• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Karakteristik Lanjut Usia yang Tinggal di Keluarga dengan yang Tinggal di Panti di Jakarta Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Karakteristik Lanjut Usia yang Tinggal di Keluarga dengan yang Tinggal di Panti di Jakarta Barat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Seiring dengan peningkatan harapan hidup, jumlah penduduk dunia bertambah dari sekitar 6,5 milyar di tahun 2006, menjadi 7 milyar di tahun 20121. Penambahan tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas; antara tahun 1970 sampai tahun 2025, jumlah mereka akan meningkat 223% atau bertambah sekitar 694 juta jiwa. Di tahun 2025 akan terdapat sekitar 1,2 milyar penduduk dunia berusia 60 tahun ke atas, yang akan menjadi 2 milyar di tahun 2050; 80% di antaranya tinggal di negara-negara berkembang2.

Di Indonesia seseorang dikategorikan sebagai lanjut usia jika berusia 60 tahun ke atas5 proporsinya meningkat dari 4,7% (2000) menjadi 5,1% (2008)4, jumlahnya pada tahun 2010 diperkirakan 18.575.000 jiwa3 atau sekitar 7% dari jumlah seluruh penduduk yang diperkirakan sebesar 234.181.400 jiwa. Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan

terus meningkat mencapai 11,34% di tahun 20206.

Sementara itu, meningkatnya mobilitas pekerja usia produktif menyebabkan pengasuhan para lanjut usia di dalam keluarga menjadi makin sulit7. Pergeseran struktur keluarga dan kekerabatan dari keluarga besar

(extended family) ke arah keluarga kecil (nuclear family) berdampak pada berkurangnya atau

hilangnya fungsi-fungsi tertentu dalam keluarga seperti fungsi perawatan untuk para lanjut usia, menurunnya tanggung jawab moral keluarga untuk menyediakan tempat bagi anggota/kerabat lain; padahal selama ini, kekerabatan dan sistem kekeluargaan yang

extended senantiasa menyediakan tempat

bagi semua anggota keluarga atau kerabat untuk penampungan, perawatan ataupun perlindungan8. Dan saat ini diketahui bahwa

neighborhood deprivation di lingkungan

perkotaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif di kalangan usia lanjut, pengaruhnya tidak tergantung pada faktor individual maupun sosioekonomi9.

Memperhatikan keadaan ini, suatu kontinuum pilihan perawatan para lanjut usia yang memadai, mulai dari keluarga sampai dengan institusi, sangat diperlukan10. Seyogyanya ada institusi yang menjalankan atau mengambil alih fungsi-fungsi yang telah ditinggalkan/ diabaikan oleh keluarga; dalam hal ini panti werdha merupakan salah satu pilihan; panti werdha akan makin dibutuhkan sebagai pilihan dan solusi atas perubahan sosial tadi8. Panti werdha diharapkan bisa tetap memelihara fungsi kognitif para penghuninya sebaik mungkin.

Di Indonesia, tersedia beberapa jenis sarana pelayanan sosial untuk lanjut usia, meliputi sistem panti, pelayanan model pendampingan di kalangan keluarga (home care), dan pelayanan harian (day care)11. Pendekatan panti dilakukan melalui Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang tersebar di beberapa wilayah, sedangkan pendekatan non panti dilakukan melalui Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA), Karang Lanjut Usia, Karang Werdha, Posyandu Lanjut Usia, kegiatan usia ekonomi

Perbedaan Karakteristik Lanjut Usia yang

Tinggal di Keluarga dengan yang Tinggal

di Panti di Jakarta Barat

Budi Riyanto Wreksoatmodjo

Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Penelitian dilakukan atas 210 lanjut usia yang tinggal di keluarga dan 76 lanjut usia yang tinggal di panti werdha di Jakarta Barat. Mereka yang tinggal di panti werdha lebih lanjut usia, lebih rendah tingkat pendidikannya dan lebih banyak yang tidak bekerja. Tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam riwayat hipertensi dan diabetes melitus, tetapi mereka yang tinggal di panti werdha lebih banyak yang underweight. Para penghuni panti werdha mempunyai fungsi kognitif rata-rata lebih rendah dan social engagementnya lebih buruk.

Kata kunci: lanjut usia, panti werdha, fungsi kognitif, social engagement

ABSTRACT

The survey was done on 210 elderly living in the community and on 76 elderly living in institutions. The elderlies living in institutions were older, have lower educational level and lower occupation. No diff erences on history of hypertension and diabetes mellitus, but more underwieght was found among those living in institutions. Those who live in institutions have lower cognitive function and also lower level of social engagement.

Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Characteristics of Elderlies Living in Communities and in Institutions in West Jakarta. Key words: elderly, elderly institution, cognitive function, social engagement

(2)

produktif, pelayanan lanjut usia berbasis masyarakat dan pendekatan–pendekatan lainnya. Namun demikian, pelayanan yang sudah ada selama ini, baik melalui panti maupun nonpanti belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan lanjut usia secara memadai dan jangkauan layanannya masih terbatas12. Di tahun 2002 tercatat 186 panti werdha di seluruh Indonesia, 118 di antaranya diselenggarakan oleh pihak swasta, dengan jumlah penghuni 2552 pria dan 5380 perempuan. Jumlahnya meningkat menjadi 278 Panti Sosial Tresna Werdha seperti yang terdata di tahun 2009,13 sedangkan di database Departemen Sosial tercatat 444 panti werdha di seluruh Indonesia.14

Beragam jenis pelayanan sosial dan perawatan para lanjut usia, baik dalam panti maupun di luar panti dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kesehatan dan fungsi kognitif mereka. Beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di institusi cenderung lebih berisiko mengalami gangguan kognitif dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga masing-masing;15-17 selain itu perbedaan sifat pelayanan juga mempengaruhi aktivitas sehari-hari, minat terhadap lingkungan dan afek para penghuninya.18

Mengingat Indonesia mempunyai pola hubungan keluarga dan situasi panti yang mungkin berbeda dengan yang ada di negara lain, perlu diketahui apakah ada perbedaan karakteristik para lanjut usia yang tinggal di panti werdha dengan mereka yang masih tinggal dengan keluarganya.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Pengaruh Social Disengagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia yang dilaksanakan di Jakarta Barat pada tahun 2011. Desain penelitian ini bersifat cross

sectional, dilaksanakan di Kelurahan Jelambar

dan Jelambar Baru, Jakarta Barat.

Populasi target penelitian ini ialah populasi lanjut usia di Jakarta. Populasi eligible merupakan populasi para lanjut usia yang telah tinggal di lingkungannya masing-masing, baik di keluarga maupun di panti werdha di wilayah kelurahan Jelambar dan kelurahan Jelambar Baru, selama sedikitnya 1 tahun. Populasi lanjut usia di keluarga

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Demografi antara Kelompok Panti dan Keluarga

Karakteristik Demografi Tempat Tinggal .p Panti N=76 (100%) Keluarga N=210 (100%) Jenis kelamin Laki-laki 21 (27.6) 52 (24.8) 0.735 Perempuan 55 (72.4) 158 (75.2) Usia 61–70 tahun 36 (47.4) 144 (68.6) >70 tahun 40 (52.6) 66 (31.4) 0.002 Pekerjaan Tidak bekerja 71 (93.4) 153 (72.90) < 0.0001 Bekerja 5 (6.6) 57 (27.1) Pendidikan Rendah 45 (59.2) 76 (36.20) 0.001 Tinggi 31 (40.8) 134 (63.8) Status Marital Tidak menikah 13 (17.1) 5 (2.4) < 0.0001 Pernah menikah 46 (60.5) 92 (43.8) Menikah 17 (22.4) 113 (53.8)

Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Riwayat Kesehatan antara Kelompok Panti dan Keluarga

Karakteristik Riwayat Kesehatan

Tempat Tinggal .p Panti N=76 (100%) Keluarga N=210 (100%) Hipertensi Ya 22 (28.9) 62 (29.5) 1.000 Tidak 54 (71.1) 148 (70.5) Diabetes melitus Ya 6 (7.9) 30 (14.3) 0.216 Tidak 70 (92.1) 180 (85.7) Status Gizi Underweight (IMT < 18.50) 18 (23.7) 20 (9.5) 0.007 Normal IMT (18.50 –24.99) 36 (47.4) 122 (58.1) Overweight (IMT ≥ 25.00) 22 (28.9) 68 (32.4)

Tabel 3. Perbedaan Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif antara Kelompok Panti dan Keluarga

Karakteristik Aktivitas Fisik dan Kognitif Tempat Tinggal .p Panti N=76 (100%) Keluarga N=210(100%) Aktivitas Fisik Kurang 55 (72.4) 116 (55.2) 0.013 Baik 21 (27.6) 94 (44.8) Aktivitas Kognitif Kurang 69 (90.8) 77 (36.7) < 0.0001 Baik 7 (9.2) 133 (63.3)

Tabel 4. Perbedaan Social Engagement antara Kelompok Panti dan Keluarga

Karakteristik Social Engagement

Tempat Tinggal .p Panti N=76(100%) Keluarga N=210(100%) Buruk 68 (89.5) 34 (16.2) < 0.0001 Baik 8 (10.5) 176 (83.8)

(3)

diambil dari daftar lanjut usia yang ada di Posyandu Lanjut Usia Puskesmas, sedangkan populasi lanjut usia di panti diambil dari daftar penghuni masing-masing panti.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi

- Laki-laki atau perempuan ≥ 60 tahun saat penelitian dimulai.

- Telah tinggal di lingkungannya selama sedikitnya 1 tahun

- Bersedia mengikuti penelitian ini.

Kriteria Eksklusi

- Menderita gangguan jiwa psikosis;

gangguan fungsi luhur seperti afasia, apraksia. Mempunyai riwayat gangguan peredaran darah otak (stroke).

- Mereka yang diketahui telah menderita atau didiagnosis demensia(19) .

Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui: 1) Kuesioner informasi umum. 2) Kuesioner indeks social

disengagement dan aktivitas fi sik dan aktivitas

kognitif (Lampiran 1). 3) Kuesioner Mini

Mental State Examination (MMSE) (Lampiran

2). Pengumpulan data oleh petugas yang telah dilatih dan tersertifi kasi AAzI (Asosiasi Alzheimer Indonesia).

Defi nisi

Social engagement: Terpeliharanya beragam

hubungan sosial dan keikutsertaan (partisipasi) dalam kegiatan sosial20.

Pada penelitian ini dinilai menggunakan indeks

social disengagement20. Social engagement dinilai baik jika nilai indeks keseluruhan (GAB) 3–4, dinilai buruk jika nilainya 1–2.

Fungsi kognitif: Kemampuan mengenal atau mengetahui mengenai benda atau keadaan atau situasi, yang dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran dan kapasitas inteligensi seseorang21.

Pada penelitian ini dinilai menggunakan MMSE

(Mini Mental State Examination)22-23. Penilaian baik buruknya fungsi kognitif didasarkan atas nilai potong yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan responden24. Dinilai baik jika nilainya: ≥ 13 jika tidak sekolah, jika tdk tamat SD ≥19, tamat SD ≥ 23, tamat SLP ≥ 25, tamat SLA ke atas ≥ 26. Dinilai buruk jika nilainya: < 13 jika tidak sekolah, tdk tamat SD < 19, tamat SD < 23, tamat SLP < 25 dan jika tamat SLA ke atas < 26.24

HASIL

Diperoleh responden 76 lanjut usia yang tinggal di panti werdha dan 210 lanjut usia yang tinggal di keluarga.

Pada populasi penelitian ini proporsi gender para lanjut usia yang tinggal di panti dan yang tinggal di keluarga tidak berbeda bermakna. Tetapi, para lanjut usia yang tinggal di panti berusia lebih lanjut, lebih banyak yang tidak bekerja, berpendidikan lebih rendah dan lebih banyak berstatus pernah menikah, artinya lebih banyak yang berstatus janda/ duda dibandingkan dengan para lanjut usia yang tinggal di keluarga (Tabel 1).

Dalam hal riwayat penyakit, para lanjut usia yang tinggal di panti lebih banyak yang

underweight jika dibandingkan dengan para

lanjut usia yang tinggal di keluarga, tetapi tidak didapatkan perbedaan dalam hal riwayat penyakit hipertensi maupun diabetes melitus (Tabel 2).

Para lanjut usia yang tinggal di panti kurang aktivitasnya, baik aktivitas fi sik maupun aktivitas kognitifnya jika dibandingkan dengan

Tabel 6 Perbedaan Karakteristik Komponen Jaringan Sosial dan Aktivitas Sosial antara Kelompok Panti dan Keluarga

Social Engagement Tempat Tinggal .p Panti N=76 Keluarga N=210 JARINGAN SOSIAL

Kontak in person (VIS)

Kurang 53 (69.7) 22 (10.5)

Baik 23 (30.3) 188 (89.5) < 0.0001

Kontak in media (NVIS)

Kurang 73 (96.0) 178 (84.8) 0.018 Baik 3 (4.0) 32 (15.2) Pasangan Hidup (PH) Tidak ada 59 (77.6) 97 (46.2) Ada 17 (22.4) 113 (53.8) < 0.0001 AKTIVITAS SOSIAL Aktivitas di Masyarakat (MAS)

Kurang 75 (98.7) 172 (81.9)

Baik 1 (1.3) 38 (18.1) 0.001

Kunjungan ke tempat ibadah (TIB)

< 1 kali/minggu 39 (51.3) 17 (8.1)

≥ 1 kali/minggu 37 (48.7) 193 (91.9) <0.0001

Keanggotaan/Partisipasi di kelompok selain posyandu (KEL)

Tidak 64 (84.2) 49 (23.3)

Ya 12 (15.8) 161 (76.7) <0.0001

Tabel 7 Perbedaan Fungsi Kognitif antara Kelompok Panti dan Keluarga

Fungsi Kognitif Tempat Tinggal .p Panti N=76 (100%) Keluarga N=210 (100%) Buruk 47 (61.8) 61 (29.0) Baik 29 (38.2) 149 (71.0) < 0.0001

Tabel 5. Perbedaan Karakteristik Komponen Social Engagement antara Kelompok Panti dan Keluarga

Social engagement Tempat Tinggal .p Panti N=76 (100%) Keluarga N=210 (100%) Jaringan Sosial Buruk 69 (90.8) 97 (46.2) < 0.0001 Baik 7 (9.2) 113 (53.8) Aktivitas Sosial Buruk 66 (86.8) 44 (20.9) < 0.0001 Baik 10 (13.2) 166 (79.1)

(4)

para lanjut usia yang tinggal di keluarga (Tabel 3).

Demikian juga dalam hal social engagement; dibandingkan dengan para lanjut usia yang tinggal di keluarga, para lanjut usia yang tinggal di panti lebih buruk social engagementnya (Tabel 4), baik dalam hal jaringan sosialnya, maupun aktivitas sosialnya (Tabel 5). Secara keseluruhan, hanya 8 (10.5%) lanjut usia di panti yang social engagementnya masih baik, dibandingkan dengan 176 (83.8%) lanjut usia yang tinggal dengan keluarganya.

Jika dipilah berdasarkan komponen jaringan sosial yang dinilai; para lanjut usia yang tinggal di panti lebih banyak yang sudah tidak lagi mempunyai pasangan hidup, kurang mempunyai kontak dengan keluarga maupun teman dekat, baik secara langsung (bertemu muka, mengobrol, bercakap-cakap) maupun secara tak langsung melalui media komunikasi, baik telepon, surat maupun SMS (Tabel 6). Mereka yang tinggal di panti juga kurang aktif berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, jarang yang menjadi anggota kelompok masyarakat dan juga kurang mengunjungi tempat ibadah (Tabel 6) jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga. Patut dicatat bahwa 81.9% mereka yang tinggal di keluarga juga sudah kurang melakukan aktivitas di luar rumah (di masyarakat), sebaliknya menarik untuk dilihat bahwa ada satu penghuni panti yang aktivitasnya di masyarakat masih baik. Dalam hal fungsi kognitif, para lanjut usia penghuni panti rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang masih tinggal di keluarga. Lanjut usia dengan fungsi kognitif buruk lebih banyak dijumpai di antara para lanjut usia yang tinggal di panti yaitu sebesar 61.8% daripada di kelompok lanjut usia yang tinggal di keluarga yaitu sebesar 29.0%. (Tabel 7).

PEMBAHASAN

Pada populasi penelitan ini, proporsi gender tidak berbeda antara lanjut usia yang tinggal di keluarganya dengan mereka yang tinggal di panti, hal ini dapat diartikan bahwa kesempatan atau keputusan untuk masuk ke panti tidak dipengaruhi oleh gender; keputusan tinggal di panti mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor usia dan apakah masih mempunyai pasangan hidup; karena pada populasi penelitian ini,

dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga, mereka yang tinggal di panti lebih lanjut usianya, lebih banyak yang berstatus janda/duda; hanya 17 (22.4%) yang masih mempunyai pasangan hidup, dibandingkan dengan 113 (53.8%) di kalangan mereka yang tinggal di keluarga. Hal ini dapat karena mereka yang masih mempunyai pasangan hidup dipertahankan untuk tetap di lingkungan keluarganya, sedangkan mereka yang sudah sendiri cenderung untuk masuk ke panti werdha, bisa atas keinginan sendiri, atau karena keterbatasan tempat tinggal. Para penghuni panti selain lebih lanjut usia, mereka lebih rendah pendidikannya, dan lebih banyak yang tidak bekerja; hal ini dapat berarti bahwa mereka yang relatif lebih muda dan yang berpendidikan lebih tinggi masih lebih berkesempatan bekerja atau mempunyai aktivitas di masyarakat dan dengan demikian masih tetap tinggal di keluarganya; mereka baru masuk ke panti setelah tidak lagi mempunyai aktivitas. Faktor usia juga bisa mempengaruhi aktivitas/pekerjaan, makin lanjut usia, biasanya akan makin sulit bekerja atau mempertahankan pekerjaan, terkait dengan usia pensiun dan persaingan dengan tenaga kerja berusia lebih muda.

Dapat dipahami jika mereka yang tinggal di panti lebih sedikit yang masih bekerja atau mempunyai kegiatan rutin, mengingat keterbatasan akses dan mobilitas dibandingkan dengan mereka yang masih tinggal di keluarga. Tidak dapat diketahui apakah mereka tinggal di panti karena memang sudah tidak bekerja, atau karena alasan lain sehingga harus masuk ke panti dan dengan demikian kehilangan pekerjaaannya; tetapi mengingat usia dan tingkat pendidikannya, besar kemungkinan mereka yang masuk ke panti sebelumnya memang sudah tidak bekerja lagi. Dapat diduga bahwa mereka cenderung masuk ke panti saat tidak lagi mempunyai pekerjaan, dan kehilangan pekerjaan lebih cepat/ mudah terjadi di kalangan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Cukup menarik bahwa masih ada 5 orang lanjut usia di panti yang ‘bekerja’, yaitu menjahit dan membuat kerajinan tangan. Aktivitas ini perlu terus dipertahankan dan jika mungkin diperluas dengan melibatkan lebih banyak penghuni panti dan bekerja sama dengan sukarelawan yang bisa membimbing kegiatan tersebut.

Studi menunjukkan bahwa mereka yang rendah okupasinya (sering menganggur) 2.25 kali lebih berisiko demensia25. Sebaliknya, pekerjaan kompleks yang lebih memerlukan fungsi mental dan intelek yang tinggi, dibandingkan dengan aktivitas fi sik26), atau pekerjaan yang melibatkan orang lain30 lebih dapat mempertahankan kemampuan kognitif dan mengurangi risiko demensia di kemudian hari. Status pekerjaan yang lebih ‘rendah’ (buruh, petani) berkaitan dengan fungsi kognitif yang lebih rendah28, lebih berisiko demensia28-29 dan Alzheimer30-31.

Rendahnya tingkat pendidikan dapat merupakan faktor risiko penurunan fungsi kognitif32. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan tingkat pendidikan rendah meningkatkan risiko hendaya kognitif31,33 dan pendidikan tinggi bersifat protektif31; meskipun studi Cobb et al. (1995) tidak mendukung dugaan tersebut.35

Peningkatan risiko gangguan fungsi kognitif di kalangan berpendidikan rendah perlu mendapatkan perhatian dari pengelola panti mengingat didapatkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan lanjut usia di panti lebih rendah daripada mereka yang tinggal di keluarganya (Tabel 1); program / aktivitas di panti werdha agar lebih diprioritaskan ke pada mereka yang berpendidikan rendah dan jenis kegiatannya perlu disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang rendah tersebut, dapat berupa permainan yang lebih sederhana dan/atau menganjurkan tetap melakukan kegiatan rutin sehari-hari seperti memasak atau menyiapkan makanan, membersihkan tempat tidur sendiri.

Yang menarik pada populasi ini adalah bahwa mereka yang tinggal di panti tidak lebih berpenyakit; dalam hal ini hipertensi dan diabetes melitus, tetapi lebih banyak yang underweight. Di panti-panti yang diteliti tersedia fasilitas poliklinik yang dikunjungi secara berkala oleh tenaga medis, dan tersedia juga obat esensial; fasilitas ini agaknya cukup efektif mengendalikan penyakit hipertensi dan diabetes melitus sehingga prevalensinya tidak berbeda dibandingkan dengan di masyarakat. Hal yang patut diperhatikan adalah banyaknya penghuni yang underweight dibandingkan dengan para lanjut usia yang tinggal di keluarganya; para pengelola panti diharapkan dapat lebih memperhatikan kecukupan gizi

(5)

para penghuninya dan mengenali faktor-fakto yang mempengaruhinya, dapat berasal dari faktor medis seperti selera makan rendah, gangguan gigi geligi, disfagia, gangguan fungsi indra penghidu dan pengecap, gangguan pernafasan, pencernaan, neurologis, infeksi, cacad fi sik atau penyakit lain Faktor lain yang juga berkontribusi adalah kurangnya pengetahuan menganai asupan makanan yang baik, depresi karena terpisah dari keluarga, kecemasan dan demensia(36). Dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga, para lanjut usia penghuni panti kurang beraktivitas, baik fi sik maupun kognitif; hal ini patut menjadi perhatian karena kurangnya aktivitas fi sik maupun aktivitas kognitif memperbesar risiko penurunan fungsi kognitif43.

Aktivitas fi sik adalah aktivitas yang melibatkan gerakan motorik tubuh dan anggota badan. Aktivitas fi sik rutin di masa muda (usia 15–25 tahun) dikaitkan dengan kecepatan memproses informasi di usia lanjut37; aktivitas fi sik yang lebih aktif dikaitkan dengan penurunan risiko demensia dan Alzheimer38, selain itu kemungkinan demensia lebih rendah di kalangan aktivitas fi sik ringan maupun aktivitas fi sik teratur39 tetapi jika dikaitkan dengan aktivitas fi sik pekerjaan tidak didapatkan hubungan bermakna38. Tidak adanya efek proteksi aktivitas fi sik terkait pekerjaan mungkin berhubungan dengan kebutuhan intelek/berpikir yang lebih rendah38,40. Beberapa studi lain menunjukkan efek protektif aktivitas fi sik terhadap gangguan kognitif41,42, terhadap demensia Alzheimer 43-45 dan terhadap demensia vaskuler 45,46 sedangkan studi lain tidak47. Hanya satu studi acak yang mendukung efek aktivitas fi sik terhadap fungsi kognitif di kalangan demensia48. Aktivitas fi sik dapat bermanfaat terhadap fungsi kognitif melalui beberapa cara: pertama, manfaat yang sama terhadap sistem kardiovaskuler berlanjut ke sistem serebrovaskuler, efek ini bisa langsung (melalui perbaikan perfusi jaringan) atau tak langsung melalui penurunan morbiditas vaskuler seperti hipertensi, DM, hiperkholesterol dan obesitas. Selain itu mungkin ada jalur pengaruh lain karena meskipun faktor vaskuler sudah dikontrol, efek perbaikan tetap ada49. Diduga bisa melalui peningkatan neurogenesis, perbaikan sitoarsitektur otak dan elektrofi siologi otak, meningkatkan faktor

pertumbuhan dan menghambat proses neuropatologis seperti pembentukan plak amiloid pada AD(50).

Aktivitas kognitif adalah aktivitas yang melibatkan kegiatan berfi kir. Di Kanada, Hultsch et al. (2005) mendapatkan asosiasi antara aktivitas intelek dengan lebih kecilnya probabilitas penurunan fungsi kognitif; juga sebaliknya bahwa rendahnya aktivitas intelek meningkatkan probabilitas penurunan fungsi kognitif.51 Dua studi prospektif menilai manfaat aktivitas kognitif di usia pertengahan terhadap risiko demensia dan AD, keduanya mengikutsertakan analisis anak-kembar untuk mengendalikan faktor genetik dan lingkungan masa dini, hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas kognitif menurunkan risiko demensia52,53 dan juga menurunkan risiko AD di kalangan perempuan.52 Studi Wang et al. (2002) memperlihatkan aktivitas kognitif dapat menurunkan risiko gangguan kognitif.54 Karp

et al. (2006) mendapatkan risiko demensia

lebih rendah di kalangan yang kognitif aktif.43 Peningkatan aktivitas kognitif dikaitkan dengan penurunan risiko demensia47 dan menurunkan risiko AD – peningkatan aktivitas kognitif dikaitkan dengan 19% penurunan laju perburukan fungsi kognitif.15 Sebaliknya aktivitas dengan rangsang kognitif rendah seperti menonton TV dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan kognitif 2.3% per tahun.55

Terlibat dalam aktivitas yang menstimulasi mental dapat dianggap sebagai cara langsung meningkatkan kapasitas otak. Studi pada manusia menunjukkan bahwa aktivitas kognitif dapat menghasilkan reorganisasi jaringan neurokognitif,58 menekan efek merugikan dari hormon stres ke otak.55,57 Keterlibatan pada aktivitas kognitif dapat memperbaiki kompensasi otak terhadap patologi melalui cara meningkatkan cadangan otak yang dapat melindungi/memperlambat

onset klinis gangguan kognitif dan demensia

dalam rentang hidup seseorang.48

Aktivitas-aktivitas fi sik dan kognitif bisa ditingkatkan tanpa membutuhkan banyak tambahan tenaga maupun sarana, tetapi membutuhkan penjadualan yang konsisten dan perhatian dari para pengelola panti. Sarana berupa televisi umumnya telah tersedia di panti-panti werdha, yang perlu ditingkatkan adalah merangsang minat dan

mendiskusikan apa-apa yang telah ditonton, terutama yang sifatnya berita karena jenis siaran berita lebih bermanfaat dibandingkan dengan jenis siaran hiburan.59 Demikian juga dengan penyediaan sarana bacaan dan permainan yang merangsang daya ingat dan konsentrasi seperti buku tekateki silang, sudoku, permainan halma dan catur, atau penyediaan suratkabar agar bisa menjadi bahan pembicaraan di antara penghuni panti maupun dengan para pengasuhnya. Mungkin dapat digalang kerjasama dengan para donatur agar dapat menyumbangkan bahan bacaan dan/atau sarana media yang sesuai dengan lanjut usia; juga untuk sarana olahraga yang sesuai dengan usia dan kemampuan para penghuninya.

Hal ini patut menjadi perhatian mengingat rata-rata fungsi kognitif para penghuni panti lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarganya (tabel 7). Pada penelitian ini tidak dapat diketahui apakah penurunan fungsi kognitif di kalangan penghuni panti lebih cepat/buruk dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarganya.

Beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di panti cenderung lebih berisiko mengalami gangguan kognitif dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga masing-masing;15-17,60 ada yang menyimpulkan bahwa setelah 6 bulan, kondisi para lanjut usia yang masuk ke panti memburuk, terutama di kalangan perempuan dengan angka mortalitas mencapai 33%.61 Penelitian Alvarado-Esquivel dkk di Mexico City mendapatkan dari 155 lanjut usia yang tinggal di panti, 102 (65.8%) nilai MMSEnya rendah, dibandingkan dengan 30 (24.0%) di antara 125 lanjut usia yang tinggal di keluarga.60 Penelitian Guerrerro dkk di Filipina juga menunjukkan bahwa para lanjut usia di masyarakat rata-rata nilai MMSEnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di panti (25.3 ± 4.6 vs 21.9 ± 4.6).17

Kemungkinan lain buruknya fungsi kognitif di kalangan penghuni panti ialah karena keluarga cenderung masih mempertahankan para lanjut usia di lingkungannya sepanjang masih ‘berfungsi’, dan baru memasukkannya ke panti jika sudah mulai ‘pikun’. Hal ini tidak dapat diketahui mengingat tidak terdapat

(6)

data awal saat para penghuni panti mulai tinggal di dalam panti tersebut.

Penemuan ini perlu didalami lebih lanjut untuk bisa menentukan apakah perbedaan aktivitas di lingkungan tempat tinggal yang berbeda memang berpengaruh terhadap perubahan fungsi kognitif masing-masing penghuninya.

Pada penelitian ini, social engagement dinilai dari beberapa variabel yang dikategorikan ke dalam dua aspek yaitu jaringan sosial dan aktivitas sosial (Lampiran %) Didapatkan bahwa di kalangan lanjut usia yang tinggal di panti, social engagement mereka lebih rendah di semua aspek, baik jaringan sosial maupun aktivitas sosialnya (Tabel 5 dan 6). Meskipun demikian, 30.3% (sepertiga) lanjut usia di panti masih dinilai baik social engagementnya, hal ini dapat berarti bahwa tinggal di panti tidak harus terkait dengan buruknya social

engagement. Hubungan dengan kerabat

masih terpelihara dalam tingkat tertentu, meskipun mereka telah tinggal di panti. Dalam aspek jaringan sosial, kontak langsung (in person, temu muka) sebagian besar buruk (70.7%) di kalangan mereka yang tinggal di panti, sebaliknya hanya 29.3% di kalangan yang tinggal di keluarga yang dikategorikan buruk; hal ini dapat dipahami mengingat para lanjut usia di keluarga umumnya tinggal bersama dengan anak/cucu mereka sehingga bisa bertemu setiap saat. Demikian juga kontak tak langsung melalui media komunikasi, umumnya buruk, baik di kalangan keluarga maupun di kalangan panti; hanya 3 orang (4.0%) di panti yang dinilai masih baik, sedangkan di kalangan keluarga 32 (15.2%) orang masih mempunyai kontak tak langsung yang baik.

Perbaikan kontak dengan keluarga/kerabat, baik secara langsung (in person) dalam bentuk kunjungan, maupun secara tak langsung (in

media) melalui surat atau sarana elektronik,

masih bisa dilakukan. Potensi ini kiranya masih bisa dimaksimalkan melalui upaya peningkatan hubungan dan komunikasi pengelola panti dengan para kerabat agar dapat lebih sering mengunjungi atau memelihara kontak dengan keluarganya yang tinggal di panti. Pemanfaatan sarana elektronik seperti telepon atau SMS memerlukan kesiapan penguasaan teknologinya di kalangan para lanjut usia.

Glei et al. (2005) meneliti perubahan fungsi kognitif berkaitan dengan partisipasi kegiatan sosial dan jaringan sosial pada lanjut usia di Taiwan; didapatkan lanjut usia yang berpartisipasi dalam satu atau dua kegiatan sosial 13% lebih kecil risikonya untuk “failed cognitive task” dibandingkan dengan mereka yang tidak ikut serta dalam aktivitas sosial, dan lanjut usia yang berpartisipasi dalam tiga atau lebih kegiatan sosial 33% lebih kecil risikonya untuk “failed cognitive task” dibandingkan mereka yang tidak ikut serta dalam aktivitas sosial(62). Tetapi analisis longitudinal Green et al. (2008) pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas yang dinilai sebanyak 3 kali selama tahun1981– 2005, tidak menemukan hubungan antara jaringan sosial dengan kognisi, meskipun dalam analisis cross sectional ditemukan ada hubungan.63 Telitian Amieva et al. (2010) menunjukkan hubungan signifi kan antara aspek jaringan sosial terhadap gangguan fungsi kognitif berupa demensia dan penyakit Alzheimer (AD). Kepuasan dan timbal balik dalam hubungan merupakan faktor protektif terhadap demensia, responden yang merasa puas dengan hubungan mereka risiko demensianya berkurang sebanyak 23%. Selain itu responden yang menerima dukungan lebih selama hidupnya memiliki 55% dan 53% penurunan risiko untuk demensia dan AD. Pengaruh proteksi terhadap demensia atau AD selama 15 tahun lebih kepada kualitas dibandingkan dengan kuantitas jaringan sosial.64 Sedangkan James et al. (2011) mendapatkan bahwa setiap penambahan skor aktivitas sosial diasosiasikan dengan penurunan fungsi kognitif 47% lebih lambat.65

Pada populasi ini, aktivitas di masyarakat sebagian besar sudah menurun, baik mereka yang tinggal di keluarga maupun di panti, sebaliknya menarik untuk dicatat bahwa masih ada penghuni panti yang aktivitas di masyarakatnya dinilai baik. Hanya 1 (1.3%) lanjut usia di panti yang aktivitas di masyarakatnya masih baik, dibandingkan dengan 38 (18.1%) lanjut usia yang tinggal di keluarga. Kurangnya aktivitas di masyarakat para lanjut usia, baik mereka yang tinggal di keluarga maupun yang tinggal di panti dapat karena keterbatasan fi sik yang menyulitkan mobilitas mereka. Aktivitas di masyarakat bisa digabungkan dengan program lain, misalnya senam bersama atau

arisan atau program masak bersama antara penghuni panti dengan anggota masyarakat sekitar. Untuk para penghuni panti dapat ditingkatkan antara lain dengan mengajak para penghuni panti ke luar, misalnya ke pasar atau berekreasi ke tempat umum atau menonton pertunjukan. Hal ini tentunya memerlukan kesiapan para pengasuhnya, yang mungkin bisa diatasi dengan bekerja sama dengan kelompok-kelompok sosial di masyarakat agar bisa mendampingi para penghuni panti di saat tersebut. Aktivitas di masyarakat juga bisa ditingkatkan melalui peningkatan interaksi dengan masyarakat sekitar, misalnya aktivitas posyandu lansia dilakukan di panti agar ada kesempatan untuk bergaul/berinteraksi dengan para panjut usia di luar panti. Kunjungan murid sekolah juga bisa direncanakan secara berkala, sekaligus membina hubungan emosional positif dengan para anak/remaja. Kunjungan ke tempat ibadah di kalangan mereka yang tinggal di panti juga bisa dimaksimalkan mengingat relatif masih aktifnya para lanjut usia yang tinggal di keluarga; kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan kalangan masyarakat yang lebih luas.

SIMPULAN DAN SARAN

Fungsi kognitif para lanjut usia penghuni panti didapatkan lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tinggal di keluarga, mereka yang tinggal di panti juga mempunyai social

engagement lebih buruk.

Secara keseluruhan, social engagement di kalangan lanjut usia, terutama di kalangan penghuni panti masih dapat diperbaiki agar dapat mempertahankan fungsi kognitif para penghuninya, hendaknya dapat diupayakan peningkatan jaringan sosial antara lain dengan meningkatkan komunikasi/kontak para penghuni dengan keluarga atau kerabat, terutama dengan menganjurkan kunjungan maupun melalui sarana komunikasi, baik surat, telepon maupun sarana SMS dan elektronik lainnya. Terlihat bahwa kontak langsung (temu muka) lebih bermakna dibandingkan dengan kontak tak langsung (melalui sarana komunikasi). Aktivitas sosial dapat diperbaiki dengan meningkatkan aktivitas bersama antara masyarakat dengan penghuni panti, baik dalam bentuk kunjungan maupun kegiatan bersama, baik kegiatan ibadah maupun kemasyarakatan lain.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

1. http:id.wikipedia.org/wiki/Penduduk. 2. WHO. Active ageing : A policy framework. 2002. 3. BPS. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta, 2009.

4. BPS. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2008. BPS, Jakarta 2009.

5. Republik Indonesia. UU no.13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. 1998 6. Komisi Nasional Lanjut Usia. Profi l Lanjut Usia 2009. Jakarrta: Komnas Lansia, 2010.

7. Ananta A, Arifi n EN (eds.) Older persons in Southeast Asia : from liability to asset older persons in southeast asia. An emerging asset, ISEAS, Singapore, 2009, pp. 3–46. 8. Syamsuddin. Penguatan Eksistensi Panti Werdha di tengah Pergeseran Budaya dan Keluarga. www.depsos.go.id. 2008. Diakses Nov.14, 2010.

9. Lang IA, Llewellyn DJ, Langa KM, Wallace RB, Huppert FA, Melzer D. Neighborhood deprivation, individual socioeconomic status, and cognitive function in older people: analyses from the english longitudinal study of ageing. J Am Geriatr Soc, 2008; 56(2):191–8. Available from: Epub. [2007 Dec 24].

10. Komisi Nasional Lanjut Usia 2007. Rencana Aksi tentang Kelanjutusiaan untuk Asia dan Pasifi k. Kumpulan Kesepakatan bidang Lanjut Usia. Komisi Nasional Lanjut Usia, 2007. Komnas Lansia, Jakarta, pp. 23.

11. Handayani YS. Kelanjutusiaan Global: Kebijakan yang Mendukung Kesejahteraan Lanjut Usia di Indonesia. Orasi Ilmiah, 9 Desember 2009. Jakarta. 12. Kemensos. Pedoman Pelayanan Harian Lanjut Usia. Kementrian Sosial RI, Jakarta. 2010, Hal.23

13. Kemensos. Profi l Panti Sosial Tresna Werdha. Direktorat Pelayanan Lanjut Usia., Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementrian Sosial RI, Jakarta. 2010 14. http://database.depsos.go.id. Diakses 4 September 2010

15. Wilson RS, Bennett DA, Bienias JL, et al. Cognitive activity and incident AD in a population-based sample of older persons’, Neurology2002;59( 12): 1910–4.

16. Dehlin O, Franzén M. Prevalence of dementia syndromes in persons living in homes for the elderly and in nursing homes in southern Sweden. Scand. J. Primary Health Care, 1985; 3( 4): 215–22.

17. Guerrerro JR, Aguirre JM, Carpio AD, Dalupang RG, Nicolas RA. A comparative analysis of the cognitive functioning of community dwelling and institution-based well elderly in Manila. Phillipine Journal of Allied Health Sciences, 2007; 2:.38.

18. Reimer MA, Slaughter S, Donaldson C, Currie G, Eliasziw M. Special care facility compared with traditional environments for dementia care: A longitudinal study of quality of life. J. Am. Geriatr. Soc.l2004;52( 7):1085–92.

19. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 1994, 4th ed., American Psychiatric Association, Washington DC. 1994

20. Bassuk SS, Glass TA, Berkman, LF. Social disengagement and incident cognitive decline in community-dwelling elderly persons. Ann Intern Med. 1999; 131(3):165–73. 21. Elvira SD, Hadisukanto G. (eds). Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUIl, 2010

22. Assosiasi Alzheimer Indonesia. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. ed. 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, Jakarta. 2003 23. Dikot Y . Deteksi dini gangguan kognitif dalam praktek umum dan neurologi sehari-hari. Dalam: Basuki A, Dian S, (eds.) Neurology in Daily Practice. Ed 1. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf,

FK Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin, Bandung. 2010,

24. Turana Y, Handayani YS. Nilai Mini-mental State Examination (MMSE) berdasarkan usia dan tingkat pendidikan pada masyarakat lanjut usia di Jakarta. Medika 2011;37( 5): 307–10. 25. Stern Y, Gurland B, Tatemich, TK, Tang MX, Wilder D, Mayeux R.Infl uence of education and occupation on the incidence of Alzheimer’s disease. JAMA. 1994;271(13): 1004–10.

26. Smyth KA, Fritsch T, Cook TB, McClendon MJ, Santillan CE, Friedland RP. Worker functions and traits associated with occupations and the development of AD. Neurology 2004; 63(3): 498–503.

27. Andel R, Crowe M, Pedersen NL, Mortimer J, Crimmins E, Johansson B, Gatz M. Complexity of work and risk of alzheimer’s disease: A population-based study of Swedish twins. J Gerontol B Psychol Sci Soc Sci., 2005; 60( 5): 251–8.

28. Jorm AF, Jolley D. The incidence of dementia: A Meta-analysis. Neurology 1998; 51(3): 728–33.

29. Helmer C, Letenneur L, Rouch I, et al. Occupation during life and risk of dementia in French elderly community residents. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001; 71( 3):303–9.

30. Qiu C, Karp A, von Strauss E, Winblad B, Fratiglioni L, Bellander T. Life-time principal occupation and risk of Alzheimer’s disease in the Kungsholmen project’, Am J Int Med, vol. 43, no. 2, pp. 204-211. dikutip dari : Hughes TF, Ganguli M. Modifi able midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev. 2009;5(2): 73–92.

31. Stern Y, Gurland B, Tatemichi TK, Tang MX, Wilder D, Mayeux R. Infl uence of education and occupation on the incidence of Alzheimer’s disease. JAMA. 1994; 271(13): 1004–10. 32. Jacqmin-Gadda H, Fabrigoule C, Commenges D, Dartigues JF. A 5-year longitudinal study of the Mini-Mental State Examination in normal aging. Am J Epidemiol. 1997; 145( 6): 498 –

506.

33. Tyas SL, Salazar JC, Snowdon DA, et al. Transitions to mild cognitive impairments, dementia, and death: fi ndings from the Nun Study. Am J Epidemiol.2007; 165( 11): 123–8. 34. Stern Y, Gurland B, Tatemichi TK, Tang MX, Wilder D, Mayeux R .Infl uence of education and occupation on the incidence of Alzheimer’s disease. JAMA. 1994; 271(13): 1004–10. 35. Cobb JL, Wolf PA, Au R, White R , D’Agostino RB. The eff ect of education on the incidence of dementia and Alzheimer’s disease in the Framingham study. Neurology 1995; 45( 9): 1707–

12.

36. Fatimah-Muis S, Puruhito N. Gizi pada Lansia. Dalam: Martono HH, Pranarka K. Geriatri. Ed.4, 2010. Hal.

634-40. Dik M, Deeg DJ, Visser M, Jonker C. Early life physical activity and cognition at old age. J Clin Exp Neuropsychol., 2003; 25(5): 643–53.

41. Rovio S, Kåreholt I, Helkala EL, et al. Leisure–time physical activity at midlife and the risk of dementia and Alzheimer’s disease. Lancet Neurol. 2005; 4(11): 705–11.

42. Andel R, Crowe M, Pedersen NL, et al. Physical exercise at midlife and risk of dementia three decades later: A population-based study of Swedish twins., J Gerontol A Biol Sci Med Sci., 2008;63(1): 62–6.

43. Yamada M, Kasagi F, Sasaki H, Masunari N, Mimori Y, Suzuki G. Association between dementia and midlife risk factors: the radiation eff ects research foundation adult gealth study. JAGS 2009; 51( 3):. 410–414. Dikutip dari : Hughes,TF, Ganguli M. Modifi able midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev. 2009;5(2): 73–92. 44. Laurin D, Verreault R, Lindsay J, MacPherson K, Rockwood K. Physical activity and risk of cognitive impairment and dementia in elderly persons. Arch Neurol. 2001; 58( 3): 498–504. 45. Lytle ME, Vander Bilt J, Pandav RS, Dodge HH, Ganguli M. Exercise level and cognitive decline: the MoVIES Project. Alzheimer Dis Assoc Disord., 2004;18(2): 57–64.

(8)

46. Karp A, Paillard-Borg S, Wang HX, Silverstein M, Winblad B, Fratiglioni L Mental, physical and social components in leisure activities equally contribute to decrease dementia risk. Dement Geriatr Cogn Disord., 2006;21(2): 65–73.

47. Larson EB, Wang L, Bowen JD, et al. Exercise is associated with reduced risk for incident dementia among persons 65 years of age and older. Ann Intern Med., 2006;144( 2): 73–81. 48. Podewils LJ, Guallar E, Kuller LH, et al., Physical activity, APOE genotype, and dementia risk: Findings from the Cardiovascular Health Cognition Study. Am J Epidemiol. 2005; 161(7):

639–651.

49. Ravaglia G, Forti P, Lucicesare A, et al. Physical activity and dementia risk in the elderly: Findings from a prospective Italian Study. Neurology. 2008; 70(19): 1786-94. 50. Verghese J, Lipton RB, Katz MJ, et al. Leisure activities and the risk of dementia in the elderly. N Engl J Med. 2003; 73(11): 2508–16.

51. Lautenschlager NT, Cox KL, Flicker L, Foster JK, van Bockxmeer FM, Xiao J et al. Eff ect of physical activity on cognitive function in older adults at risk for Alzheimer disease: a randomized trial. JAMA. 2008; 300(9): 1027–37.

52. Rolland Y, Abell AN, van Kan G, Vellas B. Physical activity and Alzheimer’s disease: from prevention to therapeutic perspectives. J Am Med Dir Assoc. 2008; 9(6):390–405. 53. Hughes TF, Ganguli M. Modifi able midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev. 2009; 5(2): 73–92.

54. Hultsch DF, Hertzog C, Small BJ, Dixon RA. Use it or lose it: Engaged lifestyle as a buff er of cognitive decline in aging? Psychol. Aging 1999;14(2): 245–63.

55. Crowe M, Andel R, Pedersen NL, Johansson B, Gatz M.Does participation in leisure activities lead to reduced risk of Alzheimer’s disease? A prospective study of Swedish twins. J Gerontol. 2003;58(5): 249–55.

56. Carlson MC, Helms MJ, Steff ens DC, Burke JR, Potter GG, Plassman BL. Midlife activity predicts risk of dementia in older male twin pairs., Alzheimer’s & Dementia 2008; 4(5): 324–31. 57. Wang HX, Karp A, Winblad B, Fratiglioni L. Late-life engagement in social and leisure activities is associated with a decreased risk of dementia: a longitudinal study from the Kungsholmen

project. Am J Epidemiol. 2002; 155(12): 1081–7.

58. Wang JY, Zhou DH, Li J, et al. Leisure activities and risk of cognitive impairment:the Chongqing Aging Study. Neurology 2009;66( 9): 911–913. 59. Wreksoatmodjo BR. Pengaruh Social Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia di Jakarta. Disertasi, Universitas Indonesia, 2013.

60. Alvarado-Esquivel C, Hernández-Alvarado AB, Tapia-Rodríguez RO, Guerrero-Iturbe A, Rodríguez-Corral K, Martínez SE. Prevalence of dementia and Alzheimer’s disease in elders of nursing homes and a senior center of Durango City, Mexico. BMC Psychiatry 2004; 4(3):.1–7. Available from: < http://www.biomedcentral.com/1471-244X/4/3> 1 Agustus 2010.

61. Scocco P, Rapattoni M, Fantoni G. Nursing home institutionalization: a source of eustress or distress for the elderly? Int J Geriatr Psychiatry. 2006;21( 3): 281–7.

62. Glei DA, Landau DA, Goldman N, Chuang YL, Rodríguez G, Weinstein M. Participating in social activities helps preserve cognitive function: an analysis of a longitudinal, populatio-based study of the elderly. Internat J Epidemiol. 2005;34( 4): 864–71

63. Green AF, Rebok G, Lyketsos CG. Infl uence of social network characteristics on cognition and functional status with aging. Int J Geriatr Psychiatry. 2008; 23(9): 972–978.

64. Amieva H, Stoykova R, Matharan F, Helmer C, Antonucci TC, Dartigues JF. What aspects of social network are protective for dementia ? Not the quantity but the quality of social interactions is protective up to 15 years later. Psychosom.Med. 2010;72( 9): 905–11.

Gambar

Tabel 3. Perbedaan Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif antara Kelompok Panti dan Keluarga
Tabel 5. Perbedaan Karakteristik Komponen Social Engagement antara Kelompok Panti dan Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan dan pengembangan mutu guru tersebut meliputi berbagai aspek antara lain kemampuan guru dalam penguasai kurikulum dan materi pengajaran,kemampuan dalam menggunakan

Berapa jumlah muatan total elektron-elektron yang ada di dalam lempeng

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

(2012), The Effect of Real Activities Manipulation on Accrual Earnings Management; The Case in Indonesia Stock Exchange (IDX), Journal of Modern Accounting and Auditing,

[r]

Di kampung bintang kota Pangkalpinang tidak hanya berdiri satu kafe saja, namun ada beberapa kafe lain yang tidak lain merupakan pesaing/ kompetitor Kafe Yellover

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MASKULIN DALAM KELOMPOK PEREMPUAN KEPALA KELUARGA SAKINAH MAWADAH WARAHMAH (PEKKA SAMAWA) SEBAGAI UPAYA PENDIDIKAN KELUARGA.. Universitas Pendidikan Indonesia

Pengaruh Keefektifan Pengendalian Internal, Kesesuaian Kompensasi, dan Moralitas Manajemen Terhadap Perilaku Tidak Etis dan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Skripsi Ekonomi