• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Epilepsi Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Epilepsi Pada Anak"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Pembimbing dr. Diah Hari S, Sp.S

Disusun Oleh :

Sigit Dwi Mulyo 201420401011116 Rika Hadriyanti Dahlia 201420401011093 Frida Neila Rahmatika 201420401011082

SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

Referat dengan judul Epilepsi Pada Anak telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Penyakit Saraf.

Surabaya, Juni 2015 Pembimbing dr. Diah Hari S, Sp.S DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

(3)

Lembar Pengesahan ... 2 Daftar Isi ... 3 Kata Pengantar ... 4 Bab 1 Pendahuluan ... 5 1.1 Latar Belakang... 5 2.1 Tujuan Penulisan ... 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka... 6

2.1 Definisi ... 6 2.2 Epidemiologi... 6 2.3 Etiologi... 7 2.4 Faktor Resiko ... 7 2.5 Patofisiologi ... 8 2.6 Klasifikasi... 9 2.7 Diagnosis.... ... 12 2.7.1 Anamnesis ... 12 2.7.2 Pemeriksaan Fisik ... 13 2.7.3 Pemeriksaan Penunjang ... 13 2.7.4 Alur Diagnosis... 14 2.8 Penatalaksanaan ... ... 15 2.9 Diagnosis Banding ... 20 2.10 Komplikasi.... ... 21 2.11 Prognosis... ... 21 Bab 3 Penutup ... 22 Daftar Pustaka ... 24 KATA PENGANTAR

(4)

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Epilepsi Pada Anak. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kepada dr. Diah Hari S, Sp.S selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, Juni 2015

BAB 1 PENDAHULUAN

(5)

1.1 Latar Belakang

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan diotak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang diseluruh dunia.1

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50:100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100:100,000.Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional., karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3

Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.4,5

(6)

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, gejala klinis, terapi, komplikasi dan prognosis epilepsi pada anak.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak

(7)

dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.21,22,23

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.24 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi

klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).25

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 4

2.2 Epidemiologi

World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi dinegara berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.

Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta

(8)

didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -10 tahun (29,1%), -10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000 penduduk.

2.3 Etiologi

ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005) 1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang

umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.

2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

2.4 Faktor Resiko

Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui factor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simtomatik.

(9)

1. Faktor Prenatal

a. Usia ibu saat hamil

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi c. Kehamilan primipara / multipara

d. Pemakaian bahan toksik 2. Faktor Natal

a. Afiksia b. BBL

c. Kehamilan premature / postmatur d. Partus lama

e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC ) f. Perdarahan intrakranial

3. Faktor Postnatal a. Kejang demam b. Trauma kepala c. Infeksi SSP

d. Epilepsy akibat toksik e. Gangguan metabolik 4. Faktor keturunan

5. Kelainan Genetik 2.5 Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.2,3

Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

(10)

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),

yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan membangkitkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam otak.2,6

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.2,3

Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7

1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)

membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

(11)

Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF)

Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah : membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.2,3

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.2,3

1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok

(12)

neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.

Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.2,3

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.

Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

2.6 Klasifikasi

KLASIFIKASI ILAE 1981

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005).

(13)

Serangan parsial sederhana (kesadaran baik). - Motorik

- Sensorik - Otonom - Psikis

Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran. - Gangguan kesadaran saat awal serangan.

Serangan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi tonik klonik. - Parsial kompleks menjadi tonik klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.  Serangan umum. - Absans (lena) - Mioklonik - Klonik - Tonik - Atonik.  Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus  Idiopatik (primer)

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital - Primary reading epilepsy“.

 Simptomatik (sekunder) - Lobus temporalis - Lobus frontalis

(14)

- Lobus parietalis - Lobus oksipitalis

- Kronik progesif parsialis kontinua  Kriptogenik

Umum

 Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi absans pada anak

- Epilepsi absans pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga. - Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

 Kriptogenik atau simptomatik.

- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia). - Sindroma Lennox Gastaut.

- Epilepsi mioklonik astatik - Epilepsi absans mioklonik  Simptomatik

- Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara

- Etiologi / sindrom spesifik. - Malformasi serebral. - Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.  Serangan umum dan fokal

- Serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi - Sindroma Taissinare

(15)

- Sindroma Landau Kleffner

 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum  Epilepsi berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol - Berkaitan dengan obat-obatan - Eklampsi.

- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi) 2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan

sesudahserangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga

memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab

(16)

dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.

2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang

(17)

berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.

4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.

6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan

(18)

minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.

7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang .

8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?

9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.

11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan

(19)

serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya?

2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?

3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.

5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.

6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama? 7. Apakah ada riwayat tumor otak?

8. Apakah ada riwayat stroke? Riwayat sosial.

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu. 2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang

seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk

(20)

memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.

3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.

4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.

5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign

(21)

rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004)

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak - anak pemeriksa harus memperhatikan adanya

(22)

anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus

(23)

temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM. 3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang

(24)

penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.

Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

(25)

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi. 3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG

mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

(26)

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang. - Ada defisit neurologis fokal. - Serangan kejang parsial.

- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. - Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).

(27)

PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.6

Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat

antiepilepsi. 6

Prinsip pengobatan epilepsi: 6

1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi

2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi

3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal

4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang. OAE pilihan pertama dan kedua : 6

1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder) OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

2. Serangn tonik klonik

OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

3. Serangan absens

OAE I : Etosuksimid, asam valproat OAE II : Benzodiazepin

4. Serangan mioklonik

(28)

OAE II : Etosuksimid 5. Serangan tonik, klonik, atonik

Semua OAE kecuali etosuksinid

Syarat penghentian obat anti epilepsi: 6

1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama

Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.

Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.6

Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 6

2.8 Diagnosis Banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER).

GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak diberikan dengan tepat.Pada masa-masa awal, batuk kronis dan mengi

(29)

dapat terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkanoleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum. Pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis. Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak –

- Rhinosinobronkitis - Refluks gastroesofageal

- Infeksi respiratorik bawah viral berulang - Bronkiolitis

- Displasia bronkopulmoner - Tuberkulosis

- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik Intratorakal

- Aspirasi benda asing

- Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun - Penyakit jantung bawaan

2.9 Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk thoraks yaitu thoraks membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen thoraks terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri kanan bertambah. Pada asma kronis dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus horrison.

Bila secret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelectasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik

(30)

kearah atelectasis. Bila atelectasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis, dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat – obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan penrnafasan dan kegaga;an jantung.

2.10 Prognosis

Pada kasus asma, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas tejdinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara menghindari factor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan pada kasus asma saat serangan merupakan factor penting penentuan prognosis.

BAB 3 PENUTUP

Asma merupakan penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan dunia. Asma memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olahraga serta aktivitas seluruh keluarga.

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit.

Asma adalah wheezing dan atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (noktural), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas

(31)

fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedang sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Penyebab asma masih belum jelas, diduga yang memegang peranan utama ialah terjadi obstruksi saluran nafas, penebalan dinding pernafasan, peningkatan produksi secret dan perubahan fungsional lainnya akibat mediator inflamasi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit serta kematian akibat asma seperti olahraga (exercise), alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu berbagai faktor turut mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan.

Asma dapat digolongkan berdasarkan derajat penyakit dan derajat serangan yaitu :

Asma berdasarkan derajat penyakit : - Asma episodik jarang

- Asma episodik sering - Asma persisten

Asma berdasarkan derajat serangan : - Serangan asma ringan

- Serangan asma sedang - Serangan asma berat

Untuk diagnosis penyakit anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang tepat untuk asma.

Tatalaksana kasus asma pada asma sangat penting diketahui setiap orang tua oleh karena itu edukasi penangganan sangat penting diberikan agar dapat mendapatkan hasil yang baik. Setiap kondisi asma memiliki penanganan yang berbeda pada setiap jenisnya.

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma diantarannya : Rhinosinobronkitis, Refluks gastroesofageal, Infeksi respiratorik bawah viral berulang, Bronkiolitis, Displasia bronkopulmoner, Tuberkulosis, Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik Intratorakal, Aspirasi benda asing, Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi imun, Penyakit jantung bawaan.

(32)

Bila serangan asma tidak ditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pernafasan anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.

Pada kasus asma, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas tejadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan pada kasus asma saat serangan merupakan faktor penting penentuan prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-133.

2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102.

3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.190-197.

4. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma .

5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008

6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.

(33)

7. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416.

8. Mangunkusumo E, Rifki N. sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar NH (eds). Buku ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. Hal 120-4.

9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA dkk (eds). Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal 145-9.

10. Lund VJ. Anatomi of the nose and Paranasal Sinuses. In: Jones A (Ed). Scott-Brown’s Otolaryngology. 7th ed. London Hoddler Arnold, 2008;

2:2493-2521.2.

11. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S, edisi 11. Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ditemukan faktor risiko yang signifikan mempengaruhi IQ anak dengan sindroma epilepsi idiopatik.. Kata kunci : epilepsi idiopatik, IQ, kejang, sindrom epilepsi, obat

• Penderita dengan riwayat kejang pada keluarga atau hanya bebas bangkitan epilepsi berapa bulan setelah OAE dihentikan mempunyairesiko tinggi terkena epilepsi lagi, sehingga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan perilaku dan pengaruh onset kejang, frekuensi kejang, tipe kejang, lama menderita epilepsi dan obat

penelitian kadar prolaktin serum sebagai sarana diagnosis epilepsi pada anak dan. mempunyai nilai prediktif terhadap diagnostik epilepsi belum pernah

1.4.2 Menilai pengaruh onset kejang dengan kejadian epilepsi pada anak.

Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang.. Lepasnya

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

Anak dengan riwayat beberapa kali kejang demam sederhana, saat kejang demam pertama di bawah usia 12 bulan, dan riwayat keluarga epilepsi, mempunyai risiko lebih tinggi kejang demam