• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL DAN UPAYA PENGUATAN JATI DIRI BANGSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL DAN UPAYA PENGUATAN JATI DIRI BANGSA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL

DAN UPAYA PENGUATAN JATI DIRI BANGSA

Nur Ramadhoni Setyaningsih Balai Bahasa Provinsi DIY Email: nurramadhonis@gmail.com

Abstract

Javanese language for daily communication in Javanese society, has been marginalized. The moral values contained in the Javanese language nowadays are very rarely mastered by youngsters. Looking at this reality, it should be prevention efforts in order to preserve virtuous culture and local wisdom which is inherited in Javanese language and culture, so that they are not faded away by modernization wave. Erosion of Javanese culture can have an impact on the erosion of the national culture and the loss of national identity. Therefore, empowering the local language is necessary for preserving national culture and strengthening national identity. At early age children should be introduced to Javanese language, both within the family and the school environment. For strengthening national identity, Javanese language can be interpreted as a medium to form national character which is characterized by attitude and behavior based on Javanese culture and custom as well as rules that have become collective agreement. Cooperation between society and educational institution should be woven well. In the family, the role of parents in implementation of Javanese language becomes the first main capital to be developed in daily life manner of interaction, such as the use of Javanese krama in family member communication. Meanwhile, the role of the teacher in the school environment is also important to teach Javanese language and culture with a creative and attractive method for the students; so that they can apply Javanese language and culture in their behavior and action. Keywords: local language, national identity, local wisdom, national character, modernization

Abstrak

Bahasa Jawa sebagai bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari masyarakat Jawa mulai terpinggirkan. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalam bahasa Jawa sudah sangat jarang dikuasai oleh anak-anak muda zaman sekarang. Melihat kenyataan ini perlu adanya suatu pencegahan agar budaya luhur dan kearifan lokal yang ada dalam bahasa dan budaya Jawa ini tidak ikut luntur ditelan arus modernisasi. Lunturnya nilai-nilai budaya Jawa ini dapat berdampak pada lunturnya budaya bangsa dan hilangnya jati diri bangsa. Oleh karena itu perlu adanya upaya pemberdayaan bahasa lokal demi pelestarian budaya bangsa dan upaya penguatan jati diri bangsa. Anak-anak sejak dini seharusnya mulai diperkenalkan dengan bahasa Jawa, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Demi upaya penguatan jati diri bangsa ini bahasa Jawa dapat dimaknai sebagai wahana pembentukan karakter bangsa yang ditandai oleh sikap dan perilaku berdasarkan pada budaya dan adat istiadat Jawa serta aturan yang telah menjadi kesepatakan kolektif. Kerja sama yang baik antara masyarakat dan lembaga pendidikan menjadi hal yang perlu dijalin dengan baik. Dalam keluarga, peran orangtua dalam penerapan bahasa Jawa menjadi modal awal yang utama untuk dikembangkan dalam tata krama pergaulan sehari-hari, seperti penggunaan bahasa Jawa krama dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga. Sementara itu, dalam lingkungan sekolah peran guru juga penting untuk mengajarkan bahasa dan budaya Jawa dengan metode yang kreatif dan menarik bagi siswa sehingga para siswa mampu menerapkannya dalam berlaku dan bertindak.

Kata kunci: bahasa lokal, jati diri bangsa, kearifan lokal, karakter bangsa, modernisasi PENDAHULUAN

Bahasa merupakan cermin budaya suatu masyarakat. Melalui bahasa dapat dilihat bagaimana suatu masyarakat menjalankan kehidupannya baik sebagai individu maupun secara soaial. Bahkan falsafah hidup yang ada dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari bahasa atau sistem bahasa yang berlaku di masyarakat tersebut, termasuk juga kondisi masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa ada kata beras, gabah, upa, sega. Kata-kata tersebut hanya dapat dikatakan sebagai rice dalam Bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa merupakan masyarakat agraris, dan padi sebagai tanaman utama yang ditemukan dalam

(2)

masyarakat Jawa. Berbeda dengan negara Barat. Dalam masyarakat mereka tidak ditemukan adanya tanaman padi. Contoh lain adalah dalam masyarakat Jawa mengenal adanya tingkatan dalam masyarakat. Ada yang disebut sebagai orang awam/rakyat dan ada yang disebut sebagai priyayi.

Menjalankan komunikasi dengan sesama rakyat tentu berbeda ketika berkomunikasi dengan golongan priyayi. Priyayi dalam masyarakat Jawa merupakan orang yang sangat dihormati. Sehingga, berbicara dengan orang yang dihormati tentu saja berbeda ketika berbicara dengan orang-orang sesama, teman atau orang yang dianggap akrab. Oleh karena itu, dalam bahasa Jawa ditemukan adanya undha usuk basa.

Undha usuk basa merupakan suatu sistem penggunaan bahasa Jawa berdasarkan tingkatan yang ada dalam masyarakat Jawa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, yaitu perbedaan kedudukan, pangkat, umur, serta tingkat keakraban antara yang menyapa dan yang disapa (Koentjaraningrat, 1984: 21). Tingkatan tersebut terdiri dari tiga gaya dasar ngoko, madya, dan krama. Selain tiga gaya dasar tersebut ada pula gaya lain, yaitu krama inggil dan basa kedhaton atau bagongan. Bahasa bagongan hanya digunakan dalam pembicaraan resmi dalam keraton di Surakarta dan Yogyakarta (Oudemans dalam Koentjaraningrat, 1984: 22) Adanya undha usuk basa atau tingkatan dalam bahasa Jawa bukan semata-mata demi membedakan antara rakyat biasa dengan priyayi. Akan tetapi, hal ini menunjukkan adanya nilai-nilai kesopanan atau unggah-ungguh yang ingin ditekankan dalam masyarakat Jawa. Artinya, dalam masyarakat Jawa sangat memperhatikan pelaku-pelaku yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu komunikasi. Oleh karena itu muncullah pembedaan jenis-jenis bahasa Jawa, yaitu ngoko, madya, krama, krama inggil, bagongan, dan kedhaton. Namun, bahasa Jawa dengan berbagai gaya ini hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa terutama di masa lalu. Saat ini, kebanyakan orang Jawa yang lahir setelah pengaruh budaya modern masuk (peralihan dari masyarakat agraris dan feodal menuju masyarakat industri yang modern) sudah tidak lagi berusaha menguasai gaya-gaya bahasa Jawa dengan tingkatan yang sangat rumit tersebut. Bahkan, saat ini dapat dikatakan bahasa Jawa mengalami penurunan jumlah pemakai. Kedudukan bahasa Jawa sedikit demi sedikit mulai tergeser oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Banyak pasangan muda memilih untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya, bahkan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada pasangan/ masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan pun telah menjadi ‘latah’ untuk mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anak-anaknya.

Fenomena tergesernya bahasa Jawa ini menjadi hal yang sangat penting untuk segera dicarikan solusi agar bahasa Jawa tidak punah. Berbagai kajian perlu dilakukan dengan tujuan akhir menyelamatkan kelangsungan hidup bahasa Jawa. Dengan berusaha menjaga kelestarian bahasa Jawa sama artinya menyelamatkan budaya Jawa termasuk di dalamnya tentang unggah-ungguh atau kesopanan. Hal ini mengingat bahwa bahasa mencerminkan budaya dalam masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi yang dapat digunakan dalam penyelamatan bahasa Jawa demi penguatan jati diri bangsa. Namun, sebelum pembahasan mengenai strategi penyelamatan bahasa Jawa, perlu penulis sampaikan mengenai beberapa hal yang dapat dijadikan indikasi mengenai faktor penyebab menurunnya jumlah pengguna bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa.

FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA JUMLAH PENGGUNA BAHASA JAWA OLEH MASYARAKAT JAWA

Penurunan atau kemerosotan dalam hal pengguna bahasa Jawa memang terjadi di masyarakat Jawa modern. Penurunan jumlah pengguna bahasa Jawa dikhawatirkan akan membawa dampak pada ‘kematian/kepunahan’ bahasa Jawa. Akan tetapi, penurunan ini tidak dapat dielakkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa pula generasi muda dan pasangan muda

(3)

sekarang, yang memiliki latar belakang Jawa, memilih menggunakan dan mengajarkan bahasa Indonesia/Asing kepada anaknya?

Berbagai faktor menyertai alasan mereka lebih mengedepankan bahasa Indonesia atau bahasa asing daripada bahasa Jawa.

Faktor Diglosik 1)

Istilah diglosia digunakan oleh Ferguson untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peran tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 92). Variasi pertama dalam masyarakat diglosis disebut dialek tinggi (ragam T), sedangkan variasi kedua disebut dialek rendah (ragam R). Ragam tinggi (T) merupakan bahasa yang digunakan dalam situasi formal, sedangkan ragam rendah (R) digunakan dalam situasi santai.

Secara luas, masyarakat Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat diglosis. Artinya, disamping bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara ada bahasa daerah yang juga hidup dalam masyarakat. Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa ragam T, sedangkan bahasa daerah merupakan ragam R. Untuk bahasa-bahasa daerah tertentu ditemukan pula adanya ragam T dan ragam R, termasuk dalam bahasa Jawa.

Dalam bahasa Jawa dikenal adanya undha usuk basa. Adanya undha usuk dalam bahasa Jawa menimbulkan adanya ragam T dan ragam R dalam bahasa tersebut. Undha usuk basa dalam bahasa Jawa meliputi adanya bentuk krama dan ngoko. Bentuk krama inilah yang menjadi ragam T dalam bahasa Jawa sedangkan bentuk ngoko masuk dalam ragam R.

Adanya variasi ragam T dan ragam R ini memunculkan adanya bahasa yang lebih ber-prestise dan bahasa yang tidak ber-ber-prestise. Bahasa Indonesia lebih ber-ber-prestise dibandingkan dengan bahasa Jawa. Banyak penutur bahasa Jawa lebih mementingkan mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka agar terlihat lebih ber-prestise. Prestise ini akan muncul ketika anak dapat dengan lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sementara itu, anak-anak yang masih menggunakan bahasa Jawa terutama ngoko akan dipandang sebagai anak ndeso atau kampungan. Kesan terpelajar dan modern akan muncul jika menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terutama dapat dilihat di beberapa lingkungan masyarakat pinggiran atau pedesaan. Seseorang yang bisa dengan fasih berkomunikasi dengan bahasa Indonesia adalah sesuatu yang ‘menakjubkan’, terlihat memiliki latar belakang pendidikan dan sosial yang tinggi. Kalaupun dalam masyarakat tersebut masih menggunakan bahasa Jawa, umumnya mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sangat jarang ditemukan anak-anak menggunakan bahasa krama. Hal ini bisa jadi karena kebiasaan, bisa juga karena kerumitan yang ada dalam bahasa Jawa krama membuat mereka/orangtua enggan mengajarkan bentuk krama kepada anak-anak dan lebih memilih mengajarkan bahasa Indonesia yang dirasa lebih mudah.

Pendidikan 2)

Sistem pendidikan yang ada sekarang ini tidak serta merta berujung pada pendidikan karakter atau moral. Melihat jumlah jam pelajaran yang terbagi, pendidikan yang ada mengarah pada pembentukan masyarakat industri modern sehingga alokasi waktu lebih banyak untuk ilmi-ilmu dari luar yang mengarah pada budaya pendidikan modern, seperti fisika, biologi, matematika, akuntansi, manajemen. Sementara itu, sumber acuan untuk belajar berbagai mata pelajaran tersebut kebanyakan berasal dari luar. Melihat kenyataan ini beberapa orangtua sengaja mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya karena faktor tuntutan pendidikan.

Dalam proses pendidikan formal, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar utama dalam proses belajar mengajar. Buku-buku untuk proses belajar mengajar pun disusun dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, beberapa referensi pelajaran di sekolah ada yang menggunakan bahasa Inggris. Melihat kenyataan ini banyak orangtua khawatir jika anak tidak dibekali/dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing akan kesulitan dalam menerima pelajaran. Ada pula sekolah-sekolah tertentu yang menjadikan bahasa asing sebagai

(4)

bahasa pengantar di sekolah, sehingga orangtua pun menggenjot anak-anaknya untuk bisa berbahasa asing dengan mendaftarkan anaknya ke tempat kursus bahasa asing bukan kursus bahasa Jawa. Orangtua lebih khawatir anaknya mendapat nilai jelek untuk mata pelajaran bahasa Inggris, sementara ketika nilai bahasa daerah/Jawa jelek, mereka terlihat santai.

Kesopanan 3)

Budaya sopan santun dalam masyarakat Jawa menuntut penggunaan jenis atau gaya bahasa yang tepat sehingga seseorang harus dapat menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Hal ini menjadi sangat sulit untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini karena dirasa sangat rumit, walaupun bentuk krama dikatakan sebagai bahasa ragam T. Adanya undha usuk dalam bahasa Jawa menjadi kendalanya. Pada umumnya, pengguna bahasa secara umum menggunakan bahasa Jawa ngoko untuk percakapan sehari-hari baik dalam keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya, terutama ketika berbicara dengan teman sederajat atau di bawahnya. Hal ini tidak mungkin dilakukan ketika penutur berbicara dengan orang yang memiliki status sosial di atasnya atau dengan orang yang lebih tua.

Sebuah kata yang memiliki makna ‘makan’ memiliki banyak variasi dalam bahasa jawa (ngoko dan krama), yaitu mangan, madhang untuk ngoko; dan nedhi, dhahar untuk krama. Walaupun merupakan bentuk krama, kata dhahar tidak bisa sembarangan digunakan dalam percakapan. Kita tidak bisa menggunakan kalimat seperti berikut ini.

Kula sampun dhahar, menapa Bapak sampun mangan? (1)

‘Saya sudah makan, apakah Bapak sudah makan?’ Manuke mboten kersa gedhang

(2)

‘Burungnya tidak mau pisang’

Kalimat tersebut tidaklah tepat jika ditujukan untuk orang yang lebih tua atau dihormati, karena hal ini berarti kita sudah berlaku tidak sopan. Kata dhahar ‘makan’ merupakan bentuk krama yang ditujukan untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Oleh karena itu, kalimat (1) seharusnya diubah menjadi sebagai berikut ini.

Kula sampun mangan, menapa Bapak sampun dhahar? (3)

‘Saya sudah makan, apakah Bapak sudah makan?’ Peksinipun mboten purun gedhang

(4)

‘Burung saya tidak mau pisang’

Begitu juga dengan kalimat (2), walaupun kalimat tersebut menggunakan ragam krama, menjadi tidak tepat ketika kata kersa ‘mau’ digunakan untuk binatang. Secara semantis, kersa hanya dapat digunakan untuk orang, sehingga ungkapan yang benar adalah seperti dalam kalimat (4).

Pembagian-pembagian seperti inilah yang menyebabkan banyak orang merasa kebingungan dan takut salah sasaran ketika berkomunikasi. Dengan alasan tersebut, banyak orang memilih menggunakan bahasa Indonesia, baik hanya dalam bentuk kosakata ataupun kalimat. Bahasa Indonesia diaggap lebih netral dan tidak terlalu rumit sehingga dirasa dapat meghindarkan diri dari anggapan tidak sopan.

Komunikasi antarsuku 4)

Masyarakat berlatar belakang Jawa tidak lagi melakukan komunikasi dengan orang satu daerah. Artinya, komunikasi tersebut dilakukan oleh orang Jawa dengan orang dari berbagai suku, sehingga tidak memungkinkan penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi tersebut. Oleh

(5)

karena itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi dominan digunakan oleh peserta tutur. Mobilitas masyarakat Jawa saat ini juga sangat tinggi, banyak di antara mereka yang keluar dari wilayah kebudayaan Jawa untuk bekerja atau mengambil studi di luar daerah. Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi tersebut pada akhirnya terbawa ke dalam lingkungan keluarga atau masyarakat Jawa bahkan ketika mereka sudah kembali ke tempat asal.

Selain itu, semakin terbukanya jalinan komunikasi masyarakat Jawa dengan etnis lain bahkan dengan masyarakat dari negara lain membuka peluang besar dalam hal pernikahan. Orang bersuku Jawa yang menikah dengan orang dari etnis atau negara lain akan menggunakan bahasa yang dapat dipahami bersama. Bahasa Indonesia yang difungsikan sebagai bahasa pemersatu menjadi pilihan mereka untuk berkomunikasi satu sama lain dalam pernikahan antar etnis di Indonesia. Sementara itu, orang bersuku Jawa yang menikah dengan orang asing kemungkinan besar menggunakan bahasa Inggris atau bahasa lain yang dapat dipahami bersama dalam komunikasi mereka. Oleh karena itu, kebanyakan dari pasangan seperti ini mengajarkan bahasa seperti yang mereka gunakan dalam komunikasi sehari-hari.

PENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK

Berbagai cara telah dilakukan untuk membuat bahasa Jawa tetap hidup. Mulai dari penggunaan bahasa Jawa di lingkungan instansi pemerintahan hingga seminar-seminar kebahasaan untuk membangkitkan gairah dalam menggunakan bahasa Jawa. Kegiatan-kegiatan semacam perlombaan dengan materi ujian penggunaan bahasa Jawa krama pun dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat Jawa terutama generasi muda agar tidak melupakan bahasa Jawa.

Demi menggungah kesadaran masyarakat untuk berbahasa Jawa perlu adanya pengenalan sejak dini bahasa Jawa kepada generasi muda, terutama sejak masih anak-anak. Usia anak, yang dimulai dari usia prasekolah, adalah usia yang tepat untuk pengenalan terhadap suatu bahasa, dalam hal ini bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan anak lebih mudah dan cepat menangkap atau memahami struktur suatu bahasa. Anak akan cepat memahami struktur suatu bahasa ketika secara terus-menerus mereka mendengar bahasa itu digunakan.

Proses menghafal kosakata juga lebih mudah diajarkan pada usia-usia tersebut. Berkaitan dengan penguasaan bahasa ini, ada tiga sumber yang menjadi ‘lahan’ belajar bahasa bagi anak, yaitu keluarga, lingkungan sosial, dan sekolah. Lingkungan keluarga dan sekolah merupakan ‘lahan’ yang dapat dikendalikan dengan peraturan-peraturan, sehingga orangtua atau guru dapat menentukan sendiri seperti apa bahasa yang akan diajarkan kepada anak.

Pendidikan Bahasa

3.1 Jawa di Lingkungan Keluarga

Penguasaan bahasa pada anak dapat dimulai sejak anak lahir, yang disebut dengan proses pemerolehan bahasa pertama, dan saat anak berada pada usia tertentu, yaitu saat penguasaan bahasa kedua. Berkaitan dengan pemerolehan bahasa pertama, penguasaan bahasa Jawa akan lebih maksimal dikuasai oleh anak jika hal itu diajarkan sejak lahir. Hal ini berangkat dari teori tabula rasa yang dipengaruhi oleh pendapat John Lock. Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain “kosong”, dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya. (http:// id.wikipedia.org/wiki/Tabula_rasa). Berdasarkan teori tersebut, seorang anak akan lebih mudah menguasai suatu bahasa melalui pembiasaan dalam berkomunikasi sehari-hari, yaitu dengan mendengar secara rutin dan dilibatkan secara langsung dalam komunikasi tersebut.

Pengenalan bahasa yang lebih dini dibutuhkan untuk memperoleh ketrampilan berbahasa yang baik. Orangtua, khususnya, harus memberikan stimulus yang positif pada pengembangan keterampilan bahasa pada anak, seperti berkomunikasi pada anak dengan kata-kata yang baik dan mendidik, berbicara secara halus, dan sebisa mungkin membuat anak merasa nyaman dalam suasana kondusif. Hal tersebut dapat menstimulus anak untuk bisa belajar berkomunikasi dengan

(6)

baik karena jika anak distimulus secara positif maka akan sangat mungkin anak merespon secara positif pula.

Begitu juga dengan pengenalan bahasa Jawa kepada anak. Bahasa Jawa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama dan nilai-nilai lain yang hidup di masyarakat, sehingga hal ini perlu dikuasai oleh anak sebagai generasi muda. Salah satu nilai moral yang dapat diadopsi dari bahasa Jawa adalah nilai kesopanan atau unggah-ungguh. Penguasaan terhadap bahasa Jawa dapat dimulai dari lingkungan keluarga.

Orangtua harus dengan mantap akan mengajarkan bahasa seperti apa kepada anak. Apakah akan mengajarkan bahasa Jawa ngoko dan krama skaligus atau akan memprioritaskan salah satu jenis bahasa tersebut terlebih dahulu.

Penguasaan bahasa Jawa ngoko, mungkin, akan lebih mudah didapatkan ketika anak mulai menginjak usia bermain dan bergaul dengan anak-anak seusianya yang, biasanya, di lingkungan masyarakat Jawa lebih sering menggunakan bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa ngoko ini relatif lebih mudah untuk dipelajari, berbeda dengan bahasa Jawa krama. Anak akan cepat terpengaruh oleh bahasa yang digunakan oleh lingkungan sosialnya ketika bermain. Mereka akan meniru apa yang diucapkan oleh teman-teman mereka. Begitu juga dalam proses penguasaan bahasa Jawa krama. Anak-anak akan meniru untuk menggunakan bahasa krama jika mereka diberikan stimulus dalam bentuk bahasa Jawa krama.

Bahasa Jawa krama merupakan bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang sangat memperhatikan kedudukan partisipan dalam situasi komunikasi. Bahasa Jawa jenis ini digunakan untuk menunjukkan kesopanan terhadap mitra tutur. Bentuk krama lebih rumit dibandingkan dengan bentuk ngoko sehingga perlu adanya praktik secara terus-menerus atau berulang-ulang. Pembedaan kata antara mangan ‘makan’ dengan dhahar ‘makan’, adus ‘mandi’ dengan siram ‘mandi’, wangsul ‘pulang’ dengan kondur ‘pulang’ perlu ditekankan. Orangtua dapat mengatakan kepada anak sebagai berikut.

(1) Mangkih, nggih Ndhuk. Nenggo Bapak kondur riyin” (Nanti, ya Nak. Tunggu Bapak pulang dulu)

(2) Ayla, coba matur Bapak. Bapak ngersakake unjukan napa?” (Ayla, coba tanya Bapak. Bapak mau minum apa?)

Akan tetapi, orangtua harus menghindari penggunaan kata dalam kalimat berikut ini. “

(3) Mangkih, nggih Ndhuk. Nenggo Bapak wangsul riyin” (Nanti, ya Nak. Tunggu Bapak pulang dulu)

(4) Ayla, coba ngendika teng Bapak. Bapak nyuwun unjukan napa?” (Ayla, coba tanya Bapak. Bapak minta minum apa?)

Sepintas, keempat kalimat tersebut tidak ada bedanya, sama-sama menggunakan bahasa Jawa krama. Namun, keempat kalimat tersebut memiliki perbedaan nilai rasa kesopanan yang berbeda. Pada kalimat (1) dan (3) perbedaan terletak pada penggunaan kata kondur dan wangsul. Dua kata ini sama-sama memiliki makna ‘pulang’, hanya saja kata wangsul ditujukan untuk orang yang lebih muda atau sederajat, sedangkan kata kondur ditujukan untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Begitu juga dengan kalimat (2) dan (4). Perbedaan kalimat (2) dan (4) terletak pada penggunaan kata matur dan ngendika ‘bilang/tanya’ serta kata ngersakake dan nyuwun. Kata matur digunakan oleh seorang anak atau orang yang lebih rendah kedudukannya kepada orangtua atau orang yang lebih dihormati. Begitu juga dengan kata ngersakake. Kerumitan-kerumitan seperti inilah yang sangat penting untuk diperhatikan agar anak tidak salah memilih kosakata ketika suatu ketika harus berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa krama.

Oleh karena itu, agar anak menjadi terampil berbahasa Jawa krama perlu pembiasaan yang dilakukan secara terus-menerus. Perlu diingat bahwa dalam komunikasi dengan anak, selain untuk berkomunikasi secara umum juga dalam rangka memberikan pembelajaran bahasa Jawa krama

(7)

kepada anak, bukan semata-mata berkomunikasi biasa. Hal ini untuk memantabkan kemampuan anak dalam berbahasa Jawa krama. Dengan ikut berkomunikasi menggunakan bahasa krama, diharapkan anak akan meniru dan menjadi lebih sering menggunakan bentuk krama.

Dengan kata lain, salah satu cara mengajarkan bahasa Jawa krama adalah orangtua ikut terlibat menggunakan bahasa krama ketika berkomunikasi walaupun itu dengan anak-anak. Banyaknya waktu anak-anak, terutama usia prasekolah, dihabiskan di lingkungan keluarga akan menjadikan anak terbiasa berkomunikasi dengan orangtua, sehingga ketika harus berkomunikasi dengan orang di luar lingkungan keluarga anak akan terbiasa menggunakan bahasa krama. Bahkan, tidak menutup kemungkinan orang di luar lingkungan keluarga tesebut akan terlibat menggunakan bahasa Jawa krama, karena mereka menjadi tahu bahwa anak tersebut sedang diajarkan bahasa Jawa krama.

Pendidikan Bahasa

3.2 Jawa di Lingkungan Sekolah

Selain keluarga, sekolah juga memagang peranan penting dalam hal penyelamatan dan pengembangan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Jawa. Bahasa Jawa perlu dimasukkan dalam kurikulum dengan jumlah jam yang sesuai. Selain itu, guru sangat berperan dalam hal ‘pengamanan’ bahasa Jawa ini. Mereka memiliki tugas menambah pengetahuan anak didiknya untuk berbahasa Jawa dengan cara yang sistematis, didaktis, dan metodis (Hardjoprawiro, 1983: 402). Proses belajar mengajar di sekolah tidak hanya dilakukan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia atau bahasa asing. Ketika suatu sekolah menggunakan bahasa pengantar bahasa asing, sangat dimungkinan sekolah menggunakan bahasa daerah/Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Mungkin tidak perlu setiap hari, akan tetapi dalam satu minggu bisa dijadwalkan hari di mana bahasa pengantar menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, pembelajaran bahasa daerah/Jawa di sekolah tidak melulu dengan model ceramah. Perlu adanya variasi dalam hal pembelajaran bahasa Jawa sehingga tidak membosankan. Setiyanto melalui laman Badan Bahasa (http:// badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1360) mengatakan bahwa model yang dipilih dalam pembelajaran bahasa Jawa hendaknya mengedepankan model yang dapat melibatkan siswa sebanyak dan seaktif mungkin. Praktik-praktik langsung penggunaan bahasa Jawa harus lebih diutamakan daripada sekadar mendengarkan guru berceramah di depan kelas.

Pembelajaran Bahasa Jawa berdasarkan Kurikulum 2010 lebih menekankan kepada pendekatan komunikatif, yaitu pembelajaran yang mempermudah para siswa agar lebih akrab dalam pergaulan dengan menggunakan Bahasa Jawa dan melatih siswa untuk lebih senang berbicara menggunakan Bahasa Jawa yang benar dan tetap sesuai dengan situasinya (Rahayu, 2011).

Berkaitan dengan bahan ajar di sekolah, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar, yaitu (1) aspek keterampilan berbicara, (2) aspek mendengarkan atau menyimak, (3) aspek keterampilan membaca, (4) aspek keterampilan menulis. Dari keempat aspek tersebut, termasuk di dalamnya adalah pengajaran unggah-ungguh, dipusatkan pada bentuk latihan pemakaian ragam ngoko, krama, dan krama inggil, misalnya mengubah bentuk ngoko menjadi bentuk krama dan sebaliknya, melengkapi kalimat dengan ragam krama dan sebaliknya. (Hardjoprawiro, 1983: 405). Misalnya:

bentuk ngoko: Aku lagi teka (5)

‘Saya baru saja sampai’

Ibu menyang pasar numpak dhokar (6)

‘Ibu pergi ke pasar naik dokar’ bentuk krama:

kula nembe mawon dugi

(7)

(8)

ibu tindak pasar nitih dhokar (8)

‘Ibu pergi ke pasar naik dokar’

Latihan lain yang dapat dilakukan adalah mengubah ragam kalimat pada percakapan yang dipilih secara bervariasi. Dengan adanya variasi bahan ini akan terjadi ngoko semata-mata karena digunakan oleh anak-anak, dapat pula ngoko halus karena menyangkut orang kedua dan ketiga yang harus dhormati, dapat pula krama dan krama inggil sekaligus (Hardjoprawiro, 1983: 406). Bentuk-bentuk ngoko, ngoko halus, dan krama adalah sebagai berikut.

(9) Aku arep lunga menyang omahe Pak Parto ‘Saya mau pergi ke rumah Pak Parto’

Bapak arep tindak menyang daleme Pak Parto (10)

‘Bapak mau pergi ke rumah Pak Parto’

Bapak badhe tindak dhateng dalemipun Pak Parto (11)

‘Bapak mau pergi ke rumah Pak Parto’

Kalimat (9) dapat digunakan oleh seorang anak yang sedang berbincang dengan temannya, sehingga mereka menggunakan bentuk ngoko. Kalimat (10) digunakan oleh seorang anak ketika sedang menceritakan tentang bapaknya (yang lebih dihormati) kepada temannya. Dalam hal ini, penggunaan bentuk ngoko dicampur dengan bentuk krama karena orang yang sedang diceritakan memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih dihormati. Kalimat (11) merupakan bentuk krama murni, yang disampaikan oleh seorang anak kepada orang yang lebih dihormati.

Praktik lain yang dapat digunakan untuk pengajaran bahasa Jawa adalah dengan latihan mengarang menggunakan ragam-ragam bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan bersopan santun, dapat dilakukan latihan mengarang dengan menggunakan ragam krama dan krama inggil. Hal ini untuk membiasakan anak dalam menggunakan bahasa krama dan krama inggil, sehingga diharapkan dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar sekolah. Latihan mengarang ini, selain untuk mengembangkan kemampuan anak dalam hal penguasaan kosakata juga untuk mengembangkan kemampuan anak dalam hal penulisan kosakata Jawa secara benar. Dalam bahasa Jawa perlu dibedakan antara penulisan lara ‘sakit’ yang dibaca [l ͻ r ͻ] dan loro ‘dua’.

Berbagai bahan yang diwujudkan dalam bentuk latihan tersebut perlu disusun menjadi bahan pengajaran yang baik. Penyusunan bahan pengajaran unggah-ungguh sebagai sarana untuk melatih anak berbahasa Jawa dengan baik dan benar dapat ditempatkan antara pengajaran Kawruh Basa, pengajaran Mengarang, dan pengajaran Wicara. Pengajaran Kawruh Basa bertujuan menambah perbendaharaan bahasa murid, antara lain pengetahuan tentang kosakata, kalimat, dan paragraf, sedangkan pengajaran Mengarang dan Wicara bertujuan menjadikan siswa menguasai bahasa Jawa tulis dan lisan secara aktif. (Hardjoprawiro, 1983: 408). Berkaitan dengan penguasaan bahasa tulis, perlu diperhatikan beda bunyi [ͻ] dan [o]. Bunyi [ͻ] biasanya dilambangkan dengan [a], tetapi banyak orang menulis bunyi [ͻ] dengan huruf [o], misalnya antara lara ‘sakit’ ditulis sama dengan loro ‘dua’. Latihan menggunakan kata-kata dan kalimat dalam ketiga ragam dapat diwujudkan dalam latihan atau praktik mengutarakan pendapat secara tulis dan lisan dalam wujud mengarang, bercakap-cakap, dan bercerita.

Berkaitan dengan praktik bercakap-cakap, metode yang digunakan dapat berupa bermain peran. Ada yang berperan sebagai anak, teman, dan orangtua. Dengan adanya peran-peran dalam permainan ini, anak dituntut untuk menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar sesuai dengan siapa yang sedang diajak berbicara. Ketiga bentuk bahasa Jawa yang ada dapat digunakan dalam latihan peran ini, yaitu bentuk ngoko, madya, dan krama/krama inggil. Ketika berperan sebagai anak, tentu saja mereka harus menggunakan bahasa krama kepada orangtua, begitu juga ketika berperan sebagai orangtua atau teman, ragam bahasa yang digunakan tentu saja berbeda. Sebagai contoh ketika akan mengatakan ‘kamu mau kemana?’ dapat diungkapkan dengan cara ngoko ketika

(9)

berbicara dengan sesama teman dan dengan cara krama ketika berbicara dengan orangtua. Kowe arep menyang endi?

(12) (ngoko)

‘Kamu mau kemana?’

Panjenengan badhe tindak pundi?

(13) (krama)

‘Anda mau kemana?’

Metode bermain peran ini dapat dilakukan di luar ruang kelas dengan tema sesuai dengan apa yang ada di luar ruang kelas tersebut. Anak-anak dapat dibawa ke sebuah taman atau tempat terbuka lain seperti persawahan (jika memungkinkan), sehingga diharapkan kosakata yang digunakan lebih bervariasi dan sesuai dengan yang ada dalam budaya Jawa. Misalnya, kosakata yang berkaitan dengan pertanian, ternak, transportasi, binatang, juga tentang benda-benda yang ada di sekitar masyarakat Jawa.

Suasana di luar ruang kelas diharapkan dapat menghilangkan rasa bosan siswa ketika berada di dalam kelas. Anak akan lebih mudah menangkap suatu pelajaran ketika hal itu dasampaikan dengan cara yang menyenangkan dan bervariasi.

Selain praktek-praktek yang telah disebutkan, Hayati (2011) memberikan contoh perencanaan pengembangan unggah-ungguh sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Jawa yang dapat diprogram guru, yaitu sebagai berikut.

Kegiatan rutin di sekolah, meliputi: 1)

Setiap bertemu dengan siapapun selalu memberi salam (a)

Setiap merasa bersalah meminta maaf (

(b) nuwun sewu)

Setiap mau mendahului selalu mohon ijin (

(c) ndherek langkung),

Selalu membiasakan gerakan tubuh (

(d) gesture) yang mengisyaratkan kesopanan, contoh : menganggukkan kepala, membungkukkan badan, mengacungkan ibu jari, apabila berjalan dibiasakan untuk selalu hati-hati dan sopan serta gerakan yang pantas.

Kegiatan spontan, berupa: 2)

kegiatan mencatat dan menegur teman yang kurang pas atau keliru atau salah dalam (a)

menerapkan unggah-ungguh dan memberi solusinya memberi penghargaan (

(b) prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) tingkah laku, tindak tanduk, tata krama yang sudah sesuai dengan unggah-ungguh

3) Teladan modelling atau exemplary, yaitu dengan mensosialisasikan dan mengimplementasikan unggah-ungguh yang benar dengan model/teladan dari para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah maupun dari siswa yang lebih besar kepada adik kelasnya.

4) Pengkondisian sekolah mengkondisikan kehidupan sekolah yang mencerminkan unggah-ungguh yang baik dan benar dalam semua situasi dan kondisi.

PENUTUP

Pengenalan bahasa Jawa sejak dini perlu dilakukan untuk penyelamatan bahasa dan budaya Jawa. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Jawa terkandung nilai-nilai moral, salah satunya adalah berkaitan dengan sopan santun. Adanya pembedaan ragam ngoko, krama, dan krama inggil menunjukkan hal ini. Ketika berbicara dengan orangtua tentu saja berbeda ketika bericara dengan teman atau anak-anak. Berbicara dengan orangtua seharusnya menggunakan ragam krama sebagai wujud menghormati. Rumitnya membedakan bentuk-bentuk ragam krama dalam bahasa Jawa menjadi alasan yang kuat adanya pengenalan bahasa Jawa sejak dini. Hal ini karena usia anak-anak hingga mencapai usia 12 tahun menjadi usia yang tepat untuk menguasai bahasa-bahasa.

Pengenalan bahasa Jawa pada anak-anak ini dapat dilakukan di lingkungan sekolah dan, terutama, di lingkungan keluarga. Adanya pembiasaan berbahasa Jawa krama dalam lingkungan keluarga akan membawa anak pada kebiasaan bersopan santun kepada orang yang lebih tua atau dihormati.

(10)

lingkungan sekolah. Pengajaran bahasa Jawa perlu diajarkan di sekolah dengan metode yang lebih menarik, sehingga anak tertarik dan tidak merasa bosan. Dengan adanya pendidikan berbahasa Jawa di sekolah diharapkan dapat menghasilkan pemakai-pemakai bahasa Jawa yang mumpuni. Adanya pendidikan tambahan di sekolah, harus diikuti dengan penerapannya di masyarakat.

Namun demikian, apapun usaha yang pernah dan akan sering dilakukan akan terasa sebagai usaha sia-sia jika dalam diri penutur tidak ada greget untuk menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perlu adanya rasa memiliki terhadap budaya Jawa dan rasa membutuhkan. Tidak ada bahasa yang buruk selama hal itu dipergunakan sesuai dengan baik dan benar. Untuk merangsang minat berbahasa Jawa dengan baik dan benar, ada baiknya jika pada waktu-waktu tertentu diadakan lomba mengarang, pidato, dan lomba cerdas cermat dalam bahasa Jawa. untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa, diharapkan pula tetap diselenggarakan upacara-upacara adat dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Dengan demikian, kelestarian bahasa Jawa akan tetap terjaga sebagai warisan budaya nenek moyang.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hardjoprawiro, Kunardi. 1983. “Upaya Melestarikan Bahasa Jawa melalui Penyajian Bahan Pengajaran Unggah-ungguh di Sekolah Dasar” dalam Seminar Penulisan Bahan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahayu, Endang. 2011. Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Wahana Pembentukan Pekerti Bangsa (Penerapan Unggah-Ungguh Berbahasa). http://ki-demang.com/kbj5/index. php/makalah- komisi-b/1148-14-pembelajaran-bahasa-jawa-sebagai-wahana-pembentukan-watak- pekerti-bangsa-penerapan-unggah-ungguh-berbahasa. diakses 15 Januari 2015.

Setiyanto, Edi. Model Pembelajaran dan Pelestarian Bahasa Daerah. http://badanbahasa. kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1360. diakses 15 Januari 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pengembangan produk batik podhek ini yaitu, 1) meminimalisir limbah dengan prinsip penyulingan air limbah pelorotan batik. 2) meningkatkan produksi dan

Hasil peneletian ini menunjukan bahwa akad jual beli murābaḥah yang diterapkan pada pembiayaan KPR di BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu Ajibarang telah sesuai

klien perilaku kekerasan yang dapat di laksanakan. 8.1.5 Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang. 8.1.6 Beri pujian kepada keluarga setelah peragaan. 8.1.7

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan produk mengenai booklet dengan judul morfologi dan fitokimia Tanaman Parijoto ( Medinilla speciosa Blume) didapatkan

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ostroff (2012) mengemukakan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang signifikan dengan kinerja,

0 Quantity demanded Quantity supplied Min wage Excess supply of labour (unemployment) Equilibrium wage Labour demand Labour supply Quantity of employed Wage Labour demand Labour

Berpikir Kritis: Paradigma Teoritik Berpikir Kritis: Paradigma Teoritik pendekatan kontekstual efektifitas dinamisasi kontekstual teori berbasis kontekstual pedoman/

Digital imaging merupakan sebuah gambar yang dibentuk dari penggunaan sensor elektronik yang dihubungkan dalam beberapa cara ke sebuah komputer.. Pada awal perkembangan dari