Ach). Astilkolin akan ditangkap oleh reseptor asetilkolin (Ach-R) yang terdapat pada sel endotel. Sebagai akibat, sel endotel akan mensintesis dan mensekresi nitrogen oksida (NO), disebut juga endothelium derived relaxing factor  (EDRF), suatu vasodilator kuat yang juga menyebabkan relaksasi otot jantung. Asetilkolin menyebabkan peningkatan permeabilitas nodus SA terhadap K+ dengan memperlambat penutupan saluran K+. Akibatnya, kecepatan pembentukan potensial aksi spontan melambat melalui efek berikut ini: 1. Peningkatan permeabilitas K+ menyebabkan hiperpolarisasi membran nodus

SA karena lebih banyak ion kalium yang keluar daripada normal, sehingga bagian dalam semakin lebih negatif. Karena potensial istirahat dimulai lebih  jauh daripada ambang, waktu untuk mencapai ambang menjadi lebih lama. 2. Peningkatan permeabilitas K+ yang diinduksi oleh stimulasi vagus juga

melawan penurunan otomatis permeabilitas K+ yang berperan menyebabkan depolarisasi gradual membrane ke ambang. Efek melawan ini menurunkan kecepatan depolarisasi spontan, sehingga waktu yang diperlukan untuk  bergeser ke ambang menjadi lebih lama. Dengan demikian, nodus SA lebih  jarang mencapai ambang dan lebih sedikit menghasilkan potensial aksi. Hal ini

(10)

Selain itu, sistem saraf parasimpatis juga mempengaruhi nodus AV dan sel-sel kontraktil di atrium. Sistem saraf parasimpatis ini menurunkan eksitabilitas nodus AV, memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel (bahkan lebih lama daripada perlambatan nodus AV biasa). Efek ini timbul karena peningkatan permeabilitas K+, yang menyebabkan hiperpolarisasi membran sehingga memperlambat inisiasi eksitasi nodus AV. Stimulasi parasimpatis pada sel kontrakstil di atrium mempersingkat potensial aksi, suatu efek yang dianggap disebabkan oleh penurunan kecepatan arus masuk yang dibawa oleh Ca ++, yaitu fase datar berkurang. Akibatnya, kontraksi atrium bekurang. Sistem parasimpatis tidak mempengaruhi kontraksi ventrikel karena tidak adanya persarafan parasimpatis ke ventrikel. Dengan demikian, dibawah pengaruh rangsang parasimpatis, jantung berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah (Santoso, 2001).

Mekanisme humoral berlangsung lebih rumit. Titik berat pengendalian tekanan darah melalui mekanisme ini terjadi melalui arus balik vena. Arus balik  vena dikendalikan oleh tiga aktifitas yang saling berkaitan yaitu :

1. Aktivitas sistem renin-angiotensin

Renin adalah suatu enzim yang dihasilkan oleh perangkat juxtaglomerular ginjal apabila perfusi ginjal menurun (iskemia ginjal). Dalam aliran darah, renin akan menghidrolisis angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) yang akan menghasilkan angiotensin I. Selanjutnya, angiotensin I akan diubah menjadi angotensin II oleh ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II akan diatngkap oleh reseptornya (ATR-1 : angiotensin II reseptor tipe 1). Bila hal ini terjadi pada reseptor yang terdapat pada pembuluh darah (vascular ATR-1), hasilnya berupa vasokonstriksi, sedangkan bila ditangkap oleh reseptor sel korteks kelenjar adrenal ( adrenal ATR-1), hasilnya berupa skresi mineralokortikoid, aldosteron.

2. Aktivitas hormon mineralokortikoid

Aldosteron adalah mineralokortikoid utama yang dihasilkan oleh korteks adrenalis. Aldosteron dihasilkan dari progesteron melalui aktivitas sederetan enzim. Angiotensin II merangsang sintesis enzim aldosteron sintetase, yaitu

(11)

yang mengubah kortikosteron menjadi aldosteron (langkah terakhir sisntesis aldosteron). Aldosteron kemudian ditangkap oleh reseptor aldosteron yang terdapat di ginjal. Peningkatan aldosteron kemidian akan membuka EnaC (epithelial Na channel), yang selanjutnya meningkatkan reabsorbsi ion natrium. 3. Reabsorbsi natrium di ginjal

Reabsorbsi natrium terjadi melalui beberapa saluran ion. Salah satu diantaranya adalah EnaC yang aktivitasnya dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi natrium akan disertai oleh reabsorbsi air yang selanjutnya akan meningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma pada gilirannya akan meningkatkan arus balik vena (Suryohudoyo, 2007).

Dalam keadaan fisiologis, pengendalian tekanan darah melalui mekanisme humoral terjadi karena adanya lengkung umpan balik yang mengendalikan sistem renin-angiotensin agar tekanan darah dapat dipertahankan dalam batas-batas normal.bila tekanan darah meningkat, maka perfusi ginjal akan meningkat yang selanjutnya menyebabkan sekresi renin menurun. Hasil akhirnya adalah penurunan kembali tekanan darah. sebaliknya, apabila tekanan darah menurun, perfusi ginjal akan menurun yang selanjutnya menyebabkan sekresi renin meningkat dan akhirnya berakibat meningkatnya kembali tekanan darah. Pada penderita hipertensi, mekanisme pengendalian ini mengalami kegagalan sehingga tekanan darah tetap tinggi (Suryohudoyo, 2007).

C. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik  sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Berikut ini klasifikasi tekanan darah menurut The Joint National Comittee on Detection,  Evelation, and Treatment of High Blood Pressure .

KLASIFIKASI TEKANAN DARAH UNTUK DEWASA USIA 18 TAHUN ATAU LEBIH

(12)

Normal <130 <85 Normal Tinggi 130-139 85-89 Hipertensi  Tingkat 1 (ringan)  Tingkat 2 (sedang)  Tingkat 3 (berat) 140-159 160-179 ≥180 90-99 100-109 ≥110 (Mahanani dkk, 2006)

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya

disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf  simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

Renin + Angiotensinogen Angiotensin Angiotensin II Sekresi aldostero Vasokonstriks i perifer Peningkatan volume plasma

Peningkatan tekanan darah

Retensi Na+,

(13)

(Price, 2006) 2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.

Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Mansjoer, 2001).

Secara konstan, tekanan arteri rata-rata dipantau oleh baroreseptor dalam sirkulasi di sinus caroticus dan lengkung aorta. Pada kondisi normal, peningkatan tekanan darah akan mempercepat pembentukan potensial aksi di neuron aferen baroreseptor sinus caroticus dan lengkung aorta. Melalui peningkatan kecepatan pembentukan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. (Santoso, 2001)

Sinyal-sinyal eferen tersebut akan menurunkan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, merangsang vasodilatasi arteriol dan vena sehingga curah  jantung dan resistensi perifer menurun. Akhirnya, tekanan darah kembali normal.

Namun, pada hipertensi, baroreseptor tidak memberikan respons mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal karena baroreseptor tersebut telah beradaptasi untuk bekerja pada tingkat yang lebih tinggi. (Santoso, 2001)

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh baik secara langsung ataupun tidak, kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina dan infark miokardium, gagal jantung), otak (stroke atau transient ischaemic attack ), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan retinopati. (Yogiantoro, 2007)

Hipertensi sekunder, yaitu keadaan terjadinya tekanan darah tinggi akibat penyakit tertentu. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada dua mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Etiologi penyakit dasar terjadinya hipertensi sekunder diantaranya adalah:

(14)

1. Penyakit ginjal: penyakit parenkim ginjal (glomerulonefritis akut, nefritis kronis, penyakit poliarteritis, penyakit jaringan ikat, diabetes nefropati, hidronefrosis), kelainan renovaskuler, tumor renin, retensi Na-primer

2. Penyakit endokrin: akromegali, hipotiroid, hiperkalsemia, hipertiroid, adrenal (Korteks: sindrom cushing, aldosteron primer, hiperplasia adrenal kongenital. Medula: feokromotisoma), tumor ekstra adrenal kromatin, karsinoid, hormon eksogen (estrogen, glukokortikoid, mineralokortikoid, simpatomimetik, makanan yang mengandung tiramin dan penghambat monoamin oksidase) 3. Koarktasio aorta

4. Hipertensi pada kehamilan

5. Kelainan neurologi: peninggian tekanan intrakranial (tumor otak, ensefalitis, asidosis respiratoar), apneu tidur, kuadriplegia, porfiria akut, disatonomia familial, keracunan timah, sindrom Guillan-Barre

6. Stres akut: hiperventilasi psikogenik, hipoglikemia, luka bakar, pankreatitis, alkohol, krisis sel sickle, pasca resusitasi, pasca operasi

7. Volume intravaskuler yang meningkat

8. Etanol, obat-obat dan zat-zat lain (Joesoef dan Setianto, 2003)

Untuk menegakkan diagnosis pada pasien hipertensi maka yang perlu dilakukan adalah anamnesis yang meliputi lamanya menderita hipertensi dan derajat tekanan darah, faktor-faktor resiko, gejala kerusakan organ, pengobatan hipertensi sebelumnya serta riwayat keluarga dan lingkungan. Sedangkan pada pemeriksaan fisik tentu saja perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah untuk  evaluasi penyakit penyerta dan kerusakan organ target (Yogiantoro, 2007).

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien dengan hipertensi diantaranya adalah urinalisis untuk darah dan protein, elektrolit, dan kreatinin darah untuk menunjukkan penyakit ginjal baik sebagai penyebab atau disebabkan oleh hipertensi, atau (jarang) dapat dianggap hipertensi adrenal (sekunder); pemeriksaan glukosa darah untuk menyingkirkan diabetes atau intoleransi glukosa; pemeriksaan kolesterol HDL dan kolesterol total serum untuk  membantu memperkirakan resiko kardiovaskuler di masa depan; dan EKG untuk  menetapkan adanya hipertrofi ventrikel kiri (Basha, 2003; Roebiono, 2003).

(15)

Pengobatan pada pasien hipertensi terbagi atas dua komponen, yaitu terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis antara lain: menghentikan merokok, menurunkan berat badan berlebih, menghentikankan konsumsi alkohol, latihan fisik, menurunkan asupan garam dan lemak, meningkatkan konsumsi buah dan sayur. Sedangkan terapi farmakologisnya dianjurkan antara lain: Diuretika (terutama Thiazide dan  Aldosteron Antagonist ),   Beta Blocker, Calcium Channel Blocker  atau Calcium Antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker  atau AT  I Receptor 

 Antagonist/Blocker. Dan untuk hipertensi sekunder, pengobatan juga dilakukan berdasarkan penyakit yang mendasarinya (Yogiantoro, 2007).

D. Sesak Napas (Dispnea)

 Dispnea (perasaan sulit bernafas) adalah menifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernapasan akibat dari kongesti vaskuler paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga menyebabkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dipsnea pada kelainan kardiovaskuler dapat muncul pada beberapa keadaan seperti dipsnea saat beraktivitas, dispnea saat berbaring (ortopnea), serta dipsnea nokturnal paroksismal (Paroxysmal Nocturnal Dyspnea / PND).

a. Dispnea saat beraktivitas

Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Akibat aliran darah ke skelet berkurang menyebabkan metabolisme anaerob dan asidosis, terjadi peningkatan kerja mekanik pernapasan (meningkatnya kekakuan paru, meningkatnya tahanan jalan nafas).

b. Ortopnea (dispnea saat berbaring)

Ortopnea terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorbsi cairan

(16)

c. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)

PND atau mendadak bangun karena dispnea, dipicu oleh adanya edema paru interstisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spsifik dari gagal  jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea (Price, 2006).

Sesak napas pada cor dan pulmo pada umumnya sulit dibedakan. Karena pada tahap awal, biasanya semua sama. Seperti napas yang tidak tuntas, rasa tertekan di dada, rasa nafas pendek, nafas berbunyi, batuk, dll.

Yang bisa dibedakan adalah :

1. Pada penyakit jantung: ada tekanan yang berat menimpa dada sebelah kiri, nyeri seperti ditusuk didada sebalah kiri, lemas dan mata berkunang-kunang, biasanya disertai bengkak pada tungkai, bunyi nafas khas, tekanan darah meningkat, bisa juga turun, denyut jantung tak teratur, cepat.

2. Pada penyakit pada paru-paru: sesak seluruh dada baik kiri maupun kanan, tidak dapat bernafas lancar, kepala pusing, biasanya tidak ada bengkak  tungkai, bunyi nafas khas, pada asma terdapat wheezing (bunyi ngik pada saat membuang nafas), tekanan darah biasanya normal, nadi yang lebih cepat tapi masih teratur.

3. Pada sakit maag: sebelumnya diawali perut kembung, rasa mual di ulu hati, pusing seolah kekurangan oksigen, dada serasa tertekan ke atas. Sebenarnya pada sakit maag, nafasnya tidak sesak, tapi rasa tidak tuntas. E. Kreatinin dan Ureum

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), disintesa dalam hati, ditemukan dalam otot rangka dan darah, dan diekskresikan dalam urin. Pemeriksaan ini berguna untuk  mengevaluasi fungsi glomerulus. Peningkatan dalam serum tidak dipengaruhi oleh diet dan asupan cairan.

Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka.

Nilai normal dalam darah :

(17)

2) Wanita : 0,5 – 0,9 mg/dl 3) Anak Menurut WHO (0-19 tahun) : 0,4 – 1,2 mg/dl

4) Bayi : 0,7 – 1,7 mg/dl

5) Bayi baru lahir : 0,8 – 1,4 mg/dl (Sutedjo, 2008).

Ureum merupakan senyawa ammonia berasal dari metabolisme asam amino yang diubah oleh hati menjadi ureum. dan diekskresikan dalam urin.

Nilai ureum normal (semua umur dan semua jenis kelamin) : 10  –  50 mg/dl (Sutedjo, 2008).

F. Asidosis Metabolik

Asidosis adalah suatu keadaan di mana kadar ion H+ dalam darah lebih tinggi dari normal (pH rendah). Asidosis metabolik dapat terjadi karena:

1. Penambahan asam:

a. Oksidasi lemak tak sempurna, misalnya pada asidosis diabetika atau kelaparan.

b. Oksidasi karbohidrat tak sempurna, misalnya pada asidosis laktat. 2. Pengurangan bikarbonat:

a. Renal tubular acidosis. b. Diare.

Dengan penambahan H + , sistem penyangga bikarbonat-asam karbonat akan bekerja dengan mengeluarkan HCO 3 guna mengikat penambahan H+ itu sehingga perubahan pH yang terjadi tidak begitu besar. Karena mekanisme ini, akan terjadi:

1. pH turun 2. HCO3 turun 3. B.E. 2,5.

 Mekanisme Kompensasi

Kompensasi tubuh terhadap perubahan pH akan dilakukan melalui sistem pernapasan dan ginjal, tergantung dari bentuk gangguan asam basa yang terjadi.

(18)

penurunan pH pada asidosis metabolik akan dikompensasi oleh suatu reaksi alkalosis respiratorik (pH naik, P CO2 turun ) (Aditama, 1987).

G. Gagal Jantung

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan, baik saat beristirahat maupun saat beraktivitas, meskipun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk  memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh ( forward failure), atau kemampuan tersebut hanya terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya (Price and Wilson, 2006; Rilantono dkk., 2003).

Dilihat dari besarnya curah jantung, maka gagal jantung diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu gagal janung curah tinggi dan gagal jantung curah rendah. Pada penderita   Paget’s disease, anemia berat, dan hipertiroid, kondisi miokard sebenarnya normal. Karena kebutuhan metabolismenya yang meningkat, jantung harus bekerja lebih kuat untuk memberikan curah jantung yang diperlukan tubuh (high output state). Jadi, dalam keadaan istirahat, curah jantung penderita ini sudah lebih besar dari normal. Bila beban metabolisme ini tetap meningkat dan melampaui kemampuan fisiologi jantung, maka akan timbul gagal jantung dan curah jantung akan menurun kembali. namun, curah jantung tersebut masih tetap lebih besar dari normal. Keadaan gagal jantung ini disebut gagal jantung curah tinggi. Pada gagal jantung yang ringan, maka curah jantung dalam keadaan istirahat masih dirasakan cukup oleh tubuh, walaupun sebenarnya lebih rendah dibandingkan normal. Namun dalam keadaan aktifitas fisik, maka curah jantung pada awalnya akan meningkat sedikit tetapi akan menurun kembali, bahkan akan lenih rendah dari saat istirahat karena ketidakmampuan jantung untuk menerima beban tersebut. Keadaan gagal jantung seperti in disebut gagal jantung curah rendah (Rilantono dkk., 2003).

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik,

(19)

kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal   jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih

dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan jasmani saja. Ada tiga macam gangguan fungsi diastolik : gangguan relaksasi, psudonormal, dan tipe restriktif  (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Gagal jantung dapat memengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktik jantung kiri yang sedang terkena. Gagal jantung kanan terisolasi dapat terjadi karena embolisme paru mayor, hipertensi paru, atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum interventrikel, disfungsi salah satu ventrikel fungsional dapat memengaruhi fungsi yang lain. Pasien sering datang dengan campuran gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel, namun untuk memmudahkan dapat dianggap terjadi secara terpisah (Gray et.al., 2005).

Manifestasi tersering dari gagal jantung kiri adalah dispnea, atau perasaan kehabisan napas. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan compliance paru akibat edema dan kongesti paru dan oleh peningkatan aktivitas reseptor regang otonom di dalam paru. Dispnea paling jelas sewaktu aktivitas fisik ( dyspneu d’effort ). Dispnea juga jelas saat pasien berbaring (ortopnea) karena meningkatnya jumlah darah vena yang kembali ke toraks dari ekstremitas bawah dan karena pada posisi ini diafragma terangkat.   Dispnea nokturnal paroksismal adalah bentuk dispnea yang dramatik; pada keadaan tersebut pasien terbangun dengan sesak napas hebat mendadak disertai batuk, sensasi tercekik, dan mengi. Manifestasi lain gagal jantung kiri adalah kelelahan otot, pembesaran jantung, takikardia, bunyi jantung ketiga (S3) gallop, ronki basah halus di basal paru,

karena aliran udara yang melewati alveolus yang edematosa. Terjadi krepitasi paru karena edema alveolar dan edema dinding bronkus dapat menyebabkan

(20)

Dilatasi kronis atrium kiri juga dapat terjadi dan menyebabkan fibrilasi atrium yang bermanifestasi sebagai denyut jantung “irregularly irregular ” (tidak teratur  secara tidak teratur) (Kumar et.al., 2007; Gray et.al, 2005).

Manifestasi utama dari gagal jantung kanan adalah bendungan vena sistemik dan edema jaringan lunak. Kongesti vena sistemik secara klinis tampak  sebagai distensi vena leher dan pembesaran hati yang kadang-kadang nyeri tekan. Bendungan ini juga menyebabkan peningkatan frekuensi trombosis vena dalam dan embolus paru. Edema menyebabkan penambahan berat dan biasanya lebih   jelas di bagian dependen tubuh, seperti kaki dan tungkai bawah. Pada gagal

ventrikel yang lebih parah, edema dapat menjadi generalista. Efusi pleura sering terjadi, terutama di sisi kanan, dan mungkin disertai efusi perikardium dan asites. Pada gagal jantung kanan ditemukan dispnu, namun bukan ortopnu atau PND. Pada palpasi mungkin didapatkan gerakan bergelombang ( heave) yang menandakan hipertrofi ventrikel kanan dan/atau dilatasi, serta pada auskultasi didapatkan bunyi jantung S3 atau S4 ventrikel kanan (Kumar et.al., 2007; Gray

et.al., 2005).

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan   jasmani elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi Doppler, dan kateterisasi   jantung. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada satu kriteria major dan dua kriteria minor

a. Kriteria Major :Paroksismal nokturnal dispnea; Distensi vena leher; Ronki paru; Kardiomegali; Edema paru akut; Gallop S3;Peninggian tekanan vena

 jugularis; Refluks hepatojugular.

b. Kriteria Minor : Edema ekstremitas; Batuk malam hari; Dispnea d’effort; Hepatomegali; Efusi pleura; Penurunan kapasitas vital  dari normal; Takikardia (>120/menit).

c. Major atau minor : Penurunan BB ≥ 4.5 kg dalam 5 hari pengobatan (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

(21)

Pada tahap simtomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat lelah (fatik), sesak napas ( dyspnea d’effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali, dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum jelas terlihat seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi, dan pemeriksaan   Brain Natriuretic Peptide (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi gagal jantung: 1. pengobatan terhadap gagal jantung,

2. pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan 3. pengobatan terhadap faktor pencetus.

Terapi Gagal Jantung:

1. Terapi Non-medikamentosa

 Perubahan gaya hidup

 Diet rendah garam untuk mengurangi retensi cairan dan garam

 Membatasi asupan cairan

 Berhenti merokok   Istirahat

 Pengaturan suhu dan kelembaban

2. Medikamentosa

Tujuan pemberian obat-obatan adalah meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung sehingga membantu memperbaiki fungsi jantung dan meringankan gejala, seperti:

a. Diuretik: Untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan

b. Penghambat ACE ( ACE inhibitors): untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung

(22)

d. Digoksin: Memperkuat denyut dan daya pompa jantung

e. Obat inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas jantung : digitalis, obat inotropik intravena

f. Vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload

 arteriolar dilator : hidralazin

 venodilator : nitrat, nitrogliserin

 mixed dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid

g. Pengobatan disritmia. 3. Pembedahan

a. Penyakit jantung bawaan : paliatif, korektif 

b. Penyakit jantung didapat : valvuloplasti, penggantian katup (Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007; PAPDI. 2007; Rilantono et al., 2003 ; Gray et al., 2003).

(23)

BAB III PEMBAHASAN

Dalam skenario dikatakan seorang laki-laki 54 tahun dengan keluhan sesak  napas kumat-kumatan 1 bulan yang lalu yang timbul saat aktivitas ringan dan berbaring disertai batuk berdahak warna merah muda/pink, berdebar-debar, sering terbangun saat tidur, dan kencing berkurang.

Sesak napas (dispnea) disebabkan oleh penurunan compliance paru akibat edema dan kongesti paru dan oleh peningkatan aktivitas reseptor regang otonom di dalam paru. Dispnea paling jelas sewaktu aktivitas fisik ( dyspneu d’effort ). Selain itu, dispnea juga jelas saat pasien berbaring (ortopnea) karena meningkatnya jumlah darah vena yang kembali ke toraks dari ekstremitas bawah dan karena pada posisi ini diafragma terangkat.   Dispnea nokturnal paroksismal adalah bentuk dispnea yang dramatik; pada keadaan tersebut pasien terbangun dengan sesak napas hebat mendadak disertai batuk, sensasi t ercekik, dan mengi.

Setelah melakukan anamnesis, maka penegakkan diagnosis selanjutnya adalah dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mengetahui tanda penyakit lebih lanjut. Pengukuran tekanan darah dilakukan untuk  mengetahui besarnya tekanan sistol dan diastol ventrikel. Pada skenario disebutkan bahwa tekanan darah pasien 180/100 mmHg, itu berarti tekanan darah arteri pasien diatas normal. Normalnya, tekanan sistol 110-140 mmHg dan diastol 80-90 mmHg. Seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 95 mmHg, sedangkan hipotensi bila tekanan sistolik < 100 mmHg dan diastolik < 70 mmHg. Tekanan darah pasien (180/100 mmHg) menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi.

Pemeriksaan nadi dapat memberikan gambaran tentang aktivitas pompa   jantung maupun keadaan pembuluh itu sendiri. Frekuensi denyut nadi pasien

diatas normal yakni 120 x/menit (normalnya adalah 60-100 x/menit). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mempunyai kelainan aritmia jantung yakni takikardi.

(24)

diatas normal yakni 32 x/menit (RR normal = 16-20 x/menit). Peningkatan frekuensi napas (takipneu) dapat merupakan pertanda gagal jantung karena berbagai sebab dan asidosis karena penyakit jantung sianotik. Pada pasien tidak  didapatkan sianotik sehingga kemungkinan besar penyebab peningkatan RR pasien karena gagal jantung. Selanjutnya, pemeriksaan suhu tubuh dilakukan untuk mengetahui suhu tubuh pasien. Kalori dalam suhu badan merupakan hasil metabolisme sel-sel jaringan tubuh. Kalori suhu badan diatur melalui pusat termoregulator di susunan saraf pusat otonom. Aliran darah melalui sistem kardiovaskuler berperan untuk mendistribusikan panas ke seluruh tubuh. Suhu tubuh pasien dalam skenario masih dalam batas normal yakni 36.5°C (normalnya 36.5°-37.2°C).

Dalam skenario tadi sudah disebutkan bahwa pasien mengalami hipertensi dimana tekanan darahnya yaitu 180/100 mmHg. Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri atau disebut juga LVH ( Left Ventricle Hyperthropy) memungkinkan  jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun

terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah.

Semua hal tersebut diatas akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron). Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf  simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan

(25)

permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel.

Di sisi lain, berkurangnya curah jantung juga akan berakibat pada berkurangnya vaskularisasi ginjal. Ginjal akan mengira bahwa tubuh kekurangan cairan sehingga ginjal akan mensekresi renin yang akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I , angiotensin I  akan diubah oleh  ACE  ( angiotensin converting enzym ) menjadi angiotensin II  dimana angiotansin II  merupakan suatu vasokontriksi yang kuat dan akan menstimulus disekresikannya aldosteron. Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na dan air sehingga jumlah urin yang dikeluarkan akan berkurang. Retensi air dan Na ini akan membuat aliran darah balik ke jantung bertambah dan meningkatkan volume akhir diastolik. Pertambahan volume akhir diastolik ini akan merangsang ventrikel kiri untuk  mengosongkan isinya dengan lebih kuat sehingga meningkatkan curah sekuncup   jantung akan tetapi peningkatan volume akhir diastolik ini sudah tidak mampu

dimbangi oleh kemampuan ventrikel untuk mengosongkan isinnya dan hanya akan menambah beban ventrikiel kiri. Dengan efek jumlah urin yang sedikit tadi, maka produk ureum dan kreatinin juga akan bertambah karena tidak diekskresikan sepenuhnya. Itulah sebabnya, dalam pemeriksaan laboratorium ureum dan kreatinin didapatkan hasil mengalami peningkatan. Disebutkan bahwa kadar serum ureum pasien 65 mg/dl dimana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dL. Namun, walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dL masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dL).

Kemudian selanjutnya, bila angiotensin II  diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Proses tersebut membuka ENaC (  Epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+bersifat retensi

(26)

peningkatan volume intravaskuler. Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak  terkompensasi. Hal tersebut dapat terjadi karena pertama, setelah terpajan dalam  jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (  Left Atrium Hyperthropy  /LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (dimana dalam skenario terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran   jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke

lateral bawah di SIC (Spatium Intercostarum) VI 2 cm lateral linea medioklavikularis dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi.

Pada scenario juga, diketahui bahwa dokter melakukan pemeriksaan abdomen kepada pasien. Pemeriksaan abdomen merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan abdomen pada pasien. Prinsip pemeriksaan ini adalah inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.

(27)

Dari hasil pemeriksaan abdomen tersebut, didapatkan hasil bahwa pasien tidak mengalami hepatomegali maupun ascites. Pembesaran hati ( hepatomegali) adalah pembesaran organ hati yang disebabkan oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam tifoid, amoeba, penimbunan lemak  (fatty liver), penyakit keganasan seperti leukemia, kanker hati (hepatoma), dan penyebaran dari keganasan (metastasis). Hepatomegali dapat mengakibatkan infasi pembuluh darah yang mengakibatkan obstruksi vena hepatica sehingga menutup vena porta yang mengakibatkan menurunnya produksi albumin dalam darah (hipoalbumin) dan mengakibatkan tekanan hidrostatis lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik yang mengakibatkan cairan intrasel keluar ke ekstrasel. Cairan yang tertimbun ini mengakibatkan ascites dan lama-kelamaan akan mengakibatkan edema. Menutupnya vena porta juga dapat mengakibatkan ansietas. Hepatomegali juga dapat mengakibatkan vaskularisasi memburuk, sehingga mengakibatkan nekrosis jaringan. Hepatomegali dapat mengakibatkan proses desak ruang, yang mendesak paru, sehingga mengakibatkan sesak napas.

Pemeriksaan analisis gas darah juga dilakukan dan hasilnya menunjukkan adanya asidoses metabolik terkompensasi. Hal ini dapat terjadi karena jaringan sistemik semakin kekurangan  dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran  dan  di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.

(28)

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Jantung adalah organ yang berongga dan berotot yang terletak di rongga toraks (dada), di sekitar garis tengah antara sternum atau tulang dada di sebelah anterior dan vertebra (tulang punggung) di sebelah posterior.

2. Secara fisiologis, sistem konduksi jantung berawal dari impuls jantung di SA node, kemudian melanjutkan diri ke AV node, berkas His, dan berakhir pada serabut-serabut purkinje.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah secara langsung adalah cardiac output (curah jantung; efek stimulasi saraf parasimpatis dan simpatis) dan resistensi perifer total.

4. Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 5. Gagal jantung ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda

berkurangnya perfusi ke organ. Gagal jantung ke belakang pada sisi kanan  jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik.

6. Etiologi gagal jantung meliputi gangguan mekanis, abnormalitas otot  jantung, gangguan irama jantung atau gangguan konduksi.

7. Gagal jantung memiliki kriteria mayor dan minor, diagnosis ditegakkan minimal 1 mayor dan 2 minor.

8. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah EKG (elektrokardiogram), echokardiogram, foto rontgen dada, dan tes darah BNP ( B-type natriuretic peptide).

9. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. SARAN

1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat diskusi.

(29)

2. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada saat menyampaikan pendapat dalam diskusi.

3. Tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan feedback  yang lebih membangun setelah didiskusi selesai.

4. Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil pemeriksaan pada skenario yang dihadapi dengan detail sesuai pathogenesis dan patofisiologinya.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta. “  Interpretasi Analisa Gas  Darah”. Cermin Dunia Kedokteran No. 43

Darmaniah, N., Hartanto, H., Wulandari, N. 2007.   Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC. pp: 406-408.

Hartanto, H., Koesoemawati, H., Salim, I.N., Setiawan, L., Valleria, Suparman, W. (eds). 2006. Kamus Kedokteran Dorland  Edisi 29. Jakarta : EGC. pp: 801.

Gray, Huon H, et all. 2005.   Lecture Note: Kardiologi. Edisi 4. Alih bahasa: H Azwar agoes dkk. Jakarta: Erlangga

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007.   Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Joesoef, A.H. dan Setianto, B. 2003. Hipertensi Sekunder dalam   Buku Ajar  Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 206-208.

Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6 . Jakarta : EGC. pp: 517

Makmun, Lukman H. dan Abdurachman, Nurhay. 2007. Pemeriksaan Fisis Jantung dalam   Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 48-50.

Mansjoer, Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1 . Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Panggabean, Marulam M. 2007. Gagal Jantung dalam   Buku Ajar Ilmu Penyakit   DalamJilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 1503-1504

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terdahulu yang dilakukan Rahayu kariadinata, 2007 dalam Desain dan pengembangan perangkat lunak (software) pembelajaran matematika berbasis

Pada awalnya hanya memiliki satu antenna (JAH-1A) yang berdiameter 27.5 meter. Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam bidang telekomunikasi maka

Manfaat dari penelitian ini antara lain adalah ; 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan melalui suatu penelitian ilmiah

Kajian ini bertujuan memahami jangkaan awal ke atas kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh syarikat Unit Amanah (SUA) di Malaysia yang

Kemudian buat sebuah user mysql dengan nama easyhotspot dan password sesuai dengan keinginan anda (dalam contoh saya menggunakan password ‘xxyyzz’) yang

Cara pembuatan pestisida cair adalah dengan cara merendam limbah batang tembakau. Limbah batang tembakau yang telah direndam dihiling dengan alat untuk diambil

Untuk dapat melihat efek dari pemberian tegangan tinggi ini pada celah terminal elektroda di dalam tabung ozonizer terhadap ruangan yang akan diterapi, penulis melakukan

MEDAN DUMAI PALEMBANG MEDAN PALEMBANG TENGGARONG SURABAYA BONDOWOSO TENGGARONG LOMBOK, NTB JAKARTA MEDAN JAKARTA MAROS, SULSEL TENGGARONG MAGELANG MAGELANG MEDAN BONDOWOSO MAROS,