• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi dan Tim P4W (2007) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.

Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi dan Panuju, 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, fase kemajuan perekonomian region/wilayah diklasifikasikan menjadi: (1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik, (2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan, (3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

(2)

Wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat-sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk memanfaatkan suatu sumberdaya ruang yang terbatas yang tersedia di atas bumi dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu ruang. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah (Rustiadi dan Panuju, 2005).

(3)

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota.

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2005) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1 Sebagai growth center Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2 Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3 Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4 Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi

(4)

2.1.1. Metropolitan

Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. Oleh karenanya, suatu kota atau kawasan metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan pembangunannya. Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan dengan skala dan pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan fundamental dalam cara hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro Sensus (Amerika) pada tahun 1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan Districts ke dalam sistem klasifikasi wilayahnya.

Metropolitan selalu menghadapi persoalan-persoalan bukan saja karena besarnya jumlah penduduk, tetapi juga karena karakternya yang berbeda dengan kota bukan metropolitan. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan dan pembangunan kota atau kawasan metropolitan di negara maju pun sudah cukup kompleks, apalagi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Secara umum orang mengartikan metropolitan sebagai suatu kota besar yang berhubungan dengan kehidupan modern, kehidupan kota -bukan pertanian- yang kompleks.

Seorang pakar perkotaan, Angotti (1993) berpendapat bahwa sebuah metropolis bukan saja sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Namun Angotti juga berpendapat bahwa sebuah kota yang berpenduduk lebih dari satu juta dapat dikategorikan sebagai kota metropolitan. Blumenfeld (1971 dalam Angotti, 1993) menjelaskan metropolis sebagai sebuah pusat permukiman dengan penduduk paling sedikit 500.000 jiwa, namun dia menganjurkan ukuran minimum satu juta jiwa bagi kota-kota di Amerika Utara. Ekistic (Doxiadis 1968 dalam Angotti, 1993) mengartikan metropolis sebagai suatu permukiman besar yang terdiri dari satu atau lebih pusat yang berpenduduk 50.000 atau lebih

(5)

dan mempunyai karakter kota yang lebih besar daripada karakter perdesaan, dengan kepadatan secara bruto sebesar 66 jiwa per ha. Sementara itu Blumenfeld (1971 dalam Angotti, 1993) juga mendeskripsikan metropolis sebagai permukiman dengan penduduk paling tidak 50.000 jiwa, namun menurutnya, satu juta adalah kriteria yang cocok untuk ukuran metropolis di Amerika Utara. Angotti (1993) mengatakan bahwa kota metropolis itu berpenduduk satu juta atau lebih.

Selain menggambarkan kondisi banyak fungsi sosial ekonomi dan ukuran penduduk dari sebuah kota, istilah metropolis menurut Kamus Geografi dapat ditinjau dari ukuran hirarki, yang mempertimbangkan sebuah metropolis sebagai pusat fungsional. Fungsi-fungsi dari kekuatan yang inheren dalam metropolislah yang kemudian menjadi dasar dari perilaku pertumbuhan kota. Di sini kekuatan finansial dan pertimbangan geopolitiklah yang memainkan peran utama dari sebuah kawasan metropolitan. Dengan demikian, istilah metropolis tidak lagi hanya dipertimbangkan sebagai sebuah ibu kota. Sebuah kota besar atau yang sangat besar pun harus dipertimbangkan sebagai sebuah kota metropolitan. Luasan kota metropolitan pun bervariasi, bergantung pada wilayah. Di Eropa, misalnya, luasan sebuah metropolis adalah antara 25.000 hingga 50.000 km persegi, sementara di Amerika Serikat hingga 200.000 km persegi.

Suatu metropolitan bisa saja mempunyai satu pusat (monocentric), atau lebih dari satu pusat (polycentric). Pada suatu metropolitan yang polycentric, pusat metropolitan tidak harus secara fisik tersambung dalam bentuk kawasan terbangun (built-up area),- berbeda dengan pengertian conurbation,- kota-kota yang menjadi pusat metropolitan polycentric terhubung secara ekonomi dan fisik, dan secara keseluruhan menjadi kawasan perkotaan yang besar. Contoh dari bentuk polycentric ini misalnya adalah Tokyo-Kawasaki- Yokohama (the

Keihin area), atau Osaka-Kobe dan Kyoto sebagai Kehanshin Zone. Jika

metropolitan-metropolitan sangat berdekatan, mereka bias membentuk suatu Megalopolis.

Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya. Ditemukannya mesin uap yang memicu revolusi industri menyebabkan kota

(6)

seperti London menjadi tempat berkembangnya industri dan urbanisasi dari desa ke kota meningkat sangat tajam, antara tahun 1821 sampai 1851 atau hanya dalam 30 tahun penduduk London meningkat 4 juta jiwa. Angka tersebut sangat tinggi dalam konteks Eropa pada saat itu. Pertumbuhan tersebut sering juga dilihat sebagai “penjajahan” kota terhadap daerah pinggirannya atau bahkan terhadap kawasan perdesaan. Kota menyerap semuanya dan sering juga dilihat sebagai pusat berkembangnya penyakit dan perbuatan-perbuatan asusila (Angotti 1993). Keadaan itu memicu timbulnya aliran anti-urban. London, Machester, New York, Chicago dianggap sebagai tempat yang menyebabkan kemaksiatan yang dipicu oleh perkembangan industri dan modal.

Metropolitan di negara-negara maju merupakan akibat dari revolusi industri di abad 19. Walau demikian, beberapa di antara kota-kota tersebut seperti London dan Paris telah tumbuh jauh sebelum masa revolusi industri. Di akhir abad 17, London telah memiliki 670.000 penduduk dan Paris memiliki 500.000 penduduk. London di masa itu telah berfungsi sebagai pusat politik atau kekuasaan dari kerajaan Inggris, dan sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional. Sebelum tumbuhnya industri-industri besar, London bahkan telah memiliki penduduk dengan jumlah lebih dari satu juta jiwa dan telah berfungsi sebagai pusat keuangan penting di dunia yang dimulai dengan didirikannya Bursa London di tahun 1773.

Dari berbagai kota metropolitan di negara-negara maju, kasus yang agak berbeda adalah Tokyo. Sebagai ibu kota dari ke-shogunan Tokugawa sejak abad 16 hingga abad 18, Tokyo yang pada masa itu bernama Edo, tumbuh melampaui Kyoto, ibu kota resmi kekaisaran. Jumlah penduduk Tokyo telah melampaui satu juta jiwa di akhir abad 18. Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh kekuasaan ke-shogunan Tokugawa, terjadi penurunan jumlah penduduk Tokyo di awal paruh abad 19 menjadi sekitar 600.000. Sejak restorasi Meiji, ketika Jepang membuka diri terhadap negara-negara barat, dan Tokyo secara resmi menjadi ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Tokyo kembali meningkat sehingga di tahun 1900 penduduknya telah mencapai 1,4 juta jiwa.

Di Amerika Latin, kota-kota metropolitan modern umumnya tumbuh sebagai akibat kolonisasi Spanyol maupun Portugis, yakni akibat perdagangan

(7)

kolonial, terutama pada bagian yang menghadap Samudera Atlantik tempat pendatang-pendatang awal dari Eropa, dan juga tanah yang subur bagi pertanian yang pada masa itu menarik para pendatang tersebut. Sebaliknya di bagian pegunungan serta bagian yang menghadap Pasifik, pertumbuhan kota-kotanya lebih lambat. Kasus yang agak berbeda dalam hal ini adalah Kota Meksiko, yang sejak 1325 telah menjadi ibu kota Kerajaan Aztek Meksiko- Tenochtitlan. Dalam perkembangannya sebagai ibu kota Meksiko, kekuatan politiklah yang menyebabkan kota tersebut tumbuh dengan pesat. Sementara itu, Sao Paulo di Brazil memiliki sejarah pertumbuhan yang berbeda dari Meksiko. Berawal dari lokasi sekolah sekte Jesuit yang berada di persimpangan jalur menuju kawasan pedalaman, Sao Paulo kemudian berkembang pesat akibat perdagangan kopi.

Di Asia sendiri perkembangan kota-kota metropolitan awalnya tak lepas dari pengaruh perdagangan kolonial. Manila, misalnya, baru mulai berkembang sejak kolonisasi Spanyol tahun 1565. Demikian pula dengan Jakarta yang dahulu bernama Batavia, juga Mumbai dan Kalkuta. Aktivitas perdagangan di Mumbai berkembang pesat sehingga penduduk kota tersebut yang di tahun 1814 berjumlah 170.000 jiwa menjadi 566.000 di tahun 1845, dan 817.000 jiwa di tahun 1864. Sejarah yang agak berbeda mungkin ditemukan di Bangkok, yang telah merupakan ibu kota kerajaan sebelum orang-orang Eropa datang. Demikian juga Seoul yang telah menjadi ibu kota kekaisaran Dinasti Li sejak abad 14, jauh sebelum pendudukan Jepang di tahun 1910 (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005).

Salah satu fenomena pertumbuhan metropolitan yang menarik adalah pertumbuhan Shenzhen di Cina. Shenzen di awal tahun 1980 an hanyalah sebuah kota kecil nelayan dengan penduduk 70.000 jiwa. Semuanya berubah ketika Shenzhen terpilih sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic

Zone) yang pertama di China. Lokasinya yang strategis, yakni berseberangan

dengan Hongkong membuat kawasan tersebut banyak menarik investasi dari Hongkong. Hanya dalam kurun waktu seperempat abad, Shenzhen berubah menjadi metropolitan berpenduduk 7 juta jiwa dengan kekuatan ekonomi nomor empat di Cina. Fenomena unik ini mungkin hanya dapat didekati oleh Chicago yang membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi kota berpenduduk jutaan.

(8)

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi

Faktor–faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi sangat beragam dan rumit. Karena migrasi merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu. Persoalan migrasi desa kota (rural urban migration) merupakan sebuah faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah-masalah penganggguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidak seimbangan struktural dan ekonomi antara daerah-daerah perkotaan dan perdesaan (Todaro, 1994).

Urbanisasi mengacu kepada peningkatan proporsi jumlah penduduk perdesaan yang tinggal di pusat-pusat kota dengan ukuran tertentu (Abercombie et

al, 1988 dalam Rustiadi, 1997). Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang

menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayah/daerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan yang modern. Seiring dengan meluasnya urbanisasi dan pembangunan pemukiman kumuh (slum) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shanty town) serta semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia (Todaro, 1994).

Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadang-kadang disertai dengan pengembangan industri pada wilayah pinggiran kota (Mayhew, 1997; Jackson, 1985 dalam Rustiadi, 1997). Perkembangan urbanisasi di wilayah sub urban dipengaruhi oleh factor-faktor penarik dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungkan wilayah sub urban dengan wilayah urban. Proses Suburbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya sekala managemen wilayah urban secara real. Di sisi yang lain, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontra produktif mengingat

(9)

prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif (Rustiadi, 1997).

Proses suburbanisasi bukanlah fenomena yang relatif baru. Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks yaitu akulturasi budaya, konversi lahan partanian ke non pertanian yang bersifat irreversible, spekulasi tanah dan lain-lain. Van den Berg et al (1981) dalam Rustiadi (1997) mengidentifikasi empat tahapan proses urbanisasi: (1) tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; (2) tahap Suburbanisasi, tahap dimana kota berkembang dan mempengaruhi daerah – daerah sekitarnya dan menjanjikan kesejahteraan sehingga penduduk daerah pinggiran tertarik ke pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota; (3) tahap disurbanisasi, penurunan jumlah penduduk di daerah perkotaan diikuti oleh penurunan aktifitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan kerja dan lapangan usaha; (4) tahap urbanisasi, dibangunnya pusat-pusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi.

Proses suburbanisasi di wilayah sekitar Jakarta yang ditandai dengan perkembangan permukiman dan industri sekala besar di daerah-daerah di sekitar wilayah metropolitan (Jakarta) pada dasarnya didorong oleh adanya:

a. Kebijakan pemerintah, berupa:

 Kebijakan membangun Jakarta sebagai pusat pemerintah dan pusat kekuasaan;

 Subsidi dalam pembangunan perumahan;

 Pemberian fasilitas kepada beberapa konglomerat yang akan menanamkan modalnya;

 Pembangunan infrastruktur, yang meningkatkan aksesibilitas ke Jakarta, misalnya: Jalan Tol Jagorawi, Tol Cikampek dan Tol Merak;  Kebijakan pemerintah yang terpusat (sentralistik).

b. Pengaruh pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menjadi daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan meningkat jumlah tersebut, maka

(10)

permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan peningkatan jumlah tersebut, maka permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran akan tanah tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan

(scarcity), disamping harga tanah yang semakin meningkat pula.

Pertumbuhan penduduk di sekitar Jakarta (Bogor, Bekasi dan Tangerang) antara tahun 1960 – 1998 menunjukkan bahwa pertumbuhan kota Jakarta cenderung mendekati kurva eksponensial. Pertumbuhan penduduk yang cenderung tinggi tersebut merupakan salah satu ciri telah terjadinya urbanisasi di kota Jakarta (Rustiadi, 2007). Studi yang dilakukan Rustiadi et al (1999) di Jakarta dan salah satu wilayah penyangga Jakarta, Kabupaten bekasi, memperlihatkan keterkaitan proses migrasi, pertumbuhan ekonomi dan konversi lahan. Di dalam studinya memperlihatkan bahwa paling sedikit terdapat tiga tahapan proses suburbanisasi di wilayah Bekasi (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal tahun 1980-an) dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai tahun 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di wilayah bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya produktivitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya, Kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Suburbanisasi ini menciptakan pola penggunaan lahan yang kompleks sebagaimana ciri konsep desa-kota. Suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate. Proses suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta

(11)

dan sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya merupakan proses konversi dari lahan-lahan pertanian yang umumnya paling produktif. Laju pertumbuhan ekonomi yang disertai konversi lahan di wilayah Jabotabek merupakan proses yang kontraproduktif dengan upaya mempertahankan sentra-sentra produksi beras utama di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Fenomena commuting (melaju) yang sangat besar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pelengkap yang menunjukkan telah terjadinya proses suburbanisasi. Faktor kenyamanan tempat tinggal dan harga lahan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta menjadi sebagaian alasan dari perpindahan kaum urbanit untuk berpindah dari Jakarta ke pinggiran kota Jakarta. Pada tahun 1991,` rata-rata penduduk sekitar Botabek yang bekerja di Jakarta mencapai lebih dari 50%, kecuali Bogor. Sementara itu rata-rata 45% dari penduduk Botabek bersekolah di Jakarta.

Laju pertumbuhan penduduk Jakarta dan zone-zone yang melingkarinya lebih banyak ditentukan oleh pertumbuhan alami dari pada migrasi neto. Semakin jauh dari Jakarta, angka pertumbuhan alami makin besar. Sebaliknya pada migrasi neto bervariasi. Apabila dilihat dari wilayahnya, migrasi yang berasal dari Jakarta, zone-zone yang melingkarinya cukup signifikan. Hal ini memberikan gambaran bahwa telah ter-zone-zone yang melingkarinya jadi perpindahan tempat tinggal dari kota ke daerah pinggiran kota (suburbanisasi) yang keadaannya lebih bersih dan tidak terlalu padat (Joewono, 2003)

Menunjukkan hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan urban Jabotabek tahun 1992 sampai dengan tahun 2000. Semakin padat penduduk desa semakin tinggi rasio lahan urban-nya. Desa dengan kepadatan penduduk di bawah 1000 jiwa/km2 mempunyai rasio lahan urban yang relative sama, kisaran ini merupakan desa yang jauh dari pusat kota. Selisih rasio lahan yang besar terdapat pada kepadatan mulai dari 30.000 jiwa/km2 dimana wilayah ini merupakan desa yang berada di pusat kota, sampai pinggiran Jakarta atau jarak < 30 km dari Monas. Hal ini mengindikasikan kebutuhan lahan urban yang besar

(12)

karena adanya kebutuhan ruang untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa (Sitorus, 2004)

2.1.3. Transformasi Spasial

Transformasi spasial dapat dilihat dari dimensi kepadatan ruang (density), jarak ruang (distance), dan pembagian fungsi ruang (division). Kepadatan ruang yang tinggi terdapat di perkotaan sebagai konsentrasi kegiatan ekonomi, jarak ruang terhadap pusat konsentrasi ekonomi menyebabkan perbedaan kesempatan ekonomi antar tempat, dan kepadatan dan jarak ruang menyebabkan adanya pembagian fungsi ruang dan kegiatan ekonomi yang memiliki skala dan spesialisasi tertentu. Ketiga dimensi tersebut menyebabkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan kemajuan suatu wilayah yang inklusif yang dapat dianalisis dari adanya aglomerasi, migrasi, dan spesialisasi. Secara empiris, pemerataan kesejahteraan masyarakat antar daerah akan mulai terjadi secara lebih baik jika pendapatan per kapita di suatu negara (Wiranto, 2008).

Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Kota sebagai perwujudan geografis selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dua faktor utama yang sangat berperan adalah factor penduduk (demografis) dan aspek-aspek kependudukan. Aspek kependudukan seperti aspek politik, sosial, ekonomi, dan teknologi juga selalu mengalami perubahan. Kuantitas dan kualitas kegiatannya selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk perkotaan, sehingga ruang sebagai wadah kegiatan tersebut selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk perkotaan, sehingga ruang sebagai wadah kegiatan tersebut selalu mengalami peningkatan.

Untuk kota yang sudah padat bangunannya, semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran kota. Selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota dengan berbagai dampaknya.

(13)

Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota

(urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan

ke arah luar (urban sprawl). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan. Berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal, misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, 1997). Demikian juga perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya.

Manusia sebagai penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain (Daldjoeni, 1987). Perluasan kota dan masuknya penduduk kota ke daerah pinggiran telah banyak mengubah tata guna lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota. Banyak daerah hijau yang telah berubah menjadi permukiman dan bangunan lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota

Teori lain adalah Hammond (dalam Daldjoeni, 1987) mengemukakan beberapa alasan tumbuhnya daerah pinggiran kota diantaranya:

a. Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota, memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari tempat tinggalnya.

b. Berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian tepi-tepinya, dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan. c. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat.

Kunci keberhasilan transformasi spasial adalah kemampuan untuk membangun institusi, meningkatkan investasi, dan penyediaan pelayanan

(14)

infrastruktur yang menciptakan keunggulan komparatif di daerah tertinggal dan integrasi antardaerah (Wiranto, 2008).

2.2. Penggunaan Lahan (Land Use)

Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk inventaris (campur tangan) manusia terhadap tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Klasifikasi penggunaan tanah secara umum dibedakan menjadi klasifikasi penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan. Secara garis besar klasifikasi penggunaan tanah perdesaan dapat dibagi menjadi perkampungan, industri, pertambangan, persawahan, pertanian tanah kering semusim, kebun, perkebunan, padang, hutan, perairan darat, tanah terbuka, dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi penggunaan tanah perkotaan dibagi menjadi tanah perumahan, tanah perusahaan, tanah industri/pergudangan, tanah jasa, tanah tidak ada bangunan, taman, paerairan, dan lain-lain.

Adapun faktor-faktor ekonomi yang menentukan penggunaan dari interaksi sebidang tanah menghasilkan pola tata guna tanah. Tanah merupakan

multiactivities area dan multi manfaat yang akan menentukan tingkat persaingan

dan harga/nilai tanah, terutama lokasi-lokasi yang mempunyai tanah yang subur, iklim yang baik dan di bawah pengaruh lokal eksternal ekonomi yang kondusif. Harga tanah menjadi ukuran tingginya permintaan dan persaingan tanah yang mencapai puncaknya di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang menentukan harga tanah adalah jarak antar lokasi dengan pasar dan aksesibilitas.

Teori Von Thunen merupakan model tata guna tanah sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam suatu lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada ekspor impor. Berdasarkan asumsi tersebut, maka lokasi lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran dengan kota sebagai pusatnya sekaligus tempat pemukiman, kemudian areal sawah, tegalan, kebun dan terakhir adalah hutan. Bentuk lingkaran tidak harus simetris, tetapi tergantung akses jalan atau sungai.

(15)

Anwar (2001) mengembangkan suatu model input output yang dapat menggambarkan perubahan ekonomi dan sosial yang terjadi serta menghitung dan mengevaluasi dampak dari ketersediaan sumberdaya lahan. Dalam perumusan model input-output dengan mengkaitkan perubahan sosial ekonomi kepada jenis-jenis pengunaan lahan yang berbeda-beda melalui koefisien kebutuhan lahan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi tertentu. Dengan cara ini lahan diperlakukan sebagai faktor input yang bersamaan dengan faktor lain seperti tenagakerja dan kapital. Keduanya mempunyai hubungan-hubungan langsung dan tidak langsung dengan kebutuhan penggunaan lahan (land-use) yang dapat ditangkap oleh pencerminan interdependensi antar sektoral dalam model

input-output. Perhatian kita tertuju kepada kebutuhan penggunaan lahan dari setiap

(kegiatan) sektor ekonomi dan bukannya terhadap konpensasi kepada tataguna-lahan (land-use). Model input-output yang membahas perubalian struktural via anaiisis diskriptif dan perubahan eksplisit dari suatu keadaan (state) ekonomi kepada lainnya. Perubahan-perubahan dafam struktur ini diturunkan dari beberapa skenario yang dikembangkan, sesuai dengan perrrrasalahan yang ditelaah. Umpamanya ketidakpastian yang menyangkut pengembangan teknologi dapat dibuat secara eksplisit dengan memperkenalkan skenario baru berdasarkan atas suatu gugus asumsi yang berbeda-beda.

Jika melihat kepada struktur matematik dari sistim input-output terdiri dari segugus persamaan-persamaan linier dengan n argumen yang tidak diketahui dapat dinyatakan dalam persamaan:

(1) xl= Zil + Zi2+ … + Zij+ … Zin+ yi, I = 1,2,…,n

Dimana n merupakan jumlah sektor-sektor dalam ekonomi, xj rnenunjukan total output dari sektor ke-i dan y yang merupakan total permintaan akhir

(final demand) untuk produk ke-i dalam sektor yang bersangkutan.

Aliran-aliran input dari industri ke-i kepada industri ke-j dinyatakan oleh ziy. Karenanya, bagian sebelah kanan persamaan menyatakan jumlah dari penjualan inter-industri (z) dan penjualan kepada permintaan akhir (Y).

(16)

(2) Zij aij= _____

xj

yang disebut koefisien teknis aij dalam (2) diasumsikan bersifat konstan, dalam suatu kerangka analisis komparatif static (comparative static). Hal ini berarti hahwa setiap sektor yang menggunakan input-input dianggap dalam suatu proporsi yang tetap, dengan asumsi bahwa rata-rata kecenderungan pengeluaran (expenditure propensities) adalah sama dengan marginal propensities dan skala ekonomi didalam produksi dalam model memang

diabaikan. Persamaan (2) dapat ditulis kembali dengan mengganti setiap zij dengan aijxj

(3a) xl = ailxl+ ai2x2+ … + aijxj+ … + ainxn + yi

atau dalam notasi matrik, A menggambarkan nxn matriks yang terdiri dari unsur-unsur {aij}

(3b) x = Ax + y

Atau apabila variabel eksogen dan permintaan akhir (f) dipisahkan pada sebelah kanan persamaan dan variabel endogen (x) ditempatkan pada sebelah kiri persamaan, maka:

(4) (I – A) x = y

Kemudian dampak ekonomi dapat diduga melalui suatu analisis dampak peruhahan dalam faktor-faktor eksogen. Dampak total output (x) kepada ekonomi dapat dihitung dengan cara menggandakan (mengkalikan) matriks kebalikan (inverse matrix) (I - A)-1 dengan vektor (v) yang rnencerminkan perubahan-perubahan vang terjadi dalam konsumsi akhir adalah

(5) x = (I - A)-1y

Dimana (1 - A)-1 yang biasa ditulis sebagai M adalah matriks multipliers atau juga disebut koefisien-koefisien Leontief. Dengan demikian, maka

(6) M = (I - A)-1

Matrik M menjelaskan semua dampak total, dampak langsung dan tidak langsung, sebagai akibat dari dampak injeksi faktor eksogen, yang berasal dari perubahan permintaan akhir (final demand) kepada besaran-besaran endogen dari tabel

(17)

(backward-linkages) dapat dibagi kedalam dampak ekonomi langsung, yaitu penerimaan

kotor yang diterima oleh para produsen untuk pembelian akhir dari barang-barang dan jasa-jasa oleh para konsumen, pemerintah, dan ekspor; serta dampak ekonomi tidak langsung, yaitu pengeluaran terhadap faktor-faktor produksi kepada supply

input sektor-sektor yang dipicu oleh dampak ekonomi secara langsung.

Laju pertumbuhan penggunaan lahan tertinggi pada periode tahun 2000-2005, untuk penggunaan lahan ruang terbangun terdapat di Kota Depok Laju penurunan tertinggi untuk lahan hutan ada pada Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi Untuk kebun campuran, sawah tergenang, dan sawah tidak tergenang secara umum laju pertumbuhan tertinggi ada pada Kabupaten Bekasi Sedangkan pertumbuhan tertinggi untuk penggunaan lahan ladang/bareland/

upland secara umum ada pada Kabupaten Bogor. Pada tahun 2000 dan 2005,

peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dipengaruhi oleh aksesibilitas yang baik dan tingkat kemiskinan yang rendah. Penurunan luas penggunaan lahan hutan dan kebun campuran dipengaruhi oleh peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan sawah Sedangkan penurunan luas penggunaan lahan sawah dipengaruhi oleh peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan kebun campuran (Wulandhana et al. 2007).

Pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan periode 1983 – 2001 pada setiap koridor memiliki kecenderungan semakin meningkat dimana koridor Jakarta - Bekasi mempunyai percepatan yang paling tinggi kemudian Jakarta – Tangerang dan yang paling rendah adalah koridor Jakarta – Bogor. Faktor yang paling besar pengaruhnya perubahan penggunaan lahan perkotaan untuk koridor Jakarta – Bogor adalah panjang jalan, koridor Jakarta – Tangerang adalah jumlah rumah dan koridor Jakarta – Bekasi adalah jumlah industri (Hidayat, 2004)

Lahan yang paling besar peluangnya untuk berubah menjadi urban adalah lahan yang dahulunya digunakan sebagai pertanian lahan kering. Semakin luas pertanian lahan kering maka semakin besar peluangnya untuk berubah menjadi urban (Carolita, 2005).

Dari satu sisi, proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan

(18)

transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya (1) pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita serta (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor priner khususnya dari sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktifitas sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Rustiadi, 2002).

. Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktifitas-aktifitas dengan land rent yang lebih tinggi, dimana land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktifitas pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu. Dengan demikian alih fungsi lahan merupakan bentuk konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang optimal (Rustiadi, 2002).

2.3. Model Input-Output (I-O)

Model I-O telah dikenal semenjak zaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Francois Quesnay pada tahun 1758 dengan Tableau

De'economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro

ekonomi input-output khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Namun kemudian oleh Leon Walras pada tahun 1877 dengan General Equilibrium-nya membuatnya menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas.

Puncak perkembangan Tabel I-O sampai dengan bentuk yang mendasari tabel-tabel I-O modern adalah Tabel I-O yang dikembangkan oleh Leontief pada 1947. Tujuan Leontief mengembangkan Tabel I-O adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat

(19)

ini Analisis I-O telah berkembang luas menjadi model analisis standard untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian.

Pada dasarnya Tabel I-O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah/nasional (neraca konsumsi, neraca akumulasi kapital/investasi, dan neraca eksternal wilayah/luar negeri). Tabel I-O dapat digunakan untuk: (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumahtangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor) terhadap berbagai

output sektor produksi, nilai tambah (PDB untuk tingkat nasional, atau PDRB

untuk tingkat wilayah/daerah), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD untuk tingkat daerah), dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang atau jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3.1. Input-Output Regional

Analisis Input-Output digunakan tidak saja dalam lingkup ekonomi nasional, namun juga pada lingkup ekonomi regional di dalam suatu negara. Untuk itu, dikenal beberapa model Input-Output yaitu model Input-Output dengan satu daerah, inter daerah, dan multi daerah. Model Input-Output satu daerah digunakan untuk menganalisis perekonomian pada suatu daerah tertentu saja tanpa memperhatikan daerah lainnya. Model inter regional Input-Output menganalisis keterkaitan perekonomian antara dua daerah. Sedangkan multi regional Input- Output dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan lebih dari dua perekonomian regional. Model multi regional ini dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan makro ekonomi terhadap tiap-tiap daerah yang berada dalam suatu negara.

Analisis Input-Output untuk daerah tunggal ini memiliki struktur yang sama dengan struktur analisis input-output untuk perekonomian nasional.

(20)

Perbedaannya adalah kenyataan bahwa teknologi yang digunakan oleh suatu daerah tertentu bisa jadi sangat berbeda dengan teknologi produksi yang digunakan di tingkat nasional. Ada dua cara yang umumnya digunakan untuk mendapatkan koefisien teknologi yang spesifik untuk daerah tertentu. Cara pertama dengan menggunakan koefisien teknologi di tingkat nasional, dan cara kedua menggunakan koefisien teknologi yang spesifik untuk daerah tersebut.

1. Input-Output daerah dengan koefisien nasional. Dengan metode ini, teknologi yang digunakan di perekonomian suatu wilayah diasumsikan sama dengan teknologi yang digunakan oleh perekonomian nasionalnya (A). Hanya saja, matriks A tersebut perlu disesuaikan dengan satu kondisi spesifik di daerah melalui persentase persediaan regional (regional supply

percentage). Persentase persediaan regional ini menunjukkan persentase

dari total output di daerah tertentu yang diproduksi dan dijual di daerah yang bersangkutan.

2. Input-Output daerah dengan koefisien regional. Alternatif lain dari analisis

Input-Output untuk daerah tunggal ini adalah dengan menggunakan

koefisien daerah. Koefisien regional tersebut didapatkan benar-benar dari daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, metode ini membuat suatu tabel input-output regional untuk daerah yang dianalisis. Caranya adalah dengan melakukan survai kepada sektor-sektor produksi di daerah tersebut. Dengan demikian didapatkan suatu tabel Input-Output yang memang mencerminkan situasi daerah tersebut.

2.3.2. Model Interregional Input-Output

Model interregional Input-Output dibedakan menjadi dua jenis yaitu model

input output antar daerah dan multi daerah. Untuk mengilustrasikan model input-output antar daerah, katakan ada dua daerah dalam perekonomian yang saling

tergantung satu sama lain, yaitu daerah L dan daerah M. Jika data arus barang antar sektor dalam dua daerah tersebut tersedia, maka dapat dibuat tabel pergerakan arus barang antar daerah dan antar sektor.

(21)

Output setiap daerah tidak saja digunakan oleh sektor-sektor produksi di

daerahnya sendiri saja, namun juga bisa diekspor ke daerah lain. Begitu pula dengan struktur input produksi. Input produksi tidak saja berasal dari daerah itu sendiri, namun bisa pula diimpor dari daerah-daerah lain di dalam perekonomian. Elemen-elemen dalam arus barang dapat dijadikan matriks arus barang intra daerah dan antar daerah.

Model Input-Output interegional lainnya adalah model input-output multi daerah, disebut pula dengan Model Chenery-Moses, yang dikembangkan sebagai suatu antisipasi terhadap data yang benar-benar ada di dalam perekonomian, khususnya perekonomian regional. Model ini sangat diperlukan dalam perencanaan regional karena kita melihat semakin hilangnya sekat-sekat wilayah dalam era globalisasi telah membawa konsekuensi pada terintegrasinya perekonomian antar wilayah. Integrasi tersebut mengakibatkan kebijakan ekonomi suatu wilayah akan mempengaruhi perekonomian wilayah lainnya. Model

Input-Output satu daerah yang selama ini kita gunakan belum mampu menangkap

pengaruh tersebut. Untuk itu perlu konsep model Input-Output yang dapat menangkap keterkaitan antar sektor maupun antar beberapa wilayah. Perencanaan dengan multiregional Input- Output akan memberikan suatu sistem perencanaan yang kompleks dan terintegrasi. Melihat pentingnya manfaat model tersebut maka dalam jangka pendek mendesak bagi daerah untuk menyusun tabel inter regional input output. Tabel Input-Output tersebut paling tidak harus menangkap keterkaitan ekonomi dengan wilayah sekitarnya yang dinilai sangat berpengaruh kepada perekonomiannya. Sedangkan dalam jangka panjang, dalam proses perencanaan daerah harus memperbaruinya supaya sesuai dengan kondisi perdagangan antar wilayah.

Struktur dasar dari tabel transaksi IRIO dapat digambarkan seperti pada Tabel 1.

(22)
(23)

Permintaan Internal Wilayah Permintaan Eksternal Wilayah Total Output

Permintaan Antara Permintaan Akhir

Wilayah L Wilayah M Wilayah L Wilayah M

1 2 ... j ... n 1 2 ... J ... n C G I C G I E In p u t In te rn a l Wi la y a h In p u t A n ta ra Wi la y a h L 1 X11ll ... ... X11 ll ... X11ll X11lm ... ... X11lm ... X11lm C1ll G1ll I1ll C1lm G1lm I1lm E1.l X1.l 2 X21ll ... ... X21ll ... X21ll X21lm ... ... X21lm ... X21lm C2ll G2ll I2ll C2lm G2lm I2lm E2.l E2.l : ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i ... ... ... Xijll ... ... ... ... ... Xijlm ... ... Cill Gill Iill Cilm Gilm Iilm Ei.l Xi.l : ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... n Xn1ll ... ... Xnjll ... Xnnll Xn1lm ... ... Xnjlm ... Xnnlm Cnll Gnll Inll Cnlm Gnlm Inlm En.l Xn.l Wi la y a h M 1 X11ml ... ... X11ml ... X11ml X11mm ... ... X11mm ... X11mm C1ml G1ml I1ml C1mm G1mm I1mm E1.m X1.m 2 X21 ml ... ... X21 ml ... X21 ml X21 mm ... ... X21 mm ... X21 mm C2 ml G2 ml I2 ml C2 mm G2 mm I2 mm E2. m E2. m : ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i ... ... ... Xijml ... ... ... ... ... Xijmm ... ... Ciml Giml Iiml Cimm Gimm Iimm Ei.m Xi.m : ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... n Xn1ml ... ... Xnjml ... Xnnml Xn1mm ... ... Xnjmm ... Xnnmm Cnml Gnml Inml Cnmm Gnmm Inmm En.m Xn.m N il a i Ta m b a h W W.1l ... ... W.j l ... W.n l W.1 m ... ... W.j m ... W.n m CWL GWL IWL CWM GWM IWM Ew W T T.1 l ... ... T.jl ... T.nl T.1m ... ... T.jm ... T.nm CTL GTL ITL CTM GTM ITM ET T S S.1l ... ... S.jl ... S.nl S.1m ... ... S.jm ... S.nm CSL GSL ISL CSM GSM ISM ES S Input Eksternal Wilayah M M.1l ... ... M.jl ... M.nl M.1m ... ... M.jm ... M.nm CML GML IML CMM GMM IMM - M Total Input X.1l ... ... X.jl ... X.nl X.1m ... ... X.jm ... X.nm CXL GXL IXL CXM GXM IXM E X

(24)
(25)

Keterangan:

i, j : Sektor ekonomi, i = 1, 2, ..., n; j = 1, 2, ... n

Xijll : banyaknya output sektor i di wilayah L yang digunakan sebagai

input sektor j di wilayah L

Xijlm : banyaknya output sektor i di wilayah L yang digunakan sebagai

input sektor j di wilayah M

Xijml : banyaknya output sektor i di wilayah M yang digunakan sebagai

input sektor j di wilayah L

Xijmm : banyaknya output sektor i di wilayah M yang digunakan sebagai

input sektor j di wilayah M

Xil : total output sektor i di wilayah L Xim : total output sektor i di wilayah M

Cill :`permintaan konsumsi rumah tangga di wilayah L terhadap output sektor i di wilayah L

Cilm :permintaan konsumsi rumah tangga di wilayah M terhadap output sektor i di wilayah L

Ciml : permintaan konsumsi rumah tangga di wilayah L terhadap output sektor i di wilayah M

Cimm : permintaan konsumsi rumah tangga di wilayah M terhadap output sektor i di wilayah M

Gill : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah daerah L terhadap output sektor i di wilayah L

Gilm : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah daerah M terhadap output sektor i di wilayah L

Giml : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah daerah L terhadap output sektor i di wilayah M

Gimm : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah daerah M terhadap output sektor i di wilayah L

Iill : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) di wilayah L dari

output sektor i dari wilayah L

Iilm : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) di wilayah M dari

output sektor i dari wilayah L

Iiml : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) di wilayah L dari

output Yil sektor i dari wilayah M

Eil : output sektor i dari wilayah L yang diekspor/dijual ke luar wilayah eksternal

Eim : output sektor i dari wilayah M yang diekspor/dijual ke luar wilayah eksternal

Yil : total permintaan akhir terhadap output sektor i(Yil = Cill+ Cilm+ Gill+ Gilm+ Iill+ Iilm+ Eil)

Yim : total permintaan akhir terhadap output sektor i(Yil = Ciml+ Cimm+ Giml+ Gimm+ Iiml+ Iimm+ Eim)

(26)

Wjl : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah

tangga yang bekerja di sektor j di wilayah L

Wjm : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah

tangga yang bekerja di sektor j di wilayah M

Tjl : pendapatan pemerintah (pajak tak langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah L dari sektor j

Tjm : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah M dari sektor j

Sjl : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha di wilayah L

Sjm : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha di wilayah M

Mjl : impor sektor j di wilayah L, komponen input produksi sektor j di wilayah L yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah

Mjm : impor sektor j di wilayah M, komponen input produksi sektor j di wilayah M yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah

Berdasarkan struktur dasar tabel IRIO (Tabel 1) dan dengan menggunakan persamaan dasar yang telah dibahas dalam tahapan analisis IO maka kita dapat mnegembangkan analisis multiplier untuk Tabel IRIO. Kelebihan dari analisis IRIO adalah kemampuan untuk mendekomposisi dampak pembangunan suatu sektor ekonomi di suatu wilayah terhadap performa kinerja ekonomi di wilayah bersangkutan (lokal) dan wilayah lainnya (interregional). Berikut ini adalah persamaan untuk memperoleh matriks B pada model IRIO.

Parameter yang paling utama adalah koefisien teknologi yang secara matematis dalam analisis IRIO diformulasikan sebagai berikut:

.

=

.

;

.

=

.

;

.

=

.

;

.

=

.

Keterangan L = wilayah sendiri M = wilayah lain

Dengan demikian, Tabel I-O secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

+ + .... + … + + + ....+ + … + =

+ + .... + … + + + ...+ + … + =

:

+ + .... + … + + + ....+ + … + =

(27)

+ + ... + … + + + ...+ + … + =

+ + .... + … + + + ....+ + … + =

:

+ + .... + … + + + ....+ + … + =

Jika persamaan di atas disajikan dalam notasi berikut:

= ; =

;

dan =

Maka: X – AX = Y (I – A)X= Y

X = (I – A)-1.Y

Dalam IRIO, jika dampak perubahan final demand satu wilayah terhadap wilayah lain dilambangkan dengan ∗

=

dan dampak perubahan output terhadap masing-masing wilayah dilambangkan dengan ∗

=

∗ maka X* = (I- A)-1Y* dimana dalam konteks IRIO uraian dari persamaan ini adalah:

∗ ∗

=

( )

( )

∗ atau dapat ditulis

∗ ∗

=

∗ sehingga dalam persamaan biasa dapat ditulis

XL*BLL.YL*BLM.YM *

XM *BML.YL*BMM.YM *

Dari persamaan di atas dapat diketahui dampak dinamika final demand suatu sektor di suatu wilayah terhadap pembentukan tingkat output, serapan tenaga kerja, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendapatan pemerintah daerah, surplus usaha, penciptaan nilai tambah, dan kemandirian ekonomi di wilayah itu sendiri (lokal) dan di wilayah lain (interregional).

Secara teknis terdapat beberapa persamaan yang dikembangkan dalam analisis IRIO guna memperoleh kaitan langsung ke depan dan ke belakang (direct bacward and forward linkages) dan berbagai multiplier atau interregional

spilover effect yaitu:

(1) Kaitan langsung ke belakang (Direct backward linkages) dihitung berdasarkan kaitan langsung ke belakang di dalam wilayah (intraregional) dan antar wilayah (interregional) sehingga diperoleh:

(28)

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke belakang sektor j di wilayah L terhadap input dari wilayah L

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke belakang sektor j di wilayah L terhadap input dari wilayah M

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke belakang sektor j di wilayah M terhadap input dari wilayah M

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke belakang sektor j di wilayah M terhadap input dari wilayah L

(2) Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage) dihitung berdasarkan kaitan langsung ke depan di dalam wilayah (intraregional) dan antar wilayah(interregional) sehingga diperoleh:

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah L terhadap output di wilayah L

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah L terhadap output di wilayah M

. =

(29)

sektor i di wilayah M terhadap output di wilayah M

. =

persamaan di atas menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah M terhadap output di wilayah L

(3) Kaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (direct and indirect

backward llinkage)

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah L, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah L

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah L, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah M

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah M, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah M

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah M, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah L.

(30)

(4) Kaitan langsung dan tidak langsung ke depan (direct and indirect

fordward linkage)

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah L, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah L.

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah L, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah M.

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah M, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah M.

. =

persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah M, pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah L.

(5) Multiplier:

Seperti halnya pada analisis IO, dalam analisis IRIO juga dikenal dua tipe multiplier, yakni: Multiplier Tipe I dan Multiplier Tipe II.

Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief, (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous. Bila

(31)

sektor rumah tangga dimasukkan dalam matriks saling ketergantungan, dengan menambah satu baris berupa pendapatan rumah tangga dan satu kolom berupa pengeluaran rumah tangga, yang berarti sektor rumah tangga diperlakukan secara endogenous dalam sistem, maka multiplier yang diperoleh adalah Multiplier Tipe II. Dalam Multiplier Tipe II, bukan hanya Dampak Langsung dan Tidak Langsung yang dihitung tetapi termasuk pula Dampak Induksi, yakni dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga akibat peningkatan pendapatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah..

a. Analisis Dampak Output.

Dalam model IRIO, output memiliki hubungan timbal balik dengan permintaan akhir dan output tersebut. Artinya jumlah output yang dapat diproduksi tergantung dari jumlah permintaan akhirnya. Namun demikian dalam keadaan tertentu, output justru yang menentukan jumlah permintaan akhirnya. Konsep multiplier adalah sangat penting dalam perencanaan, karena angka tersebut memberikan gambaran atau ukuran dampak peningkatan output suatu sektor terhadap total output di suatu wilayah. Semakin besar nilai multiplier tersebut, maka sektor tersebut dianggap memiliki keunggulan.

Output dalam model IRIO dapat dihitung dengan rumus:

(m) ij : ( I - A )-1(FD) ij = baris dan kolom n = jumlah sektor FD = Permintaan akhir

(I-A)-1= multiplier output (matriks invers Leontief)

b. Analisis Dampak Nilai Tambah Bruto

Nilai tambah bruto adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruhan. Sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan tabel IRIO, maka hubungan antara nilai tambah bruto dengan output bersifat linier. Artinya, kenaikan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan dan penurunan input primer (nilai tambah bruto). Hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut :

(32)

V = v X

Dimana: V = matriks nilai tambah bruto,

v = matriks diagonal koefisien nilai tambah bruto, dan X = (I-A)-1

b. Analisis Dampak Terhadap Kebutuhan Tenaga Kerja

Dalam analisis ini dapat memberikan estimasi kebutuhan atau daya serap tenaga kerja sektoral di region-region yang terkait dalam studi ini, apabila terjadi kenaikan pada output sektoral yang dipengaruhi, oleh komponen-komponen permintaan akhir. Perhitungan analisis ini menggunakan rumus sebagai

berikut:

= L (I-A)-1F Dimana :

L : kebutuhan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh permintaan akhir

L : Matriks diagonal kebutuhan tenaga kerja (I-A)-1F : Output yang dipengaruhi oleh permintaan akhir

d Analisis Dampak terhadap Perubahan Penggunaan Lahan

Dalam analisis ini dapat memberikan estimasi perubahan penggunaan lahan pada setiap sektor dan wilayah yang terkait dalam studi ini, apabila terjadi kenaikan pada output sektoral yang dipengaruhi, oleh komponen-komponen permintaan akhir. Perhitungan analisis ini menggunakan rumus sebagai berikut :

c = C (I-A)-1F Dimana :

c : Kebutuhan lahan yang dipengaruhi oleh permintaan akhir C : Matriks diagonal kebutuhan lahan

(I-A)-1F : Output yang dipengaruhi oleh permintaan akhir

2.3.3. Aplikasi Input-Output Dalam Perencanaan Daerah

Pengetahuan yang mendalam mengenai koefisien aliran dalam model statis dan tentang koefisien modal dalam model dinamis sangat dibutuhkan bagi rencana pembangunan. Tabel I-0 menunjukkan keterkaitan antara berbagai sektor dan hubungan struktural di dalam setiap sektor. Berdasarkan hal tersebut, para

(33)

perencana dapat menentukan pengaruh suatu perubahan dalam suatu sektor terhadap semua sektor lain dalam perekonomian, dan dengan demikian dapat menyusun rencana yang sesuai dengan itu.

Dengan bantuan analisis statis, koefisien aliran masing-masing industri selama jangka waktu tertentu dapat dihitung dan diketahui. Tetapi di dalam suatu perekonomian yang sedang berkembang, struktur aliran dalam perekonomian itu tidak terus-menerus stabil. Model statis juga menganggap struktur modal perekonomian tersebut adalah given. Padahal permintaan akan modal dalam perekonomian tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan ekonomi. Hanya apabila kita dengan cepat menyelaraskan struktur model tersebut dengan struktur aliran maka kita mendapatkan sistem I-O yang luas yang sangat bermanfaat bagi analisis dinamis dalam kaitannya dengan perencanaan. Berdasarkan kondisi dasar dan juga jangka waktu yang ada (lima tahun misalnya) orang dapat menghitung koefisien arus dan koefisien modal di dalam perekonomian tersebut. Sebagai tambahan, jika jangka waktu permintaan akhir juga diketahui, orang dapat menemukan dengan pasti (dengan memecahkan sistem persamaan diferensial non homogen linier) tingkat output berbagai industri yang paling optimum dan cocok sesudah masa lima tahun itu.

Teknik I-0 yang berasumsi bahwa koefisien teknik konstan ini sangat membantu para perencana di Negara Sedang Berkembang. Model I-0 homogen linier cocok bagi perekonomian suatu NSB di mana data statistik yang handal tentang koefisien teknik sulit diperoleh. Dengan menganggap koefisien aliran dan koefisien modal adalah tetap, kebutuhan akan pengumpulan dan penghitungan sejumlah data statistik menjadi sangat berkurang. Oleh karena input dianggap proportional terhadap output, teknik ini jelas sekali membantu di dalam menentukan jumlah aliran barang dan jasa antar industri di suatu NSB.

Sistem persamaan seimbang di dalam analisis I-0 menunjukkan syarat adanya konsistensi internal perencanaan. Tanpa ini, perencanaan ini tidak akan layak terap karena jika persamaan-persamaan ini tidak terpenuhi ada kemungkinan timbul kelebihan pada barang-barang tertentu dan kekurangan pada barang-barang lainnya.

(34)

Dari segi perencanaan, model I-0 dinamis lebih banyak punya daya tarik. Model ini membantu menunjukkan keseimbangan output yang bergerak. Investasi dinyatakan dalam tingkatan, yang tak dapat dibagi-bagi dalam artian barang-barang investasi tertentu dan dianggap bersifat endogen. Para perencana dapat melihat dengan lebih jelas implikasi peningkatan jumlah investasi pada suatu sektor tertentu, mengingat adanya keperluan akan keselarasan antar sektor.

Analisis I-0 juga dipergunakan untuk perencanaan ekonomi nasional maupun regional. Model-model statis dan dinamis tersebut dapat diterapkan di dalam mempersiapkan kerangka rencana di NSB. Model I-0 memberikan informasi yang perlu mengenai koefisien struktural berbagai sektor perekonomian selama suatu jangka waktu atau suatu waktu tertentu yang dapat dipergunakan seoptimal mungkin mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya ekonomi menuju cita-cita yang diinginkan. Berikut ini adalah beberapa penerapan model I-O di dalam perencanaan pembangunan, yaitu:

1. Model I-0 ini memberikan kepada setiap sektor perekonomian perkiraan tentang tingkat produksi dan impor yang sesuai satu sama lain dan sesuai dengan perkiraan permintaan akhir.

2. Solusi model ini membantu pengalokasian investasi yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat produksi dan model ini memberikan pengujian yang lebih tajam mengenai cukup tidaknya sumber investasi yang tersedia. 3. Kebutuhan akan tenaga kerja terdidik juga dapat dievaluasi dengan cara

yang sama.

4. Dengan adanya pengetahuan tentang penggunaan bahan baku impor dan buatan dalam negeri dalam berbagai bidang dalam perekonomian, analisis tentang kebutuhan impor dan kemungkinan substitusi menjadi lebih mudah.

5. Sebagai tambahan terhadap kebutuhan langsung akan modal, tenaga kerja, dan impor, kebutuhan tidak langsung pada sektor-sektor lain perekonomian juga dapat diperkirakan.

6. Model I-0 secara regional juga dapat dibuat untuk tujuan perencanaan, untuk menjajagi implikasi program pembangunan wilayah tertentu, ataupun untuk perekonomian secara keseluruhan.

(35)

2.4. Model Sistem Dinamik

Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistim analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistim yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistim yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah. Untuk dapat menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali dengan berpikir sistemik (system thinking), sibematik (goal oriented), holistik dan efektif. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas itu sendiri (Eriyanto, 1999). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan. Model merupakan usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya (Eriyanto, 1999).

Sebagai salah satu pendekatan dalam pemodelan kebijaksanaan, metodologi system dynamics telah dan sedang berkembang sejak diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forerseter pada decade 50-an yaitu mencoba mengembangkan metode manajemen untuk perencanaan industry jangka panjang. Kemudian dikembangkan suatu sistem yang terdiri dari enam jaringan flow yang saling berinteraksi yaitu material, order, uang, personil, capital dan informasi. Sistem ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1961 dengan judul “industrial Dynamics). Buku ini mencoba menjelaskan siklus suatu kota melalui

(36)

model yang dikembangkannya, serta mngenalisis beberapa penyebab pertumbuhan dan penurunan dalam perkembangan kota serta menguji efek dari suatu program perbaikan kota, termasuk membangun perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pelatihan kerja serta pembangunan perusahaan-perusahaan baru terhadap pertumbuhan kota (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005)

Pendekatan sistem dalam penataan ruang suatu kawasan adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan- kebutuhan ruang sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem tata ruang yang dianggap efektif Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu (1) mencari semua faktor yang penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional Untuk dapat bekerja sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, dan (8) aplikasi komputer

Pemodelan perkembangan kota mulai diminati oleh ahli perencanaan kota di Amerika sejak mulai berkembangnya ilmu komputer pada tahun 1950-an. Perkembangan model untuk kota (menurut APA Journal No. 3, 1994 dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005) sebagai berikut :

 Tahun 50-an bersamaan dengan perkembangan bidang akademis baru seperti operation research, urban economics, regional science dan penerapan planning sebagai teknologi terapan.

 Model computer kota besar muncul pertama kali dalam bentuk model untuk alokasi guna lahan, transportasi dan kegiatan-kegiatan lain pada sub-kawasan metropolitan.

 Tahun 60-an bersamaan dengan berkembangnya ilmu regional, program linier dan operation research, maka muncul generasi kedua model kota besar.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar(waham), gangguan

Proses “Pengolahan Awal” adalah proses persiapan permukaan dari benda kerja yang akan mengalami proses pelapisan logam.Pada umumnya proses pelapisan logam

Setiap dokter tamu berhak untuk memilih tetapi tidak memiliki hak untuk dipilih pada berbagai jabatan staf medis, memiliki hak bicara pada pertemuan staf medis, berpartisipasi aktif

Akar permasalahan dari aspek machine yang ketiga yaitu impeller yang kotor dan juga ketinggian air pada spray pool tidak standard.. Impeller yang kotor disebabkan oleh

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “OPTIMALISASI EKSTRAKSI SENYAWA (E)-4-(3,4-DIMETOKSIFENIL) BUT-3-EN-1-OL DARI BENGLE (Zingiber montanum)

Baik nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan budaya bagi Bangsa Indonesia (Ivan Efendi, 2016). Demi melestarikan Cagar Budaya bangsa salah satunya adalah

Dengan demikian Raja Salomo menggunakan kata ini sebagai anjuran tegas supaya orang yang takut akan Tuhan dapat membenci tingkah laku yang jahat atau perbuatan yang

proses belajar mengajar dikelas belum berjalan optimal dikarenakan anak mengalami kesulitan salam memahami komunikasi yang disampaikan oleh guru dengan metode