• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN ABDI KHAIRENDI 1 NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN ABDI KHAIRENDI 1 NIM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER NEGARA-NEGARA

ANGGOTA ASEAN 2002-2012

ABDI KHAIRENDI1

NIM. 0902045114

Abstract:

Security threats contained in the ASEAN region such as the issue of border disputes, competition over resources and energy, terrorism, human rights and democracy, narcotics, piracy, human trafficking, money laundering, illegal logging, up to natural disasters. To overcome it not possible for a Member State expects full support from other countries. ASEAN also has no special forces to help manage these issues and maintaining regional security, so that ASEAN does not guarantee the national security of every country members. With that each member state requires a powerful military force in order to anticipate security threats and in order to create a national security. To create a capable military force every state did increase in the military budget that is used to strengthen military capabilities. Increased military capabilities is intended to maintain the territorial integrity and national security. In addition to creating a safe area with deterrence strategy, which requires a large military force. But it makes other countries look to be a security threat to the country to regional security, then any further encourage countries to further increase its military strength in terms of quantity and quality that could lead to an arms race in the region and will become a new regional threat.

Keywords : ASEAN, Military Capabilities, National Security.

Pendahuluan

Stabilitas keamanan regional merupakan suatu kondisi di mana sebuah kawasan bebas dari ancaman dan bahaya, baik dari dalam atau luar kawasan. Keamanan regional sangat penting sebagai elemen pembentuk keamanan internasional maupun konflik internasional. Oleh sebab itu, keamanan regional merupakan hal pertama yang perlu diupayakan demi terciptanya stabilitas internasional. Sebuah kawasan yang aman dapat mendukung stabilitas ekonomi maupun politik negara-negara yang berada dalam kawasan tersebut. Sementara itu, kawasan yang penuh

1Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: khairendi.abdi@gmail.com

(2)

konflik dapat mengancam keamanan nasional negara di dalamnya hingga mengancam keamanan regional.

Ancaman keamanan regional merupakan segala bentuk gangguan baik langsung, tidak langsung, terlihat maupun tidak terlihat terhadap kedaulatan; basis-basis vital regional (ekonomi, militer, dan informasi), penduduk, teritorial, ataupun segala bentuk usaha serangan secara konvensional, non-konvensional, maupun asimetrik terhadap suatu bangsa dalam skala regional. Ancaman keamanan tidak dapat diabaikan karena bukan tidak mungkin isu-isu keamanan tersebut berkembang semakin besar dan kompleks hingga mengganggu stabilitas kawasan. Asia Tenggara tidak terlepas dari bahaya ancaman keamanan regional yang dapat mengganggu stabilitas kawasannya, misalnya berkurangnya intensitas hubungan dan kerjasama antar negara baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, sosial dan budaya, dan bidang lainnya. Dalam konteks stabilitas keamanan regional, sejumlah isu keamanan terdapat dalam negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), baik isu keamanan tradisional (military security) dan isu keamanan non tradisional (

non-military security). Isu keamanan tradisional mencakup sengketa wilayah

perbatasan, perlombaan persenjataan, dan proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, Isu keamanan non tradisional seperti terorisme, penegakan HAM & demokrasi, narkotika, piracy, human trafficking, money laundering,

illegal logging, hingga bencana alam. Permasalahan ini menyebabkan setiap

negara berupaya untuk melakukan peningkatan kekuatan militer yang dipandangnya dapat digunakan untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Peningkatan kemampuan persenjataan negara-negara anggota ASEAN dipacu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertemukannya dengan pemasok senjata yang melihat kawasan Asia Tenggara sebagai pasar untuk menjual produk-produk mereka. Dari tahun 2002-2011 anggaran pertahanan negara-negara anggota ASEAN meningkat hingga 42 persen, data tersebut diambil dari

Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Karena sebagian besar

merupakan negara pesisir, maka peningkatan kapabilitas militer lebih difokuskan pada pertahanan laut dan udara. Peningkatan anggaran untuk militer masing-masing negara anggota ASEAN jika tetap dalam kerangka kerjasama regional, tentu akan memiliki pengaruh yang positif bagi pertahanan dan keamanan kawasan. Namun jika masing-masing negara anggota ASEAN meningkatkan militer secara sendiri-sendiri tanpa melakukan konsultasi di antara sesama negara anggota, hal tersebut akan membuat negara lain merasa terancam sehingga ikut melakukan peningkatan anggaran militernya, dan akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Hal ini tentu akan mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional pada masa-masa mendatang. Terlebih lagi dengan adanya sengketa wilayah di antara negara-negara ASEAN. Dengan proses peningkatan kapabilitas militer di kawasan Asia Tenggara dan dengan adanya sengketa wilayah antar negara maka tidak mungkin sebuah negara dengan kekuatan militernya melakukan ancaman bahkan agresi ke negara lain, hal tersebut tentu bertentangan dengan Piagam ASEAN, dan akan mengacaukan stabilitas kawasan.

(3)

Dan penelitian ini akan membahas mengapa negara-negara anggota ASEAN tetap melakukan peningkatan kapabilitas militer sementara telah menyepakati terwujudnya ASEAN Security Community.

Kerangka Dasar Konsep 1. Keamanan Nasional

Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional yang tak dapat dipisahkan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan dengan upaya mempertahankan keamanan nasional. Makna keamanan (security) bukan sekedar kondisi “aman tenteram” tetapi keselamatan atau kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pada saat ini, keamanan tidak lagi sebatas menjadikan negara sebagai objek yang harus dijaga tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman bangsanya.

Barry Buzan mendefinisikan lima sektor utama yang dicakup dalam pengertian keamanan, yaitu The Military Security, The Political Security, The Economic

Security, Societal Security dan Enviromental Security. Masing-masing sektor

tidak berdiri sendiri melainkan memiliki ikatan satu sama lain. Keamanan harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap warga baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan menempatkan kewajiban negara untuk mengatur dan mengelolanya. Bagaimanapun juga kebijakan keamanan harus tetap dibuat oleh sebuah negara di mana kebijakan keamanan dapat digolongkan sebagai kesadaran atau rasa aman dalam tingkat individu dan sistem.

2. Deterrence

Deterrence merupakan salah satu upaya pencapaian stabilitas internasional dan

perdamaian dunia. Strategi deterrence merupakan sebuah strategi yang bertujuan untuk mencegah bertransformasinya suatu negara yang dianggap berpotensial untuk mengungguli negara yang merasa tersaingi dengan cara menimbulkan

persepsi pada bangsa lain bahwa melakukan perang terhadap bangsa itu sangat

merugikan pihak penyerang. Para ahli mengidentifikasikan 4 jenis deterrence, dua jenis pertama yaitu General dan Immediate deterrence, dilakukan sesuai dengan kerangka waktu strategi, dan dua jenis deterrence yang lain, Primary dan

Extended deterrence berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang

dimaksud.

Dalam konsep deterrence, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain agresor harus memperhitungkan keuntungan serta kerugian dari pembalasan yg dilakukan defender. Karenanya, peran deterrence suatu sangat penting untuk mencegah negara lain untuk melakukan agresi militer bahkan menyatakan perang dengan suatu negara.

(4)

3. Perlombaan Senjata

Perlombaan senjata adalah usaha kompetitif terus menerus (secara militer) yang dilakukan oleh dua atau lebih negara yang masing-masing memiliki kapabilitas untuk membuat senjata lebih banyak dan lebih kuat daripada yang lain. Menurut Buzan, perlombaan senjata menjelaskan bahwa adanya tekanan-tekanan yang memaksa negara untuk mempunyai kekuatan persenjataan dan merubah secara kuantitas dan kualitas yang mereka inginkan.

Colin Gray mencatat empat kondisi dasar untuk menunjukkan adanya perlombaan senjata: (1) Harus ada dua atau lebih negara yang bertikai; (2) Negara yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata dengan perhatian terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau sebagai penangkal terhadap peserta lomba senjata; (3) Mereka harus berkompetisi dalam kuantitas (SDM, senjata) dan/atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin); (4) Harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas dan/atau peningkatan dalam kualitas.

Perlombaan senjata merupakan masalah penting dalam studi hubungan internasional, terutama dalam pengkajian strategi, karena ia menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana usaha salah satu negara untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya melalui peningkatan kemampuan militer akan dapat mempengaruhi hubungannya dengan negara lain..

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam proposal penelitian ini adalah jenis eksplanatif, yaitu penelitian yang berupaya untuk menjelaskan alasan mengapa negara anggota ASEAN tetap melakukan peningkatan kapabilitas militer.

Hasil Penelitian

Analisis Kebijakan Peningkatan Kapabilitas Militer Negara-Negara Anggota ASEAN 2002-2012 dapat dijelaskan dengan konsep Keamanan Nasional, konsep

Deterrence dan konsep Perlombaan Senjata. Berdasarkan konsep Keamanan

Nasional maka kebijakan Pemerintah setiap negara anggota ASEAN dalam menangani berbagai macam masalah mengenai keamanan nasional masing-masing. Konsep deterrence menjelaskan tentang tindakan Pemerintah negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi ancaman keamanan yang dapat ditimbulkan oleh negara lain. Konsep Perlombaan Senjata akan menjelaskan apakah peningkatan kapabilitas militer yang dilakukan negara-negara anggota ASEAN dapat dikatakan sebagai perlombaan senjata atau tidak.

A. Keamanan Nasional Negara-Negara Anggota ASEAN

Beberapa ancaman keamanan yang dihadapi oleh ASEAN berupa isu sengketa wilayah perbatasan, perebutan sumber daya dan energi, terrorism, piracy hingga

illegal fishing. Untuk mengatasi permasalahan tersebut tidak memungkinan bagi

(5)

juga tidak memiliki pasukan/agen khusus berbasis militer untuk membantu mengatasi isu-isu tersebut dan menjaga keamanan regional, sehingga ASEAN tidak menjamin keamanan nasional setiap negara anggotanya. Selain itu, ASEAN dianggap tidak mampu dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada di kawasan, hal ini terlihat dari kurangnya integritas yang menjadi syarat utama bagi sebuah organisasi kawasan dan juga banyaknya masalah-masalah internal kawasan yang lebih banyak mengandalkan dari pihak lain daripada pihak ASEAN sendiri. Dengan hal tersebut setiap negara anggota membutuhkan kekuatan militer yang mumpuni guna mengantisipasi ancaman keamanan dari dalam maupun luar agar dapat menjaga keamanan nasional masing-masing. Untuk menciptakan kekuatan militer yang mumpuni setiap negara melakukan peningkatan atas anggaran belanja militernya yang digunakan untuk memperkuat kapabilitas militer.

Menciptakan keamanan nasional menjadi hal yang lebih berat lagi bagi negara yang terlibat dalam persengketaan wilayah domestik seperti Filipina, Malaysia, Myanmar, Laos dan Thailand. Selain itu terdapat pula persengketaan wilayah internasional yaitu Laut Cina Selatan yang melibatkan Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Klaim atas kepemilikan beberapa pulau di kawasan tersebut tidak terlepas dari latar belakang kepentingan penguasaan berbagai zona maritim, yang memiliki kandungan sumber daya alam potensial. Filipina dan Vietnam melihat sengketa ini sebagai masalah utama kemanan mereka, sedangkan Malaysia dan Brunei cenderung lebih meredam tensi ketegangan. Untuk itu Filipina dan Vietnam menggunakan anggaran militernya untuk kekuatan militer guna memperkuat sistem pertahanan di wilayah sengketa. Indonesia bukan negara pengklaim dalam sengketa wilayah tersebut, namun sebagai entitas negara yang memiliki perairan yang berbatasan dengan wilayah sengketa, perlu melakukan langkah-langkah antisipasi utamanya dalam membangun kesiapan untuk merespon kemungkinan perkembangan sengketa Laut Cina Selatan yang dapat memberikan dampak terhadap keamanan nasional.

Terorisme juga merupakan isu yang sering dibahas dalam kawasan Asia Tenggara. Upaya untuk mengatasi terorisme telah berulang kali dilakukan, baik secara unilateral, bilateral, maupun multilateral. Peningkatan keamanan nasional, koordinasi antar perwakilan negara-negara yang bersangkutan, juga pertukaran informasi dilakukan untuk meminimalisir aksi-aksi terorisme dalam kawasan. Pada bulan Mei 2002, Filipina, Malaysia dan Indonesia mendirikan Southeast

Asian Trilateral Counter-terrorism. Meskipun upaya unilateral dan bilateral

tersebut terus dikembangkan, cara yang paling efektif untuk mengatasi ancaman terorisme adalah dengan adanya kerjasama dan aksi multinasional yang tentu dengan didukung oleh peralatan militer yang canggih. Selain itu diperlukan upaya dari pemerintah untuk mempublikasikan kepada masyarakat agar dapat turut andil dalam upaya melawan terorisme. Peran masyarakat sangat dibutuhkan karena cakupan terorisme sangat luas dan dampaknya berpengaruh langsung pada

(6)

kehidupan masyarakat, sehingga apabila hanya diusahakan oleh pemerintah saja tidak akan maksimal.

Piracy (pembajakan) menurut United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS) adalah setiap tindakan ilegal berupa kekerasan, penahanan, pembinasaan, yang secara terarah dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat pribadi di laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap properti di atas kapal atau pesawat udara di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Kawasan yang rawan pembajakan antara lain Selat Malaka, perairan Filipina, Laut Jawa, Selat Sunda dan Bangkok (Thailand). Dengan adanya kasus ini dilakukan pengamanan-pengamanan di wilayah-wilayah yang rawan oleh negara-negara yang bersangkutan berdasarkan teritorialnya masing-masing. Khusus kawasan Selat Malaka sangat diperhatikan keamanannya oleh negara-negara yang berbatasan langsung, karena Selat Malaka merupakan jalur padat bagi pelayaran dan perdagangan internasional. Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan Selat Malaka sebagai kepentingan bersama yang bermanfaat secara ekonomi dan politik. Sejauh ini, Selat Malaka membuat pelabuhan-pelabuhan laut – seperti di Batam, Bintan, Tanjung Pelepas, Johor – menjadi sangat diuntungkan sehingga dapat berkembang dengan pesat secara ekonomi dibandingkan daerah lainnya. Selain keuntungan terdapat pula resiko berupa segala gangguan keamanan di Selat Malaka yang akan menganggu stabilitas perdagangan ketiga negara tersebut. Selain ketiga negara tersebut, Thailand yang berada di ujung Utara Selat Malaka juga menunjukkan minatnya terhadap keamanan di wilayah tersebut. Tujuan Thailand berpartisipasi dalam pengamanan Selat Malaka merupakan upaya untuk meningkatkan peran militernya di kawasan. Gangguan keamanan di Selat Malaka tidak dianggap sebagai isu keamanan regional tetapi telah menjadi isu keamanan internasional sebab banyak negara pengguna (user states) turut merasa khawatir mengingat dampak negatif yang timbul jika Selat Malaka menjadi wilayah yang berbahaya bagi aktifitas pelayaran mereka. Untuk mengatasi masalah pembajakan, pemerintah melakukan pengamanan maritim seperti melakukan patroli rutin di jalur perdagangan dan transportasi yang rawan akan pembajakan. Patroli ini tidak hanya ditujukan untuk mengatasi masalah pembajakan, namun juga dapat ditujukan untuk mengatasi masalah illegal fishing. Illegal fishing termasuk dalam

transnational crime karena melibatkan lintas negara sebagai tempat terjadinya

kejahatan. Kasus ini bila tidak ditanggapi dengan serius tentu akan menimbulkan kerugian besar yang berkepanjangan. Dampak kerugian yang dialami Indonesia cukup besar. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (Organisasi Pangan dan Pertanian/FAO), rata-rata potensi kerugian negara dari tindakan

illegal fishing mencapai 30 triliun rupiah. Salah satu cara untuk mengurangi hal

tersebut, di mana ketika terjadi indikasi pelanggaran laut di perbatasan, masing-masing pihak saling berkoordinasi untuk mengingatkan nelayan masing-masing-masing-masing. Sehingga petugas laut negara bersangkutan segera menghalau nelayannya untuk kembali masuk ke wilayah laut sendiri.

(7)

Indonesia memiliki wilayah terbesar dan garis pantai terpanjang di ASEAN, hal ini mengakibatkan Indonesia harus memiliki postur militer yang kuat dan luas demi menjaga kedaulatan wilayahnya. Dalam kuantitas kekuatan militer Indonesia tergolong memiliki banyak dalam persenjataan. Tetapi bila kuantitas persenjataan yang dimilikinya dilihat proporsi dan persentasenya terhadap jangkauan wilayah operasi, wilayah, dan jumlah penduduk yang harus dilindunginya, profil kekuatannya tampak jauh lebih kecil dibanding sebagian besar negara-negara lainnya. Dalam hal tersebut Indonesia masih perlu melakukan peningkatan kapabilitas militernya untuk menciptakan postur militer yang ideal. Singapura yang merupakan negara kecil memiliki postur militer yang kuat jika dibandingkan dengan luas negaranya. Hal demikian dilakukan Singapura untuk menjaga keamanan nasional serta aset dan investasi dalam negeri yang menyangkut kepentingan nasionalnya. Aset dan investasi yang berada di Singapura termasuk infrastruktur publik dan pengembangan sumber daya manusia dan memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi di kedua bidang.

Selain dengan cara meningkatkan kapabilitas militernya, negara-negara ASEAN membentuk kerjasama dan memilih cara yang disebut dengan diplomasi pertahanan. Diplomasi pertahanan selalu berkaitan dengan: Pertama, aktivitas kerjasama yang dilakukan militer dan infrastruktur terkait pada masa damai. Kedua, diplomasi pertahanan melibatkan kerjasama militer dalam isu yang lebih luas, mulai dari peran militer sampai peran non-tradisional, seperti menjaga keamanan, penegakan keamanan, mempromosikan good-governance (tata kelola yang baik) tanggap bencana, melindungi HAM, dll. Ketiga, militer tidak lagi hanya bekerjasama dengan sekutunya, melainkan dengan negara yang sedang bersaing. Diplomasi pertahanan ini digunakan sebagai alat utama dalam menjaga keamanan nasional sebuah negara yang tergolong lemah dalam postur militernya, seperti Brunei, Kamboja dan Laos.

Dalam ASEAN Security Community (ASC) hal-hal baru yang menjadi fokus adalah masalah-masalah kelautan yang bersifat lintas batas dan oleh sebab itu harus ditangani secara regional, menyeluruh, integratif serta komprehensif. Pemeliharaan dan peningkatan keamanan dan keselamatan di Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan tanggung jawab ketiga negara pantai yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dapat dilihat dari hal tersebut ASC hanya berperan sebagai wadah untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara diplomasi. Kemudian sepertinya negara anggota melihat kembali sejarah tidak sanggupnya ASEAN dalam menangani konflik-konflik kawasan sebelumnya yang membuat ASEAN harus membawanya ke The International Court of Justice (mahkamah internasional/ICJ). Sepeti sengketa Preah Vihear Temple yang dipersengketakan Thailand dan Kamboja dan ICJ menyerahkan kepemilikannya kepada Kamboja. Sengketa Sipadan-Ligitan yang melibatkan Indonesia dan Malaysia, dibawa ke ICJ pada tahun 1988 dan kemudian dimenangkan oleh Malaysia pada tahun 2002. Kemudian sengketa Pedra Branca antara Singapura dan Malaysia terhadap tiga pulau, yaitu Pedra Branca, Batuan Tengah dan Karang Selatan. Persengketaan

(8)

sebagian sudah diselesaikan oleh ICJ tahun 2008 dengan menegaskan kepemilikan Singapura atas Pedra Branca dan kepemilikan Malaysia atas Batuan Tengah dan Karang Selatan diputuskan tak bertuan. Dengan adanya pandangan seperti itu maka negara anggota lebih memilih untuk meningkatkan kapabilitas militernya masing-masing untuk menjaga keamanan nasional.

B. Strategi Deterrence

Dalam menghadapi ancaman stabilitas keamanan nasional maupun regional, dibutuhkan strategi dengan menggunakan elemen-elemen negara yaitu militer, diplomasi, ekonomi, perjanjian internasional, dan alat lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini negara-negara anggota ASEAN juga menggunakan strategi deterrence. Deterrence yang dijalankan negara anggota ASEAN merupakan upaya untuk mencegah pihak lain dalam memberikan suatu ancaman. Dalam menjalankan strategi ini dibutuhkan postur militer yang kuat agar negara lain melihatnya memiliki kemampuan untuk membalas, sehingga negara lain akan melakukan pertimbangan yang serius jika ingin mengancam kepentingan negara lain. Strategi yang dijalankan negara-negara anggota ASEAN termasuk dalam general deterrence yang merupakan upaya membuat negara lain segan untuk memberikan ancaman dalam bentuk apapun dengan melakukan peningkatan kekuatan dan pengembangan teknologi persenjataan baru. Anggaran pertahanan yang meningkat digunakan untuk modernisasi kekuatan militer agar mencapai postur militer yang kuat sehingga strategi deterrence dapat berjalan dengan baik.

Terdapat tiga kepentingan yang ingin dilindungi oleh sebuah negara, yaitu

physical security, rules and institution, and prosperity. Dalam melindungi

kepentingan tersebut Singapura misalnya, melakukan deterrence dengan meningkatkan anggaran militernya guna memperkuat postur militernya. Singapura yang memiliki kualitas SDM yang tinggi (physical security) dan prosperity di atas rata-rata negara anggota ASEAN lainnya merasa perlu melakukan strategi

deterrence. Untuk melaksanakan strategi ini Singapura perlu untuk memperkuat

postur mliternya. Dapat dilihat Singapura terus mengalami peningkatan dalam anggaran militernya dari tahun 2002-2011. Walaupun negara yang kecil namun kekuatan militer Singapura dapat memberikan pertimbangan dari negara lain jika ingin menyerangnya. Hal ini merupakan sebuah strategi perlindungan yang dapat melindungi komposisi dalam batas-batas geografi kedaulatan negara.

Namun negara tetangga melihat Singapura di masa datang dengan kekuatan militernya akan dapat mengancam stabilitas keamanan nasionalnya jika Singapura melakukan agresi, walaupun hal tersebut memiliki kemungkinan yang sangat kecil. Dengan demikian negara tetangga juga turut meningkatkan kemampuan militernya sebagai antisipasi agresi militer negara lain dengan maksud deterrence. Hal tersebut menjadi trend dalam kawasan dan dengan bertambah banyaknya pihak yang ikut meningkatkan kekuatan militernya seperti Malaysia, Thailand,

(9)

Indonesia dan Filipina, hal tersebut dinilai secara tidak langsung sebagai perlombaan senjata yang dapat mengganggu stabilitas kawasan dan dapat menjadi ancaman keamanan yang baru.

C. Trend Modernisasi Militer

Menciptakan postur militer yang profesional, efisien dan efektif, adalah keharusan tiap negara yang tidak dapat diabaikan. Hal inipun kemudian didukung oleh pertimbangan-pertimbangan lain yang juga penting. Pertama, walaupun sedang dalam kesulitan ekonomi, peningkatan pembangunan persenjataan tetap penting dilaksanakan, walaupun pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan kemampuan melalui bentuk peningkatan secara bertahap. Dengan demikian, hal tersebut akan dapat menghindarkan kemungkinan negara pada posisi pacuan senjata dengan diri sendiri (self-arms race). Penghindaran dari self-arms race

merupakan hal penting, karena selain menghindari penumpukan pembelian senjata pada waktu tertentu yang akan memakan biaya yang sangat besar, juga dapat menghindarkan kekhawatiran negara tetangga dan pihak-pihak domestik yang kritis terhadap keberadaan militer sebuah negara. Kedua, walaupun ancaman serangan militer (konvensional) secara langsung sudah hampir tidak dimungkinan lagi, tetapi menjaga keamanan wilayah dan kedaulatan tetap harus dilakukan, dan untuk itu diperlukan modernisasi persenjataan. Sekecil apapun faktor ancaman konvensional yang mungkin terjadi, dalam penyusunan defense planning

(perencanaan pertahanan) tetap harus diperhitungkan. Hal ini sejalan definisi umum fungsi pertahanan yang dianut NATO, bahwa kekuatan pertahanan dilaksanakan untuk menghadapi fungsi-fungsi pertahanan, yaitu: (1) Menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah walaupun tidak ada ancaman dari luar; (2) Menjaga negara dari ancaman musuh; dan (3) Ikut menjaga perdamaian dunia

(peace keeping operations).

Terdapat beberapa faktor mengapa terjadi trend modernisasi militer pada negara-negara anggota ASEAN, yaitu: (1) Terdapat masalah perbatasan yang tumpang tindih di perairan teritorial yang sangat sensitif sebab menyangkut kedaulatan suatu negara. Sementara persoalan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyangkut kepentingan energi dan sumberdaya suatu negara. Persoalan Laut Cina Selatan juga menimbulkan ketegangan di antara sesama anggota ASEAN dan juga di luar ASEAN seperti Cina dan Taiwan. Kepentingan Cina di Asia Tenggara tidak hanya terkait dengan negara-negara Asia Tenggara pengklaim Laut Cina Selatan namun juga menyangkut pasokan energi Cina yang 60 persen melalui perairan Asia Tenggara. Modernisasi militer Cina membuat beberapa negara anggota ASEAN turut melakukan modernisasi militer; (2) Perubahan kebutuhan militer menuntut kemampuan proyeksi kekuatan baru. Misalnya untuk operasi bersama dan mengawasi ketertiban regional; dan (3) Kondisi ekonomi negara-negara anggota ASEAN yang mengalami peningkatan menyebabkan penetapan anggaran militer untuk akuisisi senjata.

(10)

Untuk mengetahui apakah benar yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam meningkatkan kapabilitas militernya merupakan perlombaan senjata dapat ditinjau melalui empat kondisi dasar oleh Colin Gray yang menunjukkan adanya perlombaan senjata. Pertama, harus ada dua atau lebih negara yang bertikai. Dalam hal ini terdapat beberapa negara anggota yang terlibat dalam konflik, beberapa di antara konflik Thailand-Kamboja atas kuil Preah Vihear, Thailand-Laos mengenai perbatasan wilayah, Malaysia-Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia-Singapura tentang kepemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca), Indonesia-Malaysia tentang Sipadan dan Ligitan serta perbatasan maritim di Ambalat.

Walaupun sebagian merupakan konflik historis dan saat ini masing-masing negara menjalani masa damai. Negara anggota secara terbuka tidak berlawanan satu sama lain, bahkan saling bekerjasama dalam ASEAN. Namun perdamaian tersebut dapat dinilai sebagai negative peace. Negative peace adalah kondisi di mana situasi perdamaian mengandung unsur konflik atau suasana di mana konflik sebelumnya masih terasa dan memiliki potensi menghasilkan konflik baru jika tidak ditangani dengan tuntas.

Kedua, negara yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata dengan perhatian terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau sebagai penangkal terhadap peserta lomba senjata. Dalam konteks ini negara-negara anggota ASEAN memiliki fokus terhadap sistem pertahanan (defense) seperti pesawat pengintai dan pesawat tanpa awak untuk menjaga keamanan udara, kapal patroli yang dilengkapi dengan senjata ringan dan sistem radar. Hal tersebut menjadi sangat penting mengingat kondisi geografis negara-negara ASEAN yang pada umumnya memiliki wilayah laut. Seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Malaysian Air Force harus dapat berpatroli sepanjang garis pantai dan mempertahankan kedaulatannya di perbatasan yang sangat rentan terhadap perompakan, penyelundupan dan imigran gelap dari Selatan Filipina. Dengan perlengkapan yang canggih dapat mendukung sistem pertahanan yang kuat. Misalnya keberadaan pesawat pengintai Beechcraft Super King Air milik Malaysia dan Super Tanaco milik Indonesia yang menjadi andalan untuk melakukan patroli dan pengintaian. Untuk keamanan laut, Indonesia memiliki total 50 kapal patroli dan 48 kapal pendukung. Sistem pertahanan juga dilengkapi dengan militer bersifat ofensif seperti jet tempur, helikopter tempur, kapal penghancur kelas fregat, kapal selam serta battle tank. Namun hal tersebut digunakan sebagai sarana untuk menunjang keberhasilan strategi penangkal (deterrence).

Ketiga, mereka harus berkompetisi dalam kuantitas (SDM, senjata) dan/atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin). Dalam hal ini masing-masing negara jelas terlihat meningkatkan kuantitas dan kualitas baik dalam SDM (jumlah personil) dan persenjataan. Peningkatan kuantitas jelas dapat dilihat seiring berjalannya waktu. Peningkatan personil militer Singapura misalnya, pada tahun 2003-2004 Singapura memiliki 50.000 personil aktif. Kemudian pada tahun 2012

(11)

Singapura memiliki 72.000 personil aktif. Sistem pertahanan Singapura juga mengalami peningkatan baik dalam kuantitas dan kualitas. Pada 2003-2004 mengganti satu skuadron A-4S dengan 20 unit 16 ditambah dengan 12 unit F-15. Vietnam dalam 2004-2007 mengakuisisi 118 unit pesawat tempur jenis Sukhoi dan Mirage, 6 unit korvet dan 2 unit fregat. Peningkatan secara kuantitas dan kualitas memang perlu dilakukan melihat besarnya cakupan wilayah sebuah negara serta adanya teknologi canggih saat ini yang dapat disalahgunakan oleh suatu pihak seperti teroris. Namun peningkatan kuantitas dan kualitas militer yang terjadi tidak mengandung adanya kompetisi di antara negara. Peningkatan tersebut ditujukan untuk keperluan menjaga keamanan baik itu keamanan ekonomi, keamanan lingkungan dan keamanan masyarakat.

Keempat, harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas dan/atau peningkatan dalam kualitas. Beberapa negara yang memenuhi kondisi tersebut. Di antaranya Indonesia, Thailand dan Vietnam. Indonesia mengalami peningkatan kapabilitas militernya pada tahun 2009-2011. Dalam jangka waktu tersebut Indonesia telah mengakuisisi 25 helikopter tempur, 44 unit tank amfibi, 4 unit korvet, 5 unit Sukhoi, 2 unit kapal selam dan beberapa alat pertahanan lainnya. Thailand mengalami peningkatan yang signifikan pada 2006-2009. Dalam jangka waktu tersebut Thailand telah mendapatkan 16 unit pesawat tempur Mirage, 20 unit main battle tank, 108 unit kendaraan lapis baja, 6 unit jet tempur Gripen, 6 unit utility helicopter dan 3 unit korvet. Fokus pertahanan dan keamanan Thailand adalah memelihara keamanan internalnya karena meningkatnya aktivitas terorisme, demonstrasi massal dan instabilitas internal. Sementara Vietnam mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2004-2008. Dalam jangka waktu 5 tahun tersebut Vietnam telah mengakuisisi 118 unit pesawat tempur jenis Sukhoi dan Mirage, 6 unit korvet dan 2 fregat. Vietnam memiliki fokus terhadap integritas teitorialnya. Adanya konflik Laut Cina Selatan menempatkan Vietnam sebagai negara pengklaim di sebagian wilayah Laut Cina Selatan yaitu Spartly Island. Selain itu Vietnam memiliki masalah perbatasan dengan Kamboja dan Laos. Berdasarkan empat kondisi di atas, peningkatan kapabilitas militer yang dilakukan oleh negara-negara angota ASEAN dapat dikatakan sebagai perlombaan senjata. Perlombaan senjata tentu memiliki tujuan politik (peningkatan persenjataan disesuaikan untuk menyeimbangkan atau menandingi kekuatan negara lain). Namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan belanja militer yang cepat oleh dua atau lebih negara bertetangga bukan berarti dimaksudkan untuk perlombaan militer atau perlombaan senjata. Pembangunan kekuatan dilakukan untuk persaingan dalam waktu singkat untuk memperbaiki atau mempertahankan kekuatan relatif dan pengaruhnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kapabilitas militer di antara negara anggota ASEAN tersebut sebelumnya dikonsultasikan di dalam ARF. Konsultasi tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan yang dapat mengganggu stabilitas hubungan antar negara.

(12)

Kesimpulan

Peningkatan kapabilitas militer yang terjadi pada negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2002-2012 dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata. Namun peningkatan kapabilitas militer tersebut sebelumnya dikonsultasikan di dalam ARF. Hal tersebut yang berbeda dengan kawasan lainnya, seperti Asia Timur dan Asia Tengah yang tidak memiliki forum keamanan untuk membahas masalah stabilitas keamanan regional. Pembangunan kekuatan militer merupakan hal yang wajar bagi sebuah negara karena merupakan bagian dari pembangunan nasional dan suatu kewajiban untuk menciptakan keamanan nasional. Yang menjadi permasalahan bukan peningkatan kapabilitas militer, tetapi tujuannya. Di negara-negara anggota ASEAN, tujuan pembangunan kekuatan pada umumnya adalah sebagai strategi penangkal (deterrence) yang bersifat defensif, bukan ofensif. Peningkatan kapabilitas militer akan menjadi masalah ketika menyebabkan salah persepsi dan kecurigaan antar negara dan kawasan. Untuk menghindarinya dibutuhkan transparansi dan kepercayaan. Langkah ASEAN untuk mewujudkan ASEAN Security Community merupakan upaya untuk menciptakan collective

security di kawasan. Langkah ini diambil karena dinilai lebih komprehensif dalam

menjawab tantangan-tantangan yang muncul dengan dasar nilai-nilai dan kepentingan yang sama untuk mengatasi masalah keamanan secara kooperatif yang bertujuan membangun kerjasama antar negara dengan menata aturan dan mekanisme untuk menghadapi tantangan-tantangan keamanan, baik yang berasal dari dalam maupun luar kawasan. Namun dengan terbentuknya ASEAN Security Community tidak menjamin akan keamanan nasional setiap negara anggota, dikarenakan komunitas tersebut tidak memiliki pakta milier sendiri. Sehingga negara-negara anggota ASEAN merasa perlu untuk memperkuat kapabilitas militernnya masing-masing.

Referensi Buku

Cipto, Bambang, 2006, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong

terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rudy, May, 2001, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional

Pasca Perang Dingin, Bandung: Refika.

______, 2003, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah

Global Isu, Konsep, Teori dan Paradigma, Bandung: Refika.

Soesasiro, Hadi, 2004, Small is (not) Beautiful: the Problem of small arms in

Southeast Asia, Jakarta: CSIS.

Internet

Illegal Fishing Costs indonesia 3 Billion Dollars a Year

http://www.aseannews.net/illegal-fishing-costs-indonesia-3-billion-dollars-a-year/

Modernisasi Militer Asia Tenggara: Destabilitas Keamanan Regional?

Referensi

Dokumen terkait

Pasangkan komponen-komponen seperti MCB, saklar tunggal, stop kontak, dan lampu pijar sesuai dengan tata letak yang telah dibuat dengan menggunkan kapur tulis3. Potong pipa sesuai

Metode yang digunakan yaitu analisis kurva pertumbuhan berdasarkan hubungan besarnya absorbansi dari sampel bakteriosin yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada

Pengertian pergaulan bebas adalah bentuk perilaku yang tidak wajar atau menyimpang dimana makna bebas tersebut adalah menyelisihi dari batas norma agama maupun

Pajak adalah kontribusi wajib rakyat kepada negara yang terutang, baik sebagai orang pribadi atau badan usaha yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan

ABSTRAK Niko Parlindungan 4011311077 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN PENYEDIA PEEMBANTU RUMAH TANGGA VIA ONLINE DI KOTA PANGKALPINANG Skripsi, Fakultas Hukum, 2018

SKPD,namun RPIJM merupakan dokumen teknis operasional pembangunan bidang Cipta Karya yang berisikan rencana investasi sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah. RPIJM

ASI adalah makanan lengkap yang dapat memenuhi kebutuhan zat gizi bayi yang baru lahir dan pada umur selanjutnya, apabila diberikan dalam jumlah yang cukup (Maclean, 1998)..

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara