• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT INSOMNIA ANTARA LANSIA DENGAN KECEMASAN DAN LANSIA TANPA KECEMASAN DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT INSOMNIA ANTARA LANSIA DENGAN KECEMASAN DAN LANSIA TANPA KECEMASAN DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA SKRIPSI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT INSOMNIA ANTARA LANSIA DENGAN KECEMASAN DAN LANSIA TANPA KECEMASAN DI PANTI

WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ratri Satya Pitrasti G0008154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2011

(2)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

B. Kerangka Pemikiran ... 16

C. Hipotesis ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

A. Jenis Penelitian ... 18

B. Lokasi Penelitian ... 18

C. Subjek Penelitian ... 18

D. Teknik Sampling ... 19

(3)

commit to user

viii

F. Variabel Penelitian ... 20

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 21

H. Instrumen Penelitian ... 21

I. Cara Kerja ... 22

J. Teknik Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 24

A. Deskripsi Sampel ... 24

B. Analisis Statistika ... 26

BAB V PEMBAHASAN ... 29

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 32

A. Simpulan ... 32

B. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN

(4)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ... 25

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 25

Tabel 3. Uji Normalitas Penyebaran Data dengan Saphiro-Wilk ... 26

(5)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

(6)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran

Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Biodata responden

Lampiran 5. Kuesioner L-MMPI

Lampiran 6. Kuesioner Kecemasan Skala TMAS

Lampiran 7. Kuesioner Insomnia KSPBJ – Insomnia Rating Scale

Lampiran 8. Data Mentah Hasil Penelitian

Lampiran 9. Uji Normalitas Data dan Uji Analisis Data

(7)

commit to user

iv

ABSTRAK

Ratri Satya Pitrasti, G0008154, 2011. Perbedaan Tingkat Insomnia antara Lansia dengan Kecemasan dan Lansia tanpa Kecemasan di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

Tujuan: Lansia memiliki kecenderungan untuk lebih mudah mengalami

kecemasan dan salah satu dampak dari kecemasan adalah adanya gangguan tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat insomnia antara lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah lansia berumur 60 - 80

tahun yang tinggal di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Teknik pengambilan

sampel menggunakan purposive sampling. Data penelitian diperoleh dari tiga

macam kuesioner, yaitu kuesioner L-MMPI, kuesioner kecemasan The Taylor

Minnesota Anxiety Scale (TMAS), dan kuesioner Kelompok Studi Pusat Biologik Jakarta (KSPBJ Insomnia Rating Scale). Analisis statistik menggunakan uji t .

Hasil: Dari 33 jumlah sampel terdiri dari 13 lansia mengalami kecemasan dan 20 lansia tidak mengalami kecemasan. Pada lansia yang mengalami kecemasan didapatkan rata-rata skor IRS sebesar 12.63 dan SD sebesar 4.565. Pada lansia yang tidak mengalami kecemasan didapatkan rata-rata skor IRS sebesar 6.25 dan SD sebesar 3.240. Perbedaan tingkat insomnia antara lansia yang mengalami kecemasan dan lansia yang tidak mengalami kecemasan menghasilkan nilai signifikansi (p = 0.007).

Simpulan: Terdapat perbedaan tingkat insomnia yang secara statistik signifikan antara lansia yang mengalami kecemasan dan lansia yang tidak mengalami kecemasan (p = 0.007). Tingkat insomnia pada lansia yang mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami kecemasan.

(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pada umumnya akan mengalami penuaan. Proses tersebut merupakan suatu kondisi yang wajar dan tidak dapat dihindarkan sebagai suatu fase kehidupan manusia. Sebagai suatu proses sudah barang tentu diperlukan persiapan sejak dini agar memiliki persiapan menghadapi ketuaan itu (Dermatoto, 2006). Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria/wanita usia lanjut akan melakukan penyesuaian diri secara baik/buruk (Hurlock, 2003).

Seiring dengan perubahan pola kehidupan di masyarakat, maka terdapat kecenderungan semakin banyak keluarga dengan berbagai alasan dan pertimbangan memasukkan anggota keluarganya yang lanjut usia di panti werdha yang juga akan mempengaruhi perubahan–perubahan fisik, psikososial dan spiritual. Kehilangan adalah tema yang menonjol yang menandai pengalaman emosional pada lanjut usia. Seorang lanjut usia harus menghadapi kesedihan akibat berbagai kehilangan (kematian pasangan, teman, keluarga, dan rekan kerja), perubahan status pekerjaan dan prestasi, dan menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan. Seorang usia lanjut menggunakan sebagian besar energi emosional dan fisik dalam berduka cita, menghilangkan

(9)

kesedihan, dan beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan kehilangan tersebut. Hidup sendiri adalah suatu stress besar yang mempengaruhi kira-kira 10 persen lanjut usia (Kaplan dan Sadock, 1997).

Suatu peristiwa dirasakan sebagai penyebab stres adalah tergantung pada sifat peristiwa dan kekuatan seseorang, pertahanan psikologis, dan

mekanisme mengatasi. Berdasarkan data National Institute of Mental Health

(2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun hingga lanjut usia. Sedangkan prevalensi gangguan kecemasan di Indonesia berkisar pada 6 - 7% dari populasi umum. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang (Kaplan dan Sadock, 1997).

Seseorang yang mengalami kondisi psikiatrik seperti kecemasan sering mengalami gangguan tidur yang sering disebut sebagai insomnia. Orang tersebut biasanya memiliki gangguan tidur pada saat akan memulai tidur atau disebut juga kesulitan jatuh tidur (Kaplan dan Sadock, 1997).

Insomnia merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling sering dikeluhkan oleh masyarakat umum, praktik kedokteran, dan psikiatri (Buysse

et al., 2005). Insomnia merupakan ketidakmampuan untuk mencukupi

kebutuhan tidur baik secara kualitas maupun kuantitas. Kenyataannya, insomnia bukan berarti sama sekali seseorang tidak dapat tidur atau kurang tidur karena orang yang menderita insomnia sering dapat tidur lebih lama dari yang diperkirakan, tetapi kualitasnya kurang. Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung meningkat, hal ini juga sesuai dengan peningkatan usia dan

(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

berbagai penyebabnya. Kaplan dan Sadock melaporkan kurang lebih 40 - 50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan tidur. Gangguan tidur sering menyertai gangguan jiwa seperti kecemasan, depresi, dan berbagai gangguan jiwa lain (Maramis, 1998).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis ingin meneliti adakah perbedaan tingkat insomnia antara lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian: Apakah terdapat perbedaan tingkat insomnia antara lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat insomnia antara lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan informasi mengenai perbedaan tingkat insomnia pada lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan demi pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya.

(11)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi panti wredha

1)Mengetahui masalah kecemasan dan insomnia pada lansia

2)Mengatasi masalah kecemasan dan insomnia pada lansia

b. Bagi profesi kedokteran

Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran mengenai gangguan kecemasan dan gangguan tidur yang terjadi pada usia lanjut, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan manajemen terhadap lansia.

(12)

commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka 1. Lanjut Usia

a. Definisi Lanjut Usia

Lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 2003). Disebutkan dalam undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.

b. Batas-batas Lanjut Usia

1) Batasan usia menurut WHO (dalam Ismayadi, 2004) meliputi :

a) usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59

tahun

b) lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

c) lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun

d) usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun

2) Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut :

“Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

(13)

keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”.

Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi sebagai berikut: lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.

c. Perubahan mental dan psikososial pada lanjut usia

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental pada lanjut usia:

1) Perubahan fisik 2) Kesehatan umum 3) Tingkat pendidikan 4) Keturunan (Hereditas) 5) Lingkungan (Ismayadi, 2004) Ismayadi (2004) mengemukakan selain perubahan mental, pada lanjut usia juga terjadi perubahan psikososial seperti :

1)Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan

identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun, orang tersebut akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :

a) Kehilangan finansial (income berkurang).

b) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup

tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).

(14)

commit to user

7

d) Kehilangan pekerjaan/kegiatan.

2)Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)

3)Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

4)Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).

5)Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,

bertambahnya biaya pengobatan.

6)Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

7)Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.

8)Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9)Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan

teman-teman dan family.

10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

d. Perubahan fisik dan fisiologis pada lanjut usia

Proses menjadi tua ini dinamakan senescence (dari kata yunani

yang artinya menjadi tua) dan proses ini ditandai khas oleh penurunan fungsi seluruh sistem tubuh yang bertahan secara bertahap sistem kardiovaskuler, pernafasan, kemih, endokrin, dan sistem imun.

Perubahan-perubahan menjadi tua, karena adanya reaksi alat-alat tubuh yang berubah karena telah mengalami proses degenerasi. Ini tak lain dari proses bahwa makin tinggi usia, makin banyak terjadi perubahan-perubahan di dalam tubuh. Perubahan yang paling umum

(15)

adalah kelelahan, berkurangnya ketegapan dan kekuatan, kenaikan berat badan, berkurangnya kelenturan pada persendian, penurunan kemauan

dan kemampuan seks, datangnya menopause (pada wanita),

berkurangnya penglihatan dan pendengaran, penurunan keterampilan, dan berkurangnya stamina pada umumnya. Misalnya sel mengecil atau menciut, jaringan ikat baru menggantikan sel-sel yang menghilang atau menciut dengan akibat timbulnya kemunduran fungsi organ tubuh.

Menurut Harsuki (2003), proses penuaan menyebabkan tubuh manusia menjadi:

1) Kulit tubuh menjadi tipis, kering, keriput, dan tidak elastis lagi

2) Rambut rontok warnanya berubah menjadi putih, kering, dan tidak

mengkilat

3) Jumlah otot berkurang, ukuran menjadi menciut, volume otot secara

keseluruhan menyusut dan fungsinya menurun

4) Otot-otot jantung mengalami degenerasi, ukuran jantung mengecil,

kekuatan memompa darah berkurang

5) Pembuluh darah mengalami kekakuan

6) Terjadinya degenerasi selaput lendir dan bulu getar saluran

pernafasan, gelembung paru-paru menjadi kurang elastis

7) Tulang menjadi keropos (osteoporosis)

8) degenerasi dari persendian, permukaan tulang rawan sendi menjadi

(16)

commit to user

9

9) Karena proses degenerasi ini maka jumlah nefron (saluran fungsional

dari ginjal yang membersihkan darah) menurun, yang berakibat kemampuan mengeluarkan air seni berkurang

2. Kecemasan (anxietas)

a. Definisi Kecemasan

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan yang memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan atau anxietas tersebut berupa campuran perasaan yang sangat tidak enak, khawatir, cemas, gelisah yang disertai satu atau lebih keluhan badaniah (Kaplan dan Sadock, 1997). Kecemasan juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid, 2005).

Kecemasan merupakan status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon psikofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang tidak riil atau yang terbayangkan, secara nyata disebabkan oleh konflik intrapsikik yang tidak diketahui. Penyerta fisiologis mencakup denyut jantung bertambah cepat, kecepatan pernapasan tidak teratur, berkeringat, gemetar, lemas dan lelah. Penyerta psikologis meliputi perasaan-perasaan akan ada bahaya, tidak berdaya, terancam, dan takut (Dorland, 2005).

(17)

b. Penyebab Kecemasan

Menurut Sadock dan Kaplan (1997), faktor penyebab kecemasan adalah:

1). Faktor Biologis

Kecemasan terjadi akibat dari reaksi saraf otonom yang berlebihan dengan naiknya sistem simpatis, terjadi peningkatan pelepasan kotekalamin.

2). Faktor Psikologis

Ditinjau dari aspek psikoanalisis kecemasan dapat muncul akibat impuls-impuls bawah sadar (misalnya: sex, agresi, dan ancaman) yang masuk ke alam sadar. Mekanisme pembekalan ego yang tidak sepenuhnya berhasil juga dapat menimbulkan kecemasan yang mengambang. Reaksi pergeseran dapat mengakibatkan reaksi fobia. 3). Faktor Sosial

Menurut teori belajar emosi dapat terjadi oleh karena frustasi, tekanan, konflik atau keadaan yang menurutnya tidak disukai oleh orang lain yang berusaha memberikan penilaian atas opininya.

c. Gejala dan Tanda

Kaplan dan Sadock membagi gejala utama dari gangguan kecemasan umum menjadi:

1)Kecemasan

2)Ketegangan motorik

(18)

commit to user

11

kegemetaran, kegelisahan, dan nyeri kepala.

3)Hiperaktivitas otonomik

Hiperaktivitas sering kali dimanifetasikan oleh sesak napas, keringat berlebihan, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal.

4)Kewaspadaan kognitif

Ditandai oleh sifat lekas tersinggung dan mudahnya pasien dikejutkan.

Selain gejala-gejala di atas, Nugroho (2008) juga menyebutkan gejala-gejala umum yang ditemukan pada kecemasan yaitu:

1) Perubahan tingkah laku

2) Bicara cepat

3) Meremas-remas tangan

4) Berulang-ulang bertanya

5) Tidak mampu berkonsentrasi atau tidak memahami penjelasan

6) Tidak mampu menyimpan informasi yang diberikan

7) Gelisah

8) Keluhan badan

d. Kecemasan pada Lansia

Penelitian ECA telah menemukan bahwa prevalensi gangguan kecemasan 1 bulan pada orang usia 65 tahun dan lebih adalah 5,5%. Sejauh ini gangguan yang paling sering adalah fobia (4 - 8%). Angka gangguan panik adalah 1%. Gangguan kecemasan dimulai pada masa dewasa awal atau pertengahan, tapi beberapa tampak untuk pertama

(19)

kalinya setelah usia 60 tahun. Onset awal gangguan panik pada lanjut usia adalah jarang tetapi dapat terjadi (Kaplan dan Sadock, 1997).

Menurut Kartono (2000), penyebab kecemasan dapat ditimbulkan karena:

1)Ancaman integritas biologi

Meliputi gangguan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan kehangatan.

2)Ancaman terhadap keselamatan diri

a) Kehilangan integritas diri

b)Tidak menemukan status dan prestise

c) Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain

d)Ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata

3)Kecemasan dapat juga disebabkan oleh:

a) Rasa takut dan cemas yang berkepanjangan disebabkan trauma

terhadap kegagalan dalam hidup

b)Represi dari masalah emosional tertahan

c) Cenderung kepribadian dengan harga diri rendah

d)Ada dorongan seksual yang terhambat dan mengakibatkan konflik

batin

3. Insomnia

a. Definisi

Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur di mana periode singkat insomnia paling sering berhubungan

(20)

commit to user

13

dengan kecemasan, baik secara sekuel terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan (Kaplan dan Sadock, 1997).

b. Fisiologi dan Siklus Tidur Normal

Pola siklus tidur dan bangun (irama sikardian), adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian

di hipothalamus yang disebut nucleus supra-chiasmatic (NSC). NSC

akan mengeluarkan neurotransmitter yang mempengaruhi pengeluaran

hormon pengatur temperatur badan, kortisol, Growth Hormone (GH) dan lain-lain yang mempengaruhi peranan untuk bangun dan tidur. NSC bekerja seperti jam meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol, dan GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang tertidur. Hormon melatonin adalah hormon yang mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur dan kortisol (Rahayu, 2006).

c. Klasifikasi dan Etiologi Insomnia

Insomnia dapat diklasifikasikan menjadi:

1)Insomnia sementara (tidak lebih dari beberapa malam),

(21)

3)Insomnia kronis (lebih dari 3 - 4 minggu).

(Gammack et al., 2006) Selain klasifikasi di atas, oleh Nuhriawangsa (2004) macam-macam insomnia dapat dibagi menjadi:

1)Insomnia inisial (initial insomnia)

Kesulitan untuk masuk tidur, biasanya terdapat pada gangguan jiwa dengan ansietas.

2)Middle insomnia

Bangun pada tengah malam dan dapat tidur lagi dengan susah payah, biasanya terdapat pada depresi.

3)Late insomnia (terminal insomnia)

Terbangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali, biasanya terdapat pada depresi.

Gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan dengan gangguan klinik sebagai berikut (Prayitno, 2002):

1)Apnea tidur

2)Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan, gerakan

mendadak pada tingkat yang berulang, keluhan berupa “tungkai gelisah” (restless leg), tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi.

3)Berbagai konflik emosional dan stres merupakan penyebab

(22)

commit to user

15

4)Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali menimbulkan

bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia.

5)Keluhan penyakit-penyakit organik, seperti nyeri karena arthritis,

penyakit keganasan, nocturia, penyakit hati atau ginjal dan sesak

napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam.

6)Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan insomnia.

Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2 - 3 jam.

7)Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan

beta-blockers dapat menginterupsi tidur.

Gangguan tidur banyak terjadi pada usia lanjut. Penyebab dari gangguan tidur pada usia lanjut merupakan gabungan banyak faktor, baik fisik, psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun penyakit penyerta lain yang diderita (Rahayu, 2006). Beberapa faktor penyebab gangguan tidur pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1) Perubahan-perubahan irama sirkadian

2) Penyakit-penyakit fisik (hipertiroid, arthritis)

3) Penyakit-penyakit jiwa (depresi, gangguan ansietas)

4) Pengobatan polifarmasi. Alkohol, kafein

5) Demensia

6) Kebiasaan hygiene tidur yang tidak baik

d. Perubahan Tidur Akibat Proses Menua

(23)

commit to user

tidur (berbaring lebih lama di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit atau lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada penelitian laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat penurunan fisis karena usia dan penyakit yang dideritanya, sehingga kualitas tidur secara nyata menurun.

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap terang. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh menjadi berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

B.Kerangka Pemikiran

Pria/wanita 60 - 80 tahun

Perubahan fisik dan psikologis

Tinggal di lingkungan baru

Perpisahan dengan orang-orang terdekat

Adaptasi lingkungan dan orang baru

(24)

commit to user

17

C.Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat insomnia antara lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan. Lansia dengan kecemasan memilki tingkat insomnia lebih tinggi daripada lansia tanpa kecemasan.

(25)

commit to user

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

metode korelasional dan pendekatan studi cross sectional, yaitu peneliti

mempelajari perbedaan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2003).

B.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

C.Subyek Penelitian

1. Kriteria inklusi :

a. Pria atau wanita usia 60 - 80 tahun

b. Tinggal di Panti Wredha Surakarta minimal selama 6 bulan

c. Lolos tes L-MMPI (skor kurang dari 10)

d. Bersedia menjadi responden penelitian

2. Kriteria eksklusi :

a. Tidak kooperatif

(26)

commit to user

19

D.Teknik Sampling

Dalam penelitian ini data/sampel yang digunakan diambil dengan purposive sampling, Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling, yaitu subjek diambil dalam satu daerah yang

sudah ditentukan namun hanya subjek yang mendekati ciri-ciri di atas yang

dapat dijadikan sampel. Hal ini sesuai dengan definisi teknik purposive

sampling adalah teknik pengambilan subjek dengan mendasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hidayat, 2007).

Besar sampelmenggunakan total sampling yaitu mengambil sampel dari

keseluruhan populasi (Arikunto, 2006). Pemilihan total sampling tersebut dikarenakan sampel yang ada dalam populasi kurang dari 100 orang.

(27)

commit to user

E.Rancangan Penelitian

eksklusi inklusi

F. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Kecemasan

2. Variabel tergantung : Insomnia

3. Variabel pengganggu :

a. Terkendali : Usia

b. Tak terkendali : Lingkungan, faktor psikis, faktor keturunan,

religius, obat-obatan. populasi sampel Formulir biodata Kuesioner TMAS + Kuesioner KSPBJ-IRS Analisis data: Uji komparasi t test

(28)

commit to user

21

G.Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kecemasan

Kecemasan merupakan perasaan cemas pada lansia yang diukur

menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang menggunakan acuan the

Taylor Minnesota Anxiety Scale (TMAS) dengan 50 item pertanyaan. Skala pengukuran : nominal dengan skor antara 0-50

2. Insomnia

Insomnia di sini adalah kesulitan tidur pada lansia yang akan diukur dengan menggunakan kuesioner yang diadopsi dari Kelompok Studi Pusat

Biologik Jakarta (KSPBJ Insomnia Rating Scale) yang terdiri dari 8

pertanyaan.

Skala pengukuran : numerik dengan skor antara 0 - 26

H. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara member seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiono, 2006).

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Kuesioner berisi biodata

Kuesioner biodata di sini berfungsi untuk mengetahui identitas responden dan mengetahui apakah responden memiliki kriteria yang termasuk dalam kriteria eksklusi sehingga dapat juga digunakan sebagai alat bantu untuk

(29)

commit to user

menyaring responden.

2. Kuesioner L-MMPI

Kuesioner L-MMPI berisi 15 item pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui angka kebohongan sampel. Bila responden menjawab “tidak” maka diberi nilai 1. Bila didapatkan angka lebih besar atau sama dengan 10 maka responden invalid dan dikeluarkan dari sampel penelitian.

3. Kuesioner TMAS

Kuesioner TMAS berisi 50 item pertanyaan yang berfungsi untuk mengetahui angka kecemasan. Skor bernilai 1 untuk jawaban ’ya’ dan bernolai 0 untuk jawaban ’tidak’. Sampel dikatakan cemas apabila skor TMAS >21.

4. KSPBJ – IRS

Kuesioner KSPBJ – IRS berisi 8 item pertanyaan yang berfungsi untuk mengetahui adakah insomnia pada responden. Penilaian skor sudah tertera pada setiap pilihan jawaban pada kuesioner. Sampel dikatakan mengalami insomnia apabila skor IRS >10

I. Cara Kerja

1. Responden mengisi kuesioner data pribadi yang telah disediakan

2. Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mengetahui angka

kebohongan sampel.

(30)

commit to user

23

4. Responden mengisi KSPBJ IRS untuk mengetahui adakah insomnia pada

responden.

J. Teknik dan Analisis Data

Untuk menguji perbedaan tingkat insomnia berdasarkan ada tidaknya kecemasan pada lansia digunakan uji statistik uji t dan akan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows.

(31)

commit to user

24

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Deskripsi Sampel

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-November 2011 di panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta. Subjek penelitian adalah lansia berumur 60 - 80 tahun penghuni Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Pada penelitian ini didapatkan populasi sampel sebanyak 85 orang. Dari 85 orang tersebut, sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian sebanyak 33 orang, sedangkan sampel yang gugur karena eksklusi sebanyak 52 orang. Sampel gugur tersebut terdiri dari 20 orang mengalami psikosis, 17 orang dirawat di ruang isolasi, 4 orang tidak lulus kuesioner L-MMPI, 4 orang berusia di atas 80 tahun, 2 orang tidak bersedia menjadi responden dan 5 orang tidak dapat berkomunikasi.

Dari 33 orang yang diberikan kuesioner TMAS, diambil sampel dengan hasil skor TMAS 25% tertinggi dan 25% terendah sehingga hanya 16 sampel

yang dilakukan pengujian dengan SPSS 17.00 for Windows. Hal tersebut

bertujuan untuk mendapatkan sampel dengan perbedaan kecemasan yang signifikan.

(32)

commit to user

25

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

No Kelompok Jumlah Persentase

1 2 60 - 70 > 70 - 80 13 20 39,4 % 60,6 % Total 33 100 %

Sumber : data primer, 2011

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

No Kelompok Jumlah Persentase

1 2 Laki-laki Perempuan 17 16 51,5 % 48,5 % Total 33 100 %

Sumber : data primer, 2011

Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah lansia dengan rentang

usia 60 - 80 tahun agar sampel lebih homogen sehingga hasil penelitian lebih valid. Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel yang berumur antara 60 - 70 tahun sebanyak 13 orang dan yang berumur di antara 70 - 80 tahun sebanyak 20 orang. Sedangkan pada tabel 2 menunjukkan distribusi sampel berdasar jenis kelaminnya. Dari tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa sampel laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

(33)

commit to user B.Analisis Statistika

Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji

t-independent yang merupakan uji parametrik dengan program SPSS 17.00 for

Windows. Uji ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu

sama lain. Adapun syarat uji t-independent adalah data berskala numerik,

terdistribusi secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2 kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal jika didapatkan nilai p > 0.05 pada masing-masing kelompok tersebut. Uji normalitas yang dilakukan pada masing-masing sebaran data dapat dilakukan dengan cara deskriptif ataupun analitik. Cara analitik memiliki tingkat objektivitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan deskriptif sehingga dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Saphiro-Wilk. Uji Saphiro-Wilk dilakukan jika sampel kurang dari 50 sampel (Dahlan,

2005).

Tabel 4. Uji Normalitas Penyebaran Data dengan Saphiro-Wilk

Sumber : Data primer 2011

Data Nilai p Keterangan

Cemas Tidak Cemas 0.833 0.092 Distribusi normal Distribusi normal

(34)

commit to user

27

Pada uji normalitas penyebaran data dengan Saphiro-Wilk, skor cemas

mempunyai nilai p = 0.833 dan tidak cemas p = 0.092 Karena nilai p pada skor cemas dan tidak cemas > 0.05, dapat disimpulkan bahwa data tersebut terdistribusi normal dan dapat memenuhi syarat untuk dilakukan pengolahan dengan uji t.

Tabel 4. Hasil Analisis Data dengan Uji t

Skor TMAS n Mean SD t p

Cemas 8 12.63 4.565

3.221 0.007

Tidak cemas 8 6.25 3.240

Sumber : Data primer 2011

Pada tabel 4, hasil data dianalisis dengan uji statistik uji t dengan

menggunakan program SPSS 17.0 for Windows untuk mengetahui perbedaan

tingkat insomnia. Dari uji statistik didapatkan nilai kemaknaan (p) sebesar 0.007 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat insomnia yang secara statistik signifikan pada lansia yang mengalami kecemasan dan yang tidak mengalami kecemasan.

(35)

Gambar 3. Gambar Boxplot Perbedaan Rata-Rata Tingkat Insomnia

Gambar boxplot di atas menunjukkan dengan lebih jelas perbedaan

tingkat insomnia berdasarkan tingkat kecemasan. Gambar tersebut memberikan informasi bahwa lansia dengan tingkat kecemasan yang tinggi mengalami kejadian insomnia lebih tinggi daripada lansia tanpa kecemasan dengan rata-rata skor insomnia pada kecemasan 12.63 dan tidak cemas 6.25.

(36)

commit to user

29

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan September - November dengan jumlah sampel sebanyak 33 orang. Dari 33 sampel tersebut didapatkan 13 orang mengalami kecemasan dan 20 orang lainnya tidak mengalami kecemasan di mana dari 13 orang yang mengalami kecemasan sebagian besar mengalami insomnia. Sesuai dengan analisis perhitungan statistik yang telah dikemukakan, didapatkan adanya perbedaan tingkat insomnia antara lansia yang mengalami kecemasan dan tidak mengalami kecemasan. Hasilnya adalah tingkat insomnia pada lansia yang mengalami kecemasan lebih tinggi daripada lansia yang tidak mengalami kecemasan

Dari hasil perhitungan skor, didapatkan bahwa skor insomnia pada lansia dengan kecemasan lebih tinggi (>10) dibandingkan dengan lansia yang tidak

mengalami kecemasan (≤10). Hasil statistik tersebut sesuai dengan hipotesis di

mana pada orang yang mengalami kecemasan lebih sering mengalami insomnia dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat insomnia yang lebih tinggi pada lansia dengan kecemasan dikarenakan meningkatnya hormon kortisol pada orang yang mengalami kecemasan. Hormon kortisol yang biasa disebut juga dengan hormon stres ini meningkat apabila seseorang sedang cemas di mana salah satu efek dari hormon ini adalah menyebabkan terjadinya gangguan tidur (Sandi, 2011).

(37)

Penelitian yang telah dilakukan juga menemukan bahwa pada beberapa kasus, ditemukan lansia yang tidak mengalami kecemasan akan tetapi mengalami insomnia (lampiran 8). Hal tersebut juga dapat terjadi, sesuai dengan teori di mana pada usia lanjut terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap terang. Pada usia lanjut, hormon kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh menjadi berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

Adanya gangguan tidur pada lansia yang tidak dikarenakan oleh kecemasan dapat juga dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang dimaksud di sini dapat bersifat organik seperti nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang mengganggu tidur. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah lingkungan. Lingkungan yang kurang kondisif seperti terlalu ramai atau kurang nyaman dapat menyebabkan gangguan pada tidur (Darmojo, 2000).

Hasil penelitian yang telah dilakukan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menjelaskan adanya perbedaan pola tidur pada lansia dengan kecemasan (Prayitno, 2002). Dari penelitian tersebut didapatkan adanya perubahan pola tidur pada lansia dengan kecemasan terutama dalam hal kedalaman tidur dan lama masuk tidur. Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu terdapat perbedaan tingkat insomnia yang secara statistik signifikan pada lansia dengan kecemasan dan lansia tanpa kecemasan.

(38)

commit to user

31

Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam hal lokasi cakupan yang sempit sehingga sampel yang didapatkan juga kurang mencukupi. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah Panti Wredha di Surakarta dan terbatasnya jumlah lansia yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Pemilihan lansia sebagai sampel memiliki kendala seperti banyaknya yang telah menderita penyakit kronis dan tidak bisa diberikan kuesioner serta adanya kesulitan dalam berkomunikasi dengan beberapa lansia. Terbatasnya waktu juga menjadi salah satu kendala mengapa penelitian hanya dilakukan di satu panti wredha saja. Selain itu terdapat juga faktor-faktor lain yang dapat merancukan hasil penelitian yang digolongkan dalam variabel luar tidak terkendali seperti lingkungan, faktor psikis, keturunan, religius, dan obat-obatan.

(39)

commit to user

32

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat insomnia yang secara statistik signifikan antara lansia yang mengalami kecemasan dan lansia yang tidak mengalami kecemasan (p < 0.05). Tingkat insomnia pada lansia yang mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami kecemasan.

B.Saran

1. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi praktisi, khususnya di bidang

psikiatri, psikologi serta konseling, dalam penanganan kasus-kasus insomnia pada lansia baik yang mengalami kecemasan ataupun tidak.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lokasi cakupan penelitian

yang lebih luas, termasuk juga dilakukannya analisis terhadap variabel-variabel perancu lain, dengan harapan semakin memperkuat simpulan dan semakin memperkecil bias.

Gambar

Gambar 1. Gambar Boxplot Perbedaan Rata-Rata Tingkat Insomnia  ................ 28
Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Tabel 4. Uji Normalitas Penyebaran Data dengan Saphiro-Wilk
Tabel 4. Hasil Analisis Data dengan Uji t
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Mengetahui pengaruh profesionalisme auditor terhadap penyelesaian dilema etik pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Barat... Mengetahui pengaruh

kerja Pembuatan laporan mingguan tentang hasil pengamatan, diserahkan pada pertemuan berikutnya (waktu 1 minggu).. Pengambilan keputusan dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien daya maksimal diperoleh dengan kincir angin jenis WePowerdengan variasi kemi ringan sudu 80˚ , yaitu 5,5 % pada tip speed ratio

4 Tempat penjualan makanan dan bahan pangan tidak terbuat dari bahan yang tahan karat dan bukan dari kayu. 5 Alat pemotong (telenan) makanan dan bahan pangan tidak

Pemahaman tersebut ditujukan agar praktikan dapat mencapai keahlian (skill) yang harus dimiliki sehingga praktikan dapat melaksanakan setiap tugas yang

Analisis makna dilakukan dengan bertolak dari pandangan Hutomo bahwa ada keterkaitan antara fungsi (junction) dan guna (use) dari cipta sastra terhadap komunitasnya,

tidak ditentukan oleh dunia batinnya ( inner self ) melainkan oleh relasinya dengan orang lain; (6) keanggotaan dalam suatu kelompok menjadi aspek sentral dari