• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dualitas Konsep Ijtihad Shah Waliyullah al-dihlawi dan Dinamika Masyarakat India Oleh: Asmawi *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dualitas Konsep Ijtihad Shah Waliyullah al-dihlawi dan Dinamika Masyarakat India Oleh: Asmawi *"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

dan Dinamika Masyarakat India

Oleh: Asmawi*

Abstrak

Shah Waliyullah al-Dihlawi adalah pemikir muslim terdepan (hight thinker) dalam menyuarakan isu-isu pembaharuan Islam, khususnya tentang hukum Islam. Ini dilakukannya pada abad 18 di mana masyarakat India ketika itu dilanda krisis multidimensi, baik politik, ekonomi, sosial, budaya sampai kepada sumber daya manusia muslim sebagai kaum minoritas di India. Di satu sisi India dihadapkan imperialisme Barat (Inggris) yang eksploitatif, di sisi lain masyarakat muslim India adalah komunitas minoritas yang selalu tertekan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa, dan beragama. Dalam konteks ini Shah Waliyullah menyuarakan ide-ide pemabaharuan hukum Islam khususnya konsep ijtihad. Menurut al-Dihlawi, ijtihad sebagai perangkat mencarikan solusi problem umat Islam harus selalu terbuka dengan mendasarkan prinsip-prinsip maslahah sehingga hukum Islam akan selalu relevan dengan kondisi sosial masyarakat, reformulasi bermadhab adalah sebuah keniscayaan ketika kondisi masyarakat India menganut madhab tertentu yang akhirnya tetap tercipta dinamika hukum Islam. Dari kacamata sosiologis, konsep ijtihad al-Dihlawi menemukan tingkat relevansinya dengan teori struturasi Anthony Giddens dalam kenyataan pembaharuan Hukum Islam terutama dalam konsep ijtihad al-Dihlawi yang mengalami dinamika sesuai dengan kondisi sosial masyarakat India di bawah kerajaan Mughal, memberikan tawaran-tawaran sikap bagi masyarakat India untuk bertindak sesuai dengan konsep ijtihad al-Dihlawi dalam konteks stagnasi pemikiran dan krisis multidimensi. Arti dari fenomena ini, kalau dilihat dari teori strukturasi khususnya dualitas struktur, bahwa Kondisi sosial budaya masyarakat India (dalam hal ini diletakkan sebagai stuktur) tidak semata-mata membatasi dan mempengaruhi konsep ijtihad al-Dihlawi, melainkan konsep ijtihad al-Dihlawi sendiri (dalam hal ini diletakkan sebagai agensi) juga mampu mempengaruhi tindakan dan kondisi sosial masyarakat India. Ini berarti pula konsep ijtihad al-Dihlawi memiliki peluang

(enabling) dalam memproduksi tindakan yang dapat mempengaruhi struktur masyarakat India, Sehingga pada saat yang sama kondisi masyarakat India tidak semata-mata tampil sebagai penghalang (constraint) dan mendominasi. Inilah kemudian tercipta dualitas antara ijtihad al-Dihlawi dan dinamika sosial budaya masyarakat India.

* Dosen STAIN Tulungagung dan Peserta Program Doktor IAIN Sunan Ampel

(2)

Kata kunci: ijtihad, shah waliyullah al-Dihlawi, India

A. Pendahuluan

Shah Waliyullah al-Dihlawi (1114 H/1704M-1176H/1768M)1 dari

New Delhi India, merupakan salah seorang tokoh pembaharu dengan Ide paling mendasar adalah kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, seperti

mainstream para modernis lainnya ketika menyuarakan ide-ide purifikasi,2 sehingga tidak boleh ada suatu aktivitas yang keluar dari sumber asasi keduanya (al-Qur’an dan al-Sunah). Dari ide purifikasi tersebut, ketika suatu realitas kehidupan tidak tertuang secara jelas dalam kedua sumber asasi Islam (ma la nasa fihi),3 maka membutuhkan kreativitas mujtahid dalam mencari jawabannya.

Demikian juga corak pemikiran al-Dihlawi yang mengedepankan pendekatan tatbiq (penterapan) sebagai cara sistematis untuk memahami

al-Qur’an dan Hadits. Tatbiq menyediakan metode untuk melakukan

istinbat hukum sekaligus memberikan arahan yang jelas bagaimana

menerapkannya. Selain itu Shah Waliyullah adalah orang pertama yang menggabungkan sejarah Nabi secara sistematis dan menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para Nabi itu dapat secara rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya masing-masing.4 Untuk itu ia berusaha mengintegrasikan beragam ilmu pengetahuan Islam dari Hadits, fiqih, teologi, filsafat dan sufisme, yang menurut hemat penulis semua itu dilakukan untuk mendekati Islam sebagai sebuah agama yang dinamis dan dapat diterapkan sesuai dengan konteks zamannya.

Ketika menyikapi beberapa perbedaan pendapat imam mujtahid

pendahulunya yang dirangkum dalam satu bukunya Al-Insaf Fi Bayani

Ikhtilafi Al-Fuqaha Wa Al-Muhaditsin, dan sebagai hasilnya ia mencoba menghindari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam

1 Muhamad Sharif Sukr dalam muqadimah kitab Waliyullah al-Dihlawi, Hujatullah

al-Balighah, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Ulum, 1992), I, p. 13. Idem. Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme, Terj. Ribut Wahyudi, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), p. v. Lihat juga M.M. Sharif. History of Muslim Philosophy, (Lahore: Pakistan of Philosophical Conggres, tt), p. 1557.

2 M. M. Sharif, History of Muslim Philosophy…, p. 1558-1559. 3 Meminjam istilah Abd. Wahab Khalaf.

4 Syifa’ Amin, Fazlurahman: Rekontruksi pemikiran Islam dan Neo Modernisme,

(Jakarta: ICAS, tt), p. 2. Zeki Saritoprak. “Fethullah Gulen And The People: A Voice From Turkey for Interfaith Dialogue” dalam The Muslim World, Special Issue, Juli 2005, Vol.95, p. 326.

(3)

pendapat tersebut dengan mengajukan beberapa argumentasi sehingga mendapatkan solusi yang sinergis dari perbedaan para mujtahid.

Berhubungan dengan hal ini, model perkembangan ijtihad al-Dihlawi selalu mewarnai karyanya dalam membahas masalah-masalah aktual di masyarakat. Tulisan ini mengangkat beberapa pokok pikiran teori Ijtihad al-Dihlawi yang termuat dalam beberapa kitabnya, sehingga dapat menampilkan pola berpikir Shah Waliyullah al-Dihlawi dalam menjelaskan pembaharuan hukum Islam yang dilakukannya dalam konteks masyarakat India abad 18, yang menampilkan sebuah dualitas pemikiran hukum Islam dengan kondisi sosial budaya masyarakat India.

B. Sekilas tentang Shah Waliyullah Al-Dihlawi

Shah Waliyullah (1114 H/1703M-1176H/1762M)5, Adalah seorang

intelektual Muslim India Terkemuka abad–18.6Bahan-bahan riwayat hidup

dan anekdot yang berhubungan dengan kehidupan keluarganya dapat ditemukan dalam autobiografi ringkasnya dalam bahasa Parsi, Juz al-LatIf fi tarjamah Abd al-Dha’If, dan dalam tulisannya dalam bahasa parsi

Anfas al-Arifin.7 Semula dia bernama Qutbudin Ahmad abu al-Fayyad. dilahirkan di Delhi India dengan nama lengkap Waliyullah Ahmad ibn Abd Rahim Ibn Wajih al-Din al-Shahid ibn Mu’dham ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din ibn Qasim ibn Kabir al-Din ibn Abd al-Malik Ibn Qutb al-Din ibn Kamal al-Din ibn Shams al-Din Ibn Shayr al-Malik ibn Muhamad ibn Abi al-Fath ibn Umar ibn Adil ibn Faruq ibn Jurjesh ibn Ahmad ibn Muhamad ibn Uthman ibn Mahan ibn Hamayun ibn Qurays ibn Sulayman ibn Affan ibn Abdillah Ibn Muhamad ibn Abdillah ibn Umar ibn Khatab al-Adawi al-Quraysh. Dilihar dari runtut nasab tersebut Shah Waliyullah bernasab kepada khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab ra. Keluarganya sebagai keturunan yang mempunyai status sosial dimasyarakatnya, ini dapat dilihat dari sisi keilmuan ayahnya (Shah abd. Rahim/1054-1131 h) sehingga dapat

5 Muhamad Sharif Sukr dalam muqadimah kitab Waliyullah al-Dihlawi, Hujatullah

al-Balighah,…;, I, p. 13. Idem. Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme, terj. Ribut Wahyudi, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), p. v. Lihat juga. M. M. Sharif. History of Muslim…, p. 1557.

6 E. J. Brill’s, First Ensiklopedi of Islam 1913-1936, (Leiden, New York: Koben

Haven Koln, 1987), Vol. II, p. 971. Lihat juga John L. Espisito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Terj. Eva YN, Femmy S, Jarot W, Purwanto, Rofiq S, (Bandung: Mizan, 2002), p. 153-155.

(4)

menduduki posisi Qadha’ (hakim), juga sebagai ustadz di madrasahnya sendiri “al-Rahimiyah”.8

Ayah sekaligus pembimbing spiritual Shah Waliyullah, shah Abd. Rahim adalah seorang sarjana yang masyhur yang mengajar di madrasahnya sendiri di Delhi serta menjalankan praktik mistik. Shah Abdurrahim memberi perhatian serius terhadap pendidikan anak laki-lakinya yang terlampau cepat dewasa. Di samping belajar agama, dia juga mempelajari astronomi, matematika, bahasa dan tata bahasa arab dan persi, serta ilmu kedokteran (tibb). Dari sinilah banyak konsep dan teori kelak mempengaruhi karya-karyanya.9

Shah Waliyullah menikah pada usia 14 tahun dengan anak pamannya. Tatkala dia berusia 15 tahun, ayahnya menerima Shah

Waliyullah sebagai murid dalam tariqat Naqshabandiyah, dan diapun mulai

menjalankan pelatihan serta amalan sufi. Pada tahun itu pula Shah Waliyullah menyelesaikan sekolahnya dalam bidang Islam serta diizinkan oleh ayahnya untuk mengajar teman-temanya. Kemudian pada tahun 1731 Shah Waliyullah meninggalkan India untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah dan Madinah serta tinggal disana selama 14 bulan.10

Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran Shah Waliyullah dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu dia belajar Hadits, fiqih dan ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa. Diantara beberapa gurunya adalah orang tuanya Shah abd. Rahim, Shah Sayalakuti al-Dihlawi, Shah Abu Tahir al-Kurdi al-Madani, Shah Wifd Allah al-Makki, Shah Tajudin al-Qal’i al-Hanafi. Guru-gurunya memperkenalkan kepada shah Waliyullah kecenderungan meningkatnya kosmopolitanisme dalam ilmu Hadits yang mulai muncul disana pada abad ke–18 sebagai perpaduan dari tradisi kajian dan penilaian di Afrika barat, Suriah dan India.11

Dalam struktur keilmuan fiqih Shah Waliyullah adalah seorang ilmuwan, mujtahid muntasib fi al-Madhab kepada imam Hanafi (dan ada yang berpendapat identik dengan madhab Maliki, karena pendalamannya kepada karya imam Malik al-Muwata’), karena memang mendalami kedua madhab besar tersebut, walaupun kadang banyak yang menilai dia adalah seorang mujtahid mustaqil.12Pendapat ini didasarkan penilaian terhadap Shah Waliyullah terhadap beberapa karyanya dari berbagai disiplin ilmu.

8 Idem. Al-Maswa Sharh al-Muwata’, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1983), p. 5-6. 9 John L. Espisito, Ensiklopedi Oxford…, p. 154.

10 Ibid. Ada yang mengatakan dia tinggal di Hijaz selama 2 tahun. 11 Ibid.

(5)

Sebagai seorang intelektual Muslim, dia merupakan penulis produktif dalam berbagai topik tentang Islam, yang dituangkan dalam bahasa persi dan Arab. Karyanya sangat banyak ada sekitar 50 karangan dari berbagai disiplin ilmu, mulai Qur’an, Hadits, tarikh, fiqih, Usl al-Fiqh, Tasawuf, filsafat dan sebagainya. Karya-karya tersebut sering dicirikan oleh pendekatan historis dan sistematis yang disertai upaya menjelaskan dan menengahi kecenderungan-kecenderungan yang

membagi-bagi. Diantaranya adalah Fath Al-Rahman Bi Tarjamat Al-Qur’an,

Fawz al-Kabir, Fath al Khabir Bima Labuda Min Hifdhihi Fi al-Tafsir, Al-Maswa Min Ahadith al-Muwata’, Al-Musaffa, Hujatullah al-Balighah, Al-Insaf Fi Bayani ASbab al-Ikhtilaf, ‘Iqd al-Jid Fi Ahkam al-Ijtihad Wa al-Taqlid, Izalat Khafa ‘An Khilafat al-Khulafa’, Qurat al-Ayn Fi Tafdhil Shaykhain, Al-Irshad Ila Muhimat Ilm Al-Isnad dan sebagainya.13

Dia hidup pada era kerajaan Mughal India, ketika masyarakat Muslim Indo-Pakistan ini dihadapkan pada krisis ekonomi, politik dan spiritual. Krisis inilah yang mendorong dia dengan kemampuan intelektualnya untuk mencarikan problem masyarakat, dengan ide-ide baru dan kreativitas intelektual sehingga dapat membuat regenerasi kehidupan intelektual dalam masyarakatnya.14 Sampai sekarang banyak ulama India dan Pakistan diinspirasikan oleh beberapa pemikiran Shah Waliyullah terutama dalam hal modernisasi.15

C. Ijtihad dalam Perspektif al-Dihlawi

Kata ijtihad16 berakar dari kata

al-juhdu yang berarti al-tsaqah (daya, kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-mashaqah

(kesulitan atau kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengertian

13 Ibid, p. 10-12

14 Mi’raj Muhammad, Islamic Perspective, (Saudi Arabia: Saudi Publishing House,

1979), p. 343.

15 Ibid.

16 Terdapat dua istilah keislaman yang seakar dengan kata ijtihad, yaitu jihad dan

mujahadah.. Wacana ijtihad biasa dipakai dalam usl al-Fiqh dan tidak jarang pula dipakai dalam pemikiran Islam lainnya, yang pengertianya mengacu kepada pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan suatu solusi hukum atau untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Pengertian demikian tercermin dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Mu’adz yang di dalamnya terdapat ungkapan “ajtahidu bi ra’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku. Dari ungkapan demikian terungkap bahwa ijtihad mengacu kepada penalaran intelektual. Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, (Kairo: Mustafa Babi Halabi, 1952), II, 272. Al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), I, 157. Ibn Hazm memandang hadis tersebut sebagai hadis palsu dan dusta. Ibn Hazm, al-Ihkam fi Usl al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt), II, p. 438.

(6)

kebahasaannya bermakna badzl al-wus’ wa al-majhud (pengerahan daya dan kemampuan). Atau pengerahan daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.17 Dari pengertian kebahasaan terlihat ada dua unsur pokok dalam berijtihad yaitu daya atau kemampuan dan obyek yang sulit dan berat.

Kajian tentang ijtihad oleh Shah Waliyullah secara panjang lebar dibahas dalam tiga kitabnya yaitu ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid, Hujatullah al-Balighah, al-Insaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf. Di dalam tiga karyanya tersebut Shah Waliyullah mengkaji konsep ijtihad dengan pendekatan historis, sehingga sangat jelas sekali dinamika perkembangan ijtihad dari masa Nabi Saw sampai pada zaman pra-modern. Ijtihad menurutnya adalah :

ﻍﺍﺮﻔﺘﺳﺍ

ﺪﻬﳉﺍ

ﻙﺍﺭﺩﺍ

ﻡﺎﻜﺣﻻﺍ

ﺔﻴﻋﺮﺸﻟﺍ

ﻦﻣ

ﺎﻬﺘﻟﺩﺍ

ﺔﻴﻠﻴﺼﻔﺘﻟﺍ

ﺔﻌﺟﺍﺮﻟﺍ

ﺎﺎﻴﻠﻛ

ﱃﺍ

ﺔﻌﺑﺭﺍ

ﻡﺎﺴﻗﺍ

:

ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ

ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ

ﻉﺎﲨﻻﺍﻭ

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍﻭ

.

Artinya: Mengerahkan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum shara’ yang

bersifat cabang (al-far’iyah) dari dalil-dalil yang terperinci, dan kesemuanya dikembalikan kepada empat bagian yaitu al-Qur’an al-sunah, ijma’ dan qiyas.18

Jika dikomparasikan dengan para usuliyun masa sebelumnya

pengertian ijtihad Shah Waliyullah tidak banyak mengandung perbedaan. Seperti pandangan al-Ghazali dan al-Amidi19 dari kalangan Shafi’iyah, al-Shawkani dari kalangan Zaydiyah,20 Ibn Hazm al-Andalusi dari golongan Zahiriyah,21 ataupun Ibn Humam dari kalangan madhab Hanafi.22 Hanya saja ada yang masih debatable dikalangan ulama usul, tentang masalah-masalah yang sudah difatwakan oleh ulama sebelumnya. Menurut al-Dihlawi pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum dapat

17 Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadr, tt), 133-135.

Al-Shawkani. Irshad al-Fuhu.l ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), p. 250.

18 Al-Dihlawi, ‘Iqd al-jid fi Ahkami Ijtihad…, Idem. Insah fi Bayani Asbab

al-Ikhtilaf…, 77-80. Idem. Hujatullah al Balighah…, I, p. 444.

19 Al Ghazali mendefinisikan Ijtihad dengqn pengerahan kemampuan seorang

mujtahid dalam mencari pengetahuan hukum-hukum shari’at, sementara definisi al-Amidi tentang ijtihad adalah mencerahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum shara’ yang bersifat zanni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu. Al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt). 350, al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), IV, p. 309.

20 Al-Shawkani, Irshad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt), p. 250.

21 Ibn Hazm, Al-Ihkam fi usul al-Ahkam, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, Tt), II, p.

629.

22 Ibn Amir al-Hajj, Al Taqrir wa al-Tahbir fi ‘Ilm al-usul, (Beirut: Dar 1l Fikr, 1996),

(7)

dilakukan baik sudah difatwakan oleh ulama terdahulu atau belum, bertentangan (kontra) atau bersesuaian dengan produk ijtihad yang telah ada. Demikian juga interpretasi tentang “pengerahan kemampuan dalam pencarian hukum”, apa yang dikatakan secara implisit oleh al-Dihlawi ketika mengkritik dan membantah pendapat bahwa masalah-masalah yang dibahas oleh beberapa ahli hukum Islam seandainya sesuai dengan para pendahulunya atau gurunya bukanlah mujtahid.23

Dari Penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa shah Waliyullah al-Dihlawi sangat teguh dalam berpegang teguh terhadap sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas, walaupun sebenarnya ijtihad adalah ranah logika (reasonable). Menurutnya sebenarnya ilmu shari’at itu ada tiga. Pertama. al-Qur’an, untuk itu wajib bagi seseorang yang ingin mengetahui hukum-hukum Allah mengetahui sebab-sebab turunnya,

muhkam, mutashabih, gharib al-Qur’an, nasikh dan mansukh, sedangkan hukum

mutashabih adalah tawaquf atau dikembalikan kepada muhkam.24

Kedua adalah al-Sunah. Yang di dalamnya mengandung shari’at Islam tentang ibadah

dan irtifaqat (ajaran yang mengatur hubungan sesama manusia dan

makhluq lain). Ketiga adalah al-faridha al-adilah, sebuah aturan-aturan yang

dapat menjamin keadilah antar sesama.25 Sehingga untuk memahami

hukum-hukum Allah menurut al-Dihlawi dengan dua cara yaitu dengan dalil naqli (al-Qur’an dan al-Sunah) dan istinbat al-Ahkam.26

Berdasarkan hal ini kemudian diderivasikan beberapa syarat ijtihad yaitu mengetahui al-Qur’an dan Hadits (khas , Am, Mujmal, Mubayan, nasikh, mansukh, mutawatir, ahad, mutasil, mursal, dan keadaan rawi Hadits ) yang berhubungan dengan hukum, ilmu logika (cara berpikir), mengetahui bahasa arab, mengetahui pendapat-pendapat ulama pada masa sahabat atau sesudahnya, masalah-masalah yang diperselisihkan atau disepakati oleh para fuqaha’, serta macam-macam qiyas.27

Besarnya perhatian al-Dihlawi tentang ijtihad dan syarat-syaratnya, dia ekspresikan juga dalam beberapa pembagian mujtahid sebagai pelaku ijtihad. Menurutnya Mujtahid ada dua, pertama mujtahid mutlaq yang di dalamnya ada dua macam mujtahid mutlaq mustaqil: yakni orang yang

mempunyai dasar-dasar sendiri (usul) dalam membangun ijtihadnya, dapat

meneliti beberapa ayat, Hadits, Atsar untuk mengetahui hukum-hukum yang memerlukan jawaban, dapat menjawab beberapa masalah hukum

23 Al-Dihlawi, Hujatullah al Balighah...;, I, p. 444. 24 Ibid.

25 Ibid. Lihat juga Mi’raj Muhammad, “Shah Wali-Allah Concept of the Shari’ah”

dalam Islamic Perspektif, p. 343-358.

26 Al-Dihlawi, Hujatullah al Balighah,…; I, p. 416.

(8)

yang belum ada jawabannya. Dan mujtahid mutlaq muntasib yaitu orang yang mengikuti dasar-dasar ijtihad imamnya. Kedua. Mujtahid fi al-Madhab:

orang yang taqlid terhadap madhab imamnya.28

Untuk menjembatani antara orang-orang yang mampu memahami al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumber ajaran Islam dengan orang-orang awam sebagai keniscayaan, era dimana al Dihlawi hidup dihadapkan kepada krisis multidimensi dalam diri umat Islam, dia tidak ragu-ragu juga

untuk memfatwakan bahwa taqlid bagi orang awam adalah merupakan

solusi. Dan ini menjadi kesepakatan para ulama bagi orang-orang yang tidak mampu ijtihad.29

Ini diikuti dengan beberapa praktek yang terjadi dikalangan muslim pada waktu itu ketika mengerjakan sholat dengan imam yang berbeda madhab, misalnya orang yang bermadhab Shafi’I ma’mum kepada imam

yang bermadhab Maliki walaupun tanpa membaca al-Fatihah dengan

terang-terangan atau disembunyikan. Diriwayatkan bahwa imam Shafi’I pernah sholat subuh dekat makam abu Hanifah tanpa membaca qunut karena ingin menghormatinya. Demikian juga ketika orang yang tidak mempunyai pengetahuan agama sama sekali, ketika menghadapi masalah hukum, maka seandainya terjadi pertentangan antara fatwa ulama atau fuqaha’ dengan Qadhi, maka menurut Shah Waliyullah harus mengikuti

pendapat atau ketetapan Qadhi dengan meninggalkan pendapat fuqaha’. 30

Pemikiran hukum Islam yang lain, dia juga banyak mengupas tentang beberapa prinsip maslahah yang harus dijadikan pijakan bagi setiap orang yang ingin melakukan Ijtihad (al-qawaid al-kuliyah allati yastanbitu minha al-masalih al mura’iyah fi al-ahkam al-Shar’iyah).31 Diantaranya kajian tentang sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada mukalaf di dalamnya terdapat tujuan kebahagiaan manusia (asbab al-taklif),32kajian tentang balasan terhadap amal yang dilakukan ketika hidup dunia dan akhirat (mujazah fi al-hayat wa ba’da al-mamat), bahasan tentang kasih sayang (irtifaqat), Bahasan tentang prinsip kebahagiaan (mabhas al-sa’adah), prinsip kebaikan dan dosa (al-bir wa al-itsmi), Prinsip al-siyasat al-miliyah (pengaturan agama). Semua prinsip tersebut dijadikan pedoman dalam rangka menggali rahasia-rahasi hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasulnya Saw.33 Kajian filosofis tentang sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada

mukalaf yang di dalamnya terdapat tujuan kebahagiaan manusia (asbab

28 Al-Dihlawi, ‘Iqd al-jid fi Ahkami…, p. 5 29 Ibid, p. 30-36.

30 Ibid, p. 111

31 Al-Dihlawi, Hujatullah al-Balighah…;, I, p. 47. 32 Ibid

(9)

taklif)34 di atas, Shah Waliyullah mengeksplorasi beberapa rahasia hukum dan hikmah taklif, misalnya Perintah sholat dishari’atkan untuk ingat kepada Allah, Puasa untuk mengekang hawa nafsu, haji untuk untuk

mengagungkan shi’ar Islam, Hukum qisas diterapkan dalam rangka

memberi pelajaran bagi pelaku kejahatan, Jihad untuk meninggikan kalimat Allah, hukum-hukum muamalat di shari’atkan untuk menegakkan keadilan dalam interaksi sosial kemanusiaan.35 Dari beberapa hikmah tujuan hukum Islam ini, dia berpendapat bahwa beberapa hukum selalu mempunyai ‘illat kemaslahatan bagi manusia.36

Konsep ijtihad al-Dihlawi tersebut menunjukkan sikap keterbukaan

(inklusif) dalam ijtihad dengan memberikan beberapa akomodasi dan

adaptasi terhadap perkembangan hukum Islam. Ditambah lagi pendapatnya yang menganjurkan untuk selalu dilakukan ijtihad dalam rangka mencari solusi hukum Islam terhadap permasalahan yang timbul, dengan menyalahkan pendapat seseorang yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup (insidad bab al-Ijtihad) atau pendapat yang menyatakan “pada zaman ini sudah tidak ditemukan lagi seorang mujtahid”.37

D. Relevansi Ijtihad Al-Dihlawi dalam Pembaharuan Hukum Islam

Shah Waliyullah al-Dihlawi merupakan salah seorang tokoh

mujtahid yang mempunyai metode istinbat hukum yang mempunyai

karakteristik tersendiri walaupun dia masih mengikuti usul dari madhab-madhab yang sudah ada, tetapi dengan konsep ijtihadnya al-Dihlawi mencoba tidak terikat dengan madhab tertentu, baik masalah teologi, filsafat, sosiologi, misticisme, fiqih, usul al-Fiqh dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sehingga menampilkan corak pemikiran hukum Islam yang khas dan genuine didasarkan pada social culture masyarakat India.

Ide pembaharuan paling mendasar yang dikemukakan adalah kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah seperti para modernis lainnya ketika menyuarakan ide-ide purifikasi,38 sehingga tidak boleh ada suatu aktivitas yang keluar dari sumber asasi keduanya. Dari ide purifikasi tersebut, ketika suatu realitas kehidupan tidak tertuang secara jelas dalam kedua sumber asasi Islam (Ma la nasa fihi),39 maka membutuhkan kreativitas mujtahid dalam mencari jawabannya. Sehingga memunculkan

corak pemikiran al-Dihlawi yang mengedepankan pendekatan tatbiq

34 Ibid

35 Ibid, p. 27-29. 36 Ibid, p. 34. 37 Ibid.

38 M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy…; p. 1558-1559. 39 Meminjam istilah Abd. Wahab Khalaf.

(10)

(penterapan) sebagai cara sistematis untuk memahami al-Qur’an dan

Hadits. Tatbiq menyediakan metode untuk melakukan istinbat hukum

sekaligus memberikan arahan yang jelas bagaimana menerapkannya. Selain itu Shah Waliyullah adalah orang yang menggabungkan sejarah Nabi secara sistematis (pendekatan historisitas Sunah) dalam melihat hukum Islam dan menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para Nabi itu dapat secara rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat

Islam pada masanya masing-masing.40 Untuk itu ia berusaha

mengintegrasikan beragam ilmu pengetahuan Islam dari Hadith, fiqih, teologi, filsafat dan sufisme, yang menurut hemat penulis semua itu dilakukan untuk mendekati Islam sebagai sebuah agama yang dinamis dan dapat diterapkan sesuai dengan konteks zamannya.

Tesis di atas dapat ditemui dalam berbagai pemikiran hukum Islamnya, diantaranya ketika menyikapi beberapa perbedaan pendapat imam mujtahid pendahulunya (seperti yang dijelaskan di atas), sebagai hasilnya ia mencoba menghindari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam pendapat-pendapat tersebut dengan mengajukan beberapa argumentasi tentang perbedaan para mujtahid. Dintaranya pendapatnya mengenai perbedaan penguasaan ilmu mujtahid setelah tabi’In, perbedaan metode dalam istinbat al-ahkam, perbedaan dalam menyikapi nas baik al-Qur’an atau al-Sunah.41 Untuk itu al-Dihlawi dalam buku-bukunya selalu menekankan urgensi Ijtihad sebagai upaya untuk menghidupkan shari’at Islam dewasa ini baik hasil ijtihad tersebut sesuai dengan ulama masa lalu

atau bertentangan.42 Bahkan melalui teori ijtihadnya dia mencoba

memecahkan problem-problem hukum Islam yang terjadi pada masa hidupnya.

Kemampuannya dalam mengekplorasi pendapat semua ulama yang pernah muncul, untuk menemukan pendapat yang paling kuat, paling relevan untuk konteks kekinian, walalupun dalam beberapa hal dia harus memunculkan hukum baru karena ulama-ulama dulu tidak mengkaji dan memproduknya. Sebab dinamika yang ada dalam masyarakat modern dengan karakteristik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, berimplikasi kepada perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat

40 Syifa’ Amin, Fazlurahman. Rekontruksi pemikiran Islam dan Neo Modernisme,

(Jakarta: ICAS, Tt), 2. Zeki Saritoprak. “Fethullah Gulen And The People: A Voice From Turkey for Interfaith Dialogue” dalam The Muslim World, Special Issue, Juli 2005, Vol.95, p. 326.

41 Al-Dihlawi, Al-Insaf fi…;, 111.Lihat juga. Idem. Iqd al Jid fi ahkam Ijtihad wa

al-Taqlid, (Delhi: Maktabah al-asharafia, tt)

42 Ibid, p. 3. Majalah Info al-Irsyad Ijtihad dan Taqlid, edisi 74 tahun ke-7 ,

(11)

sehingga membuat hukum tertinggal dari perkembangan masyarakat. Situasi dan kondisi demikian tak diragukan lagi, menuntut suatu upaya tatanan hukum baru yang mampu memberikan solusi bagi perkembangan peradaban umat manusia dimasa yang akan datang. Untuk itu terobosan-terobosan yang dilakukan oleh ShahWaliyullah al-Dihlawi mampu menjawab kesenjangan yang ada.

Berhubungan dengan hal ini, model ijtihad al-Dihlawi selalu mewarnai karya-karyanya dalam membahas masalah-masalah aktual di masyarakat. Dari beberapa manhaj dan prinsip tujuan Hukum Islam ini diderivasikan terhadap semua permasalahan fiqih yang muncul, mulai masalah Ibadah, muamalah, munakahah, Jinayah, jihad, Qadla’ dan sebagainya. Sehingga banyak sekali para pemikir dan pengkaji hukum Islam dimasa sekarang ini banyak yang memperdebatkan metode atau

manhaj yang digunakan oleh tokoh pembaharu hukum Islam yang satu ini.

Sebagian menilai bahwa beliau adalah seorang pemikir rasionalis43 yang berhaluan revivalisme pra-modernis44 dan sebagian yang lain menilai sebaliknya atau fundamentalis. Tepat atau tidak penggolongan itu, al-Dihlawi adalah sarjana dari India yang sangat menghormati warisan pemikiran para ulama terdahulu dari masa klasik sampai masa pertengahan. Walaupun demikian beliau tidak fanatik terhadap madhab tertentu. Justru sikap fanatik dalam bermadhab menurutnya akan berakibat kontra produktif terhadap perkembangan hukum Islam itu sendiri.

Ekspresi kekaguman terhadap al-Dihlawi juga diutarakan oleh Sayid

Sabiq dalam memberikan pengantar terhadap buku Hujatullah

al-Balighahnya al-Dihlawi yang menyatakan bahwa kitab ini adalah kitab yang

sangat berharga dan langka dalam menjelaskan tentang rahasia hukum-hukum shari’at beserta filsafat hukum-hukum Islam.45

Bahasan Ijtihad al-Dihlawi tersebut akan diimplementasikan terhadap persoalan-persoalan yang timbul di tengah-tengah masyarakat Islam. Tentunya dari istinbat tersebut nantinya akan menghasilkan produk hukum yang disebut fiqh. Dari situ nanti fiqih yang merupakan bagian dari shari’at Islam yang bersifat Ilahiyah dan posisinya sebagai produk ijtihadi akan memiliki karakteristik sesuai dengan metode yang dipakai dalam mengeluarkan hukum. Juga akan melahirkan berbagai nuansa pemikiran

43 Mi’raj Muhamad yang mengatakan bahwa shah Waliyullah adalah pendiri

prinsip-prinsip modernisasi di anak benua India. Mi’raj Muhammad. “Shah Waliyulla’s Concept of The Shari’ah” dalam Islamic perspectiv…, p. 354

44 Bahkan ada yang menyatakan bahwa ide pembaharuan Fazlurahman yang

berkarakteristik neo-modernis di anak Benua India sebenarnya diilhami oleh pembaharuan Islam Shah Waliyullah al-Dihlawi. Syifa’ Amin. Fazlurahman…, p. 2

(12)

sebagai respon atas sejumlah tantangan dan persoalan hukum, legal problems

sehingga fiqih terkesan dinamis.

Lebih jauh bila melihat masa depan masyarakat dunia, yang menurut Futuruloq Amerika, John Naisbit dan Patricia Aburdune disebut masyarakat Global. Dalam hal demikian, menurut keduanya menjelang

abad ke-21ada sepuluh trend yang akan menaungi dan mempengaruhi

kehidupan manusia, yaitu:1). Boom ekonomi global tahun 1990-an, 2). Renaisans dalam seni, 3). munculnya sosialisme pasar bebas, 4). gaya hidup global dan nasionalisme kultural, 5). penswastaan negara kesejahteraan, 6). kebangkitan tepi pasifik, 7). dasawarsa wanita dalam kepemimpinan, 8). abad biologi, 9). kebangkitan agama milinium baru, 10). kejayaan individu.46

Jika apa yang diprediksikan oleh dua Futurulog itu benar, maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat banyak atau sedikitnya niscaya akan berubah. Masalah dalam lapangan perekonomian yang dibicarakan oleh para fuqaha’ tentang muamalah atau transaksi satu abad yang lalu, niscaya sudah jauh tertinggal dari pada apa yang dipermasalahkan dewasa ini, apalagi untuk dasawarsa yang akan datang. Dalam menghadapi problema demikian, diperlukan hukum yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang luwes dan mantap (Murunah al-hukmi). Dalam hal ini mungkin dapat mengutip prinsip-prinsip hukum yang dikembangkan oleh ulama terkemuka Shah Waliyullah yang tampak lebih jauh menatap masa depan. Atas dasar demikian Ijtihad dalam hukum Islam akan dapat dikembangkan guna mengantisipasi masa depan umat Islam.

Dari beberapa argumentasi di atas, peranan pemikiran Hukum Waliyullah al-Dihlawi secara sosiologis masyarakat modern telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam khazanah pemikiran hukum Islam di dunia Islam Modern. Pendapat-pendapatnya dalam bidang fiqh sangat dibutuhkan bahkan diambil oleh sebagian umat Islam di dunia,47 karena ternyata fatwanya memungkinkan untuk lebih bisa diterima dan dilaksanakan oleh umat Islam.

46 John Naisbit dan Patricia Aburdune, Megatrend 2000, terj. Budiyanto, (Jakarta:

Bina Rupa Aksara, 1990), p. 3.

47 Zaki Saritropak, “Fethullah Gulen and The people of The Book: A Voice From

(13)

E. Dualitas: Antara Konsep Ijtihad al-Dihlawi dan Dinamika Masyarakat India

Dalam perspektif sosial budaya dimana dia Hidup, al-Dihlawi hidup

pada era kerajaan Mughal India, ketika masyarakat Muslim India ini dihadapkan pada krisis ekonomi, politik dan spiritual. Krisis inilah yang mendorong dia dengan kemampuan intelektualnya untuk mencarikan problem masyarakat, dengan ide-ide baru dan kreativitas intelektual sehingga dapat membuat regenerasi kehidupan intelektual dalam masyarakatnya.48 Sehingga pemikirannya tentang konsep ijtihad yang di dalamnya banyak membahas tentang Ijtihad dan konsep madhabnya ini sebagai solusi perblematika terhadap masyarakatnya. Pendekatan sosiologis dalam studi hukum Islam dalam melihat interaksi dan dialektika ide pemikiran Hukum Islam dapat dibuat pisau analisa untuk menggambarkan dualitas antara konsep ijtihad al-Dihlawi disatu pihak dengan kondisi sosial budaya masyarakat India yang saling mengisi. Teori sosiologi ini bernama teori strukturasi. Lahir dari pemikiran anthony Gidden-seorang profesor sosiologi di Universitas Cambridge. Lahir di London Utara, memperoleh gelar master di Universitas Hull, dengan tesis di bidang sosiologi olah raga. Ia adalah pendiri Politi Press bersama-sama David Held dan John Thomson-sebuah penerbit yang memiliki tempat tersendiri dalam penerbitan pengetahuan sosial.49

Dari hasil mengikuti karya-karya Durkheim, Marx, Parson, Hubermas, muncul ketidak puasan Gidden terhadap perspektif Positifistik yang reduksionistik seperti fungsionalism maupun strukturalism, yang kedua-duanya dinilai terjebak dalam pandangan yang naturalistik. Pandangan ini mereduksi aktor sebagai produk dari proses-proses impersonalitas dan dominasi proses sosial. Reproduksi masyarakat kemudian berlangsung secara mekanis, dan suatu produk kontigensi dari aktifitas agen.50 Dari situ dia merekonseptualisasikan tindakan, struktur dan sistem yang kemudian dapat menawarkan konsep baru yang dikenal dengan teori strukturasi-proses dimana struktur dibentuk melalui tindakan, dan tindakan dibentuk oleh struktur.51

Melalui teori stukturasi (Structuration theory), Giddens mengakui ada proses dinamis secara berkelanjutan dari dan dalam suatu stuktur. Reproduksi hubungan dan praktik sosial juga sekaligus suatu proses

48 Ibid.

49 Daniel Ross.”Anthony Gidden” dalam Peter Beilharz, A Guide to Central

Thinkers: Social Theory, (Australia: Allen&Awin Pty Ltd, 1991), p. 121.

50 Malcom Waters, Modern Sociologi Theory, (London: Sage Publication, 1994), p. 46. 51 Ibid, p. 47.

(14)

produksi, sebab ia tidak dilakukan oleh subyek yang pasif. Karena itu suatu struktur sosial dapat dipandang sebagai sistem aturan dan sumber yang diproduksi oleh agensi manusia, dimana proses dan hasil produksi tersebut hanya mungkin terjadi bila tersedia struktur yang menjadi mediumnya. Dengan demikian struktur sosial merupakan suatu medium dan sekaligus juga hasil (outcome). Dan itulah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan duality of structure, yang merupakan kata kunci atau konsep sentral dari teori strukturasi yang dikembangkan Giddens. Dalam konteks ini Giddens memaknai struktur sosial sebagai sesuatu “generative rule and resources” . Sedangkan strukturasi dipahami sebagai “generation of system of interaction through duality of structure”52

Selanjutnya, Giddens memandang suatu masyarakat pada dasarnya secara terus menerus diproduksi oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat itu sendiri. Suatu struktur sosisal mengkonstitusi atau memproduksi tindakan, namun pada saat yang sama ia juga dikonstitusi atau diproduksi oleh tindakan. Oleh karena itu suatu struktur bukan semata-mata sebagai sumber kendala (constrains) bagi agensi manusia, tetapi sekaligus sebagai peluang (enabling).

Teori Giddens ini sampai tingkat tertentu agaknya mulai menemukan relevansinya dalam kenyataan pembaharuan Hukum Islam oleh Shah Waliyullah al-Dihlawi. Contoh bagaimana pemikiran hukum Islam terutama dalam konsep Ijtihad al-Dihlawi mengalami dinamika sesuai dengan kondisi sosial masyarakat India dibawah kerajaan Mughal, memberikan tawaran-tawaran sikap bagi masyarakat India untuk bertindak sesuai dengan konsep Ijtihad al-Dihlawi dalam konteks stagnasi pemikiran dan krisis multidimensi. Apa arti dari fenomena ini ? kalau dilihat dari teori strukturasi khususnya dualitas struktur, bahwa Kondisi sosial budaya masyarakat India (dalam hal ini diletakkan sebagai stuktur) tidak semata-mata membatasi dan mempengaruhi konsep ijtihad al-Dihlawi, melainkan konsep ijtihad al-Dihlawi sendiri (dalam hal ini diletakkan sebagai agensi) juga mampu mempengaruhi tindakan dan kondisi sosial masyarakat India. Ini berarti pula Konsep ijtihad al-Dihlawi memiliki peluang (enabling) dalam memproduksi tindakan yang dapat mempengaruhi struktur masyarakat India, Sehingga pada saat yang sama kondisi masyarakat india tidak semata-mata tampil sebagai penghalang (constraint) dan mendominasi. Dapat dicontohkan juga, fatwa al-Dihlawi ketika mendapati seseorang yang mencari fatwa seandainya ada pertentangan antara fatwa fuqaha’

52 Anthony Giddens, The Constitution Of Society: Outline Of Theory Of Structuration,

(East Sussex: Politi Press, 1984), p. 5. Lihat juga Malcom Waters. Modern Sociologi…, p. 48-51.

(15)

dengan fatwa Qadhi, menurut al-Dihlawi maka seyogjanya dia mengikuti

fatwa Qadhi yang telah mendapatkan legitimasi dari penguasa.53

Jadi gagasan dasar Giddens,54 melihat bahwa hubungan antara

individu dan struktur bukanlah terpisah dalam dua kutub yang saling berlawanan (dualism). Struktur bukan sekedar tatanan nilai, norma dan aturan yang lengkang sepanjang zaman. Bila dipahami maka struktur itu bersifat obyektif. Namun struktur adalah tempat dimana individu turut menentukan di dalamnya. Hubungan antara individu dan sturktur tidak saja memberi hambatan (constraint), tetapi juga peluang (Enabling).

Dalam hubungan ini, dinamika pemikiran hukum Islam khususnya tentang konsep ijtihad al-Dihlawi sebagai sebagai sasaran hukum Islam sosiologis, kalau dilihat dari teori strukturasi Anhony Giddens akan menghasilkan pemahaman bahwa proyek pembaharuan pemikiran hukum Islam al-Dihlawi dan dinamika masyarakat India adalah dua sisi yang saling mengisi, tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

F. Kesimpulan

1. Penjelasan tentang pemikiran hukum Islam al-Dihlawi di atas, walaupun kurang komprehensif dapat menghasilkan beberapa

Discourse dalam khazanah pemikiran hukum Islam yakni, sistem ijtihad

al-Dihlawi. Konsep ijtihad al-Dihlawi adalah muncul sebagai sebuah sistem ijtihad yang mengakomodasi beberapa kelemahan dalam tubuh umat Islam dengan membatasi dalil-dalil yang hanya berhubungan

dengan masalah hukum, tanpa harus menguasai semua adilah al-hukmi

secara keseluruhan. Demikian juga sikap dia yang mencoba mensinergikan beberapa madhab besar dalam Islam juga sebagai solusi bagi keterpurukan pemikiran hukum Islam pada zaman al-Dihlawi hidup, tanpa harus mengesampingkan urgensitas ijtihad sebagai ruh dinamika hukum Islam sendiri.

2. Untuk itu dalam konteks modernisasi hukum Islam dengan berbagai varian tipologinya, konsep ijtihad al-Dihlawi dapat menjadi embrio pemikiran modern di dunia Islam khususnya tentang Hukum Islam yang bersifat revivalis-pra modernis. Dalam perspektif sosiologis terutama teori strukturasi-nya Anthony Giddens “Konsep ijtihad al-Dihlawi dan perubahan masyarakat India adalah dualitas yang saling mengisi dan saling mempengaruhi”.

53 Al-Dihlawi, Al-Insaf…, p. 111.

54 Daniel Ross, ”Anthony Gidden” dalam Peter Beilharz. A Guide to Central

(16)

Daftar Pustaka

Zahra, Abu, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr,1958

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Kairo:Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952, II

Khatib, Ajjaj al-, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut:Dar al-Fikr, 1963 Biek, Ahmad Ibrahim, Tarikh Tasri’ al-Islami, Kairo:Dar al-Ansar, tt Dihlawi, al-. Hujatullah al-Balighah, Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1992 _____, Al-Insaf fi Bayani Ikhtilaf al-Fuqaha’ wa al-Muhaditsin, Beirut:Dar

al-Nafais, tt,

_____, Iqd al Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid, Delhi:Maktabah al-asharafia, tt

_____, Al-Maswa Sharh al-Muwata’, Beirut:Da.r al-Kutub Ilmiyah, 1983 Shawkani, Al-, Irshad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Beirut:Dar

al-Fikr, tt, I

Ghazali, al-,. Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, Beirut:Dar al-Fikr, tt Amidi, al-, .Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut:Dar al-Fikr, 1996, IV Tirmidzi, al-, Sunan al-Tirmidzi, Beirut:Dar al-Fikr, 1967, I

Sayis, al-, Nashah al-Fiqh al-Ijtihadi, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah _____, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 Giddens, Anthony, The Constitution Of Society:Outline Of Theory Of

Structuration, East Sussex:Politi Press, 1984

Ash-Shidiqie. Pokok-Pokok Pegangan Imam Madhab dalam Membina Hukum

Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1973

Mudzhar, Atho, “Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologi”, dalam Amin Abdullah. Mencari Islam, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2000

Ross, Daniel, ”Anthony Gidden” dalam Peter Beilharz. A Guide to Central

Thinkers:Social Theory, Australia:Allen&Awin Pty Ltd, 1991

Deewes, Devin, Sacred Places and Public Narratives:The Shrine of Ahmad Yasawi in Hagiographical Tradition of the Yasawi Sufi Order, 16 - 17 Centuries, , Musliem Wolrd, 2000, Vol. 90

Brill’s, E.J., First Ensiklopedi of Islam 1913-1936, Leiden. Newyork Koben Haven.Koln:1987, Vol.II

(17)

Kamali, Hashim, Principles of Islamic Yurisprudence, Cambridge: Islamic Texs Society,1991

Hazm, Ibn, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut:Dar al-Fikr, tt, II Ifriqi, Ibn Manzur al-, Lisan al-Arab, Beirut:Dar al-Sadr, tt

Hajj, Ibn Amir al-, Al Taqrir wa al-Tahbir fi ‘Ilm al-Usul, Beirut:Dar al Fikr, 1996, III

Mubarak, Jaih, Sejarah Perkembangan Hukum Islam , Jakarta:Rosda Karya, 2000

Espisito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Terj. Eva YN, Femmy S, Jarot W, Pur Wanto, Rofiq S, Bandung:Mizan, 2002 Naisbit, John, dan Patricia Aburdune, Megatrend 2000, terj. Budiyanto.

Jakarta:Bina rupa Aksara, 1990

Musa, Kamil, Madkhal ila Tasri’ al-Islami, Beirut:Mu’asasah Risalah, 1989 Beik, Khudhari, Tarikh Tashri’ al-Islami, Surabaya:Nabhan, tt

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991

Luckes, Emile Durkheim His Life and Work, London:penguin Book, 1992

Waters, Malcom, Modern Sociologi Theory, London:Sage Publication, 1994 Sharif, M. M., History of Muslim Philosophy, Lahore : Pakistan of

Philosophical Conggres, Tt

Muhammad, Mi’raj, Islamic Perspective, Saudi Arabia: Saudi publishing House, 1979

Solahudin, Nadhir, ” Peta Kajian Islam” dalam Akademika program Pasca

Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 05, No. 1, 1999

Amin, Syifa’, Fazlurahman: Rekontruksi Pemikiran Islam dan Neo Modernisme, Steven

Tiwana, Sayyid Musa, Al-Ijtihad, Fi Mada Hajatuna Ilayhi Fi Hadha Al-‘Asri

Mesir:Dar alKutub al-Hadithah, Tt

Saritoprak, Zeki, “Fethullah Gulen And The People : A Voice From Turkey for Interfaith Dialogue” dalam The Muslim World, Special Issue, Juli 2005, Vol.95

Musa, Yusuf, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Mesir Dar al-Ma’rifah, Tt

Majalah Info al-Irsyad “Ijtihad dan Taqlid”, edisi 74 tahun ke-7 , November 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dibatasi pada rantai nilai industri kelapa sawit PT MISP dari perkebunan inti dan plasma sampai ke pabrik kelapa sawit (PKS), yang terkait dengan

Hal ini didukung oleh wawancara dengan operator SIAKAD di Prodi MPI bahwa fasilitas yang digunakan dalam penerapan sistem informasi akademik adalah terdiri atas

4). Sebutkan 3 nama lensa pada teropong bumi. Sebutkan sifat-sifat bayangan pada teropong Bumi. Tuliskan rumus perbesaran teropong bumi dengan pengamatan tanpa akomodasi.

Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik subjek (usia, jenis kelamin, riwayat penyakit, aktifitas fisik, dan kebiasaaan olahraga), tinggi badan,

pengetahuan tentang penulisan huruf braille dan juga meningkatkan kepekaan jari tangan dalam meraba format huruf braille. Dalam produk ini dilengkapi juga dengan contoh-contoh

Produksi dan nutrisi kedelai dengan inokulasi ganda (cendawan mikoriza arbuskular + Bradyrhizobium japonicum ) dan pemupukan fosfat (Yield and nutrition of soybean with

.- 3enerapkan konsep torsi, momen inersia, titik berat dan momentum sudut pada benda tegar (statis dan dinamis) dalam kehidupan

Konsisten dengan hukum III Newton, maka meja akan memberikan gaya dengan arah berlawanan yang memiliki besar yang sama kepada balok tersebut. Reaksi meja ini yang disebut