• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Blok 17 Hepatitis Neonatal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Blok 17 Hepatitis Neonatal"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Neonatal Hepatitis

Idiopatik

dengan Gejala Ikterus

Hazirah binti Hashim*

Pendahuluan

Hepatitis neonatal idiopatik adalah keradangan hati yang berlaku sejurus selepas kelahiran bayi yang baru lahir (kurang daripada 3 bulan). Ia adalah suatu istilah deskriptif yang berlaku bagi bayi dengan cedera parenkim (sel hepar) yang bermakna yang berkemungkinan kausa penyakit infeksi dan metaboliknya sudah disingkirkan. Cedera hepar diperjelas oleh adanya “sel raksasa” berinti banyak dalam jumlah bervariasi. Gejala hepatitis neonatal idiopatik dapat sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Bayi dengan penyakit ini mungkin memiliki penyakit kuning sebagai satu-satunya gejala mereka; biasanya dalam usia dua minggu sampai dengan usia tiga bulan. Gejala lain juga mungkin termasuk pertumbuhan yang buruk.1

Skenario

Seorang anak usia 3 bulan dibawa ke dokter dengan keluhan utama kuning pada badannya. Ibu mengatakan bahwa badan kuning terlihat sejak usia 2 minggu. Semakin lama semakin kuning. Anak juga menjadi rewel, kurang aktif, menangis lemah dan malas menyusu. Tumbuh kembangnya terlambat dengan lingkar kepala <-2SD. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) sclera ikterik, (+) jaundice di seluruh tubuh dan mukosa, TTV dalam batas normal.

(2)

*Alamat korespondensi: Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta 11510. Email: hashimhazirah@yahoo.com

1. Anamnesis

Orang tua biasanya akan menyebut bahwa mata pasien tampak kuning. Tidak jarang keluhan ini didahului oleh keluhan air kemih yang berwarna kuning gelap seperti air teh, yang biasanya timbul 2-3 hari sebelum warna kuning pada sclera mata. Pada neonatus, icterus mungkin bersifat fisiologik, dapat pula patologik. Untuk ini perlu diketahui saat timbulnya icterus, di samping pemeriksaan fisis serta data laboratorium terutama kadar bilirubin dalam darah. Pada umumnya icterus yang timbul pada hari pertama adalah icterus yang patologik; demikian pula bila terdapat peninggian kadar bilirubin direk, atau kadar bilirubin indirek yang naik dengan cepat, atau kadarnya melebihi 10 mg%.

Keluhan yang sering menyertai icterus pada anak ialah demam, sakit perut, mual, muntah, anak lemah dan tidak nafsu makan. Pada icterus neonatorum perlu ditanyakan apakah terdapat kejang, demam, tidak mau minum, muntah dan tinja berwarna dempul.

Penilaian icterus sebaiknya dilakukan dengan sinar ilmiah. Pada umumnya warna kuning terlihat bila kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl (pada neonatus) atau lebih dari 2 mg/dl pada bayi dan anak. Icterus paling jelas terlihat di sclera, kulit, serta selaput lendir. Bila yang meninggi bilirubin indirek, warnanya adalah kuning terang, sedangkan bila bilirubin direk yang meninggi, warnanya cenderung kuning kehijauan.

Icterus harus dibedakan dengan karotenemia (makan vitamin A berlebihan, makan terlalu banyak wortel); dalam keadaan ini warna kuning akan tampak di telapak tangan, telapak kaki serta lipatan nasolabialis, tetapi tidak pada sclera. Pelbagai penyakit dapat memberi gejala ikterus termasuk penyakit hemolisis, infeksi virus hepatitis, mononucleosis infeksiosa, leptospirosis, sifilis kongenital dan obstruksi saluran empedu.2

2. Pemeriksaan Fisik

Selain melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, dilakukan juga pemeriksaan antopometri seperti pemeriksaan lingkar kepala untuk mengetahui status gizi pada anak.

2.1 Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, kerana

(3)

besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan dengan tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tatalaksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut:

a) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup ( di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bis atidak terlihat pada pencahayaan kurang.

b) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dari jaringan subkutan.

c) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.1,2

Penilaian

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan

menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan resiko terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (Kramer) dilakukan dibawah sinar biasa (day light)

Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian yang di mulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.

Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor di sesuaikan dengan angka rata-rata dalam gambar. Cara ini juga tidak menunjukkan intensitas ikterus yang tepat di dalam plasma bayi baru lahir. Nomor urut menunjukkan arah meluasnya ikterus.1

3. Pemeriksaan penunjang

Konsentrasi bilirubin serum meningkat menjadi 8 sampai 12 mg/dl, dengan fraksi langsung membentuk >50% dari total. Kadar aminotransferase serum bervariasi, konsentrasi

(4)

fosfatase alkali meningkat ringan dan waktu protrombin sedikit, memanjang atau normal. Konsentrasi albumin dan globulin gama serum tetap dalam rentang normal sepanjang perjalanan penyakit. Skintigrafi hepatobilier memperlihatkan perlambatan pengangkutan radionuklida dan kepatenan saluran empedu ekstrahepar.

Pada biopsy hepar, gambaran histopatologi nonspesifik unik pada kolestasis dalam berbagai penyakit hepar pada masa bayi adalah pembentukan “sel raksasa” massa sinsitium berinti banyak yang besar dan dibungkus oleh sebuah membran plasma. Sel raksasa adalah struktur yang aktif secara metabolis, yang karena aksesnya ke kanalikulus terbatas mengisyaratkan bahwa sel itu sendiri mungkin ikut berperan dalam gangguan ekskresi empedu. Gambaran proliferatif tidak lazim lain yang dijumpai di hepar bayi dengan kolestasis adalah pseudoasinus. Hepar yang imatur juga memiliki mekanisme perbaikan yang biasanya tidak dijumpai pada hepar matur, termasuk kemampuan yang luar biasa untuk menyerap jaringan ikat, penggantian sel raksasa dengan hepatosit mononukleus dan restorasi arsitektur lobus yang rusak. Dengan demikian lesi parenkimal yang dijumpai dalam kaitan dengan penyakit hepar ireversibel pada orang dewasa dapat secara spontan lenyap pada bayi setelah pemulihan dari hepatitis sel raksasa, setelah pengobatan galaktosemia dan fruktosemia, dan setelah pembebasan obstruksi empedu ekstrahepatika secara bedah. Pemeriksaan terhadap parenkim hepar mungkin memperlihatkan kolangitis, transformasi sel raksasa, berkurangnya duktus empedu intrahepatika atau respons proliferatif duktus empedu interlobularis dan jaringan ikat periporta; gambaran yang terakhir mengisyaratkan obstruksi ekstrahepar. Endapan yang positif –PAS- resisten-diastase di hepatosit periporta merupakan isyarat kuat adanya defisiensi antitripsin-α1 . Infeksi sitomegalovirus atau virus herpes dapat diidentifikasi dengan adanya badan inklusi hepatoselular khas, dan fibrosis kistik dari sumbat mukus intrakanalikulus dan fibrosis periporta. Biakan jaringan hepar dapat mengidentifikasi organisme penyebab infeksi, dan pemeriksaan enzim kuantitatif dapat mengungkapkan penyakit herediter.3

Pembuktian langsung aliran empedu ekstrahepatika dengan kolangiografi operatif diindikasikan apabila biopsi hepar mengisyaratkan obstruksi saluran empedu ekstrahepatika dan hasil Skintigrafi atau aspirasi duodenum konsisten dengan interpretasi tersebut. Kolangiografi operatif adalah penyuntikan bahan kontras saat laparotomi ke dalam kandung empedu atau ke dalam duktus biliaris komunis apabila kandung empedu tidak ada. Ultrasonografi, computed tomography dan pencitraan radionuklida tidak dapat memperlihatkan saluran empedu intra-atau ekstrahepatika pada bayi dengan kolestasis

(5)

apabila aliran empedu ke usus sangat terbatas. Penyuntikan zat warna radioopak ke dalam duktus biliaris komunis di ujungnya di ampula Vateri (ERCP) atau kolangiografi transhepatik mungkin tidak dapat dilakukan karena alasan teknis, walaupun kedua tindakan ini pernah berhasil dilakukan pada bayi muda dengan kolestasis sehingga tidak perlu dilakukan laparotomi.3

Untuk ikterus pada bayi, bagi menghemat sumber dana, pada awalnya cukup dimintakan pemeriksaan bilirubin direk dan indirek darah saja, kecuali terdapat kecurigaan kuat bahwa kasus tersebut adalah kasus kolestasis. Bila ditemukan bahwa bilirubin direk meningkat >1 mg/dl dan komponen bilirubin direk tersebut merupakan >20% dari bilirubin total yang meningkat maka dapat kita katakan pasien tersebut dengan kolestasis. Contoh bayi dengan bilirubin total 20 mg/dl dan bilirubin direk <20% dari bilirubin total. Sedangkan bayi dengan bilirubin total 15 mg/dl dan bilirubin direk direk 4 mg/dl terdapat kolestasis. Bayi dengan bilirubin total 4 mg/dl dan bilirubin direk 0,9 mg/dl bukan kolestasis karena bilirubin direk masih <1 mg/dl, meskipun bilirubin direk >20% bilirubin total. Bayi dengan peningkatan bilirubin direk sangat mungkin menderita kelainan hepatobilier dan memerlukan pemeriksaan selanjutnya.

Bila dari hasil pemeriksaan darah terbukti kolestasis, maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebab kolestasis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain: pemeriksaan darah ALT (SGPT). AST(SGOT), gamma glutamyl transpeptidase (GGT), albumin, globulin, kolesterol total, trigliserida, glukosa, ureum, kreatinin, waktu protrombin/INR. Bila mungkin pemeriksaan hormonal seperti FT4, TSH pula dapat diperiksakan. Pemeriksaan urin rutin dan kultur urin perlu dilakukan. Kecepatan penanganan kolestasis terutama pada atresia bilier sangat menentukan prognosis bayi karena operasi Kasai dapat dilakukan sebelum ditemukan sirosis hepatis idealnya sebelum usia 8 minggu.4

4. Working diagnosis

4.1 Hepatitis neonatal idiopatik (hepatitis sel raksasa)

Hepatitis neonatal idiopatik adalah satu istilah am untuk keradangan hati yang berlaku sejurus selepas kelahiran bayi yang baru lahir (kurang daripada 3 bulan). Ia adalah suatu istilah deskriptif yang berlaku bagi bayi dengan cedera parenkim (sel hepar) yang bermakna yang berkemungkinan kausa penyakit infeksi dan metaboliknya sudah disingkirkan. Cedera hepar diperjelas oleh adanya “sel raksasa” berinti banyak dalam jumlah bervariasi. Adanya

(6)

penyakit serupa dalam keluarga konsisten dengan perwarisan resesif autosomal atau factor lingkungan (misalnya virus ibu).3

5. Differential diagnosis 5.1 Ikterus ASI

Bayi yang mendapat ASI ekslusif lebih besar kemungkinannya mengalami peningkatan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi dalam minggu pertama setelah lahir dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi pada bayi yang mendapat ASI juga diketahui berlangsung lebih lama dan kadar puncaknya lebih tinggi daripada pada bayi yang mendapat susu formula. Sekitar 1 dari setiap 200 bayi yang mendapat ASI mengalami hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berkepanjangan. Kadar bilirubin biasanya mencapai rentang 10 sampai 20 mg/dL, mencapai puncak pada minggu ke-2 sampai ke-3 setelah lahir. Icterus ASI merupakan fenomena yang dapat ditemukan kembali. Susu dari ibu “ikterogenik” akan memicu icterus pada anak berikutnya yang mendapat ASI. Icterus ASI timbul secara perlahan; icterus mungkin menghilang pada akhir minggu ketiga, atau mungkin menetap selama sampai 2 sampai 3 bulan. Kernicterus belum pernah dilaporkan pada icterus ASI, mungkin karena konsentrasi puncak bilirubin tidak terkonjugasi tercapai setelah minggu pertama setelah lahir pada bayi yang secara umum sehat.

Diagnosis icterus ASI memerlukan eksklusi kausa lain hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi. Bayi yang terkena tampak lincah dan tidak dijumpai sekuele. Pada kasus yang jarang, saat konsentrasi bilirubin serum melebihi 20 mg/dL selama 3 minggu pertama, penghentian menyusui selama 3 sampai 4 hari akan menurunkan sacra bermakna kadar bilirubin serum. Konsentrasi bilirubin serum dapat meningkat 1 sampai 3 mg/dL saat bayi kembali mendapat ASI, tetapi menurun dalam 1 sampai 2 hari.

Etiologi icterus ASI tidak diketahui. Laporan mengenai gangguan konjugasi bilirubin oleh suatu isomer abnormal pregnandiol, atau oleh asam lemak bebas di dalam susu dari ibu “ikterogenik”, belum dibuktikan. Penulis lain menduga adanya peran asam lemak bebas, lipase dan komponen lain ASI. Pernah dilaporkan penyerapan bilirubin tidak terkonjugasi yang berlebihan di usus, yang mengisyaratkan bahwa suatu konstituen ASI mendorong penyerapan bilirubin oleh usus. Komponen ASI ini mungkin adalah B-glukoronidase, yang menghidrolisis asam glukuronat dari bilirubin glukuronida sehingga terjadi pembebasan bilirubin tidak terkonjugasi yang kemudian secara efisien diserap untuk kembali masuk ke kompartemen intravascular.3

(7)

5.2 Atresia biliaris

Atresia biliaris adalah penyumbatan di saluran yang membawa empedu dari hati ke kandung empedu. Kolestasis intrahepatika ( hepatitis neonatus) sering secara klinis dan kimiawi tidak dapat dibedakan dari obstruksi empedu ekstrahepatika (atresia biliaris), terutama apabila terdapat defisiensi sekresi empedu yang parah. Terdapat petunjuk yang dapat membantu, sebagai contoh, hepatitis neonatus tampaknya memiliki insidensi familial sebesar 20%, sedangkan untuk atresia biliaris hampir tidak dijumpai rekurensi familial. Walaupun telah diajukan berbagai algoritma diagnostik yang menyertakan gambaran klinis dan biokimiawi, menurut pandangan kami informasi definitif paling sering berasal dari biopsi hepar, sering disertai oleh modalitas pencitraan.

Keluarnya tinja yang akolik, abu-abu, atau berwarna tanah liat merupakan isyarat kuat atresia biliaris; namun , tinja akolik juga mungkin menunjukkan proses intrahepatika yang sangat menghambat aliran empedu. Keberadaan pigmen empedu yang jelas dalam tinja merupakan bukti langsung mengalirnya empedu dari hepar ke usus dan menyingkirkan obstruksi biliaris. Telah dirancang beberapa prosedur untuk mengetahui aliran empedu ke usus; yang paling populer adalah pencitraan hepar dan abdomen bawah dengan radionuklida kolefilik, misalnya analog asam iminodiasetat (hepatobiliary Skintigrafi). Sering diberikan fenobarbital ( 3 sampai 5 mg/kg/hari) selama 5 hari sebelum pemeriksaan untuk merangsang sekresi empedu dan meningkatkan datya deteksi radiolabel dalam saluran cerna. Hasil negatif hanya mengkonfirmasikan adanya kolestasis yang berat, tetapi identifikasi positif radioaktivitas di usus memastikan bahwa saluran empedu paten. Aspirasi getah duodenum melalui kateter nasogastrik atau pengambilan empedu dengan menggunakan “string test” merupakan metode alternatif untuk mendeteksi aliran empedu. Adanya pigmen empedu atau asam empedu dalam aspirat atau pada spring menyingkirkan atresia biliaris ekstrahepatika.

Dalam evaluasi bayi dengan kolestasis, kita harus menyedari adanya kecenderungan ke arah hipoprotrombinemia, yang apabila tidak diatasi (vitamin K), dapat menyebabkan perdarahan spontan dan perdarahan intrakranium. Dilakukan ultrasonogram tidak saja untuk menyingkirkan kemungkinan malformasi kistik tetapi juga untuk menuntun biopsi hepar perkutis.4

6. Etiologi

Etiologi hepatitis neonatal idiopatik masih tidak dapat dikenal pasti. Hepatitis neonatal boleh mempunyai salah satu daripada beberapa sebab termasuk metabolik, infeksi, dan genetik. Penyakit metabolik termasuk kekurangan αa1-antitrypsin, cystic fibrosis,

(8)

penyakit neonatal penyimpanan besi, kecacatan rantaian pernafasan, dan kecacatan pengoksidaan asam lemak. Penyebab infeksi termasuk sifilis kongenital, echovirus, dan sesetengah virus herpes. Virus hepatitis klasik (A, B, dan C) adalah penyebab yang jarang. Terdapat juga beberapa kecacatan genetik yang jarang terjadi, seperti sindrom Alagille dan progresif cholestasis intrahepatic familial. Namun, punca keradangan pada hepatitis neonatal idiopatik masih tidak diketahui.5

7. Epidemiologi

Hepatitis neonatus adalah penyakit yang sering dijumpai, merupakan penyebab dari sekitar 35 sampai 45% bayi dengan kolestasis. Hepatitis neonatus terjadi dengan frekuensi lebih tinggi pada bayi premature dan bayi kecil untuk usia kehamilan, tetapi hal ini mungkin mencerminkan peningkatan kerentanan hepar yang imatur terhadap gangguan ringan.3

8. Manifestasi klinik

Icterus biasanya muncul pada minggu pertama setelah lahir walaupun mungkin juga tertunda sampai usia 1 sampai 3 bulan. Pada sebagian kecil pasien, kurangnya nafsu makan dan muntah, yang juga mungkin mengisyaratkan penyakit metabolik, mempersulit perjalanan penyakit. Kolestatis bermanifestasi sebagai keluarnya tinja akolik (berwarna abu-abu atau tanah liat) intermiten dan urine yang gelap. Hepar membesar pada hampir semua bayi, dengan konsistensi lunak dan permukaan halus. Splenomegaly dijumpai pada separuh kasus. Terdapat juga mikrosefali yaitu ukuran kepala lebih kecil dari normal.3,4

9. Patofisiologi

Transformasi sel raksasa yang ekstensif, terutama di sekitar vena sentral, merupakan tanda utama hepatitis neonatus. Sel raksasa ini sering terisi oleh pigmen empedu; kanalikulus biasanya kosong. Pada bayi dengan hepatitis neonatus, elemen peradangan dan fibrosa menginfiltrasikan zona porta.1

9.1 Perbedaan ikterus

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

Ikterus Fisiologis

(9)

b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.

c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari. d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.

e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.1

Ikterus Patologik

a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.

c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari. d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.6

10. Penatalaksanaan

Masalah utama pada penanganan bayi dengan hepatitis neonatus adalah melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari kausa yang dapat diterapi/dikenali dari gambaran klinis ini. Belum tersedia terapi spesifik; penanganan diarahkan untuk mengatasi konsekuensi kolestasis (malabsorpsi lemak dan vitamin larut-lemak). Kolestasis kronik menyebabkan malabsorpsi lemak dan nutrient lipofilik, meyebabkan defisiensi vitamin larut-lemak (A, D, E

(10)

dan K). Formula yang mengandung trigliserida rantai sedang (misalnya Portagen, Pregestimil, atau Alimentum) dan vitamin larut-lemak (A, D, E dan K) dapat diberikan selama fase kolestatik. Pengobatan dengan kolestiramin, fenobarbital atau kortikosteroid tidak diindikasikan.3

10.1 Pengobatan hiperbilirubinemia

Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin indirek dalam darah mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya neorotoksisitas; dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum. Pada setiap bayi, risiko jejas terhadap system saraf pusat harus dipertimbangkan dengan risiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai foto-terapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubin masih berada di bawah kadar yang diindikasikan untuk transfusi tukar. Bila teridentifikasi, penyebab dasar icterus harus diobati, misalnya antibiotic untuk septikemia. Factor-faktor fisiologis yang menambah risiko cedera neorologis harus diobati juga (misalnya, koreksi terhadap asidosis).

Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70% dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kernicterus, transfusi tukar merupakan indikasi.6

Pengobatan yang diterima secara luas ini harus diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum. Ada berbagai factor yang dapat mengubah kriteria ini kearah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kernicterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar serum bilirubin berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis, atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL, tanpa nampak sakit, sedangkan bayi premature yang sakit dapat mengalami icterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfuse tukar semasa usia satu atau dua hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi premature, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif.

(11)

Icterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada pajanan cahaya berintensitas-tinggi pada spectrum yang dapat dilihat. Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420 sampai 470 nm). Meskipun demikian, cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum sempit khusus, dan hijau efektif menurunkan kadar bilirubin. Walaupun cahaya biru memberikan panjang gelombang yang tepat untuk fotoaktivasi bilirubin bebas, cahaya hijau dapat mempengaruhi fotoreaksi bilirubin yang terikat albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energy cahaya, yang dengan fotoisomerisasi mengubah bilirubin-4Z, -15Z tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi isomer konfigurasi terkonjugasi yaitu bilirubin-4Z, -15E. yang terakhir ini adalah produk reaksi reversible; dan dieksresi ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi. Fototerapi juga mengubah bilirubin alamiah, melalui suatu reaksi yang ireversibel, pada isomer lumirubin structural, yang dieksresi oleh ginjal pada keadaan tak terkonjugasi.

Penggunaan fototerapi dengan bola lampu fluoresens telah menurunkan perlunya transfusi tukar pada bayi-bayi BBLR yang tanpa penyakit hemolitik dan pada bayi BBLR dengan hemolisis, juga untuk transfusi tukar ulangan pada bayi-bayi yang menderita penyakit hemolitik. Namun bila ada indikasi untuk transfusi tukar, fototerapi tidak boleh digunakan sebagai pengganti.

Fototerapi hanya merupakan indikasi sesudah hiperbilirubinemia yang patologis ditegakkan. Penyebab dasar icterus harus diobati bersama-sama. Fototerapi profilaksis pada bayi BBSLR dapat mencegah hiperbilirubinemia dan mengurangi insidens transfuse tukar.

Bayi normal yang mendapat fototerapi selama 1-3 hari mempunyai kadar puncak bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati. Bayi premature yang tanpa hemolisis berarti biasanya bilirubin serumnya turun 1-3 mg/dL sesudah 12-24 jam menjalani fototerapi konvensional, dan kadar puncak yang dicapai dapat diturunkan 3-6 mg/dL. Pengaruh terapeutik bergantung pada energy cahaya yang dipancarkan pada kisaran panjang gelombang yang efektif, jarak antara cahaya dan bayi dan jumlah kulit yang terpajan seperti juga kecepatan hemolisis dan metabolisme in vivo serta eksresi bilirubin. Tidak diketahui apakah fototerapi mencegah kernicterus atau meringankan bentuk-bentuk jejas otak akibat toksisitas bilirubin. Unit fototerapi yang tersedia di pasaran sangat bervariasi dalam curah-spektrum dan intensitas radiasi yang dipancarkan; sehingga dosisnya hanya dapat diukur secara tepat pada permukaan kulit. Kulit berwarna gelap (hitam) tidak mengurangi efektivitas fototerapi.5,6

(12)

Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembik, ruam macular eritematosa, kepanasan dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [peningkatan water loss], diare), menggigil karena pemajanan dan sindrom “bronze baby”. Fototerapi merupakan kontraindikasi bila ada porfiria. Jejas mata atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim terjadi.

Jika setelah menjalani fototerapi tidak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Di khawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.

Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang rendah, maka terapi transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses transfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.1,6

11. Pencegahan

Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan cara: 1. Pengawasan antenatal yang baik

2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfa furazole, oksitosin dan lain-lain.

3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada janin dan neonatus 4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus 5. Pemberian makanan yang dini.

6. Pencegahan infeksi3

12. Komplikasi

Penyakit hepar kronik dan hipertensi porta terjadi pada bayi yang tidak sembuh, biasanya pada mereka yang gambaran biopsy awalnya memperlihatkan peradangan dan fibrosis periporta yang signifikan.

Sekitar 20% dari bayi dengan neonatal hepatitis sel raksasa mengembangkan penyakit hati kronis dan sirosis. Hati mereka menjadi sangat sulit, karena jaringan parut, dan penyakit

(13)

kuning tidak hilang dengan usia enam bulan. Bayi yang mencapai titik ini dalam penyakit akhirnya akan membutuhkan transplantasi hati.

Karena penyumbatan saluran empedu dan kerusakan yang terjadi pada sel-sel hati, bayi dengan hepatitis kronis neonatal tidak akan mampu mencerna lemak dan tidak akan mampu menyerap vitamin A, D, E dan K. Kekurangan vitamin D menyebabkan pertumbuhan tulang kurang baik (rickets). Vitamin A juga diperlukan untuk pertumbuhan normal dan visi yang baik. Kekurangan vitamin K dikaitkan dengan mudah memar dan kecenderungan untuk berdarah, sedangkan kurangnya vitamin E menyebabkan koordinasi yang buruk.

Hepatitis kronis neonatal akan menyebabkan ketidakmampuan hati untuk menghilangkan racun dalam empedu. Hal ini menyebabkan gatal-gatal, erupsi kulit dan ketidaknyamanan.3

13. Prognosis

Pemulihan sempurna terjadi dalam 6-8 bulan pada 70-80% pasien. Kira-kira 80% daripada bayi yang menghidap hepatitis neonatal idiopathic pulih sepenuhnya daripada keadaan. Selama bertahun-tahun, kerana didiagnosis etiologi yang lebih khusus pada ikterus neonatal, bilangan bayi kolestatik tanpa diagnosis tertentu telah menurun. Dijangka bahawa jumlah ini akan terus berkurangan kerana lebih banyak etiologi ditemukan.2,6

Kesimpulan

Konklusinya, hepatitis neonatal idiopatik adalah adalah satu istilah am untuk keradangan hati yang berlaku sejurus selepas kelahiran bayi yang baru lahir yaitu kurang daripada 3 bulan. Ia adalah suatu istilah deskriptif yang berlaku bagi bayi dengan cedera parenkim (sel hepar) yang bermakna yang berkemungkinan kausa penyakit infeksi dan metaboliknya sudah disingkirkan. Cedera hepar diperjelas oleh adanya “sel raksasa” berinti banyak dalam jumlah bervariasi. Gejala hepatitis neonatal idiopatik dapat sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Bayi dengan penyakit ini mungkin memiliki penyakit kuning sebagai satu-satunya gejala mereka; biasanya dalam usia dua minggu sampai dengan usia tiga

(14)

bulan. Penatalaksanaan yang tepat harus diberikan pada bayi yang menghidap hepatitis neonatal agar mereka dapat sembuh sempurna tanpa mengalami sebarang komplikasi berat.

Daftar Pustaka

1 Richard E. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003.p. 115-126.

2 Schwartz w. Pedoman klinis pediatri. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2005.p. 386- 470.

3 Kligman A, Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15, vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2000.p. 610-617.

4 Lydia M. Buku dokter keluarga. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2006.p.440-453.

5 Surasmi, Asrining. Perawatan Bayi berisiko tinggi. Edisi pertama. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran ECG;2003.p. 110-132.

6 American Academy of Pediatrics. Clinical practice guideline, management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics114;2003.p 297-316.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil simuasi dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, implementasi metode Hot-deck Imputation dan metode KNNI pada data Susenas Maret Tahun 2017

Mata kuliah MBS pada kurikulum Program Studi PGSD, FKIP Universitas Tadulako telah dikembangkan secara bertahap dan pada tahun 2012 jumlah SKS MK MBS yang tadinya 2

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karuia-Nya, Tugas Askhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar

51 susu D-Farm agar memenuhi persyaratan GMP yaitu membatasi ruangan dengan pintu dan tirai plastik, menjaga ruangan agar selalu tertutup rapat selama proses produksi, mencegah

Melihat pada karya Motzki, penulis sependapat dengan Kamaruddin Amin bahwa bahwa Motzki terlihat tidak sepenuhnya membantah pendapat aliran skeptis tentang common link, sebab,

Perjalanan penyakit appendisitis akut bisa terhenti pada stadium akut fokal, namun mukosa yang telah mengalami iritasi akan menyisakan jaringan parut dalam proses

Hasil penelitian dengan menunjukkan adanya pengujian dengan enzim GOT dan GPT tersebut adalah untuk menentukan adanya suatu indikator untuk mendeteksi kerusakan hepar dengan

Dalam penelitian ini jumlah populasi tidak dapat diketahui secara pasti sehingga untuk menentukan ukuran sampel, peneliti berpedoman pada pendapat yang dikemukakan