• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging 1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging 1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging

1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging

a) Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging

Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Boyolali khususnya daerah Pengging. Cerita rakyat ini biasanya disebarluaskan secara lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan mengingat para penuturnya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika ceritarakyat Kyai Ageng Pengging sangat mudah mengalami penyimpangan atau perbedaan yang biasa disebut munculnya versi dari bentuk ceritanya yang asli

Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini bersumber dari para penutur atau orang-orang tua yang sebagian besar telah meninggal. Orang-orang tua tersebut belum tentu mewariskan kepada anak cucu mereka. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa ada cerita yang berbeda versinya dalam lokasi yang berdekatan. Bahkan ada satu cerita yang diingat sebagian saja hingga tidak didapatkan cerita utuh. Pengungkapan cerita yang tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan ini sangat memungkinkan hilangnya nilai yang terkandung di dalamnya.

(2)

Berasal dari hasil wawancara dengan beberapa informan, dapat diketahui bahwa Kabupaten Boyolali, khususnya Kecamatan Banyudono yang di Desa Jembungan terdapat cerita rakyat yang memiliki usia yang sudah tua, mempunyai ciri tradisional, disebarkan dari mulut ke mulut, dan tanpa diketahui pengaranganya. Namun, cerita tersebut sampai sekarang masih hidup. Adapula peninggalan bersejarah dari cerita tersebut, yaitu adanya makam sang Kyai yang sampai saat ini tetap dijaga dan dilestarikan.

Cerita-cerita yang ada mempunyai latar belakang dan budaya serta hasil lingkungan yang merupakan pegalaman masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat yang ada digunakan sebagai pembentuk watak manusia aslinya. Dahulu cerita-cerita rakyat yang digunakan oleh orang-orang tua untuk membentuk watak anak cucunya atau generasi muda agar menjadi manusia yang baik. Cerita rakyat juga digunakan sebagai alat kontrol sosial, yakni digunakan untuk mendidik agar manusia hidup sesuai nora yang berlaku dalam masyarakat. Isi cerita yang disampaikan dapat memberi petunjuk tentang apa yang benar dan apa yang salah.

Fungsi cerita menurut Kosasih (2003:222), ada lima kelompok fungsi, yakni sebagai rekreatif yang mampu menghibur penikmat atau pendengar cerita rakyat Kyai Ageng Pengging karena ceritanya yang menginspiratif. Kedua adalah sebagai fungsi didaktif, di dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini terdapat

(3)

kandungan nilai-nilai yang mampu mendidik manusia agar mereka dapat hidup sesuai dengan amanat-amanat yang terkandung di dalam isi cerita rakyat Kyai Ageng Pengging agar mampu menjadi manusia yang lebih baik. Selanjutnya, sebagai fungsi estetis yang memberikan nilai keindahan ada setiap cerita Kyai Ageng Pengging. Baik keindahan dalam kandungan isinya maupun keindahan dalam penyampaian cerita yang dituturkan oleh juru kunci apabila kita berkunjung ke makam Kyai Ageng Pengging tersebut.

Kemudian adanya fungsi moralitas yang terkandung di dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging yang dapat membuat pembaca atau pendengar cerita tersebut mampu membedakan mana moral yang baik dan moral yang tidak baik untuk dilakukan di masyarakat, serta mereka mampu hidup sesuai dengan norma dan moral yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Terakhir adalah fungsi religiusitas, dalam cerita Kyai Ageng Pengging ini mengandung ajaran agama yaitu agama Islam. Diharapkan dengan medengar cerita rakyat ini para pendengar mampu mengambil pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai teladan. Tidak hanya agama Islam saja yang diharapkan mampu mengambi teladan dalam cerita rakyat ini, namun berbagai agama yang ada di Indonesia ini diharapkan mampu mengambil teladan agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

(4)

Melalui cerita ternyata juga dapat ditumbuhkan rasa cinta dan penghargaan kepada leluhur. Hal inilah yang mengilhami anggota masyarakat saat ini masih berusaha melestarikan tradisi atau kebiasaan yang ditinggalkan seperti berziarah ke makam leluhur atau tokoh terdahulu sebagai bentuk pennghormatan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara juga ditemukan bahwa hal-hal atau kebiasaan tersebut jarang dijumpai pada masyarakat dewasa ini di Kecamatan Banyudono. Keadaan seperti ini biasanya terdapat di lingkungan perkotaan yang dengan kondisi penduduk yang super sibuk.

Tradisi mendongeng atau bercerita yang dilakukan oleh orang-orang tua dulu sekarang tidak lagi menjadi hal yang lazim pada masa kini. Apabila dicermati, hilangnya kebiasaan tersebut disebabkan oeh beberapa hal, antara lain: 1) para orang tua yang sibuk mencari nafkah karena harus memenuhi kebutuhan keluarga; 2) teknik komunikasi dan alat komunikasi yang ada saat ini sudah lebih canggih yang dianggap lebih praktis dan dapat dijangkau hampir seluruh masyarakat, contohnya televisi dan internet; 3) adanya pengaruh kebudayaan asing melalui berbagai media sehingga menggeser kebudayaan lokal; 4) kurangnya usaha mengenalkan cerita-cerita lokal, termasuk cerita rakyat oleh para orang tua, lembaga pendidikan, pemerintah daerah kepada kaum muda.

(5)

Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging merupakan lokal legenda karena mempunyai cerita tentang seorang tokoh yang bernama Kyai Ageng Pengging atau Kebo Kenongo. Kyai Ageng Pengging adalah seorang pemimpin dalam sebuah padepokan yang ia bangun sendiri untuk mengajarkan agama Islam. Beliau dianggap sebagai seorang guru yang pinunjul atau linuwih yang dihormati oleh masyarakat Desa Jembungan. Tokoh ini memiliki kekuatan-kekuatan magis yang disakralkan oleh masyarakat pendukungnya. Kyai ageng Pengging meskipun mempunyai kekuatan yang tinggi tetapi tidaklah sombong dan selalu rendah hati. Beliau tidak mau menduduki tahta dan diagung-agungkan karena dia tidak menginginkan kenyamanan duniawi.

Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging disebarkan dengan media lisan. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai saat ini, cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini masih dijaga oleh pemilik cerita rakyat Kyai Ageng Pengging yaitu warga Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Cerita rakyat ini merupakan sebuah folklor lisan berupa cerita rakyat yang berbentuk legenda.

Berdasarkan keterangan dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa cerita Kyai Ageng Pengging memiliki dua versi dari masyarakat setempat. Keterkaitan data berada tepat di dua desa yaitu di Desa Jembungan dan Desa Dukuh. Penelitian ini

(6)

dikhususkan pada Desa Jembungan yang merupakan tempat makam Kebo Kenongo atau biasa disebut Kyai Ageng Pengging.

Menurut cerita dari Juru kunci makam Kyai Ageng Pengging di desa Jembungan, yaitu Bapak Karsino. Melalui penelitian yang dilakukan pada Rabu, 14 Juli 2016 sebagai berikut : 1) Penutur Cerita

Penutur cerita disini yang dimaksud adalah juru kunci sebagai pendukung aktif, yang merupakan pemberi informasi utama atas cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Juru kunci disini adalah Bapak Karsino (60 tahun) yang sudah menjadi juru kunci. Bapak Karsino yang kesehariannya hanya sebagai juru kunci makam. Sebagai juru kunci di area makam Kyai Ageng Pengging beliau sering kedatangan tamu yang hendak berkunjung atau melakukan ritual di area makam.

Penutur cerita Bapak Karsino selalu menceritakan dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengunjung berkenaan tentang Kyai Ageng Pengging. Pengunjung paling banyak adalah dari kalangan peziarah yang hendak ingin berziarah ataupun melakukan ritual. Ritual disini biasanya dengan tirakatan di dalam makam. Menurut Bapak Karsino tempat ini paling ramai dikunjungi peziarah adalah pada malam jumat dan selasa kliwon. Meskipun hanya ada hari tertentu yang ramai dikunjungi, namun makam ini dibuka setiap hari mulai senin sampai jumat. Pada hari sabtu dan minggu pun Bapak

(7)

Karsino selaku juru kunci bersedia untuk membukakan pintu bagi pengunjung atau peziarah yang datang pada hari itu.

Selain Bapak Karsino selaku juru kunci makam sebagai pemberi informan, ada pula beberapa pemberi informasi lain yang menunjang penelitian tentang cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini. pemberi informan yang lain antara lain: (1) Bapak Sadiman, selaku kepala desa Jembungan yang menjadi tempat penelitian; (2) Bapak Parjiyono, selaku warga sekitar yang berprofesi sebagai guru; (3) Ibu Parinah, warga sekitar makam yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga; (4) Bapak Mujiyanto, selaku peziarah yang mengunjungi makam secara rutin; (5) Agus, warga sekitar yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas 2; dan masih banyak lagi warga sekitar yang tidak peneliti tulis dalam skripsi karena data dan kategori informan yang sama dengan keempat informan yang sudah disebutkan di atas.

Kelompok pendengar cerita pendukung pasif disini yang dimaksud adalah para peziarah yang berkunjung. Mereka yang sering berkunjung tidak hanya dari kalangan rakyat biasa, tetapi banyak juga dari kalangan pejabat. Hampir setiap hari ada saja pengunjung yang datang ke makam Kyai Ageng Pengging ini. Maksud kunjungan mereka ada yang hanya sekedar berkunjung untuk berdoa atau ingin melakukan serangkaian ritual untuk tujuan tertentu, seperti meminta berkah dan sebagainya.

(8)

Meskipun tidak ada sesaji-sesaji khusus yang diwajibkan dalam ritual, masyarakat sering membawa beberapa sesaji seperti di bawah ini, seperti:

1. Dhupa

Dhupa merupakan simbol pemujaan, dan melambangkan kekuatan pikiran manusia dengan Tuhan. Bahan yang digunakan dalam dhupa adalah kemenyan.

2. Bunga (kembang)

Bunga sebagai simbol dari keikhlasan dan kesucian. Bunga merupakan sarana untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga yang digunakan yaitu dengan bunga mawar merah dan mawar putih. Adapula yang membawa kembang setaman atau bunga setaman (tujuh rupa).

3. Tumpeng

Tumpeng yaitu nasi kuning yang berbentuk gunung yang disajikan bersama-sama dengan lauk-pauk berupa sayuran dan makanan tradisional.

2) Kesempatan bercerita

Kesempatan bercerita disini maksudnya adalah suatu kesempatan dimana juru kunci/sumber cerita mampu atau bisa bercerita kepada para pengunjung atau orang yang mendengarkan

(9)

cerita tersebut. Berasal dari wawancara penulis yang dilakukan di lokasi, juru kunci sering sekali bercerita kepada pengunjung yang datang untuk berziarah ataupun melakukan ritual. Biasanya mereka menanyakan bagaimana sejarah dari riwayat Ki Ageng Pengging.

Kesempatan bercerita paling banyak adalah ketika pengunjung datang, entah itu dari warga sekitar, pejabat, ataupun siswa/mahasiswa yang berkunjung untuk mencari data tugas. Biasanya jika juru kunci bercerita, ia menceritakan semua cerita berdasar apa yang dia ketahui. Penulis sempat menanyakan bagaimana beliau mengetahui atau dapat menceritakan keseluruhan cerita tersebut, beliau mengatakan bahwa ia mengetahui cerita tersebut secara turun temurun dari para juru kunci terdahulu.

Juru kunci selalu mencoba untuk menjawab dari apa yang pengunjung tanyakan, meski dari waktu ke waktu mungkin sudah agak berubah ceritanya, tetapi tidak mengubah inti dari cerita Kyai Ageng Pengging tersebut. Mungkin ini pengaruh dari pemahaman yang berbeda dari setiap juru kunci ketika diwariskan oleh juru kunci yang terdahulu. Ini sesuai dengan pernyataan dari Danandjaja yang mengatakan bahwa definisi folklore adalah sebagai berikut:

“Adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda”. (Danandjaja, 1984:2)

(10)

Folklor mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat, sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoninic

device) (Danandjaja

1997:2).

Tujuan cerita rakyat ini agar tidak habis dimakan jaman. Karena pada

kenyataan di lapangan, banyak sekali generasi muda yang tidak mengetahui atau mampu bercerita tentang sejarah ini. Sebenarnya bisa mengetahui cerita rakyat ini cukup besar manfaatnya, selain bisa menjaga suatu peninggalan sejarah yang hidup di daerah tersebut, juga mampu untuk melestarikan serta ikut memiliki kearifan lokal tersebut.

Bagi penulis secara pribadi, selain ingin melakukan penelitian sebagai judul skripsi, penulis juga ingin mengetahui secara luas bagaimana bentuk dan struktur cerita rakyat tersebut. Bagi juru kunci sendiri bisa memberikan informasi merupakan suatu kewajiban yang telah diberi amanat oleh para pendahulunya

(11)

yang bertugas sebagai juru kunci makam Ki Ageng Pengging. Juru kunci tidak bosan atau mengeluh untuk bercerita, karena beliau sadar ini merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan yang wajib untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena jika sampai punah merupakan suatu kecerobohan. Seperti sifat cerita rakyat yang diceritakan dari mulut ke mulut dan secara turun-temurun tanpa menghilangkan versi aslinya.

Mungkin bagi sebagian generasi muda, tidak mengetahui bagaimana cerita Kyai Ageng Pengging, bahkan sering dijumpai para muda yang tidak tahu sama sekali tentang salah satu peninggalan tradisi lisan tersebut yang berada di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono. Dari itu pula, penulis mengangkat cerita tersebut untuk diangkat menjadi judul skripsi.

4) Kekuatan Kultural Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging

Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah, pertama sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua sebagai tradisi yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural (Darmono, 1978 dalam Endraswara, 2003:92).

Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa cerita rakyat Kyai Ageng Pengging memiliki dua ciri pendekatan sebuah

(12)

karya sastra, sebagai kekuatan atau material istimewa. Hal ini terbukti makam Kyai Ageng Pengging sering dikunjungi peziarah untuk ngalap berkah karena makam Kyai Ageng dianggap sebagai tempat yang sakral. Sedangkan sebagai tradisi, untuk peziarah yang akan memasuki makam Kyai Ageng Pengging diharuskan melepaskan alas kaki dan memakai pakaian sopan, tidak diijinkan memakai celana pendek. Kemudian untuk para peziarah maupun warga sekitar yang hendak memasuki masjid yang terletak di samping makam tetapi masih termasuk bagian dari makam Kyai Ageng Pengging itu harus bersuci dahulu. Seperti pernyataan yang dituturkan oleh juru kunci dan warga berikut ini.

Kutipan:

Tur riyin mesjid niku rada gawat. Pas jaman nem-neman kula nika ingkang tiyang bibar ngusungi lethong apa piye dha mboten purun adus ngoten niku jane kula mpun sanjang nek umpami mlebu mesjid kudu adus. Ndase dicegur nyelem enten blumbang diresiki ngoten hle. Enten sok-sok sing mboten purun, niku terjadi kala mben, niku bar ngusungi lethong jaran dingge ngobong bata ngoten nggeh. Niku terjadi diwedeni lah srek pyur, niku diwedeni drijine gedhe-gedhe sak gedang ngono kae, tangane mpun ageng sanget trus niku do mlayu kula sanjang “iki mau mesti enek sing rung adus”. “ho.o aku mau rung adus, wis adem ra wani”. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Dahulu kala masjid itu sangat sakral atau angker. Pada saat saya masih muda itu ada orang yang baru selesai membawa lethong atau tahi kuda apa bagaimana tapi ereka tidak mau mandi dulu, padahal

(13)

saya sudah memperingatkan mereka untuk mandi dahulu sebelum masuk ke masjid. Kepalanya dicelupkan menyelam di blumbang atau kolam kecil dibersihkan sepeti itu. Ada yang tidak mau, dan terjadilah, itu yang baru selesai membawa tahi kuda untuk membakar batu bata. Mereka ditakut-takuti sesosok makhluk halus yang jarinya besar-besar seperti pisang, tangannya lebih besar lagi trus mereka semua lari ketakutan. Saya bertanya pada mereka “tadi pasti ada yang belum mandi”, “iya, aku tadi belum mandi, sudah dingin makanya tidak berani mandi”.

Kutipan:

Mesjid lawas niku wonten cara sak niki nggeh enten sing jaga tiyang sing mboten katon ngeten hle sebabe niku kan mesjide Gusti Allah, ning malah do nyepelekne. Sak niki mboten patos gawat. (Parjiyono, 1 Februari 2017)

Terjemahan:

Masjid lama itu apabila untuk jaman sekarang ini ada yang menunggu orang yang tidak kelihatan atau makhluk halus. Karena masjid itu adalah masjidnya Allah, tapi ada yang menyepelekannya. Tapi sekarang tidak terlalu gawat atau angker seperti dahulu kala.

Hal tersebut membuktikan bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging masih sangat dijaga keberadaannya dan dilestarikan oleh sang pemilik dan pendukung Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging yaitu masyarakat Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Sampai sekarang masyarakat Jembungan masih melestarikan tradisi-tradisi yang mengukuhkan perwujudan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging.

(14)

Beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat pendukung cerita rakyat Kyai Ageng Pengging antara lain:

1) Tradisi ziarah pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon Tradisi ziarah ke makam Kyai Ageng Pengging dilakukan oleh para peziarah merupakan sebuah tradisi yang turun-temurun sejak dulu. Para peziarah memiliki suatu kepercayaan bahwa pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon merupakan hari yang paling baik untuk ngalap berkah di makam Kyai Ageng Pengging. Meskipun pada kenyataannya, makam Kyai Ageng Pengging dibuka untuk umum setiap harinya, bahkan pada saat libur pun sang juru kunci bersedia untuk membukakan pintu bagi mereka yang hendak datang ke makam. Mereka percaya bahwa pada hari tersebut, roh Kyai Ageng Pengging turun ke bumi sehingga akan mengabulkan doa yang mereka minta.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat melakukan ziarah kubur di makam Kyai Ageng Pengging antara lain: (1) berkata kotor; (2) menggunjing orang lain; (3) berbuat asusila; (4) dalam berdoa meminta hal-hal yang tidak baik misalnya dilindungi dalam melakukan tindak kejahatan seperti mencuri, dan lain-lain. (5) Peziarah juga tidak diperbolehkan menyimpan dendam terhadap orang lain. (6) Wanita yang sedang dalam keadaan haid tidak diperbolehkan memasuki

(15)

area makam. (7) Alas kaki yang digunakan oleh peziarah haruslah dilepas saat memasuki makam Kyai Ageng Pengging.

2) Tradisi memperingati meninggalnya seseorang atau upacara kematian

Upacara kematian yang dilakukan masyarakat Jawa pada umumnya memiliki kesamaan satu sama lain di daerah manapun. Adapun upacara keamtian yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, sebagai berikut:

a) Upacara Tigang Dinten (tiga hari)

Merupakan upacara untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang, dan menyempurnakan empat perkara yaitu bumi, api, air, dan angin. Acara peringatan ini yaitu dengan mengundang tetangga terdekat untuk melakukan upacara kenduri bersama.

b) Upacara Pitung Dinten (tujuh hari)

Pitung Dinten merupakan bahasa Jawa yang jika

diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti tujuh hari, yaitu upacara peringatan tujuh hari meninggalnya seseorang.

(16)

Merupakan upacara untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang supaya memberikan kesempurnaan hal yang bersifat badan

wadag atau jasad.

d) Upacara Nyatus (seratus hari)

Nyatus dalam bahasa Indonesia artinya seratus.

Merupakan upacara untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang.

e) Upacara Mendhak Pisan

Upacara ini untuk memperingati meninggalnya seseorag setahun pertama sebahai perwujudan penyempurnaan kulit, daging, dan jeroan atau isi perut.

f) Upacara Mendhak Pindho

Merupakan upacara setahun kedua untuk memperingati meninggalnya seseorang. Upacara ini sebagai wujud penyempurnaan semua unsur dari kulit, darah, dan semacamnya.

g) Upacara Mendhak Ketelu

Merupakan upacara untuk memperingati seribu hari meninggalnya seseorang. Upacara ini sebagai bentuk keikhlasan paling akhir di masyarakat Jawa untuk melepas seseorang ke alam baka, dimana

(17)

penyempurnaan seluruh unsur semua rasa dan bau telah hilang.

Juru kunci menceritakan sedikit tentang ritual-ritual yang hingga kini masih dianut oleh masyarakat berkaitan dengan meninggalnya seseorang dari upacara

Tigang Dinten (tiga hari) sampai upacara nyewu (seribu

hari) adalah sebagai berikut dengan menggunakan beberapa ubarampe:

a) Tumpeng

Sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta arwah leluhur yang telah meninggal.

b) Ingkung

Ingkung merupakan daging ayam jago yang

disajikan utuh sebagai lambang kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

c) Lalaban

Lalaban dimaksudkan supay sesaji yang digunakan lengkap tanpa kurang satu apapun. Lalaban ini berupa cabai merah, garam, dan bawang merah.

d) Sega Liwet

Nasi Liwet yang dimasak gurih dan diberi telur.

(18)

Apem melambangkan sebagai ungkapan maaf dari seseorang yang telah meninggal semasa hidupnya. Apem merupakan makanan yang dibuat dari tepung gandum dan dibentuk bulat-bulat.

f) Dhele Ireng (kedelai hitam)

Merupakan perambangan penerangan yang diberikan Tuhan kepada orang yang meninggal.

3) Tradisi Upacara Sadranan

Cerita-cerita lanjutan dari sastra lisan Kyai Ageng Pengging yang semula dianggap mitos bisa saja berubah menjadi cerita non fiksi dan menjadi acuan masyarakat, dipercaya kebenarannya dan memiliki nilai-nilai serta manfaat di dalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging seperti nilai budaya, lingkungan, dan seni. Masyarakat melakukan syukuran berupa menyembelih kambing, ayam, mengisi khas, dan lain-lain. Eyang tidak mempunyai amarah sama sekali. Hal ini membuktikan dia adalah orang yang sudah pada taraf tinggi ilmunya. Daerah sekitar makam sering diadakan upacara sadranan.

Upacara sadranan dilakukan setahun sekali, pada saat ruwah tanggal 20. Tradisi Upacara Sadranan yang berada di makam Kyai Ageng Pengging di dalamnya sendiri terdapat lambang-lambang yang berwujud dalam bentuk sesaji. Selain memiliki pesan tentang baik dan buruk, sesaji juga digunakan

(19)

sebagai sarana komunikasi kepada makhluk-makhluk gaib untuk menghormati keberadaan mereka. Sesaji ataupun uborampe yang digunakan antara lain adalah:

1. Tumpeng

Tumpeng atau Nasi Gunungan melambangkan suatu cita-cita atau

tujuan yang mulia, seperti gunung yang memiliki sifat besar dan puncaknya

yang menjulang tinggi. Nasi tumpeng bermacam-macam jenisnya, ada nasi

tumpeng alus, nasi tumpeng among-among, megana, reboyong, pungkur dan

suci (Wahyana Giri, 2010: 18-20).

Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkula Sing

Mempeng, artinya kalau ingin selamat, hendaknya selalu rajin

beribadah. Tumpeng yang berbentuk kerucut dalam tradisi upacara Sadranan mengartikan bahwa semakin hari manusia harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Tumpeng juga sebagai perumampaan alam semesta, dimana nasi berwujud gunung dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air.

(20)

Pisang raja sebagai lambang manusia yang harus bersatu, manunggal (bersatu) antara pekerjaan dan panyuwunan (permintaan). Pisang raja juga dapat dimaknai sebagaiperwujudan seorang pemimpin yang didukung oleh seluruh rakyatnya. Masyarakatakan hidup berdampingan dan saling melengkapi. Pemimpin seharusnya tidak semena-mena kepada rakyatnya tetapi harus dapat mengayomi rakyatnya, sehingga hidup mereka tentram, makmur dan bahagia.

3. Ayam Ingkung.

Ayam ingkung berupa ayam jago (jantan) yang dimasak utuh (ingkung), adalah simbol menyambah Tuhan dengan Khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, antara lain : sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok). Manusia hanya bisa berusaha kemudian berdoa dan hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan, untuk itu digunakan ayam ingkung sebagai lambangnya.

Ingkung ayam juga merupakan simbol berserah dirinya manusia di hadapan Tuhan. Ayam ingkung juga melambangkan manusia ketika masih bayi dan yang masih suci serta bersih dari dosa.

(21)

4. Kedelai Goreng

Kedelai goreng disini bermaksud untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yang datang.

5. Cabai Merah

Cabai merah memiliki makna atau symbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Diibaratkan Kyai Ageng Pengging yang selalu mengajarkan budi pekerti yang baik dan dalam menyebarkan Agama Islam.

Tradisi upacara sadranan mempunyai beberapa tujuan dan manfaat dalam penyelenggaraan tradisi upacara Sadranan ini.

1. Tujuan tradisi Upacara Sadranan

a. Mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di antara masyarakat, khususnya masyarakat Desa Jembungan.

b. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memberi rizki dan keselamatan kepada masyarakat Desa Jembungan.

c. Menjaga warisan kebudayaan. 2. Manfaat tradisi Upacara Sadranan

a. Suatu tradisi yang mempunyai daya pikat pasti dapat dijadikan aset pendapatan penduduk sekitar dengan

(22)

adanya orang berjualan maupun lahan parkir yang di sediakan oleh masyarakat.

Pemerintah daerah dengan adanya suatu tradisi yang masih dilestarikan di Desa Jembungan ini dapat menjadi aset pariwisata religi yang bisa dikembangkan.

2. Struktur Cerita Kyai Ageng Pengging

Secara etimologis struktur berasal dari kata structure, bahasa Latin yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2012:88). Struktur cerita diartikan susunan, penegasan, dan gambaran dari semua bahan dan bagian yang menjadikan komponennya secara bersama membentuk suatu kebulatan (Nurgiyantoro, 1995:36). Selain itu, struktur cerita karya sastra juga mengacu pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi dan secara bersama-sama membentuk kesatuan yang utuh. Karya sastra besar merupakan produk strukturilisasi dari subjek kolektif. Oleh karena itu karya sastra mempunyai struktur yang koheran dan padat.

Cerita rakyat Ki Ageng Pengging ialah cerita yang secara turun temurun dan dipercaya oleh masyarakat pemiliknya sebagai suatu legenda setempat yang dipercaya benar-benar terjadi. Berikut di bawah ini ialah ringkasan cerita yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan juru kunci setempat.

(23)

Asal mulanya berawal dari pernikahan Prabu Sri Makurung dan Ratna Pembayun yang mempunyai tiga orang anak yaitu Kebo Kanigara, Kebo Kenongo, dan Kebo Amiluhur. Dari keturunan tersebut yang mampu menurunkan kelanjutan sejarah adalah Kebo Kenongo. Yang nantinya menurunkan Jaka Tingkir (Mas Karebet). Kebo Kenongo awalnya berkepercayaan Hindu. Kemudian datanglah Syekh Siti Jenar yang datang ke daerah Pengging untuk mencari orang yang berilmu tinggi. Kemudian, setelah menemukan nama bukit pengging itu berarti orang yang berilmu tinggi. Kebo kenongo semedi untuk mengajar murid-muridnya. Beberapa hari setelah perbincangan yang dilakukan Syekh Siti Jenar dengan Kebo Kenongo itu, akhirnya Kebo Kenongo ingin merubah kepercayaan menjadi islam. Islam yang dianutnya ini adalah Islam Kejawen. Kyai Ageng Pengging kemudian membuat sebuah masjid dan membujuk muridnya untuk merubah kepercayaan menjadi islam seperti yang sekarang dianutnya, dan itu semua tanpa paksaan sama sekali.

Ajaran dan tokoh Syekh Siti Jenar ini dianggap ajaran yang menyimpang dari ajaran buku dan kemudian dituduh menyesatkan. Tuduhan itu sebenarnya juga mengarah pada anggapan ajaran yang menanam bibit pembangkangan pada legitimasi kekuasaaan Demak. Kemudian Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk membujuk Kyai Ageng Pengging untuk datang ke Demak dengan alih-alih membayar pajak. Akan tetapi, Kyai Ageng Pengging tidak mau menuruti perintah tersebut. Sebagai ganti dari ketidakpatuhan Kyai

(24)

Ageng Pengging ini, maka pemerintahan Demak membawa istri Kyai Ageng Pengging yang tengah hamil itu ke Demak.

Kyai Ageng Pengging merelakan istrinya untuk dibawa ke Demak. Kemudian Kyai Ageng Pengging meninggal dengan cara

mukso atau hilang bersama dengan raga dan jasadnya begitu saja di

hadapan Sunan Kudus. Sunan Kudus menjadi takjub akan kesaktian Kyai Ageng Pengging ini dan kemudian mempercayai Kyai Ageng Pengging. Seperti pada kutipan berikut ini:

“Ngapa aku ndadak mbok pateni, wong aku mati dhewe

saiki wae iso kok” sanjange Eyang mekaten. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

“Kenapa saya harus kamu bunuh, saya mati sendiri sekarang saja bisa kok” kata Eyang seperti itu.

Masa hidupnya dari cerita di atas, meninggalnya Kyai Ageng Pengging atau Kebo Kenongo ada dua versi yaitu versi pertama yang menyatakan bahwa Kyai Ageng Pengging meninggal dengan cara

mukso atau hilang bersama dengan raga dan jasadnya.

Versi cerita lainnya adalah kematian Kyai Ageng Pengging diakibatkan oleh Sunan Kudus yang membunuhnya. Akan tetapi faktanya, Sunan Kudus diutus dari Demak lalu Kebo Kenongo diminta datang ke Demak, akan tetapi eyang (Kyai Ageng Pengging) tidak mau kesana karena bumi pengging merupakan bumi kemerdekaan yang terlepas dari kerajaan Demak. Eyang mati tanpa pusaka apapun,

(25)

dia bisa mati sendiri dan hidup sendiri. Lalu Sunan Kudus takut dan justru ia berguru pada Kyai Ageng Pengging. Sunan Kudus pulang lagi dengan tangan hampa, lalu Demak mengutus Sunan Kalijaga untuk datang ke Pengging. Pusakanya digunakannya untuk bukti bahwa dia berhasil membunuh eyang, tapi faktanya pusaka itu digunakan untuk membunuh seekor anjing.

Berdasarkan cerita di atas, ada bermacam–macam ritual, menurut keyakinan pribadi masing-masing pengunjung. Ritual kejawen tidak diharuskan dengan aturan yang ramai, yaitu setiap malam jumat dan selasa kliwon, jika ada tamu biasa dapat dilayani setiap hari. Ubarampe itu tidak diharuskan dengan aturan yang berbagai macam. Menurut pribadi sendiri, apabila terkabul itu, baru mereka biasanya memberikan beberapa hasil bumi atau melakukan syukuran. Sastra lisan yang telah dikarang dan kemudian diceritakan kembali dari mulut ke mulut itu biasanya mengandung hal-hal bersifat supranatural yang tekadang tidak dapat diterima oleh akal manusia, sehingga banyak sastra lisan yang hanya dianggap sebagai dongeng yang pada intinya tidak dapat diterima secara logika.

Keekstensian sastra lisan (foklor) dirasa masih populer dan semakin populer hingga saat ini. terbukti ketika sastra lisan dijadikan sebagai judul film atau dicetak sebagai buku. Sastra lisan yng dulunya sampai sekarang hanya dari mulut ke mulut, bahkan sebagian masyarakat yang menyukai cerita berbau khayalan nemiliki ketertarikan sendiri terhadap ssatra lisan atau foklor.

(26)

Sastra lisan memiliki makna yang sebenarnya sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup yang lebih baik kedepannya untuk manusia. Sastra lisan mengandung unsur sejarah dan memiliki kaitan langsung dengan sejarah yang sudah ada. Sastra lisan cerita Kyai Ageng Pengging memiliki daya tarik karena di dalamnya memiliki unsur kenyataan yang berkaitan dengan sejarah masa lalu.

Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yang diwariskan turun temurun oleh masyarakat secara lisan. Dengan demikian cerita rakyat Kyai Ageng Pengging memiliki hubungan erat dengan masyarakat, sebagai suatu kelompok sosial pemilik warisan adat-istiadat tersebut.

Berdasarkan ringkasan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang membangun cerita rakyat tersebut antara lain:

a. Tema

Peristiwa yang diceritakan dalam Kyai Ageng Pengging ini menggambarkan kisah Kebijaksanaan seorang Kyai semasa hidupnya dalam memimpin padepokan. Namun dalam mengajarkan agama mengalami berbagai rintangan. Seperti dianggap memberontak oleh Kerajaan Demak dan diprasangka agama atau ajarannya menyesatkan. Hal ini dapat ditunjukkan dalam kutipan sebagai berikut:

Eyang niku pribadi ingkang wicaksana, mboten nate duka, sabar, seneng tetulung. (Karsino, 14 Juli 2016)

(27)

Eyang (Kyai Ageng Pengging) itu pribadi yang bijaksana, tidak pernah marah, sabar, suka membantu sesama.

Kyai Ageng Pengginng sangatg ini merupakan sosok yang sangat disegani oleh masyarakat dan pengikutnya. Karena hal itu lah, beliau jadi dibenci atau dianggap oleh Kerajaan Demak dan dituduh hendak memberontak Demak. Berdasarkan inti dari cerita Kyai Ageng Pengging adalah pemaksaan kekuasaan oleh suatu kerajaan terhadap seorang Kyai atau pemimpin suatu padepokan. Di tempat ini pula ditemukan makam Kyai Ageng Pengging yang masih ramai dikunjungi oleh para peziarah. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa cerita rakyat Kyai Ageng Pengging diklasifikasikan dalam legenda tempat dan legenda perseorangan.

b. Alur

Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah alur maju atau alur lurus. Hal ini terbukti bahwa cerita mengalir disampaikan secara runtut dan menimbulkan kejadian selanjutnya. Cerita diawali dengan menggambarkan tokoh yang sangat berpengaruh dalam cerita yaitu Kyai Ageng Pengging dan tokoh-tokoh yang lain. Awal mula ketika Kyai Ageng Pengging bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar sebenarnya memang sengaja menemui Kyai Ageng Pengging untuk mengajarkan agama Islam. Kedatangannya ini disambut hangat oleh Kyai Ageng Pengging

(28)

yang bernama aslinya Kebo Kenongo. Nama aslinya ini masih melekat pada dirinya saat beliau masih menganut agama Hindu. Setelah lama berbincang-bincang dengan Syekh Siti Jenar, beliau akhirnya merubah keyakinannya menjadi agama Islam, tapi dengan tanpa paksaan.

Permasalahan mulai timbul ketika Kerajaan Demak berprasangka buruk kepada Kyai Ageng Pengging dikarenakan pihak Demak berpikir Kyai Ageng Pengging membuat pasukan untuk menyerang Kerajaan Demak. Permasalahan selanjutnya adalah ketika Demak mengutus Sunan Kudus untuk membawa kembali Kyai Ageng Pengging ke Kerajaan Demak, jika Kyai tidak mau maka dibunuhlah Kyai Ageng Pengging. Bahkan ancaman Demak yang akan membawa istri Kyai Ageng Pengging ke Demak sebagai jaminan untuk membayar pajak.

Perkembangan terhadap konflik dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini adalah saat kematian Kyai Ageng Pengging. Konflik berakhir ketika Kyai Ageng Pengging meninggal dengan meninggalkan jasad dan raganya (muksa). Kematian Kyai Ageng Pengging tidak membuat berhentinya cerita-cerita sejarah berikutnya. Melainkan itu merupakan awal mula terbentuknya sejarah yang nantinya Kyai Ageng Pengging akan menurunkan Jaka Tingkir sebagai penerusnya.

(29)

Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah Kyai Ageng Pengging yang mempunyai nama kecil Kebo Kenongo. Ketika Kyai Ageng Pengging berbincang-bincang dengan Syekh Siti Jenar, dan kemudian berpindah agama menjadi penganut agama Islam. Namun, Islam yang dianutnya ini merupakan Islam kejawen. Adapun tokoh tersebut mempunyai karakter yang bijaksana, tidak sombong, santun, sabar, tidak pernah marah. Hal ini tercermin dari cara menghadapi tuduhan yang ditujukan kepadanya dari Kerajaan Demak bahwa beliau dituduh memberontak dan menjadi ancaman utuk Kerajaan Demak. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Lajeng eyang mriki istilahe dangu-dangu kiyat. Lha diprasangka Demak niku ajeng ngrebasa niku wani kalih Demak. Makane amargi eyang mriki mboten purun asok glondhong pengareng-areng niku istilahipun pajek ngoten. Lha terus diprasangka Demak niku badhe wantun nyusun kekuatan ngoten, ning sejatose eyang mriki mboten. Ora ngepengenke lungguh kursi dadi ratu ngoten niku. (Karsino,14 Juli 2016)

Terjemahan:

Selanjutnya, Eyang itu istilahnya dulunya adalah orang yang kuat. Kemudian diprasangka Demak bahwa Eyang itu dirasa berani kepada pemerintahan Demak. Karena Eyang itu tidak mau

asok glondhong pengareng-areng atau istilahnya

membayar pajak seperti itu. Kemudian justru diprasangka oleh Demak bahwa beliau berani dan menyusun kekuatan begitu, tapi sejatinya Eyang tidak melakukannya. Beliau tidak menginginkan duduk di tahta menjadi ratu seperti itu.

(30)

Kyai Ageng Pengging merupakan tokoh pemimpin padepokan agama Islam Kejawen, khususnya di bumi Pengging. Nama asli Kyai Ageng Pengging adalah Kebo Kenongo. Beliau juga dikenal menguasai ilmu yang tinggi melebihi Sunan-Sunan yang ada sehingga banyak santri dari berbagai tempat yang ingin berguru kepadanya. Kyai Ageng Pengging mempunyai sifat yang sabar, tidak pernah marah, tidak sombong, rendah hati, tidak menginginkan hal-hal yang bersifat duniawi.

Kutipan:

Nek kesaktiane Eyang mriki niku piyantun ingkang sabar, mboten nate duka, ngeten niku. Mboten kepengin bandha donya lah istilahe niku. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Kalau kesaktian Eyang itu pribadi yang sabar, tidak pernah marah, seperti itu. Tidak menginginkan harta duniawi lah istilahnya itu.

Sifat-sifat yang dimiliki Kyai Ageng Pengging yang sangat positif membuatnya disegani semua masyarakat sekitar dan pengikutnya. Jiwa yang sabar dan tidak pernah marah tercermin saat beliau dituduh dan diancan hendak dibunuh oleh Sunan Kudus. Sifat-sifat Kyai Ageng Pengging ini yang membuat dirinya mempunyai kekuatan yang tinggi atau inggil,

(31)

berbeda dengan Kyai-Kyai maupun Sunan-Sunan yang ada dahulunya.

Selain tokoh utama yaitu Kyai Ageng Pengging ada pula tokoh lain bernama Syekh Siti Jenar. Dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging, tokoh Syekh Siti Jenar merupakan orang yang mengajarkan dan membujuk Kyai Ageng Pengging untuk masuk agama Islam. Namun, perpindahan kepercayaan yang dilakukan Kyai Ageng Pengging ini tidak ada unsur paksaaan sama sekali dari Syekh Siti Jenar . Dia mengajarkan agama Islam melalui diskusi atau tukar pengalaman bersama Kyai Ageng Pengging. Karena pada awalnya Kyai Ageng Pengging menganut agama Hindu.

Kutipan:

Niku rikala rumiyin Pengging niku lak riwayatipun eyang mriki niku rumiyin tasih hindu. Hindu lajeng dirawuhipun eyang syekh siti jenar. Niku tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar kawruh kejawen ning mboten wonten dalemipun ning wonten sanggar pamujan. Sanggar pamujan rumiyin niku nek cara sakniki vihara ngoten niku hle nek rumiyin sanggar pamujan. Lajeng eyang mriki dipun rujuk niku supados ngrasuk islam, hla lajeng eyang kersa ngrasuk islam. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Itu dahulunya di Pengging itu Eyang (Kebo Kenongo) dulu masih beragama Hindu. Hindu kemudian datanglah Syekh Siti Jenar. Mereka melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar pengetahuan tentang kejawen akan tetapi tidak di rumah tetapi di dalam tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu dulu apabila dikaitkan sekarang

(32)

adalah sebuah vihara seperti itu dulu sanggar pemujaan. Kemudian Eyang dibujuk supaya berpindah agama menjadi Islam, hla kemudian Eyang bersedia masuk Islam.

Selain tokoh utama, ada pula tokoh lain yaitu Sunan Kudus. Sunan Kudus adalah utusan Kerajaan Demak.

Kutipan:

Lajeng sing Demak mrika terus, utusan Sunan Kudus ngapurih nek purun diajak sowan mrika, nek mboten purun purbawasesa menika kapurih merjaya menika.(Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Kemudian dari Demak sana mengutus Sunan Kudus untuk membawa Kyai Ageng Pengging ke Demak apabila beliau bersedia ikut, namun apabila beliau menolaknya maka Sunan Kudus ditugaskan untuk membunuh Kyai Ageng Pengging.

Sunan Kudus yang diutus untuk membawa Kyai Ageng Pengging dan ditugaskan untuk membunuhnya. Akan tetapi istri dari Kyai Ageng Pengging yang dibawa agar Kyai Ageng Pengging marah seperti yang telah diceritakan di atas. Tapi pada akhirnya Sunan Kudus berguru pada Kyai Ageng Pengging.

Kutipan:

Sunan Kudus damel kareben Eyang niku nesu, muring. Bojone lak disuwun, utusan saking mrika nyuwun bojone utawi garwane Eyang mriki, padahal niku mpun enten dalam kandutan 4 bulan. Disuwun supados dingge gantine asok glondhong

(33)

pengarong-arong, pajek niku hle istilahe. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Sunan Kudus membuat agar Eyang itu marah, mengamuk. Istrinya diambil, utusan dari sana minta istrinya Eyang sini, padahal itu sudah mengandung sekitar 4 bulan. Dibawa supaya untuk menggantikan Eyang sebagai “asok glondhong

pengarong-arong”, atau istilahnya pajak.

d. Latar

Latar dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging antara lain latar tempat, dan suasana. Akan tetapi, latar yang sangat menonjol yang terjadi dala cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah latar tempat. Latar tempat diantaranya yaitu Pengging, sanggar pemujaan (vihara). Sanggar pemujaan yang sekarang beralih fungsi menjadi padepokan Kyai Ageng Pengging untuk mengajarkan agama Islam di bumi Pengging.

Latar cerita dimulai dari pernikahan Prabu Sri Makurung dengan Putri Ratna Pembayun yang merupakan anak dari Brawijaya V dari Majapahit. Hadiah untuk pernikahan keduanya ini, Brawijaya V memberikan tanah Pengging untuk mereka berdua. Kemudian mereka dikaruniai tiga orang putra, yang salah satunya adalah Kebo Kenongo atau sekarang berubah menjadi Kyai Ageng Pengging.

(34)

Hla menika terus lajeng niku tasih wonten Majapahit lajeng dipunparingi bumi pengging. Terus wonten mriki dipun paringi asma jejuluk prabu sri makurung, nek saderengipun niki sakjane prabu sri makurung handayaningrat menika setelah pikantuk putrinipun retno pembayun.(Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Hla kemudian itu masih berada di Majapahit, lalu dihadiahi tanh Pengging untuk mereka berdua. Kemudian di Pengging diberi nama julukan Prabu Sri Makurung, sebenarnya nama Prabu Sri Makurung Handayaningrat itu diberikan tau disematkan setelah menikah dengan Putri Retno Pembayun.

Latar tempat selanjutnya adalah di sanggar pemujaan milik Kyai Ageng Pengging. Sanggar ini digunakan untuk berdoa dan mengajar agama Hindu kepada murid-muridnya, sekarang dikenal sebagai vihara. Di dalam sanggar ini juga, Kyai Ageng Pengging berbincang-bincang dan bertukar ilmu kepada Syekh Siti Jenar tentang agama Islam. Ketertarikan Kyai Ageng Pengging terhadap Agama Islam inilah yang membuat beliau akhirnya berpindah keyakinan dari Hindu menjadi Islam kejawen. Disusul oleh murid-muridnya yang akhirnya berpindah keyakinan juga menjadi Islam kejawen, namun tanpa paksaan atau perintah dari Kyai Ageng Pengging.

Kutipan:

Niku tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar kawruh kejawen ning mboten wonten dalemipun ning

(35)

wonten sanggar pamujan. Sanggar pamujan rumiyin niku nek cara sakniki vihara ngoten niku hle nek rumiyin sanggar pamujan. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Mereka melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar pengetahuan tentang kejawen akan tetapi tidak di rumah tetapi di dalam tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu dulu apabila dikaitkan sekarang adalah sebuah vihara seperti itu dulu sanggar pemujaan.

Bagian latar suasana cerita rakyat ini terdapat suasana senang, tegang, dan sedih. Suasana senang ditunjukkan ketika berganti agama Islam dan mendirikan padepokan sekaligus memiliki santri-santri. Suasana tegang terjadi ketika Sunan Kudus akan membunuh Kyai Ageng Pengging.

Kutipan:

Wong pati niku men istilahe Sunan Kudus kalawau badhe mateni Eyang mriki niku wau. Nek jenengan badhe mejahi kula mangga. Pati uripe menungsa niku enten kersane Gusti Alah. Yakin saestu lajeng pusakane Sunan Kudus niku mboten kuwawi. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Karena mati itu istilahnya Sunan Kudus akan membunuh Eyang itupun. Kalau kamu ingin membunuh saya itu silahkan. Karena mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan. Yakin benar kemudian pusaka atau senjata Sunan Kudus itu tidak mempan untuk membunuh Eyang (Kyai Ageng Pengging).

(36)

Sunan Kudus hanya utusan Kerajaan Demak. Jika Kyai Ageng Pengging tidak mau ikut ke Demak maka dibunuhlah Kyai Ageng Pengging oleh Sunan Kudus. Sementara itu, penggambaran suasana sedih ditunjukkan ketika istri Kyai Ageng Pengging dibawa oleh Sunan Kudus ke Demak sebagai jaminan. Meskipun sebenarnya Kyai Ageng Pengging merasa sedih istrinya hendak dibawa ke Demak, namun beliau tetap ikhlas menghadapi bahwa istrinya dibawa ke Demak.

e. Amanat

Berdasarkan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini ditemukan beberapa amanat. Amanat dapat diambil dari perilaku para tokoh cerita maupun peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita Kyai Ageng Pengging ini. Amanat bagi generasi muda antara lain: sifat Kyai Ageng Pengging yang bijaksana, ikhlas, sabar, dan jangan sombong. Meskipun terhimpit oleh masalah-masalah yang sebenarnya bukan kesalahannya atau yang tidak dilakukannya, Kyai Ageng Pengging tetap sabar dan ikhlas.

Kebijaksanaannya ditunjukkan ketika memimpin padepokan. Kyai Ageng Pengging ini tidak mau disebut pemimpin atau tidak mau menduduki tahta. Kyai hanya mengajarkan agama saja kepada masyarakat sekitar dan orang

(37)

yang mau belajar agama Islam tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

B. Bentuk Hegemoni Kekuasaan dalam Cerita Kyai Ageng

Pengging

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif/ dominasi) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya dilaksanakan dengan cara-cara halus, dengan maksud untuk menguasai guna melanggengkan dominasi. Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim.

Menurut Gramsci hegemoni faktor terpenting sebagai pendorong terjadinya hegemoni adalah faktor ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan, kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur dalam masyarakat.

Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini menceritakan Kebijaksanaan seorang Kyai semasa hidupnya dalam memimpin suatu

(38)

padepokan. Pengajaran agama Islam mengalami berbagai rintangan, sehingga dianggap memberontak oleh Kerajaan Demak dan diprasangka buruk bahwa agama atau ajarannya itu menyesatkan.

Cerita Kyai Ageng Pengging ini terjadi bentuk hegemoni kepemimpinan. Hegemoni di dalam cerita ini terjadi pada tahap pertikaian awal dimana pihak Kerajaan Demak dengan alih-alih meminta pajak kepada Kyai Ageng Pengging dengan mengutus Sunan Kudus. Apabila Kyai Ageng Pengging tidak mau ikut ke Demak maka dibunuhlah Kyai oleh Sunan Kudus. Akan tetapi, yang terjadi adalah istri Kyai Ageng Pengging yang dibawa ke Demak sebagai Jaminan. Berikut Kutipannya dari Juru Kunci:

Sunan Kudus damel kareben Eyang niku nesu, muring. Bojone lak disuwun, utusan saking mrika nyuwun bojone utawi garwane Eyang mriki, padahal niku mpun enten dalam kandutan 4 bulan. Disuwun supados dingge gantine asok glondhong pengarong-arong, pajek niku hle istilahe. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Sunan Kudus membuat agar Eyang itu marah, mengamuk. Istrinya diambil, utusan dari sana minta istrinya Eyang sini, padahal itu sudah mengandung sekitar 4 bulan. Dibawa supaya untuk menggantikan Eyang sebagai “asok glondhong pengarong-arong”, atau istilahnya pajak.

Berdasarkan kutipan dialog di atas, terbukti bahwa terjadi hegemoni yang bersifat kepemimpinan. Suatu kepemimpinan atau kekuasaan yang memaksa akan kehendak dengan masyarakat dengan alih-alih harus membayar pajak kerajaan. Akibat apabila tidak mengikuti

(39)

perintah dan aturan kerajaan maka dianggap memberontak dan akan dibunuh.

Kyai Ageng Pengging dalam memimpin padepokan yang didirikannya tidak memaksa masyarakat untuk mengikuti ajaran yang dianutnya sekarang ini yatu agama islam kejawen. Agama yang dianutnya setelah beliau berbincang-bincang dengan Syekh Siti Jenar selama beberapa hari.

Hal tersebut sesuai dengan kutipan Juru Kunci:

Niku rikala rumiyin Pengging niku lak riwayatipun eyang mriki niku rumiyin tasih hindu. Hindu lajeng dirawuhipun eyang syekh siti jenar. Niku tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar kawruh kejawen ning mboten wonten dalemipun ning wonten sanggar pamujan. Sanggar pamujan rumiyin niku nek cara sakniki vihara ngoten niku hle nek rumiyin sanggar pamujan. Lajeng eyang mriki dipun rujuk niku supados ngrasuk islam, hla lajeng eyang kersa ngrasuk islam. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Itu dahulunya di Pengging itu Eyang (Kebo Kenongo) dulu masih beragama Hindu. Hindu kemudian datanglah Syekh Siti Jenar. Mereka melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar pengetahuan tentang kejawen akan tetapi tidak di rumah tetapi di dalam tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu dulu apabila dikaitkan sekarang adalah sebuah vihara seperti itu dulu sanggar pemujaan. Kemudian Eyang dibujuk supaya berpindah agama menjadi islam, hla kemudian Eyang bersedia masuk islam.

Berasal dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Kebo Kenongo atau Kyai Ageng Pengging masuk Islam tanpa adanya paksaan dari Syekh

(40)

Siti Jenar. Beliau mau belajar dan menganut agama islam karena tertarik setelah berbincang-bincang dan tukar ilmu selama beberapa hari dengan Syekh Siti Jenar. Selain itu pula, Kyai Ageng Pengging tidak melakukan paksaan terhadap murid-muridnya untuk mengikuti jejaknya menganut agama islam, seperti pada kutipan di bawah ini:

Eyang mriki mboten nate meksa murid-murid e kangge tumut agama islam. (Karsino, 15 Juli 2016)

Terjemahan:

Eyang tidak pernah memaksa murid-muridnya untuk berpindah agama menjadi islam.

Cerita rakyat tentang Kyai Ageng Pengging menyebutkan bahwa Kyai tidak tergiur oleh kekuasaan duniawi. Kyai tidak menginginkan kekuasaan, akan tetapi hanya mengajarkan agama saja. Kyai Ageng Pengging tetaplah rendah hati, tidak sombong, tidak pernah marah dan tidak menginginkan kehidupan duniawi (hedonisme).

Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara oleh Juru Kunci :

Nek kesaktiane Eyang mriki niku piyantun ingkang sabar, mboten nate duka, ngeten niku. Mboten kepengin bandha donya lah istilahe niku. (Karsino, 14 Juli 2016)

Terjemahan:

Kalau kesaktian Eyang itu pribadi yang sabar, tidak pernah marah, seperti itu. Tidak menginginkan harta duniawi lah istilahnya itu.

Berdasarkan kutipan di atas bahwa Kyai Ageng Pengging pribadi yang mempunyai ilmu tinggi dibandingkan dengan Kyai atau Sunan-sunan yang lainnya. Meskipun mempunya ilmu yang tinggi, namun Kyai Ageng

(41)

Pengging tidak sombong maupun tinggi hati. Beliau tidak menginginkan hal-hal yang bersifat duniawi ataupun menduduki tahta yang ada di dunia ini.

C. Persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam

cerita Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa

Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali,

Jawa Tengah

Cerita Rakyat dan narasumber merupakan suatu hubungan yang tidak dapat dilepaskan. Bukan saja hubungan yang menyebabkan timbulnya cerita rakyat, namun merupakan sebuah hubungan yang mencerminkan segi pandangan sosial, ataupun kepribadian narasumber yang dapat tercermin di dalam cerita rakyat yang dihasilkannya. Aspek-aspek yang berhubungan dengan diri narasumber perlu diungkapkan, karena kedudukannya mampu memegang peran yang sangat penting dalam sebuah penelitian sastra.

Narasumber dalam menceritakan sebuah cerita sastra tidak terlepas dari imajinasi serta pengaruh dari kehidupan sosialnya. Narasumber menceritakan kehidupan masyarakatnya sekitar dengan pikiran dan perasaan sehingga menjadikan sebuah karya sastra yang memiliki nilai sosial yang dapat dijadikan contoh dan dapat diterapkan dalam kehidupan sosial, karena narasumber merupakan bagian dari masyarakat.

(42)

Bapak Karsino lahir di Boyolali pada tanggal 21 Oktober 1966. Bapak Karsino berawal menjadi asisten juru kunci sebelumnya yang sudah tua dan mulai menjadi Juru Kunci selama tiga tahun. Kemudian digantikan oleh BapakCoyo selama tiga tahun. Setelah masa jabatannya habis, Bapak Karsino menjadi juru kunci lagi sampai sekarang dan sudah sekitar hampir dua tahun beliau menjabat. Juru kunci makam Kebo Kenongo berganti setelah masa jabatan habis dan diadakan pemilihan umum oleh masyarakat sekitar agar adil.

Bapak Karsino sejak kecil sudah akrab dengan cerita rakyat Makam Kyai Ageng Pengging karena rumahnya tepat berada di sebalah makam. Sejak zaman dahulu sudah mengetahui ritual-ritual dan kejadian-kejadian mistis yang ada di makam Kebo Kenongo tersebut.

Narasumber dalam penelitian ini lebih berfokus pada sang juru kunci karena masyarakat sekitar baik dari kalangan remaja maupun dewasa tidak terlalu mengerti dan paham dengan adanya hegemoni kekuasaan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Masyarakat kebanyakan hanya mengetahui cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini juga hanya sebatas pengetahuannya. Bahkan ada pula dari kalangan remaja yang tidak mengerti sama sekali cerita ini dan asal mula adanya makam Kyai Ageng Pengging, yang mereka ketahui hanya ada peninggalan bersejarah di daerah mereka yaitu makam Kyai Ageng Pengging. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Aku ora ngerti saktenane crita Kyai Ageng Pengging kuwi opo mbak. Sak ngertiku kuwi wong pinter sing duwe kesaktian terus mara menyang Pengging. Terus pejah e yo nyang kene, Pengging kene mbak. (Agus, 15 Juli 2016)

(43)

Terjemahan:

Saya tidak tahu sejatinya cerita Kyai Ageng Pengging itu apa mbak. Yang saya tahu itu orang pinter yang mempunyai kesaktian lalu datang ke Pengging. Kemudian meninggal juga di sini, Pengging sini mbak.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat sekitar yang mengetahui detail pasti cerita rakyat Kyai Ageng Pengging, namun cerita tersebut masih eksis di kalangan para dewasa dan peziarah lainnya.

Kutipan:

Kula dugi ziarah wonten mriki niku sering, meh saben sasi mesthi tindhak wonten makom mriki. Tujuan kula namung donga lan dongakake Kyai Ageng Pengging wonten mriki. (Mujiyanto, 16 Juli 2016)

Terjemahan:

Saya datang untuk berziarah disini sudah sering, hampir setiap bulan pasti datang ke makam ini. tujuan saya hanya untuk berdoa dan mendoakan Kyai Ageng Pengging disini.

Narasumber (juru kunci) melalui cerita rakyat mengungkapkan bahwa masih ada orang yang tidak menginginkan kekuasaan, padahal sebenarnya jiwa kekuasaan terdapat dalam diri orang tersebut. Tergambar dari tokoh Kyai Ageng Pengging yang memimpin dalam mengajarkan agama tetapi Kyai tidak ingin disebut pemimpin atau menduduki tahta. Kekuasaan merupakan suatu hal yang sangat diinginkan semua orang.

(44)

Kekuasaan identik dengan kepemimpinan yang sangat diinginkan oleh semua manusia. Berbagai cara selalu dilakukan manusia untuk mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya. Namun pengarang ingin menyampaikan bahwa tidak semua manusia menginginkan kekuasaan. Cerita rakyat menampilkan sosok Kyai Ageng Pengging yang tidak menginginkan sebuah kekuasaan terbukti dengan Kyai tidak mau menduduki tahta yang ada di padepokannya. Padahal para masyarakat banyak yang menginginkan Kyai Ageng Pengging menjadi pemimpin karena Kyai Ageng Pengging memiliki hati yang sabar, rendah hati, bijaksana dan seseorang yang pantas menjadi seorang pemimpin.

Narasumber juga ingin menyampaikan pesan moral kepada masyarakat bahwa dalam memperoleh sesuatu hendaknya diperoleh dengan usaha maupun cara yang semestinya. Generasi muda seharusnya memiliki hati yang baik, bijaksana, ikhlas, selalu rendah hati, dan tidak terpengaruh hal-hal duniawi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi tersebut di atas maka .panitia melakukan penilaian dan memasukkan 5 (lima) perusahaan dengan nilai tertinggi untuk dimasukkan dalam daftar pendek

 Dengan Tanya jawab, mengarahkan peserta didik untuk menentukan daerah penyelesaian program linier pada permasalahan

Dua kilogram limbah padat jamu dicampur dengan 3 liter air suling kemudian dialiri uap panas menggunakan alat distilasi uap-air selama 24 jam, dihitung dari tetesan pertama

Nilai probabilitas pengujian < 0,05 menunjukkan bahwa variabel Good Corporate Governance (GCG), Ukuran (Size) perusahaan, Pertumbuhan (Growth) perusahaan dan

Berdasarkan identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang dianggap mempengaruhi perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya, dari sisi faktor

Berdasarkan permasalahan dan pengolahan data hasil penelitian, maka dinyatakan bahwa secara umum terdapat pengaruh antara motivasi berprestasi, minat dan sikap terhadap

[r]

Psychologists have done studies on the effects of internet chats on people.. The number of cases going to doctors are increasing day