• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gereja lahir dan bertumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gereja lahir dan bertumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latarbelakang permasalahan

Gereja lahir dan bertumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama dalam arti menjawab pergumulan yang sedang dihadapi oleh manusia. Gereja dalam dirinya sendiri menyadari akan adanya tugas panggilan di tengah-tengah dunia ini sepanjang zaman. Rentang waktu perjalanan gereja dalam memahami keberadaan tersebut memberikan rumusan, yang cenderung membagi-bagi atau memisah-misah tugas panggilan gereja, nampak dari rumusan-rumusan yang disebut dengan “tri-tugas panggilan gereja” atau “tri darma gereja”, dengan uraian selanjutnya koinonia, marturia dan diakonia.

Emanuel Gerrit Singgih1 menyebutnya dengan tiga aspek gereja yang digambarkan dengan segitiga sama sisi, yang pada masing-masing sudut ditempatkan koinonia (institusional), marturia (ritual) dan diakonia (etikal). Segi-segi itu merupakan keseimbangan yang terus-menerus harus dijaga karena ketika gereja hanya menekankan segi kelembagaan dan ritual, maka gereja hanya ada untuk dirinya sendiri; kalau pelayanan hanya dianggap sebagai aspek ritual atau alat untuk membantu organisasi gereja maka pelayanan tidak pernah akan menjadi pelayanan sosial yang menjangkau masyarakat luas.

Secara faktual hingga saat ini, GKPA dalam menjalankan tugas panggilannya lebih mengutamakan segi ritual dan institusional. Persoalan-persoalan yang mendominasi perdebatan dalam rapat-rapat GKPA adalah tentang struktur gereja, ibadah-ibadah,

1 . Lihat E.G.Singgih,

Reformasi dan transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke – 21, Kanisius,

(2)

Pemahaman Alkitab, pelaksanaan kebaktian rumah tangga, biaya rutin, dll. Maka masalah yang utama di sini adalah ketidakseimbangan konsep dan praktek dari ketiga tugas panggilan tersebut.

Ketidakseimbangannya juga dapat dilihat dari pengalokasian anggaran tahunan jemaat. Umumnya dana gereja jauh lebih besar diperuntukkan untuk pembiayaan keperluan rutin dan pembangunan gedung gereja. Seiring dengan ketidakseimbangan tersebut penting untuk mengingat sebagaimana J.C.Sikkel yang dikutip oleh Jaap van Klinken mengatakan “Gereja dapat hidup tanpa bangunan-bangunan. Tanpa diakonia gereja mati”2

Apa yang sering disebutkan dengan tugas panggilan diakonia lebih mengarah kepada sikap ritual. Indikasinya bisa dilihat dari acara-acara pemberian bingkisan natal kepada para janda atau keluarga miskin berupa pembagian sembako atau uang ala kadarnya pada bulan Desember di kalangan anggota jemaat.

Dengan memperhatikan konseptual ideal dari diakonia sebagai bagian integral atau sebagaimana disebutkan oleh Kjell Nordstokke3 sebagai identitas gereja. Dengan kecendrungan praktis yang dilakukan oleh gereja-gereja, maka perlulah untuk mengkaji ulang tentang konsep dan praktek diakonia di GKPA.

Gereja pada dirinya sendiri memerlukan pembaharuan sebagaimana semboyan yang selalu diingatkan melalui ungkapan Luther “Ecclesia reformata, ecclesia semper reformanda” (Gereja yang diperbaharui, haruslah menjadi gereja yang selalu

membaharui dirinya sendiri)4. 2 . Lihat J.V.Klinken,

Diakonia, Mutual Helping withJjustice and Compassion, William B.Eerdmans Pub.Co.

Grand Rapids, Michigan, 1989, hlm.26

3 . Lihat Kjell,Nordstokke, Dasar Alkitabiah dan Teologis Diakonia, dalam : Jurnal Teologi

Tabernakel STT Abdi Sabda, Medan Edisi XVII, 2007, hlm. 69 4 . Lihat Alister E Mc.Grath,

(3)

Tugas diakonia lebih cenderung untuk melayani dalam pergumulan sosialnya. Kemiskinan dan penderitaan umat baik karena faktor alam maupun penderitaan sistemik menjadi tantangan utama. Hal itu berarti berhubungan dengan yang menolong dengan yang ditolong. Noordegraf melihat ada hubungan antara yang ditolong dengan yang menolong dalam sejarah diakonia. Dia tidak setuju jika hubungan di antara keduanya dilihat sebagai perwalian, atau dilakukan secara sepihak saja, melainkan harus saling melayani dengan talenta mereka dalam suatu pertemuan yang berarti suatu persekutuan5. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka permasalahan yang kedua adalah konsep dan penempatan potensi seluruh jemaat dalam berdiakonia. Dari dokumen GKPA disebutkan bahwa sejak GKPA menetapkan Tata Gerejanya pada tahun 1976, yang diperbaharui tahun 1981 dan 1992, maka disimpulkan bahwa GKPA meyakini dan berpedoman pada model Presbiterial Sinodal dalam organisasi gerejanya. Dengan mempergunakan struktur tersebut berarti bahwa seluruh kegiatan dan tanggungjawab terletak atas pundak para presbiter dalam kemajelisannya. Tugas pelayanan dan tanggungjawab itu dijalankan dalam kebersamaan, yang meliputi merencanakan bersama, melaksanakan bersama dan bertanggungjawab bersama.6

Kebersamaan dalam model tersebut apakah tidak akan membentuk kesenjangan antara jemaat dalam arti kaum awam dengan para presbiter. Di satu sisi disebutkan bahwa menunaikan panggilan gereja merupakan tanggungjawab bersama, namun di sisi lain semua perencanaan (keputusan), pelaksanaan (implementasi) dan pertanggungjawaban (evaluasi) berada pada pundak para presbiter. Dengan demikian yang berhubungan dengan diakonia akan ditentukan hanya oleh majelis. Apa yang bisa

5. A.Noordegraaf,

Orientas Diakonia Gereja (Terjemahan oleh D.Ch.Sahetapy – Engel), BPK Gunung

Mulia, Jakarta, 2004, hlm. 26

6 . Model bergereja ini dapat dilihat dalam dokumen 20 tahun GKPA,

bertumbuh bersama menuju kedewasaan (Tim penyusun: Dahlan Harahap), Tapian Raya, 1995, hlm.128-129

(4)

dan cocok bagi majelis akan menjadi ukuran diakonia. Dalam hal pengambilan keputusan, jemaat hanya dilibatkan selama tiga atau empat jam setahun dalam membicarakan konsep perencanaan, implementasi, struktur gereja, evaluasi, dll.

Dengan demikian gerak menggereja masa kini, yang melihat jemaat sebagai kekuatan gereja, dengan keyakinan yang kokoh bahwa banyak karisma yang dianugrahkan Allah bagi seluruh komunitas gereja yang belum dibiarkan tumbuh dan berkembang. Padahal dalam penanganan diakonia dalam menjawab tantangan yang dihadapi seperti kemiskinan dan penderitaan membutuhkan keterlibatan umat dengan karisma yang berbeda-beda.

GKPA sebagai gereja suku, lahir dan dibentuk dalam mempertahankan identitas suku Angkola dan Mandailing. Upaya mempertahankan identitas tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya gereja dalam hal ini HKBP melakukan pelayanan yang optimal di kalangan suku Angkola-Mandailing, padahal daerah ini menjadi titik permulaan lahirnya gereja pada abad 19 di Tanah Batak.

Asal-usul kekristenan GKPA berasal dari pekerjaan para Pekabar Injil dari Eropa, yang hampir sama dengan gereja-gereja lain di Indonesia, yang tentunya merupakan buah penghayatan iman mereka dalam situasi dan konteks tertentu. Sejarah berjalan terus menerus, namun pergumulan manusia tidaklah selalu sama dari satu era ke era lainnya.

Seiring dengan perubahan zaman bahwa pola pelayanan masyarakat dari gereja tentu saja berkembang. Ada beberapa lembaga yang dibentuk oleh orang-orang yang perduli terhadap kemiskinan dan penderitaan, dengan gigih dan tanpa pamrih. Lembaga tersebut telah menunjukkan perjuangan kepeduliannya atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi baik perorangan maupun masyarakat. Penulis hendak menyampaikan bahwa

(5)

perlunya GKPA mentransfomasi dirinya sendiri dengan cara pelayanan yang telah ada. Lembaga-lembaga Oikumenis tentu saja telah bergumul dengan masalah diakonia. GKPA sebagai bagian dari Lembaga Oikumenis tersebut penting untuk mengevaluasi dirinya sejauhmana telah mengaktualisasikan kepedulian diakonia dalam hidup bergereja.

Dengan mengikuti latarbelakang di atas, maka penulis melihat tiga permasalahan utama dalam tesis ini. Yang pertama adalah GKPA sebagai gereja yang menerima tugas panggilan diakonia belum menjawab pergumulan sosial (kemiskinan dan penderitaan). Yang kedua adalah potensi jemaat secara menyeluruh belum diberdayakan sebagai subjek dalam diakonia. Hal itu menyangkut masalah bagaimana hubungan komunitas dengan tugas panggilan diakonia. Yang ketiga pola-pola pelayanan diakonia yang telah diprakarsai oleh lembaga-lembaga sosial kristiani tidak teraktualisasi dalam hati jemaat orang perorangan maupun secara kelembagaan di GKPA.

Hal ini penting dikemukakan karena usaha diakonia GKPA seolah-olah tidak meninggalkan bekas. Gereja belum bisa membuat suatu ukiran cerita dalam pelayanan diakonal. Jadi kehadiran GKPA di tengah-tengah konteksnya belum memberikan sesuatu yang signifikan. Dengan demikian penulis merasa perlu untuk mengkaji kembali peran kehadiran gereja di tengah-tengah pergumulan sosial.

2. Membangun diakonia kontekstual

Warisan para missionaris mempengaruhi kehidupan bergereja seiring dengan yang mempengaruhi mereka pada masanya. Hasil pekabaran injil dari masa lalu menjadi suatu institusi yang bernama gereja, hal itu berarti gereja lahir dari masa lalu, namun

(6)

ada sekarang dalam situasi yang tentu saja berbeda dengan masa lahirnya di abad 19. Model bergereja dalam menunaikan tugas panggilan yang dibawa oleh para missionaris yang masih dihayati oleh jemaat disebut sebagai tradisi gereja.

Tradisi gereja ini merupakan bagian dari kekayaan gereja, namun harus dilihat kenyataannya bahwa jemaat tidak hanya menghayati totalitas kehidupannya melulu dengan tradisi gereja, melainkan juga menghayati warisan yang tidak terpisahkan dari seseorang atau kelompok yaitu budaya setempat. Dengan demikian membangun usaha gereja kepada diakonia kontekstual diperhadapkan dengan tiga konteks, sebagaimana dijelaskan oleh Singgih7 bahwa ada tiga konteks yang perlu diperhatikan yakni konteks Alkitab, koteks tradisi sistematis dan konteks masa kini. Oleh karena itulah dalam tulisan ini ketiga konteks tersebut menjadi perhatian penting. Dengan memperhatikan ketiga konteks tersebut, maka akan memunculkan kesadaran bahwa setiap orang atau kelompok baik gereja dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh tiga konteks tersebut.

Adeney-Risakotta 8mendefinisikannya dengan tiga jaringan makna. Dalam teorinya ada tiga jaringan makna yang menciptakan gagasan, institusi dan praktek yang berbeda satu sama lain, tetapi tidak bisa dipisahkan yaitu modernitas, agama dan budaya nenek moyang. Jemaat GKPA sebagai gereja suku tidaklah menghidupi penghayatan spiritualnya hanya dari salah satu konteks atau makna di atas.

Jemaat yang berdiakonia dipengaruhi oleh tiga jaringan makna tersebut, di satu sisi hidup sebagai anggota gereja, di sisi lain menghayati hidupnya dalam konteks budayanya baik budaya tradisional maupun budaya modern yang membentuk seseorang. Ada fenomena sosial bagi orang Batak secara menyeluruh dalam melihat

7 . Lihat E.G.Singgih, ,

Berteologi dalam konteks-Pemikiran-pemikiran mengenai

Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Yogjakarta, Kanisius, 2000, hlm. 19 8 . Bernard Adeney-Risakotta, “Modernitas, Agama dan Budaya Nenek Moyang, suatu model

(7)

hubungan antara agama dan budaya tradisional (adat). Fenomena landasan etis yang bersumber pada budaya lebih kuat dari landasan keagamaannya, maka orang Batak akan lebih marah disebut sebagai orang yang tidak beradat ketimbang orang yang tidak beragama.

3. Batasan Masalah

3.1. Mengapa tugas panggilan diakonia GKPA belum bisa menjawab pergumulan sosial jemaat GKPA Padangsidimpuan dan bagaimana diakonia diimplementasikan di GKPA dalam hubungan antara peranserta jemaat (participation) dengan struktur gereja GKPA

itu sendiri.

3.2. Mengapa jemaat sebagai basis belum menjadi kekuatan dalam diakonia GKPA ? 3.3. Mengapa prinsip pelayanan Yesus dengan mengutamakan orang miskin dan menderita

belum menjadi pola pelayanan GKPA ?

4 . Meneliti Diakonia berbasis jemaat di GKPA

Berdasarkan pemahaman di atas, maka penelitian ini berpedoman pada

asumsi diakonia berbasis jemaat sebagai usaha berteologi sosial dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, antropologis dan sosiologis, yaitu suatu teologi sosial yang ditemukan dalam hasil dari dialog kritis dan konstruktif, yang akhirnya menghasilkan Diakonia Berbasis Jemaat yang Kontekstual.

Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan GKPA sebagai gereja pengutus penulis sendiri, yang dipusatkan di satu jemaat yaitu GKPA Padangsidimpuan dan Kantor Pusat

(8)

GKPA di lokasi yang sama. Dengan kegiatan penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan gambaran nyata terhadap konsep dan implementasi diakonia di GKPA.

4.1. Landasan teori penelitian

Gereja berada dalam kenyataan sosial dalam konteks tertentu, sehingga dibutuhkan pendeketan untuk memahaminya dalam kerangka teologi sosial. Banawiratma9 menawarkan empat agenda utama dalam teologi sosial yaitu kenyataan sosial dan penghayatan iman atau situasi yang dialami bersama, yang kedua adalah melakukan analisis terhadap kenyataan konkrit, yang ketiga adalah sintesis teologis dan keempat rencana pastoral ke arah pelayanan atau ke arah gerakan bersama. Langkah-langkah penelitian dengan aspek-aspek diatas disebut dengan spiral hermenetik atau lingkaran hermeneutik.

4.2. Metode penelitian

Metode penelitian yang dipakai untuk mengetahui pengertian, bentuk dan yang berhubungan dengan diakonia adalah metode penelitian kualitatif. Jadi secara konkrit penulis akan melakukan penelitian dengan menempuh langkah-langkah berikut ini : Pertama, penulis akan berusaha untuk melakukan penelitian lapangan dengan bentuk survey, untuk mengetahui kenyataan sosial yang berhubungan

dengan kemiskinan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat dimana GKPA ada dan melayani dan bagaimana diakonia diimplementasikan oleh GKPA. Untuk itu akan dikumpulkan data-data yang terdiri dari tiga macam pengumpulan data yaitu dengan wawancara terbuka, pengamatan langsung dan membahas

9 . Lihat J.B.Banawiratma,

(9)

dokumen tertulis10. Disamping melakukan survey, maka metode penelitian

berikutnya adalah perbandingan teologi yang berhubungan dengan diakonia seperti

teologi kaum awam dan teologi akar rumput. Demikian juga melakukan

perbandingan dengan lembaga-lembaga Kristen yang melakukan diakonia berbasis

jemaat seperti Yayasan INSEDCOT di Solo dan juga CD-Bethesda di Yogjakarta. Kedua lembaga ini telah mengtimplementasikan suatu konsep berdiakonia denagan pembentukan Organisasi Rakyat atau Kelompok Swadaya Masyarakat sebagai perwujudan diakonia reformatif dan transformatif.

Oleh karena prapaham penulis sendiri melihat subjek penetian di aras jemaat, dan membutuhkan jumlah responden, yang direncanakan sebanyak 100 orang, maka dipersiapkan juga penelitian dengan kuantitatif dalam bentuk angket. Data-data akan diperoleh dari sumber utama yaitu data primer: data yang didapatkan langsung dari orang-perorangan atau sumber langsung. Untuk mengolah data primer yang bersifat kuantitatif, maka akan dilakukan analisis data frekwensi numeral (angka) dengan bantuan statistika SPSS.11

Secara khusus semua data angket yang telah dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan SPSS tersebut akan menghasilkan sumber informasi tabel frekwensi. Dan angka yang paling besar akan menjadi perhatian untuk melihat pemahaman kebanyakan dari responden.

10 . Lihat M.Q.Patton

, Qualitative evaluation and research methods, Newbury Park, Sage Pub.1990,

hlm.10

11 . Lihat C.Trihendradi,

langkah mudah menguasai statistic menggunakan SPSS 15, Jogjakarta, Andi

(10)

4.3. Tujuan Penelitian

4.3.1. Setelah hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengertian dan

strategi gereja yang berhubungan dengan tugas panggilan diakonia kepada jemaat, yang teraktualisasi dalam diakonia yang berbasis jemaat

4.3.2. Supaya penulis/peneliti dapat menentukan langkah-langkah yang lebih baik dalam pengorganisiran jemaat, khususnya dalam tugas panggilan diakonia.

4.3.3. Supaya jemaat GKPA secara umum memiliki dasar teologi diakonia berbasis jemaat dalam menghayati dan menunaikan tugas panggilannya.

5. Asumsi normatif

Berdasarkan pemetaan masalah yang telah disebutkan di atas, penulis mengungkapkan hipotesis seperti berikut ini :

1. Jemaat GKPA Padangsidimpuan memahami tugas panggilan diakonia dalam dua pengertian. Yang pertama sebagai tugas pemberdayaan jemaat untuk merespons pergumulan-pergumulan sosial secara bertanggungjawab seperti pergumulan kemiskinan dan penderitaan. Yang kedua adalah aksi-aksi charity terhadap anggota

jemaat seperti menjenguk orang sakit, persekutuan jemaat yang lanjut usia (lansia), melakukan doa bersama di penjara,dll.

2. Ide jemaat yang partisipatif dalam tugas diakonia bisa dipahami sebagai upaya pemberdayaan jemaat untuk menolong dirinya sendiri mengatasi pergumulan-pergumulan sosial.

(11)

diakonia akan menghasilkan Diakonia Berbasis Jemaat yang Kontekstual.

6. Sistimatika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang permasalahan, Rumusah masalah, tujuaan, hipotesis, metodologi penelitian dan

sistimatika penulisan.

Bab II : Usaha Diakonia di GKPA saat ini.

Bagian ini akan menggali dan menguraikan realitas usaha diakonia di GKPA, yang dipusatkan di suatu jemaat GKPA Padangsidipuan. Bagaimana pemahaman baik jemaat maupun para pelayan gereja tentang diakonia. Dari pemahaman tersebut tentunya akan diuraikan bentuk-bentuk diakonia yang dilakukan di jemaat tersebut.

Bab III : Analisis Penelitian : Diakonia Berbasis Jemaat di GKPA

Dari data-data tersebut, akan dianalisis dengan mendiskusikannya dari pemikiran para teolog yang memberi perhatian pada teologi sosial, khususnya yang melihat jemaat sebagai basis dalam melakukan diakonia tersebut. Dari hasil analisis ini akan dibuat rangkuman bagaimana teologi sosial dalam upaya diakonia berbasis jemaat.

Bab IV : Penghayatan Iman Diakonia yang Transformatif.

Dari hasil analisis akan dimunculkan refleksi teologis dengan mempertimbangkan karya nyata, yang telah dilakukan melalui lembaga Kristen. Penulis hendak mempertimbangkan suatu diakonia yang

(12)

kontekstual dari pengalaman Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial (YBKS), INSEDCOT, dan CD Bethesda sebagai lembaga yang berakar dalam gereja dan rakyat. Bagian ini juga akan mengkaji beberapa perikop dari satu konteks Alkitab yaitu kitab Markus. Bagaimana Yesus melayani. Bagian ini merupakan usaha exegetis reader’s respons sebagai studi

teologi biblika terhadap tema diakonia menurut penulis injil Markus. Dalam hal ini penulis merencanakan penafsiran terhadap: Markus 2:13-17; Markus 6:30-44 ; 8:1-10; Markus 10 : 35-45.

Dalam usaha exegetis ini akan dimanfaatkan hasil-hasil tafsir dari para ahli biblika, yang telah mendiskusikan pokok ini dan bagaimana aktualisasi diakonia dalam jemaat mula-mula. Melalui exegesis akan diungkapkan nilai-nilai teologi sosial dari diakonia itu sendiri.

Bab V : Aksi Diakonia Berbasis Jemaat yang Kontekstual.

Bagian ini merupakan suatu aksi ke depan bagaimana diakonia yang ideal direncanakan, dimplementasikan atau sebagai model diakonia dalam menjawab pergumulan sosial di tengah-tengah kehadiran GKPA.

Bab VI : Kesimpulan

Bagian ini sebagai akhir dari penulisan yang berisikan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, termasuk di dalamnya saran-saran dan rekomendasi penulis terhadap pokok bahasan.

Referensi

Dokumen terkait

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Strategi Manajer Pendidikan di Daerah Dalam Menghadapi Kebijakan Desentralisasi Pendidikan., diselenggarakan oleh

Keterbaasan Anggaran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa jumlah dana yang diterima oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Indragiri Hulu belum

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan metode Tube Dilution Test untuk membuktikan pengaruh ekstrak infusa tanaman sangket (Basilicum

Menurut Cole (2004), dampak perceraian adalah: 1) Merasa diabaikan oleh orangtua yang mening- galkannya; 2) Mengalami kesulitan dalam meneri- ma kenyataan pada perubahan

Faktor Pendorong : Warga antusias terhadap kegiatan yang dilakukan, warga bersedia menerima dengan baik saran pencegahan dan pengobatan tekanan darah yang

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh axial spaced-pitch ratio (sx/W) dan perforation hole diameter ratio (d/W) terhadap karakteristik perpindahan panas

Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar total metil ester yang diperoleh dari reaksi transesterifikasi dengan metode kromatografi gas (KG).. Kolom KG diatur

Implementasi yang sudah dilakukan yaitu melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik dilakukan pada tanggal 10 Mei 2012 jam 09.00 WIB secara subyektif pasien