BAB IV
RESPONS NZV DAN PARA ZENDELING TERHADAP KEBIJAKAN KOLONIAL PADA KOMUNITAS KRISTEN DI JAWA BARAT
1. Pengantar
Setelah menelusuri konteks politik di negeri Belanda dan produk-produk hukum yang diterapkan di Hindia Belanda, serta penelusuran pada historiografi pekabaran Injil di Jawa Barat yang mengandalkan penuturan dari para zendeling dari periode 1860an sampai dengan 1950an, bab ini akan dipaparkan tinjauan korelasi-faktual pada kebijakan kolonial di Hindia Belanda terhadap komunitas Kristen di Jawa Barat. Tinjauan pada arsip-arsip Zending di Jawa Barat ini, sebagai sumber-sumber primer, menjadi titik tolak penelusuran respons Zending dan para zendeling terhadap kebijakan-kebijakan kolonial di Hindia Belanda, secara khusus dalam persinggungan dengan komunitas Kristen di Jawa Barat: di desa Cideres, Pangharepan, Palalangon, dan Tamiang. Tinjauan ini menjadi yang utama dalam tesis ini baik dalam kaitan respons Zending terhadap politik dan kebijakan kolonial Hindia Belanda terkait pekabaran Injil dan kepemilikan tanah, maupun dalam kaitan sikap dan relasi para zendeling terhadap para ambtenaar terkait keberadaan dan pengembangan desa-desa Kristen pada masyarakat Jawa Barat.
2. Hubungan Zending dengan Pemerintah Kolonial
Pada awal tahun 1860 NZV mengajukan permohonan kepada Pemerintah Belanda, dengan salah satu syaratnya adalah menyusun peraturan umum. Dengan tujuan tersebut, NZV berhasil menyusun “Peraturan Umum NZV yang berkedudukan di Rotterdam” (Algemeene Bepalingen der Nederlandsche Zendingsvereeniging, gevestigd te Rotterdam), yang tercetak tanggal 8 Agustus 1860. Dalam isi Pasal 1 peraturan umum tersebut, tertera: “Nederlandsche Zendingsvereeniging, yang berkedudukan di Rotterdam, bertujuan membina dan menerima para zendeling untuk diutus menyebarkan agama Kristen, terutama di wilayah milik Belanda di Hindia Timur.” Dalam naskah pertama yang diajukan kepada Pemerintah Belanda terdapat tambahan penjelasan kata-kata “di wilayah milik Belanda di Hindia Timur di tengah penduduk non Kristen.” Dalam hal naskah ini, Pemerintah Belanda menyatakan keberatan terhadap tambahan tersebut dan mengusulkan perubahan menjadi “di wilayah milik Belanda di Hindia Timur di tengah penduduk kafir.” Bagi Pemerintah Belanda wilayah Hindia Timur (Hindia Belanda) antara wilayah yang berpenduduk “non Kristen” dan “kafir” jelas berbeda. Dengan demikian, wilayah Jawa Barat, yang nanti diharapkan menjadi medan pekabaran Injil NZV, tentu tidak terkategori wilayah berpenduduk “kafir” sebab telah dihuni penduduk yang sebagian besar beragama Islam. Jika rumusan naskah mula-mula itu tetap dipertahankan akan berindikasi NZV tidak akan mendapat wilayah pekabaran Injil di Jawa Barat, tetapi justru di luar pulau Jawa seperti yang diarahkan oleh pemerintah. Karena pertimbangan itulah, Pengurus Pusat NZV
memutuskan untuk mencoret kata-kata pada naskah yang pertama dan tidak memasukkan juga rumusan sesuai dengan usulan Pemerintah Belanda, sehingga
rumusan Pasal 1 tetap menjadi seperti yang telah disebutkan di atas.1 Inilah untuk
pertama kalinya NZV mendapatkan pengakuan dari Pemerintah melalui Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) No. 53 tanggal 3 September 1860.
Baik Pengurus Pusat maupun para zendeling NZV enggan menjalin hubungan dan berurusan dengan pemerintah kolonial. Hanya beberapa kali saja Pengurus Pusat NZV menghubungi tokoh pemerintah atau Parlemen Belanda (Tweede Kamer) untuk menyuarakan kepentingan Zending di Jawa Barat. Hubungan NZV dengan haluan politik Konservatif di negeri Belanda sangat baik karena di antara kaum Konservatif terdapat banyak orang Kristen ortodoks, seperti yang ada dalam tubuh NZV. Misalnya, C. Albers dan S. Coolsma memelihara hubungan erat dengan Gubernur Jenderal P. Mijer (1866-1872), yang termasuk berhaluan politik Konservatif dan mendukung pekabaran Injil di Hindia Belanda. Bahkan, Gubernur Jenderal P. Mijer dan keluarganya pernah turut menghadiri perayaan Natal di Jemaat Bogor tahun 1869. NZV juga berelasi dengan kaum Konservatif melalui tokoh GIUZ di Batavia bernama A.A.M.N. Keuchenius, yang memiliki saudara bernama L.W.C Keuchenius yang pernah menjabat sebagai anggota Parlemen, anggota dewan penasihat Gubernur Jenderal (1859-1877) dan Menteri Daerah Jajahan (1888-1890). Begitupula, NZV mendapat dukungan dari G. Groen van Prinsterer anggota Parlemen dan kaum ortodoks di NHK, kaum
1 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat
Konservatif yang mengecam pemerintah kolonial Belanda yang terkadang menentang pekabaran Injil di Pulau Jawa.
Akan tetapi, untuk kebijakan-kebijakan tertentu di Hindia Belanda (seperti cultuurstelsel dan segala bentuk penindasan dan pemerasan di daerah jajahan), NZV lebih mengharapkan dan mengandalkan dari kaum Liberal, namun tetap kritis terhadap keberadaan tuan-tuan tanah dan perusahaan perkebunan. Para zendeling NZV lebih menyukai kebijakan dari kaum Liberal dalam urusan kolonial. Bahkan, NZV terbukti mendapat keuntungan dari kebijakan kaum Liberal. Melalui bantuan L.D. Fransen van de Putte, yang pernah menjabat sebagai Menteri Daerah Jajahan (1863-1866 dan 1972-1874), pada tahun 1864 dan 1865 para zendeling NZV yang pertama memperoleh izin tinggal (buitengewone toelating) untuk wilayah Priangan.
Pada tahun 1866 dan 1869, zendeling A. Dijkstra (ARvdZ, 13-13)2 pernah
membandingkan antara kaum Konservatif dan kaum Liberal dalam pemerintahan. Menurut Dijkstra, dalam kepentingan NZV melakukan aktivitas pekabaran Injil di Hindia Belanda, baik kaum Konservatif maupun kaum Liberal memiliki pandangan yang sama. Akan tetapi, untuk membawa perubahan yang signifikan bagi suatu bangsa di Hindia Belanda, Dijkstra lebih mengandalkan sikap adil, jujur, dan baik dari kaum Liberal. Terlebih lagi, Dijkstra lebih condong mendukung pemerintahan dari kaum Liberal karena telah membuktikan jaminan perizinan bagi para zendeling NZV yang berkarya di Priangan, yang tidak mampu dilakukan oleh pemerintahan di bawah pengaruh haluan politik Konservatif. Meskipun demikian, sikap Dijkstra terhadap kaum Liberal juga tetap kritis. Pada tahun 1873, Dijkstra melancarkan
kritiknya terhadap kaum Liberal yang hendak menghapuskan peran agama sebagai prinsip liberalismenya.
Namun demikian, jikalau NZV dan para zendelingnya hanya bersikap oportunis terhadap kepentingannya untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat, tentu saja mereka akan sepaham dengan pemerintahan kaum Konservatif. Akan tetapi, NZV dan para zendelingnya melampaui pandangan misionarisme sempit itu, yaitu dalam semangat filantropisnya mereka lebih mengutamakan perubahan bagi suatu kehidupan lebih baik dan sejahtera bagi penduduk Bumiputera, dan gagasan-gagasan itu mereka dapati dari program-program yang terus diupayakan oleh pemerintahan yang berhaluan politik Liberal. Meskipun demikian, terhadap pemerintah kolonial dengan haluan politik baik Konservatif maupun Liberal, NZV dan para zendelingnya mengambil sikap untuk tetap kritis, namun tetap loyal terhadap kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Hindia Belanda secara umum, dan Jawa Barat secara khusus.
3. Sikap Zending terhadap Regeringsreglement 1854
3.1. Terhadap Pasal-pasal Kebebasan Beragama dan Izin Kerja
Melalui pasal 119 Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Setiap orang menganut agamanya dengan kebebasan penuh, dengan syarat adanya pengawasan pada masyarakat dan umat-umatnya terhadap pelanggaran pada peraturan-peraturan umum tentang hukum pidana” – pemerintah dengan begitu jelas memberikan jaminan kepada penduduk di Hindia Belanda tentang kebebasan beragama. Sama seperti hak-hak asasi lainnya yang menyangkut kehidupan politik penduduk,
kebebasan beragama pada abad ke-19 sudah dinikmati secara umum di Eropa dan Amerika Utara. Karena itu, penyusunan Regeringsreglement 1854 tentu turut menegakkan hak asasi semacam itu di Hindia Belanda.
Namun kemudian, dalam penjaminan hukum perihal kebebasan beragama seperti ini muncul persoalan tentang usaha pemerintah kolonial dalam memberikan pengawasan terhadap karya pekabaran Injil di Hindia Belanda. Muatan pasal 123 Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Para guru, pendeta, dan zendeling Kristen harus diperlengkapi izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk diperbolehkan melakukan tugas pelayanannya di salah satu daerah tertentu di Hindia Belanda. Bilamana izin itu diketahui merugikan, atau bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal” – memberikan kesan bagi badan-badan Zending bahwa pemerintah kolonial melakukan pengawasan yang represif terhadap pekabaran Injil, daripada pengawasan preventif. Dari sudut pandang pemerintah pemberlakuan permohonan dan pemberian izin khusus menurut pasal 123 Regeringsreglement 1854 adalah sistem pengawasan preventif terhadap pelaksanaan tugas kerja para guru, pendeta, dan zendeling Kristen di Hindia Belanda. Seperti yang tersampaikan dalam Memori Penjelasan dan Jawaban atas rancangan Regeringsreglement 1854, pada tahun 1853 Menteri Daerah Jajahan Ch. F. Pahud de Mortanges (1849-1856) memberikan pendapatnya menyangkut soal keamanan dan ketertiban, bahwa untuk mencegah gangguan keamanan yang timbul disebabkan gesekan antara aktivitas pekabaran Injil dan fanatisme serta resistensi dari penduduk Islam, maka pengawasan preventif memang sangat diperlukan. Bahwa kepentingan pemerintah menyusun
pasal 123 ini adalah untuk menjaga ketertiban di tengah-tengah penduduk Bumiputera., yang dari sudut pandang Zending dan para zendeling dianggap sebagai tindakan represif pemerintah kolonial terhadap pekerjaan Injil, yang
melanggar pasal 119 tentang kebebasan beragama.3
Namun demikian, sesungguhnya dalam pasal 123 Regeringsreglement 1854 tentang perlunya izin tugas bagi para guru, pendeta, dan zendeling Kristen tidak memuat ketentuan ancaman pidana terhadap mereka yang kedapatan tidak mempunyai izin khusus yang diperlukan. Dengan kata lain, tidak ada yurisprudensi tentang kelayakan bagi siapa saja yang dianggap sebagai guru, pendeta, dan zendeling, dan juga tidak ada penjelasan konkret tentang pekerjaan apa saja yang dimaksud dengan jenis-jenis tugas dinasnya (dienstwerk). Hal lainnya, dalam peraturan pemerintah ini tidak tercantum juga suatu kriteria tentang penolakan pemerintah dalam memberikan izin khusus tersebut. Kewenangan pemberian izin tetap ada di pihak pemerintah Hindia Belanda. Dalam menentukan keputusannya, pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap luwes terhadap Zending. Dalam arti tidak akan melakukan penyelidikan dan pemberian syarat-syarat yang memberatkan Zending dan para zendelingnya. Dalam polemik yang disulut oleh keberadaan pasal 123 ini, pemerintah Hindia Belanda tidak mungkin meniadakan pasal tersebut supaya tidak mendatangkan kebingungan di lapangan baik oleh para zendeling dan para pegawai pemerintahan kolonial (Binnenlandsch Bestuur) yang menegakkan peraturan tersebut.
3 S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran
Dengan demikian, maka kesimpulan polemik ini adalah bahwa dalam pasal 123 Regeringsreglement 1854, yang menyangkut izin khusus itu tidak terlalu penting untuk dipersoalkan baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun bagi badan-badan Zending. Namun, bagi kaum Liberal yang berkuasa di pemerintahan akan tetap mempertahankan pengawasan preventif itu, terutama untuk lebih mencegah pekabaran Injil ganda (dubbele zending) daripada kekuatiran gesekan dari penduduk Muslim. Bagi pemerintah, ketentuan tentang izin ini memberi peluang untuk membendung kegiatan pekabaran Injil oleh Zending atau Misi (Katolik) secara bersamaan, yang dianggap membahayakan ketertiban umum karena perbedaan corak teologisnya atau justru akan menganggu karya lembaga-lembaga Kristen yang sudah menetap lebih dahulu di suatu daerah tertentu. Hal inilah yang tampak nyata di lapangan tentang asumsi tersebut, yang muncul dari seorang pendeta Gereja Protestan (Indische Kerk) di Batavia bernama Pdt. A van Davelaar, yang sempat menasihatkan pemerintah Hindia Belanda supaya tidak memberikan izin tinggal kepada para zendeling NZV karena alasan haluan teologi mereka yang bercorak ortodoks. Namun, setelah mengenal lebih lanjut, Pdt. Davelaar justru melakukan sebaliknya memberikan saran kepada pemerintah untuk
mengizinkan para zendeling NZV memperoleh izin tinggal di Priangan.4
Sejak tahun 1870, hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Zending jauh lebih positif. Semula daerah-daerah di Jawa yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, tertutup dan terlarang bagi Zending. Kemudian, sampai batas-batas pertimbangan dan desakan dari Parlemen Belanda maka pemerintah kolonial
di Hindia Belanda akhirnya mengizinkan badan-badan Zending melakukan
karya-karya pekabaran Injil kepada penduduk Bumiputera.5 Bahkan, sekitar tahun 1930,
ketentuan tentang pembatasan daerah-daerah pekabaran Injil, yang hanya dapat dilakukan oleh badan Zending Protestan, menjadi tidak relevan lagi, sehingga badan Misi Katolik diperkenankan juga memasuki sejumlah daerah, seperti di Sumba, Tanah Toraja, dan Tapanuli.
Meskipun secara umum, kebijakan pemerintah kolonial mengizinkan badan-badan Zending dan para zendeling melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat, tetapi hambatan perizinan dan penolakan pekabaran Injil di Hindia Belanda, terkadang muncul di lapangan justru dari para pegawai pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hambatan bisa datang dari seorang residen, seperti yang terjadi di Cirebon, yang menentang pemberian izin tinggal bagi zendeling van der Linden untuk memulai karya pekabaran Injil di wilayah keresidenannya. Bahkan, dalam catatan zendeling D.J. van der Linden (ARvdZ, 14-3), pegawai pemerintah setingkat asisten residen, seperti yang terjadi di Bogor, mengintervensi segala
aktivitas keagamaan di dalam ibadah gereja.6
Peristiwa serupa juga terungkap dalam surat zendeling C. Albers kepada Pengurus Pusat NZV di Rotterdam tanggal 25 Agustus 1863 (ARvdZ, 13-1). Saat itu Albers menuliskan hasil percakapannya dengan seorang kontrolir, yang mengemukakan sikap pemerintah terhadap pekabaran Injil di Hindia Belanda, yaitu sebagai berikut:
5 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 79.
Ia (seorang kontrolir) ini menentang perluasan agama Kristen terutama karena pada hematnya penyebaran agama Kristen itu akan menyebabkan penduduk Hindia Belanda tidak mau menjadi hewan pekerja lagi… Maka rakyat harus tetap bodoh. Mereka harus yakin bahwa memang dengan selayaknya berlakulah keadaan yang demikian. Rakyat harus tetap dikuasai oleh para kepala mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka harus tetap yakin bahwa jiwa dan raga mereka menjadi milik kepala-kepala itu, sehingga mereka wajib menyerahkan kepadanya apa saja yang dituntut atau diminta olehnya.7
Surat Albers ini turut mewakili pandangan NZV yang bukan hanya menolak sikap pemerintah kolonial yang sangat menghambat pekabaran Injil di Hindia Belanda, melainkan juga menolak Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda. Menjadi jelaslah gambaran bahwa kedatangan para zendeling NZV yang pertama (1863) berada dalam masa-masa transisi pemberlakuan Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda, sehingga masih sering dijumpai alih-alih melarang pekabaran Injil sesungguhnya pemerintah tetap ingin melanggengkan praktik cultuurstelsel, seperti yang tampak dalam pandangan seorang pegawai negeri kolonial tersebut di atas.
Dengan demikian, sikap pemerintah kolonial di Den Haag dan Batavia dalam pemberlakuan pasal 123 Regeringsreglement 1854 tentang aturan mendapatkan izin tugas dinas dalam pekabaran Injil secara implementatif masih
ambigu.8 Di pulau Jawa kegiatan pekabaran Injil diperlambat untuk jangka waktu
yang lama, selama awal abad ke-19 sekitar tahun 1800-an sampai dengan tahun 1870-an. Selain disebabkan oleh faktor-faktor berlangsungnya perang Jawa atau
7 van den End, Sumber-sumber Zending, 104.
8 Th. van den End, “Zending, Gouvernement en Indonesosche nationale beweging” dalam
Huub Lems dan K. van Vliet, Geroepen tot Zending (Utrecht: Protestantse Kerk in Nederland, 2010), 88.
perang Diponegoro (1825-1830) dan pemberlakuan cultuurstelsel (1830-1870), pemerintah kolonial kuatir ketika mengizinkan aktivitas pekabaran Injil di kalangan penduduk Bumiputera yang beragama Islam akan menimbulkan masalah keamanan dan itu berarti akan menganggu aliran uang cultuurstelsel dari tanah Jawa ke negeri Belanda pada saat itu. Dalam konteks hambatan-hambatan seperti itu, NZV justru mendapat dukungan dari pemerintah yang berhaluan Liberal, yang satu demi satu mengubah arah kebijakan liberalisasi di Hindia Belanda dengan menghapus Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, van de Putte turut campur tangan untuk pemberian izin pada para zendeling
(1864-1865) untuk bekerja di Priangan, yang termasuk daerah Islam yang kuat.9
3.2. Terhadap Pasal Kewenangan para Kepala
Melalui pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, pemerintah kolonial mengakui dan mengawasi struktur kepemimpinan daerah dan setempat di seluruh wilayah di Hindia Belanda. Secara demokratis dan tradisional, pemerintah memperkenankan semua penduduk Bumiputera berada dalam pengawasan dan pengarahan langsung dari para kepala tradisional mereka. Tentu hal ini dalam rangka menjalankan pemerintahan yang bersifat dualistis, baik bertumpu pada pemerintahan kolonial Eropa maupun pemerintahan feodal dalam masyarakat Bumiputera. Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa mereka adalah pemerintahan asing sehingga pada hakikatnya berada di luar masyarakat Bumiputera. Karena itu, untuk melindungi semua kepentingan dengan ketertiban
dan keamanan, pemerintah Hindia Belanda perlu mempertahankan kedudukan para kepala, bangsawan, dan aristokrat tradisional di daerah dan setempat. Kedudukan itu berturut-turut ada pada pemerintahan tertinggi, yaitu Bupati yang mengepalai kabupaten, Wedana mengepalai kewedanaan (distrik), Asisten Wedana mengepalai kecamatan, dan para kepala desa di setiap desa, yang dikenal dengan sebutan Lurah, Kuwu, atau Lebe. Namun selain para aristokrat, dalam masyarakat Bumiputera juga terdapat peran para pemimpin dan kepala agama (para ulama dan pengurus/dewan mesjid). Dalam hal ini keduanya, baik pemerintahan tradisional aristokrat maupun para pemimpin agama Bumiputera, menjadi struktur kepemimpinan tradisional yang sangat khas dan terus-menerus dipraktikkan di Jawa dan mungkin juga di
wilayah Hindia Belanda lainnya.10
Karena itu di Hindia Belanda, pemerintah kolonial melakukan pengawasan ketat terhadap semua komunitas agama di tiap daerah, sejauh berurusan dengan kehidupan publik meskipun tetap membiarkan mereka mempunyai kebebasan dalam urusan keagamaan. Di wilayah Jawa, para bupati menyimpan daftar ulama Muslim, dan tidak boleh ada warga Bumiputera menyandang suatu gelar keagamaan tertentu tanpa otoritas formal dari para kepala Bumiputera. Menurut pasal 124 Regeringsreglement 1854, para ulama setempat diangkat oleh bupati atau kepala desa, dan di tingkat desa para ulama adalah anggota pemerintahan desa. Para bupati dan kepala desa diwajibkan menjaga agar para ulama tidak melanggar
10 Koernia Atje Soejana, Peranan Pelayan Gerejawi Pribumi di Pasundan pada masa
hukum dan hanya menjalankan fungsi mereka. Peraturan serupa diterapkan pada umumnya terhadap agama-agama non-Muslim lainnya.
Sekitar tahun 1867, pemerintah berniat menjadikan para kepala Bumiputera sebagai pegawai pemerintahan kolonial. Kemudian secara khusus di wilayah Priangan, mulai tanggal 1 Juni 1871, para pegawai pemerintah kolonial Bumiputera (termasuk Bupati-bupati) di kabupaten-kabupaten Priangan kehilangan wewenang
memungut upeti, dan seterusnya mereka menerima tunjangan dari kas negara.11
Pada sisi inilah, zendeling NZV bernama P.N. Gijsman menuliskan surat kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 2 Agustus 1875 (ARvdZ, 13-15) tentang peranan para kepala Bumiputera terhadap kemandekan karya pekabaran Injil di Priangan, sebagai berikut:
Namun, tidak dapat dibantah bahwa pemerintahan Belanda di negeri ini sejak semula tidak sanggup menegakkan ikatan seperti itu (orang Belanda dan penduduk Jawa – penulis). Akibatnya, bangsa yang menyegani dan menghormati para kepalanya, bangsa itu juga yang memandang rendah orang Belanda. Untunglah para kepala itu diberi kedudukan yang baik selaku pegawai pemerintah sehingga tidak begitu mudah bagi mereka itu merencanakan revolusi. Mereka tahu benar apa yang mereka punya, tapi tidak tahu apakah revolusi bagi mereka akan menghasilkan keuntungan atau kerugian. Mereka adalah perantara-perantara. Melalui mereka bangsa kita memerintah orang Bumiputera, dan demikianlah segalanya berjalan terus dengan tenang. Rakyat menerima saja kemauan para kepala, sedangkan kepala-kepala itu sadar bahwa usaha mempertahankan ketenteraman berkaitan erat dengan kepentingan mereka sendiri. – Mereka menjaga dengan sekuat tenaga agar jangan ada yang dapat meningkatkan kepercayaan dan keakraban, di antaranya terutama
peralihan ke agama Kristen.12
11 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 12 van den End, Sumber-sumber Zending, 171.
Dari pernyataan Gijsman tersebut terungkap bahwa sesungguhnya penduduk Bumiputera sangat menghormati otoritas-feodal para kepala tradisional mereka. Sebaliknya, mereka tidak menghormati pemerintah kolonial yang adalah orang asing itu. Meskipun demikian, penduduk Bumiputera tidak mampu melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial karena sengaja diredam oleh para kepala mereka, yang sesungguhnya sedang menjaga kepentingan-kepentingan mereka sendiri dari relasi yang terjadi seperti itu. Lagi pula para kepala Bumiputera, meskipun sebagai perantara pemerintah kolonial, tetap mampu menjaga wibawa mereka di atas penduduk Bumiputera dan mampu menjaga tujuan untuk menghambat pekabaran Injil melalui kekuasaan formal pemerintahan di pundak mereka. Dengan demikian, mudah sekali mereka melancarkan serangan tuduhan-tuduhan terhadap pekabaran Injil NZV. Dengan sikap ambigu tersebut, para kepala Bumiputera justru menempatkan para zendeling sebagai sumber masalah. Seperti yang dituliskan oleh zendeling NZV bernama A. Geerdink kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 28 Mei 1876 (ARvdZ, 13-18):
Kalau orang mencari sebab-musabab terjadinya pemberontakan besar-kecil di Hindia ini, maka orang akan berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab bukan kegiatan pekabaran Injil, melainkan kebencian terhadap penguasa asing, yang sering dicetuskan atau dikobarkan oleh tindakan kurang jitu seorang pegawai negeri. Lagipula, hampir mustahil menanamkan sikap patuh dan hormat terhadap Negara Kristen sebagai penjajah di dalam diri penganut agama Islam. – Pemerintah dan para kepala mendukung agama Islam dan bertindak melawan agama Kristen, sekalipun dengan cara tidak langsung. Tidak seorang pun memperoleh penghormatan kalau ia masuk Kristen, sebaliknya, ia akan memperoleh penghinaan dan kebencian. Kalau seorang Bumiputera masuk Kristen, di mata mereka hal itu sama saja dengan menjadi seorang Eropa, dan dengan
demikian rasa bangga berdasarkan kebangsaan terusik.13
Dengan demikian, melalui sikap-sikap para zendeling NZV tersebut, maka pemberlakuan pasal-pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854 sesungguhnya menimbulkan persoalan ketika pemerintah kolonial Belanda juga memberikan kewenangan bagi para penguasa Bumiputera menjadi bagian dalam pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Di satu sisi, para kepala Bumiputera mendapatkan keuntungan pengakuan dari pemerintah kolonial, namun di sisi lain para kepala Bumiputera sesungguhnya tidak memiliki rasa hormat terhadap pemerintah kolonial Belanda dan justru menggunakan otoritas mereka untuk menghambat aktivitas pekabaran Injil di Hindia Belanda, secara khusus di Jawa Barat.
Meskipun demikian, muatan yang terdapat dalam pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854 dilihat secara berbeda oleh zendeling J. Verhoeven. Menurutnya, pasal-pasal tersebut adalah peluang bagi Zending untuk membentuk komunitas Kristen yang khas dengan wilayah teritorialnya sendiri dan di bawah pengawasan dan arahan langsung para kepala daerah dan setempatnya sendiri, sejauh mereka memiliki keyakinan yang sama. Dalam surat yang dituliskan Verhoeven kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 15 Desember 1884 (ONZV, XXV
tahun 1885)14 disebutkan bahwa sulit membiarkan umat Kristen tinggal sedesa
bersama dengan umat Islam. Penyebabnya adalah di satu sisi susunan pemerintahan desa dan tatanan ekonomi desa Muslim adalah benteng yang kokoh yang tidak bisa ditembus oleh kegiatan penyebaran agama Kristen. Di sisi yang lainnya, dengan tetap tinggal bersama dengan umat Islam di suatu desa Islami tentu akan membuat
orang-orang Kristen tidak dapat bertumbuh secara rohani dan terjadi pembangunan jemaat yang sehat dan kuat. Karena itu, Verhoeven mengusulkan suatu langkah strategis berdasarkan peluang pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, yaitu membuat permohonan kepada Gubernur Jenderal agar penduduk dan tanah-tanah milik umat Kristen dijadikan sebagai suatu desa Kristen yang mandiri, yang memiliki pemerintahan sendiri, dan diawasi pemerintahan Eropa setempat, yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan desa-desa pada umumnya.15
Bahkan, menurut Hendrik Kraemer, Verhoeven menggunakan konstruksi hukum tersebut untuk mencari suatu tempat di luar desa-desa Muslim yang sudah ada untuk menghindari pengaruh negatif yang akan muncul dalam interaksi sosial-budaya masyarakat di sekitarnya. Karena itu, Verhoeven berkesimpulan bahwa metode pekabaran Injil dengan cara-cara sebelumnya mengalami kesia-siaan, sehingga dengan mendirikan desa Kristen di Cideres orang-orang Kristen dapat menjadi masyarakat yang merdeka tidak lagi berada di bawah kekuasaan para kepala yang terikat oleh adat kebiasaan sosial keagamaan Islam.
Meskipun demikian gagasan seperti ini mengandung persoalan di kemudian hari bahwa orang-orang Bumiputera yang menjadi Kristen menjadi terusir dari desa dan komunitas di mana mereka telah dilahirkan. Dengan demikian, pendirian desa Kristen dengan bentuk pemerintahan dari para kepalanya sendiri merupakan usaha retensi terhadap sistem desa yang tertutup, yang sekaligus juga secara tidak
15 ONZV, XXIV. Selain zendeling Verhoeven menjadi kepala di Jemaat dan desa Kristen
Cideres, pada tahun 1883, ia pun meminta dan memperoleh pengakuan selaku pegawai catatan sipil luar biasa untuk mencatatkan semua peristiwa kelahiran dan kematian, serta perkawinan dan perceraian, khususnya untuk jemaat Kristen di Cideres. Lih. Catatan kaki dalam van den End, Sumber-sumber Zending, 166, 316.
langsung memisahkan dan mengucilkan diri untuk pembentukan identitas baru. Dalam istilah yang digunakan Hendrik Kraemer adalah “they are isolating themselves and are being isolated.”16
Meskipun Verhoeven memiliki kemampuan melihat jauh ke depan dan satu-satunya seorang zendeling NZV yang mengerti dan menyadari susunan masyarakat tradisional Bumiputera, ia terlibat juga dalam perjuangan keras untuk mengajukan penghapusan pasal 71 bersamaan dengan pasal 123 dan 124 Regeringsreglement 1854. Dalam pemahaman Verhoeven, dengan penghapusan pasal-pasal tersebut, ia melihat kemungkinan untuk menembus benteng pertahanan adat dan tradisi sosial-keagamaan Bumiputera dalam pembentukan desa dan pembentukan struktur pemerintahan desa. Menurut Verhoeven, setiap zendeling yang mampu melakukan pembelian tanah-tanah perkebunan swasta dapat secara langsung mengajukan kepada pemerintah untuk membentuk desa-desa Kristen yang mandiri. Dengan demikian, dalam hak kebebasan penuh tidak ada satupun pejabat agama manapun yang diizinkan duduk dalam administrasi desa di perkebunan yang telah ditebusnya itu. Dalam ketentuan pasal 124 Regeringsreglement 1854, kewenangan yang berada dalam kepemimpinan seorang Bupati beralih dan diserahkan hanya setingkat oleh para kepala setempat. Dengan cara ini, Verhoeven berharap dapat mematahkan kekuasaan formal-legalistik dari pasal 71 dan 124 bagi para bupati Bumiputera yang Muslim itu.
Kritik Kraemer terhadap sikap dan pandangan Verhoeven ini adalah bahwa Verhoeven adalah orang yang memiliki pengertian dan pemikiran yang mendalam
– pandangannya dalam, tapi sesungguhnya kurang mendalam (he had a deep insight, but not deep enough). Dengan mengandaikan penghapusan pasal-pasal tersebut, Verhoeven terlalu mengharapkan bahwa akan ada netralitas pada kebijakan pemerintah kolonial. Dalam anggapan Kraemer, Verhoeven melihat dunia Timur menurut pandangan (worldview) dunia Barat, yang terbiasa dengan adanya diferensiasi di berbagai kehidupan (agama, sosial, politik, dan ekonomi).
Dengan begitu ada dua kesimpulan17 Kraemer terhadap sikap dan pandangan
Verhoeven terhadap pembentukan desa Kristen (di Cideres), yaitu pertama, pemahaman Verhoeven tentang struktur masyarakat adat Bumiputera gagal karena ia tidak menganggapnya serius, atau dengan kata lain, karena pemikirannya tidak sungguh-sungguh menyelami alam berpikir Bumiputera. Padahal, struktur masyarakat adat Bumiputera sangat kompleks, karena antara sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai keagamaan (terutama Islam) sudah sangat berkelindan satu dengan yang lain selama berabad-abad. Terlebih pula, masyarakat Bumiputera memiliki tingkat kepercayaan dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap para kepalanya baik di tingkat bupati maupun sampai dengan di tingkat para kepala desa, dibandingkan dengan para pegawai pemerintahan kolonial yang asing itu. Inilah corak feodalistik-tradisional yang terpelihara di kalangan masyarakat Jawa dan kaum Bumiputera di Nusantara. Kedua, pemahaman Verhoeven tentang netralitas pemerintah kolonial juga gagal karena pemerintah menerapkan peraturan-peraturan tersebut dengan alasan menjaga kepentingan politis-oportunistis, sehingga pemerintah akan tetap menyesuaikan diri dalam konteksnya untuk menjaga
kepentingannya terpenuhi di Hindia Belanda. Verhoeven tidak mampu secara mendalam melihat kepentingan-kepentingan kolonial dalam produk hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Dinamika politik dalam Parlemen Belanda baik oleh kaum Konservatif maupun oleh kaum Liberal, keduanya senantiasa sama-sama mengutamakan agenda-agenda kolonialisme daripada pandangan ideologis konservatisme dan liberalismenya.
4. Sikap Zending terhadap Agrarisch Wet 1870
4.1. Peluang Kepemilikan Tanah Pemukiman dan Perkebunan
Berdasarkan arahan dari Pengurus Pusat NZV, para zendeling NZV di Jawa Barat diperkenankan dalam karya pekabaran Injil membangun pos-pos pekabaran Injil (zendingspost) melalui pembelian tanah dan bangunan, yang semuanya harus didaftarkan sebagai milik NZV. Karena itu, para zendeling tidak diperkenankan membeli tanah dan bangunan untuk miliknya pribadi, tanpa sepengetahuan Pengurus Pusat NZV di Rotterdam. Hal ini tertuang dalam “Instruksi bagi para
zendeling NZV” pada Agustus 1862.18
Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa zendeling Schilstra mendapat gagasan untuk pengembangan pekabaran Injil NZV di Jawa Barat dengan cara membuka atau menyediakan lahan bagi komunitas Kristen, seperti yang dicanangkan sebelumnya oleh P. Jansz, seorang zendeling DZV berhaluan Anabaptis/Menonit, yang direalisasikan oleh anaknya zendeling P.A Jansz dengan mendirikan desa Margorejo (berarti ‘jalan atau sarana kesejahteraan’) sebagai desa
Kristen di Jawa Tengah bagian Utara.19 Gagasan Schilstra dalam suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 20 Januari 1876 (ARvdZ, 14-9), diperkuat dengan mengutip pernyataan A. Geerdink terkait kebuntuan yang terjadi dalam komunitas Kristen, sebagai berikut:
Umpamakan saja ada seorang yang cenderung beralih ke agama Kristen, maka dia segera akan mengalami tekanan dari pihak para kepala daerah dan kaum ulamanya, dan akan dihadapkan dengan beraneka ancaman. Maka orang Bumiputera yang lemah wataknya itu tentu akan surut karena ketakutan. Namun, sekiranya dia dapat mencari tempat berlindung pada zendeling, misalnya bila dapat disediakan sebidang tanah bagi dirinya, untuk memindahkan tempat pemondokannya ke sana, hal itu akan merupakan dukungan yang
diperlukan olehnya.20
Kemudian, Schilstra pun menambahkan bahwa kesulitan dan hambatan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen Bumiputera akan teratasi dalam gambaran suatu komunitas Kristen yang di dalamnya terdapat beberapa keluarga Kristen yang saling mendukung dan tinggal bersama-sama dalam satu kawasan, hal ini akan menjadi dukungan yang besar bagi penduduk Bumiputera yang telah berpindah
agama menjadi Kristen.21
Begitupula pada tahun 1877, zendeling P.N. Gijsman membentuk dana jemaat dengan memakai uang-uang pemberian dari orang-orang Eropa di Jawa. Dana tersebut dibelanjakan untuk membeli sawah-sawah yang menjadi milik jemaat Sukabumi dan sebagai aset NZV. Sawah-sawah itu kemudian dibagikan kepada anggota-anggota jemaat untuk digarap. Para penggarap membayar hasil
19 Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an
sampai dengan sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 232.
20 van den End, Sumber-sumber Zending, 176. 21 van den End, Sumber-sumber Zending, 176.
garapan dengan menyerahkan padi, yang disimpan menjadi cadangan di masa paceklik atau dijual untuk kepentingan jemaat pula. Bahkan, para penduduk Bumiputera di jemaat Sukabumi turut bekerja menguatkan dana jemaat lewat
pembayaran bunga tahunan.22
Pada tahun 1885 van Eendenburg menjelaskan alasan-alasan yang telah mendorongnya mendirikan koloni pertanian/perkebunan di desa Pangharepan-Cikembar. Hampir semua orang-orang Kristen Bumiputera termasuk golongan miskin, ditambah lagi mereka telah diboikot oleh pemerintah dan masyarakat desanya, sehingga dalam situasi seperti itu mereka bergantung sepenuhnya pada zendeling NZV, yang dengan terpaksa mempekerjakan mereka sebagai tukang kebun, koki, tukang kuda, dan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, dalam kesulitan-kesulitan seperti itu jika tidak dilakukan upaya untuk memberikan ladang pekerjaan kepada mereka, ancamannya tidak akan tertahankan lagi bahwa anak-anak mereka yang tumbuh dewasa terpaksa pindah ke tempat lain untuk mencari nafkah, itu berarti mereka keluar dari lingkungan agama Kristen.
Zendeling J.L. Zegers kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 24 Agustus 1888 (ARvdZ, 14-17) menyatakan dukungannya terhadap metode yang dilakukan oleh Verhoeven dan van Eendenburg, demikian:
Tetapi apakah orang harus sungguh-sungguh merasa keberatan apabila mereka mengerahkan tenaga untuk mengerjakan ladang yang belum digarap seraya melaksanakan asas swasembada (self-support) mereka? Lagipula, apakah kita benar-benar menolak asas swasembada? Tidakkah kita pun memiliki kecenderungan, bahkan panggilan, untuk mengantar jemaat-jemaat dan pos-pos pekabaran Injil kita pada taraf swasembada? Tentu bukan seakan-akan kita mau membebankan semacam pajak kepada jemaat-jemaat itu. – Tentu
tidak seorang pun dari antara kami akan melaksanakan asas itu tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan situasi dan kondisi. Tetapi, manakala suatu jemaat mampu berswasembada untuk sebagian atau bahkan seluruhnya, apakah hal itu tidak sesuai dengan Alkitab kalau sang zendeling menuntun jemaat itu agar menempuh jalan itu? – Kalau penilaian saya tidak keliru, rekan-rekan saya Verhoeven, van Eendenburg, juga Jansz muda (DZV) bahkan J. Kreemer (NZG), berupaya ke arah tujuan yang sama, masing-masing di posnya sendiri dan menurut polanya sendiri, juga sedang menerapkan asas
swasembada (self-support).23
Dengan demikian, beberapa zendeling NZV berkeyakinan pembukaan lahan untuk pemukiman dan industri pertanian dan perkebunan bagi penduduk Bumiputera Kristen adalah peluang yang didapati dalam konteks sosial politik kebijakan kolonial Belanda menuju arah liberalisasi dan swastanisasi pertanahan akibat pemberlakuan Agrarische Wet 1870. Dengan penetapan legislasi tersebut terbuka kemungkinan untuk pengembangan pekabaran Injil dan mendirikan desa-desa Kristen (de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat di atas tanah hak guna usaha
(erfpacht), bahkan sampai memperoleh pengakuan hak milik (eigendom).24
Menurut beberapa zendeling NZV tersebut, ada dua hal yang saling terkait dalam memandang kebijakan kolonial ini (Agrarisch Wet) bagi komunitas Kristen Bumiputera. Pertama, kemiskinan menjadi wajah pertama yang terlihat ketika terjadi peralihan agama atau konversi. Kemiskinan yang pertama adalah karena mereka sesungguhnya kalangan miskin desa yang tidak memiliki tanah-tanah pertanian dan perkebunan untuk mereka garap sendiri. Kemiskinan yang kedua adalah karena mereka tidak mendapatkan akses yang leluasa dalam pengembangan
23 van den End, Sumber-sumber Zending, 242.
24 H.J. Roseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche
ekonominya setelah mengalami pengucilan dan terusir dari tengah-tengah masyarakat desanya. Karena itu, perhatian para zendeling NZV ini adalah dengan cara memberikan jalan keluar dan dukungan kepada penduduk Bumiputera Kristen untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kedua, jaminan keamanan dan kesejahteraan menjadi langkah berikutnya untuk mengatasi persoalan kemiskinan-kemiskinan tersebut. Pembentukan desa-desa Kristen akan memberikan jaminan keamanan tempat tinggal bagi penduduk yang telah kehilangan akar tradisinya tersebut. Kemudian, penyediaan lahan atau ladang pekerjaan akan memberikan kesempatan untuk memiliki penghasilan tetap dan layak bagi penghidupan mereka di tengah-tengah komunitas, selain juga membangun kehidupan rohani mereka. Dengan demikian, para zendeling NZV ini melihat kemungkinan yang paling realistis yaitu upaya pemberdayaan ekonomi atau swasembada melalui kepemilikan tanah-tanah bagi komunitas Kristen Bumiputera baik melalui konstruksi hukum hak guna usaha (erfpacht) maupun hak milik (eigendom).
4.2. NZV mempertimbangkan kembali Metode Pembukaan Tanah
Dasar pemikiran pembentukan desa Pangharepan-Cikembar oleh van Eendenburg, mendapat kecaman dari zendeling H. Muller, yang menggantikan Eendenburg menjabat sebagai zendeling NZV antara tahun 1896-1898 dan 1900-1905. Muller dalam suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 8 Februari 1897 (ARvdZ, 14-5), menyatakan:
Saya tidak akan pernah mendambakan lingkungan kerja seperti di sini! Bagi saya suasana di sini kurang wajar, terlampau mementingkan soal lahiriah, dan terlalu bersifat Kristiani yang dibuat-buat. Menurut anggapan saya warganya bukanlah orang
Kristen Sunda sejati. – Lagipula, adanya kedudukan rangkap jabatan selaku zendeling dan administrator perkebunan. Segala sesuatu berlangsung sesuai dengan ketentuan kontrak. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib beribadah di hari Minggu. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib menyekolahkan anak-anak. – Menurut penduduk desa-desa di sekitarnya, desa-desa Pangharepan merupakan perkebunan padri, perkebunan tanpa pasar, tanpa gamelan, tanpa ronggeng, dan tanpa
keramaian. Tempat itu sepi teuing (sepi sekali).25
Dalam surat tersebut, Muller hendak menyangsikan upaya untuk melakukan swasembada jemaat Kristen seperti yang dipersepsikan oleh zendeling NZV yang lain, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah penduduk Bumiputera menjadi tidak otentik dalam menghayati nilai-nilai keagamaannya yang baru, melainkan semuanya dilakukan dengan motif ekonomi, yaitu materi dan kontrak kerja. Hal yang rumit dan mengecewakan berikutnya bagi Muller adalah rangkap jabatan para zendeling yang tidak hanya bertugas sebagai pemimpin agama, tetapi sekaligus sebagai administrator perkebunan. Pada akhirnya, gambaran desa-desa Kristen di tanah-tanah perkebunan menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan untuk menjadi contoh dan daya tarik bagi desa-desa lain di sekitarnya dan untuk terjadinya konversi di desa-desa sekitarnya.
Pada tahun 1901, A.A. Pennings, seorang zendeling di Banten (Bantam), merencanakan juga melakukan pembukaan lahan dan pendirian sebuah desa Kristen di Banten, tetapi ia tidak mau mendirikannya dengan menggunakan konstruksi hukum pertanahan dengan status hak guna usaha (erfpacht), seperti di desa Pangharepan, dengan mengutarakan beberapa alasan:26
25 van den End, Sumber-sumber Zending, 285-286. 26 van den End, Sumber-sumber Zending, 286.
1. Di tanah seperti itu, seorang zendeling terpaksa menjadi tuan tanah.
2. Karena penduduknya secara tidak langsung akan bebas dari rodi dari perkebunan-perkebunan pemerintah sehingga orang luar akan tertarik karena alasan yang kurang tepat.
3. Akhirnya, dengan demikian orang Kristen akan hidup terpisah dari orang-orang Islam di sekitarnya.
Menurut Pennings, masih lebih ideal pendirian desa Kristen dilakukan seperti yang terdapat di desa Cideres oleh Verhoeven, yang tinggal di atas tanah dengan hak milik (eigendom), bukan hak guna usaha (erfpacht).
Pandangan tokoh yang hampir serupa dengan Pennings adalah zendeling NZV bernama B.M. Alkema, yang menyatakan dalam suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 16 Juni 1897 (ARvdZ, 13-5), yang menyatakan bahwa:
Saya keberatan terhadap penyelenggaraan pekabaran Injil lewat pembukaan tanah, karena metode itu menimbulkan keadaan yang tidak sehat di kalangan masyarakat. Berkat upaya seorang zendeling, sebagian kecil orang memperoleh kesejahteraan, yang tidak terjangkau oleh rata-rata penduduk kampung lainnya. Oleh karena itu, menurut penilaian saya, pembentukan desa lebih baik daripada pembukaan tanah pertanian. Meskipun, menurut pendapat saya yang naif, sekarang pun sejarah sudah membuktikan di pos-pos pekabaran Injil kita di Pangharepan dan Cideres, bahwa metode-metode
mereka pun bukan merupakan saran yang jitu.27
Pendapat Alkema berbeda dengan Pennings karena baik tanah dengan hak guna usaha maupun hak milik seperti yang terjadi di Cideres dan Pangharepan, keduanya tidak memberikan hasil atau dampak yang baik bagi perkembangan pekabaran Injil di Jawa Barat.
Pada tanggal 4-7 Juli dan 14 Juli-8 Agustus 1927, NZV sungguh-sungguh mempertimbangkan kembali metode pembukaan tanah baik untuk pemukiman (desa-desa Kristen) dan pertanian/perkebunan. Melalui laporan perjalanan yang dilakukan oleh K.J. Brouwer dan menjadi lampiran notula Pengurus Pusat NZV bulan Januari 1928 (ARvdZ, 113-35-9), merekomendasikan sebagai berikut:
Metode yang dianut pada zaman dulu, yaitu memindahkan orang Kristen dari jemaat-jemaat yang sudah ada ke tanah yang baru dibuka dan sebagainya, mungkin bermakna sebagai siasat mengamankan orang Kristen itu, yang mungkin akan murtad seandainya mereka tetap tinggal di tempatnya yang lama. Namun, mengingat kenyataan yang digambarkan tadi, tidak boleh tidak orang menarik kesimpulan bahwa, dilihat dari sudut pandang Zending, metode itu memang keliru, sehingga cara itu sama sekali tidak boleh lagi dipakai di masa mendatang. Begitu terbentuk sekelompok Kristen yang demikian, lalu mereka tampil dengan membangun gedung gereja, umat Islam di Pasundan akan segera mengucilkan mereka dan seakan-akan mengurung golongan Kristen itu dengan membangun tembok kebencian dan pengucilan yang tak tertembus. Di dalam kurungan tembok itu jemaat Kristen hidup terus secara merana. Tidak mungkin lagi jemaat itu memperlihatkan daya penginjilan sedikit pun. Padahal, cepat atau lambat, apa yang tidak dapat dilakukannya itu tidak lagi merupakan kebutuhan yang hidup-hidup. Saya tidak memperoleh kesan seakan-akan jemaat-jemaat ini terbakar keinginannya untuk mengantarkan Injil ke luar lingkungan
jemaatnya sendiri.28
Pernyataan Brouwer tersebut semakin menegaskan bahwa metode pembukaan tanah untuk desa atau komunitas Kristen bukanlah cara yang efektif untuk memperkenalkan Injil kepada penduduk Bumiputera, melainkan hanya dipakai sebagai siasat “sementara” saja oleh para zendeling untuk memberikan jalan keluar dari fenomena pengucilan penduduk Bumiputera yang telah melakukan konversi. Akan tetapi, sesungguhnya yang dilakukan oleh para zendeling terhadap komunitas
Kristen adalah membangun “menara gading” dalam kontestasi identitas di tengah masyarakat melalui simbol pendirian gedung gereja. Kontestasi semacam ini justru akan memperlihatkan segregasi antara penduduk Kristen dan Islam, dan antara desa Kristen dan desa Muslim. Fakta segregasi ini justru menyangkal harapan untuk membangun kontak antara penduduk Bumiputera Kristen dengan penduduk sebangsanya yang Muslim.
Karena itu, melalui berbagai laporan dan pertimbangan para zendeling NZV, dan melalui Laporan Perjalanan Hendrik Kraemer pada tahun 1934, secara umum NZV tidak akan menerapkan lagi upaya pembukaan tanah sebagai metode
mendirikan jemaat dan pekabaran Injil.29 Melalui metode pendirian desa Kristen
(de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat, maka pekabaran Injil diperhadapkan pada dua hal, yaitu: (1) Dipandang dari sudut pekabaran Injil, desa-desa Kristen itu tidak memberi arti bagi masyarakat Bumiputera. Desa-desa Kristen tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan saudara sebangsanya. Oleh saudara sebangsanya, penduduk desa-desa Kristen ini tidak dikenali lagi sebagai orang Sunda. Mereka menjadi berubah kebangsaannya dan mengikuti aturan Belanda, sebab mereka telah melepaskan adat Bumiputera, atau tidak memilikinya dan atau tidak menaatinya. (2) Pekabaran Injil hanya berfokus pada masalah kemiskinan orang-orang Kristen Bumiputera, sehingga menggunakan terlalu banyak dana Zending untuk tujuan tersebut. Pekabaran Injil menjadi seperti praktik amalan kepada penduduk Bumiputera. Kemiskinan menjadi “objek kasih”, sehingga anak
29 M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III: West Java als Zendingsterrein der
yang dikasihi menjadi manja dan kurang memiliki daya juang. Mereka dibelikan tanah, dan tidak cukup dengan itu saja Zending harus menyediakan dana untuk biaya pembukaan tanah, untuk biaya pembajakan tanah, dan mendirikan pondok. Pada hal-hal ini, akhirnya instruksi Pengurus Pusat NZV untuk mempersiapkan suatu jemaat Kristen yang mandiri menjadi sulit direalisasikan. Pekerjaan tambahan dalam pekabaran Injil di Jawa Barat adalah mengubah mental “kebergantungan” terhadap NZV.
5. Sikap Zending terhadap Decentralisatie Wet 1903
5.1. Relasi dengan para Binnenlandsch Bestuur Eropa (ambtenaar)
Pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending dan para zendeling NZV dengan para pegawai pemerintahan (ambtenaren) Eropa dalam Binnenlandsch Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri) kolonial Hindia Belanda, seringkali mendapat advis negatif, sikap acuh tak acuh, bahkan permusuhan. Kebuntuan aktivitas pekabaran Injil di Jawa Barat sejak tahun 1865, seringkali disebabkan oleh perlakukan semena-mena para pegawai pemerintahan kolonial. Tindakan kesewenang-wenangan para pegawai pemerintah kolonial, contohnya terjadi terhadap desa di Citesbong dan Ngetuk di dekat Cirebon. Beberapa orang Kristen mengalami tindakan penganiayaan oleh masyarakat lainnya dan oleh para pamong praja setempat. Berulangkali zendeling Dijkstra memberitahukan hal tersebut kepada residen Cirebon dengan surat resmi, ternyata residen tidak bersedia
mengambil tindakan apapun.30 Hal ini menunjukkan bahwa pegawai pemerintahan
kolonial tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi orang-orang Kristen Bumiputera dan melakukan pembiaran terhadap tindakan intimidatif dan diskriminatif yang dilakukan oleh para pamong praja dan masyarakat. Zendeling J.L. Zegers di Indramayu pada tahun 1887 juga menyangsikan bahwa para pejabat pegawai pemerintahan kolonial di era Keuchenius, yang berhaluan Konservatif itu, akan mampu memberikan perlindungan terhadap aktivitas pekabaran Injil, sebaliknya mereka terkadang tidak simpatik terhadap kehadiran para zendeling
NZV di Jawa Barat.31
Meskipun demikian, sesudah reorganisasi tata pemerintahan di Hindia Belanda tahun 1922, para pegawai pemerintahan kolonial tidak lagi mempunyai peran yang strategis, terlebih ketika seorang Kontrolir dan Asisten Residen hanya berwenang sebagai pegawai administratif, sehingga semakin sulit mendapat jaminan perlindungan dari pihak-pihak yang menjadi representasi pemerintah kolonial tersebut. Menurut zendeling A.K. de Groot salah satu kendala ini semakin menyulitkan para zendeling untuk membangun kontak dengan para pegawai pemerintahan kolonial Eropa dalam menyampaikan aspirasi dan kedudukan hukum
yang sama bagi komunitas Kristen Bumiputera.32 Dengan demikian, hal ini semakin
menunjukkan semakin jarang terjadi pertemuan dan kontak langsung dengan tokoh-tokoh pemerintah kolonial berkebangsaan Eropa. Dengan tetap berasumi bahwa para pegawai pemerintah menjaga jarak dengan para zendeling NZV untuk tidak mendapatkan kesulitan dan terkadang untuk menjaga kepentingan jabatannya.
31 ARvdZ, 14-17. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 235-238. 32 ARvdZ, 9-20. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 536-539.
5.2. Relasi dengan para Pamong Praja Bumiputera (ambtenaar)
Begitupula pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending dan para zendeling NZV dengan para pamong praja (ambtenaren) Bumiputera seringkali mendapat advis negatif, propaganda, dan permusuhan. Pada perannya sebagai pegawai pemerintah kolonial, para pamong praja seringkali menghambat karya pekabaran Injil di Jawa Barat. Seperti dalam catatan zendeling A. Geerdink, yang menunjukkan pengaruh propaganda Bupati Bandung, yang turut menyebarkan agama Islam dan yang memberikan tunjangan keuangan (dari zakat) kepada orang-orang (sejumlah orang-orang Indo-Eropa dan Tionghoa) yang telah berpindah agama
menjadi penganut Islam.33 Di sisi lainnya, kepada orang-orang Bumiputera di
Bandung yang berpindah agama menjadi beragama Kristen, para kepala Bumiputera (ambtenaren) malah memboikot secara ekonomi dan sosial terhadap mereka. Dalam kedudukan sosial-politis yang kuat dalam pemerintahan dan masyarakat, sesungguhnya para kepala Bumiputera hanya memiliki dua tujuan dan kepentingan, yaitu: tetap menjaga kepentingan dan kemakmuran mereka sendiri dengan mengabaikan penderitaan rakyatnya sendiri, dan mengawasi dan mengantisipasi terjadinya peralihan agama ke agama Kristen dengan cara memata-matai relasi para zendeling dengan pegawai pemerintah kolonial (residen, asisten residen, dan kontrolir) dan memberikan penilaian negatif untuk usaha perizinan
kepemilikan dan penguasaan tanah-tanah di daerahnya.34
33 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 34 van den End, Sumber-sumber Zending, 171-172.
Dalam pengalaman zendeling P.N. Gijsman di Sukabumi, para pamong praja selalu merasa tidak senang dengan keberadaan orang-orang Eropa di sekitar mereka. Jika mungkin mereka akan terus memberikan penilaian negatif, bila ada seorang Eropa yang meminta izin menempati tanah kosong untuk membuka ladang
perkebunan.35 Pada tahun 1903 terjadi musibah kelaparan di wilayah Indramayu
disebabkan dua kali gagal panen. Peristiwa itu mendapat perhatian dari zendeling C.J. Hoekendijk di Indramayu. Hoekendijk melaporkan peristiwa musibah tersebut kepada pegawai pemerintah kolonial, namun mereka mengaku tidak mendapatkan laporan yang sama dari para pamong praja di wilayah tersebut. Sampai kemudian, dilakukan rapat para kepala (pamong praja) dengan Residen, Asisten Residen, dan Kontrolir memutuskan bahwa para kepala (pamong praja) turut bertanggung jawab untuk membenahi musibah kelaparan tersebut. Sejak saat itu, para pejabat dari pamong praja mulai menentang bukan hanya kepada Hoekendijk, melainkan juga
kepada Zending.36 Hal serupa terjadi bahkan terasa dalam bentuk perlawanan
seperti yang dialami di desa Rehoboth-Tamiang, dalam catatan zendeling J. van de Weg di Juntikebon tahun 1940 (ARvdZ, 115-39-11):
Beberapa waktu lalu sejumlah orang-orang Kristen Bumiputera ditahan karena mereka dianggap telah mengadakan “pertemuan umum” tanpa izin. Pada kenyataannya “pertemuan” itu adalah katekisasi (pembelajaran) di salah satu desa di sekitar Rehoboth-Tamiang, yang di dalamnya hanya ada seorang guru Kristen Bumiputera dan beberapa orang Kristen. Baik Kuwu maupun Lebe tidak berani mencampuri urusan itu, maka pada malam itu juga mereka dibebaskan lagi. Ketika kasus ini dibicarakan dengan asisten
Wedana, kami jelas mengalami perlawanan dan
ketidakmengertian.37
35 van den End, Sumber-sumber Zending, 172.
36 ARvdZ, 13-21. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 320-322. 37 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.
Namun demikian, para zendeling NZV menyatakan bahwa sikap para pamong praja (ambtenaren) terhadap pekabaran Injil juga ada yang positif atau cenderung bersikap netral. Di Indramayu, tercipta suasana akrab dalam percakapan antara zendeling van der Linden dengan Bupati Radhen Toemenggong Soera
Negara.38 Van der Linden berkunjung ke rumah Bupati Indramayu dalam rangka
mengucapkan terima kasih untuk bantuan peminjaman kereta kuda pada pemakaman Ang Boeng Swi, seorang Kristen Tionghoa pertama yang dibaptis tanggal 13 Desember 1858 di Indramayu. Sering pula bahwa orang-orang Bumiputera, bahkan dari kalangan kepala-kepala desa (para pamong praja), meminta nasihat zendeling S.A. Schilstra di Sumedang terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang dari orang-orang Eropa di sekitar mereka. Bahkan, ada pula yang sering meminta bantuan menyusun surat permohonan resmi, yang tidak bisa mereka buat sendiri, serta meminta pertolongan obat-obatan setelah gagal
melalui segala ilmu sihir.39 Narasi positif lainnya terjadi sekitar tahun 1870 ketika
seorang anak dari Bupati Cianjur, bernama Oping, menjadi murid dan anak asuh dari zendeling C. Albers di Cianjur selama empat tahun. Melalui suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 23 November 1881 (ARvdZ, 13-2), Albers mengungkapkan pengalaman kedukaannya:
– saya mendapat kabar bahwa anak Bupati Cianjur, Wedana Cikalong bernama Oping, telah terkena kolera. Oping pernah tinggal serumah dengan saya. Maka saya buru-buru berangkat ke rumah Bupati. Karena orang-orang Bumiputera kurang teliti dalam hal memberi obat, dan tidak suka akan obat-obatan Eropa, maka saya
38 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 117-120. 39 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 193-194.
menunggui Oping agar dapat memberikan obat-obatan itu. – Hari Sabtu siang pukul sebelas, ia meninggal. Kejadian ini betul-betul menyedihkan. Dengan meninggalnya anaknya itu, Bupati Cianjur kehilangan segala yang membuat hidup ini menyenangkan dan berharga baginya. – Dengan meninggalnya Oping, pemerintah kehilangan orang yang menurut kata-kata asisten residen adalah seorang ambtenaar yang memiliki ciri-ciri mulia dan banyak memberi harapan. Adapun saya, saya ditinggal mati seorang teman baik, yang tidak mengingkari saya, tetapi tetap mengakui saya
sebagai mantan gurunya.40
Demikianlah, relasi-relasi akrab dan bersahabat para zendeling NZV dengan para pamong praja Bumiputera yang dapat menjadi tolak ukur yang baik untuk pembenahan metode pekabaran Injil di Jawa Barat.
Dalam laporan Kraemer yang disampaikan Pengurus Pusat NZV kepada para zendeling NZV di Oegstgeest tanggal 1 Juni 1934 (ARvdZ, 97-8-16), menyatakan bahwa “pekabaran Injil dengan menggunakan metode kontak diakui mengandung arti besar sebagai tindakan persiapan upaya pekabaran Injil lebih
lanjut di Jawa Barat.41 “Metode Kontak” yang dimaksud ini telah sangat baik
dicontohkan oleh seorang zendeling NZV bernama B. Arps di Cianjur sejak tahun 1927. Arps mengisahkan pengalamannya saat melakukan studi tentang desa-desa (Islam), yaitu di desa Nyalindung, dekat Cisaat, Sukabumi. Suatu studi mandiri untuk mendalami dan menjalin kontak dengan desa-desa Islam, yang tidak dapat dipungkiri ada di sekitar desa-desa Kristen. Arps tinggal dengan seorang kepala di desa tersebut, menjalin kontak dengan mantri, guru, lurah, dan penduduk desa
40 van den End, Sumber-sumber Zending, 207-208. 41 van den End, Sumber-sumber Zending, 617.
lainnya, sambil mendalami bahasa dan budaya Sunda. Dalam pengalaman melakukan studi di desa, Arps menyimpulkan bahwa:
Sehubungan dengan metode-metode pekabaran Injil yang perlu dipakai ada masalah penting lain lagi. Dari pengalaman yang dapat diambil dari pergaulan beberapa waktu lamanya dengan masyarakat Sunda Islam itu, kami mendapat kesan kuat bahwa dalam lingkungan masyarakat itu hanya satu saja metode yang subur dan kena – setidak-tidaknya untuk sementara waktu – yaitu metode perbuatan,
dengan menjadi saksi Kristus lewat tingkah laku kita.42
Arps menanggap pengalaman di desa itu adalah usahanya untuk meninggalkan jejak dan membangun kontak dengan desa-desa di sekitar jemaat Kristen. Bahkan, dari pergaulannya dengan beberapa pamong praja (ambtenaar) Sunda, Arps mendapat pemahaman tentang kebiasaan masyarakat Bumiputera memandang pemimpinnya. Arps memberikan pandangannya berikut:
Lebih jelas lagi bahwa orang Sunda itu tidak mau memandang saya sebagai “Pandita” atau “Padri”. Sebaliknya, mereka memandang saya sebagai ‘kiai”, yaitu kiai orang Kristen. “Kiai” berarti “Guru”, guru di bidang keagamaan dan kehidupan rohani, tokoh yang “membimbing” orang lain masuk ke dalam kehidupan, dan dalam rahasia-rahasia ajaran mengenai kehidupan sejati. – Kalau kita bersikap seperti itu, seorang Sunda Islam pun dapat bersahabat dengan kita, asal saja “kiai” itu dapat menjadi sahabatnya “bukan untuk membawa dia ke tempat tujuan yang telah ditetapkannya, melainkan karena dirinya sendiri, sebagaimana adanya.” – Kita menjadi seorang Sunda di antara orang Sunda. Bukan “memberi setelah turun dari tempat kita yang tinggi” (Lindenborn), bukan juga “membongkok sedalam-dalamnya kepada mereka orang-orang
Bumiputera” (Bavinck).43
Karena itu, Arps dalam pengalamannya yang lain terhadap desa Kristen Sukamanah (Bojong Picung) di Cianjur menjelaskan bahwa ada kesempatan untuk membangun
42 ARvdZ, 9-14. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 539-542. 43 ARvdZ, 106-6-6. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 579-582.
kontak dengan desa-desa lain dan bergaul lebih banyak dan lebih mudah dengan orang-orang Islam di sekitarnya. Peluang desa Sukamanah ini lebih baik daripada desa Kristen Palalangon yang juga dekat dari sana bahwa desa ini telah membangun relasi saling percaya dengan masyarakat Bumiputera dan kehadiran orang-orang
Kristen dapat berbaur di tengah lingkungannya.44 Dari pengalaman itu, Arps dan
istrinya telah mampu membangun hubungan yang erat dengan dunia kaum guru Sunda, kepala sekolah HIS, bahkan dengan Raden Ayu (isteri Bupati Cianjur), dan dengan pihak Paguyuban Pasundan di Cianjur, yang membuka beberapa kegiatan bersama dalam pendidikan dan kegiatan sosial sebagai wujud kepedulian yang sama antara para pamong praja dan Zending.
Peluang yang sangat terbuka ketika pemberlakuan Decentralisatie Wet 1903, yaitu pada tahun 1920-an telah bermunculan para pamong praja Bumiputera yang terpelajar dan menginginkan perubahan dalam wilayah kabupatennya melalui
Dewan Kabupaten (Regentschapsraad). Melalui Dewan Kabupaten
(Regentschapsraad), yang kewenangannya berangsur-angsur menjadi besar, mulai mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial di wilayahnya. Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) Cirebon berupaya melakukan pengelolaan koloni pengemis dan orang miskin di wilayahnya, dan hendak melibatkan Muhammadiyah, lembaga
Islam yang modern saat itu, meskipun akhirnya rencana tersebut gagal.45
Begitupula, Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) Bandung berupaya melakukan kegiatan di bidang kesehatan, ketika pada tahun 1926 Bupati Bandung mendukung
44 ARvdZ, 115-39-9. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 549-552. 45 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.
rencana Zending memperluas kegiatan di bidang kesehatan dengan mendirikan
rumah sakit cabang di Ciparay, Bandung.46 Dengan demikian, kebijakan
desentralisasi tata pemerintah di Hindia Belanda (Decentralisatie Wet 1903), sejak tahun 1920-an membuka peluang kerja sama antara Zending (NZV) dan Pamong Praja Bumiputera, baik dalam pengembangan wilayah setingkat kabupaten, dan juga pengembangan desa-desa yang ada di Jawa Barat.
6. Kesimpulan
Hubungan antara Zending dan para zendeling NZV sebagai penyelenggara pekabaran Injil dengan Pemerintah kolonial di Hindia Belanda sebagai pengawas dan pelaksana kebijakan hukum, sosial, dan politik kolonial adalah relasi yang saling mengendalikan, dalam hal ini tentu saja Pemerintah kolonial mengendalikan Zending. Melalui kebijakan-kebijakan kolonialnya, Pemerintah mengambil sikap netral terhadap segala bentuk kegiatan pekabaran Injil oleh Zending. Dari sikap mendaku netral tersebut, sesungguhnya para zendeling banyak mengeluhkan sikap tidak bersahabat dari para pegawai pemerintahan kolonial, secara khusus keragu-raguan pemerintah untuk mengizinkan pekabaran Injil di Jawa Barat. Pemerintah berpandangan bahwa langkah-langkah itu untuk melindungi penduduk Bumiputera dari pengaruh asing. Namun sebaliknya, baik para pegawai pemerintah kolonial maupun para pamong praja memberikan banyak rintangan terhadap pekerjaan para zendeling NZV di Jawa Barat justru untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang berlaku di Hindia Belanda, seperti Regeringsreglement 1854, Agrarisch Wet 1870, dan Decentralisatie Wet 1906, menjadi tolak ukur konteks yang memperlihatkan relasi yang terjadi di antara keduanya. Baik Zending maupun Pemerintah masing-masing berkepentingan untuk memahami, menafsir, dan menerapkan isi dari pasal-pasal yang berkaitan dan yang dirujuk. Bahkan, tarik-menarik kepentingan antara Zending dan Pemerintah terhadap implementasi pasal-pasal tersebut menjadi catatan menarik dalam reportase dan korespondensi para zendeling NZV di Jawa Barat. Dengan demikian, semua deskripsi dan pemaparan para zendeling terungkap sikap dan pandangan Zending terhadap kebijakan-kebijakan kolonial yang berlaku di Hindia Belanda, dan secara khusus yang bersinggungan dengan keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Barat.
Dari penelusuran fakta-fakta dan data sejarah yang ada dalam arsip NZV maka penulisan sejarah tersebut di atas dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal penting:
1. Pemerintah kolonial sangat mengandalkan baik pasal 123 maupun pasal 124 Regeringsreglement 1854 dalam menjamin dan menjaga ketertiban dan keamanan kawasan koloninya, sehingga segala bentuk penyebaran agama oleh lembaga dan tokoh-tokoh agamanya diawasi dan dikendalikan, serta perlu mendapatkan izin tugas dari pemerintah. Pemerintah kolonial di satu sisi melakukan pengawasan dan pengendalian, tetapi di sisi lainnya memberikan kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama. Namun
dalam pandangan para zendeling NZV pasal-pasal ini menjadi penghambat terhadap pekabaran Injil.
2. Sikap netral pemerintah kolonial terhadap urusan keagamaan dan tingginya kewenangan para pegawai kolonial dalam pemerintahan daerah telah melanggengkan tindakan-tindakan intimidatif dan diskriminatif bukan hanya melibatkan masyarakat umum melainkan juga oleh para pegawai pemerintah.
3. Tindakan initimidatif dan diskriminatif tersebut dialami oleh komunitas Kristen Bumiputera yang berada di desa-desa Kristen di Jawa Barat. Namun demikian, di satu sisi kesalahan dikenakan pada tindakan pemerintah yang melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap kasus-kasus tersebut. Tetapi, di sisi lainnya, kesalahan tetap dievaluasi dari dasar-dasar dan motif-motif pendirian desa-desa Kristen dan pembukaan tanah pertanian dan perkebunan oleh Zending dan para zendeling NZV. Dengan demikian, metode seperti ini tidak tepat untuk digunakan sebagai metode pekabaran Injil di Jawa Barat, terlebih menggunakan konstruksi hukum berdasarkan Agrarisch Wet 1870.
4. Meskipun demikian, ada peluang dalam perubahan tata pemerintahan kolonial dari yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi dalam konstruksi hukum Decentralisatie Wet 1906. Peran para kepala di daerah dan dewan-dewan yang berwenang dalam kapasitasnya sebagai representasi pemerintah menjadi lebih utama untuk kemajuan daerah dan desanya, sehingga menjadi kesempatan bagi komunitas Kristen Bumiputera di
desa-desa Kristen dalam relasi yang setara, terutama dalam menyatukan misi untuk bertindak dalam praktik etis melalui bidang Pendidikan dan Kesehatan untuk menyejahterakan masyarakat Bumiputera. Dengan demikian, perlu diupayakan lebih lanjut di tengah-tengah jemaat-jemaat Kristen untuk membangun komunikasi dan kerja sama dengan para tokoh-tokoh pemerintahan di daerah dan desa masing-masing.
Kontinuitasnya, beberapa desa Kristen tersebut masih ada hingga saat ini. Desa-desa tersebut telah tumbuh dan menjadi mandiri sebagai gereja-gereja (jemaat-jemaat), suatu lembaga keagamaan yang formal dan resmi diakui negara. Dalam pertumbuhannya sebagai gereja yang mandiri, melekat juga pada dirinya identitas kebangsaan sebagai kaum Bumiputera. Yang dalam masa-masa revolusi menuju bangsa Indonesia, Zending, Gereja, dan umat telah mengambil sikapnya yang tegas, yaitu turut serta membangun identitas kebangsaan dan gerakan nasionalisnya. Meskipun demikian, di tempat-tempat tertentu masih saja kegiatan pekabaran Injil (misionarisme) dianggap sebagai anak atau agen kolonialisme dan imperialisme. Akan tetapi, sejarah gereja dan misi Kristen mencatat dan membuktikan bahwa sikap-sikap para zendeling justru mendorong semangat gerakan nasionalis. Bahwa melalui gerakan pekabaran Injil maka lahirlah gerakan baru dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dari orang-orang yang dilahirkan oleh Zending dan para zendelingnya, juga dalam perjumpaan dan jalinan kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis di kota dan di desa. Relasi kontak dengan para tokoh Bumiputera inilah yang memberi peluang terbuka juga bagi masa depan
Gereja dan desa-desa Kristen yang masih bertahan hingga hari ini di Gereja Kristen Pasundan, yaitu di GKP jemaat Cideres, jemaat Cikembar, jemaat Palalangon, dan jemaat Tamiang. Dengan belajar dari catatan-catatan sejarah ini maka terbuka wawasan untuk memperbaiki pola komunikasi dan relasi pada jemaat-jemaat Kristen di desa untuk membentuk pola dan metode baru dalam bereksistensi di Jawa Barat, dan dalam persinggungan dengan konteks dan perundang-undangan yang berlaku dalam ketentuan hukum Nasional Indonesia.