• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pergantian Antarwaktu Pejabat Badan Pemeriksaan Keuangan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xi/2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pergantian Antarwaktu Pejabat Badan Pemeriksaan Keuangan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xi/2013)"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh: Ahmad Holil NIM: 109048000042

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Januari 2014

(5)

v

Hukum, Konsentrasi Hukum Klembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. Xi + 85 halaman + 4 halaman daftar pustaka.

Penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar ketentuan dikabulkan untuk seluruhnya dari kasus pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diangkat sebagai anggota pengganti antarwaktu, dan menjabat kurang dari 5 (lima) tahun. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut pemohon pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya ketentuan pada pasal tersebut pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD NRI 1945.

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan doktrin (doctrinal approach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 dan risalah sidangnya, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkam Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 demikian dengan Pasal 22 ayat (5) juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat menurut keputusan Mahkamah Konstitusi walaupun tidak diajukan pengujiannya oleh pemohon. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi pokok dari permohonan pemohon adalah mengenai masa jabatan annggota pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya, walaupun proses pemilihan antara anggota BPK pengganti antarwaktu dan bukan adalah sama. Kata Kunci : Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengganti antarwaktu, Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(6)

vi

KATA PENGANTAR





Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skrispi ini. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih teramat jauh dari kata sempurna. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang belum dapat penulis hadirkan dalam skripsi ini kerena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri kerena banyak pengalaman didapat dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam dan tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vii

4. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Terima kasih kepada Abdurauf, Lc. Selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun dalam hal akademik lainnya.

6. Terima kasih kepada Nur Rohim Yunus, L.L.M yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, ayahanda KH. Nahrawi dan ibunda Hj. Bahriyah, yang selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis, semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat iman, islam, dan sehat kepada keduanya.

8. Terima kasih kepada kakak-kakak saya. H. Abdul Kholik, Musyarofah, Abdul Azis Azzamzami, Siti Humairo, adik penulis Saiful Maki, kakak-kakak ipar penulis teh Mimi, a’ Ajay, teh Dinar, ka Muiz, sepupu-sepupu penulis Rara, Ica, Dimi, Diaz, dan Ibas, serta keluarga besar yang selalu memberikan do’a, semangat, dan dukungan yang tak terhingga untuk kesuksesan penulis.

(8)

viii

Roma Rizky Elhadi, Rivianta Putra, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

10.Sahabat-sahabat satu kosan dan teman bermain penulis Dawam Rahmat, Ihsan Habibi, Gufron Mahfud, Qidsy Cikal, Ilham Sinyo, Iqbal Muharram, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta, Desember 2013

(9)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

DATA LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusa Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu... 14

F. Sistematika Penulisan... 16

BAB II PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN HAK KONSTITUSIONAL... 18

A. Teori Pengawasan ... 18

1. Pengertian Pengawasan... 18

2. Urgensi Pengawasan... 20

(10)

x

1. Pengertian Dan Urgensi Pengawasan Keuangan

Negara... 22

2. Sejarah Pengawasan... 23

C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang... 30

1. Sejarah Pembentukan MK... 30

2. Kedudukan, Kewenangan Dan Kewajiban MK... 32

3. Hukum Acara MK... 35

BAB III PENGGANTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)... 38

A. BPK ... 38

1. Sejarah BPK... 39

2. Dasar hukum, Tugas, Kedudukan Dan Kewenangan BPK... 43

3. Keanggotaan BPK... 46

B. Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan.... 50

(11)

xi

B. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu

Anggota BPK... 62

C. Akibat Hukum Puutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK... 74

BAB V PENUTUP... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran... 79

(12)

xii

DATA LAMPIRAN

(13)

1

Berbicara mengenai keuangan negara tentu akan langsung berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meskipun sebenarnya, keuangan negara tidak hanya mengenai APBN saja akan tetapi semua hal yang dapat dinilai dengan uang, baik berupa barang maupun materi yang dimiliki serta dikuasai oleh negara. Secara nyata bahwa APBN yang digunakan untuk keperluan rumah tangga negara ditopang oleh bagian-bagian dari pada keuangan negara, seperti pajak, laba BUMN/BUMD serta sektor lainnya.

Untuk menjaga efektifitas dan efisiensi dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak lainnya, maka perlu dibentuk badan pemeriksa dari luar pemerintahan. Meskipun dalam internal pelaksanaan pengelolaan keuangan negara terdapat juga pengawasan tersendiri. Hal ini di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang membidangi pemeriksaan dan pengawasan pada sektor keuangan negara yang bernama Badan Pemeriksa keuangan (BPK).

(14)

2

pengelolaannya berkaitan erat pula dengan persoalan kewenangan lembaga negara yang ditentukan dalam undang-undang UUD 1945.1

Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara. Untuk mewujudkan tujuan itu, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksaan yang bebas, mandiri, dan propesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.2 Badan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan keuangan tersebut haruslah bersifat kebal terhadap pengaruh dari luar, baik dari Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.

Kekuasaan eksaminatif menurut UUD 1945, dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Badan ini diatur dalam pasal 23E, 23F, dan 23G UUD 1945 pasca-amandemen. Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, kelembagaan BPK diatur dalam pasal 23 ayat (5) berada dalam Bab VIII tentang hal keuangan.3

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

1

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), h. 808. cetakan kedua.

2

Titik Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945

(Jakarta: Kencana, 2010), h. 230.

3Ni’matul Huda,

(15)

serta dipercaya untuk dapat mewujudkan clean and good governance dengan tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.

Tujuannya yaitu mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen dan profesional, mewujudkan BPK sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dan mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang independen mempunyai tugas untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan pada rakyat. Karena itu, dengan tugas yang dimiliki oleh lembaga BPK dalam hal pengelolaan keuangan negara yang diharapkan dapat terciptanya pemerintahan yang baik.

Dalam hal ini peran BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dituntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang

4

(16)

4

yang berlaku untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas. Terkaitan dengan tugasnya tersebut BPK dapat memeriksa apa saja yang termasuk dalam harta kekayaan milik negara demi menghindari terjadinya pelanggaran dalam sektor keuangan negara khususnya korupsi. BPK diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk memeriksa keuangan negara dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan negara.5

Hal selanjutnya yang dihadapi BPK sebagai sebuah lembaga yang mandiri adalah kedudukan serta fungsi BPK itu sendiri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang juga tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum. Kontrol atau pengawasan yang dilakukan badan yang berwenang pada sektor keuangan khususnya BPK haruslah dilakukan secara simultan dan menyeluruh sejak dari tahap rule making sampai tahap rule enforcing.6

Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK harus dilaporkan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.7

5

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demokrasi , (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 821. Cetakan kedua.

6

Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 138. Cetakan kedua.

7

(17)

dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan pada Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.8

Dalam sistem keanggotaan BPK sesuai dengan pasal 22 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, apabila ada anggota BPK memundurkan diri atau diberhentikan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud pada Pasal 18 atau Pasal 19 maka diadakan “pengangkatan pergantian antarwaktu anggota BPK” sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud

dalam pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan oleh presiden.

Dengan adanya Pasal 22 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa keuangan tersebut maka Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA. selaku anggota Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang telah merugikan hak konstitusional pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

8

(18)

6

Bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan

pergantian antarwaktu”, yang menjadi permasalahan adalah sistem pergantian

anggota BPK dimana ketika terjadi proses pergantian antarwaktu, maka untuk menentukan pengganti anggota BPK yang berhenti dan/atau diberhentikan adalah dengan menggunakan sistem seleksi, bukan otomatis menjabat bagi anggota yang sebelumnya mendapat suara terbanyak selanjutnya.

Selain itu, masa jabatan anggota BPK pengganti adalah melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang digantikan olehnya. Apabila melihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan Pasal 34 undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yajng berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

(19)

ayat 4 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah dipaparkan oleh penulis diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN PENGGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan ha-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah, dan agar penelitian lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka dapat disusun pembatasan masalah guna memudahkan penyusunan skripsi ini maka penulis hanya membahas masalah yang terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 terhadap pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. Dalam hal uji materiil pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Rumusan masalah

(20)

8

jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun. Namun pada prakteknya ada anggota BPK yang secara resmi diangkat namun tidak untuk menjabat selama 5 tahun. Rumusan masalah ini penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ?

b. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK?

c. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK terhadap hak individu sebagai warga negara?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

(21)

13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat untuk mengetahui apa saja yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK.

2. Dapat memberikan gambaran umum pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK.

3. Dapat memberikan pengetahuan tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK.

4. Dapat memberikan ruang inspirasi bagi para penulis-penulis selanjutnya dalam mencari pokok permasalahan baru dalam bidang kelembagaan negara khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

D. Metode penelitian

(22)

10

“pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat

dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.9

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.10 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (agama).

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis yang berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut kemudian diambil kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat yang timbul karena sesuatu yang tengah berlangsung atau sudah terjadi pada saat riset dilakukan dengan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu.11

9

Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h..27-28. Cetakan pertama.

10

Fahmi M. Ahmadi. Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga PenelitianUIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 31.

11

(23)

kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris.12 Dengan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis data kualitatif, sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif merupakan penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Sementara metode penulisan yang digunakan adalah deskriftif analisis yakni dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.

Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat diperoleh dari bahan yang tersedia, dengan pengelompokan sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

12

(24)

12

adalah terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan an putusan-putusan hakim.13

Bahan hukum primer yang digunakan penulis adalah Putusan Mahkamah Konstutisi Nomor 13/PUU-XI/2013, UU RI No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan RI. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah berupa semua bentuk publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah dalam penelitiannya.14

Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis disini adalah buku-buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan penulis, antara lain, buku yang berkenaan dengan pembahasan mengenai Hukum Tata Negara, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, keuangan negara, dan buku-buku hukum

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 141. Cetakan keempat.

14

(25)

jurnal ataupun materi-materi mengenai hukum yang berkenaan dengan proses penelitian ini.

c. Bahan Tersier

Bahan tersier merupakan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensilopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal, politik, dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang diambil penulis adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan doktrinal (Doctrinal approach), karena penelitian yang penulis lakukan menggunakan metode yuridis normatif.

Dalam hal pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.15 penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai pokok kajian, yaitu peraturan yang berkaitan dengan kewenangan BPK sebagai lembaga independen dan keanggotaan BPK.

Sementara itu dengan pendekatan doktrinal (doctrinal Approach), bahwa putusan dan ketentuan yang muncul setelah putusan Nomor 13/PUU-XI/2013 dalam sidang Mahkamah konstitusi yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 22 ayat

15

(26)

14

(1) dan ayat (4) mengenai pengangkatan pergantian antarwaktu dan masa jabatan anggota penggatian antarwaktu.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum yang telah disebutkan dalam sumber data yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber data.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis normatif kualitatif. Yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam perundang-undangan serta buku-buku terkait secara komprehensip. Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta, Tahun 2012.16

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul yang penulis ajukan perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan. Antara lain :

Skripsi dengan judul “Penggantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR dan

Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat” karya Rida Farida mahasiswa Ilmu

Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syariah Dan Hukum

16

(27)

menjadi pembanding dengan skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas Pengangkatan Pergantian Antarwaktu anggota BPK namun dengan tinjauan yurudis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013.

Skripsi berjudul “Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Ketatanegaraan Islam”

yang disusun oleh saudari Rini Wulandari (konsentrasi Siyasah Syari’iyyah program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008). Membahas tentang kewenangan BPK dalam ketatanegaraan Indonesia dan membandingkannya dengan kewenangan Wilayah Mazhalim dalam pemerintahan Islam, dan apa yang menjadi persamaan dan pebedaan diantara keduanya. (wilayah mazhalim dalam ketatanegaraan islam adalah lembaga yang berwenang memeriksa perkara yang terkait dengan pemeriksaan terhadap harta milik negara).

Buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia” karangan Prof.

Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.17 pembahasan dalam buku ini adalah mengenai hukum Keuangan Negara pada salah satu babnya, yaitu: Pengertian tentang keuangan negara serta peran-peran lembaga negara khususnya BPK, kewenangan BPK dalam memeriksa keuangan negara, pembahasan lembaga atau badan usaha milik pemerintah yang berkaitan dengan keuangan negara, dimana didalamnya berhubungan dengan kewenangan BPK.

17

(28)

16

Selanjutnya buku berjudul “Hukum Tata Negara Indonesia’ karangan Ni’matul

Huda, S.H., M.Hum.18 menyinggung tentang cikal bakal pembentukan BPK dalam sejarah konstitusional Indonesia, Struktur kelembagaan BPK, dan Perluasan kewenangan BPK dalam kewenangan, fungsi, dan tugasnya.

Selanjutnya Buku berjudul “Hukum Keuangan Negara” karangan Dr.

Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H.19 membahas tentang pengelolaan keuangan negara, termasuk pemeriksaan keuangan negara, jenis pemeriksaan keuangan negara, tanggung jawab pemeriksaan keuangan negara, tanggung jawab pemeriksaaan, hingga tindak lanjut hasil pemerikasaan keuangan negara apabila ditemui pelanggaran.

Buku dengan judul “Perkembangan dan Konsolidasi lembaga Negara”

karangan Prof. Jimly Asshiddiqie,S.H. membahas tentang cikal bakal pembentukan BPK, konsepsi Badan Pemeriksaan Keuangan, fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, pengertian uang dan keuangan negara itu menurut pasal 23 UUD 1945 yang tidak terbatas pada pengertian APBN.20

F. Sistematika Penulisan

Untuk menyajikan skripsi ini secara sistematis, maka penulis menyusun sistematika penulisan skripsi ini kedalam lima bab dengan susunan sebagai berikut :

18Ni’matul Huda,

Hukum Tata NegaraIndonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005) h. 205-209, cetakan pertama.

19

Muhammada Djafar saidi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. cetakan pertama.

20

(29)

belakang masalah, (b) pembatasan dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat penelitian, (d) metode penelitian, (e) tinjauan (review) terdahulu, (f) metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB kedua penulis memberikan bahasan tentang Pengawasan Keuangan Negara (a) Sistem Pengawasan keuangan Negara dan Hak Konstitusional, (b) Badan Pemeriksa keuangan, (c) Mahkamah Konstitusi.

BAB ketiga penulis membahas tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK. Isinya berupa (a) Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (b) Kedudukan Dan Kewenangan BPK (c) Keanggotaan BPK, (d) Pemberhentian Anggota BPK, (e) Pergantian Antarwaktu Anggota BPK.

BAB keempat ini penulis memberikan tema “Analisis, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 yang terdiri dari dua pembahasan (a) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK, dan (b) Analisis Dan Implikasi Putusan Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK Terhadap Hak Individu sebagai Warga Negara, (c) Akkibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK.

(30)

18 BAB II

PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN HAK KONSTITUSIONAL A. Teori Pengawasan

1. Pengertian Pengawasan

Pengawasan berasal dari kata “awas”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai Penilikan dan penjagaan, dalam kontek kata “mengawasi”

memiliki arti melihat dan memperhatikan.1 Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan lembaga tinggi terhadap kinerja lembaga-lembaga yang ada dibawahnya, tujuannya adalah untuk melakukan kegiatan-kegiatan preventif, pengkoreksian, dan pelaporan kepada lembaga lainnya.

Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat dari para pengarang buku yang membahas atau menyinggung mengenai pengawasan, antara lain :

Menurut Prayudi Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan.2 Artinya apa yang telah direncanakan masih memerlukan sebuah sistem yang akan memandu rencana tersebut agar tercapai.

Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dan

1

Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 104.

2

(31)

dijalankan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.3 Dengan kata lain menurut Saiful pengawasan adalah sebuah tindakan pencegahan yang perlu dilaksanakan agar tidak terjadi hal-hal diluar dari apa yang telah ditetapkan.

Menurut M. Manullang mengatakan bahwa Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.4 Pengawasan yang dimaksud Manullang berfungsi sebagai sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah rencana kerja khususnya pemerintah.

Dilain pihak menurut Sarwoto yang dikutip oleh Sujamto memberikan batasan bahwa Pengawasan adalah kegiatan manager atau orang yang mengatur dan bertanggung jawab dengan mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki.5 Sama halnya dengan pendapat sebelumnya bahwa pengawasan berfungsi lebih kepada tindakan preventif yang diambil agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling, yang oleh Dale dikatakan bahwa “the modern concept of control provides a historical record of

3

Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Medan : Glora Madani Press, 2004), h.127.

4

M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h.18, cetakan keempat belas.

5

(32)

20

what has happened and provides date the enabel the executive to take corrective

steps”,6 maksudnya adalah mengawasi tidak semerta-merta hanya kegiatan

mengawasi dan melaporkan hasil dari mengawasi, namun juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskan sehingga apa yang telah direncanakan dapat dicapai. 2. Urgensi Pengawasan

Pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan- pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.7 Ada beberapa aspek-aspek penting yang perlu diawasi oleh rakyat dengan legislasi-legislasi rakyat yang ada di pemerintahan. Lembaga pemerintahan mempunyai kewenangan untuk mengontrol 3 aspek yaitu, kontrol atas pemerintahan (control of executive), kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), dan kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).8

Dalam arti lain pengawasan merupakan proses dalam memastikan bahwa segala program sesuai dengan apa yangtelah direncanakan. Pengawasan sangat diperlukan untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan pemerintah berjalan sesuai dengan perencanaan dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

6

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2004), h. 185-186, cetakan ketiga.

7

Heidjrachman Ranupandojo, Tanya Jawab Manajemen (Yogyakarta : AMP YKPN, 2000), h. 109.

8

(33)

Aspek pengawasan berkaitan erat dengan persoalan kewenangan lembaga negara yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan persoalan keuangan negara ini misalnya, adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Serta lembaga negara yang mengelola keuangan negara dalam bentuk APBN ataupun APBD perlu diketahui terlebih dahulu tentang keuangan negara secara mendasar.

Pandangan dan pemahaman Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State, menguraikan bahwa “Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ”.9 Siapa

saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.

Dikatakan pula oleh Hans Kelsen bahwa, “An organ , in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ

negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law applying function).10

9

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961), h. 192.

10

(34)

22

B. Sistem Pengawasan Keuangan Negara

1. Pengertian dan Urgensi Pengawasan Keuangan Negara

Pengawasan keuangan negara adalah pengawasan yang dilakukan pada sektor-sektor pemerintahan yang memakai uang atau anggaran dari negara. Pengawasan keuangan negara pada dasarnya dilakukan untuk memantau kemana saja uang negara mengalir dan untuk tujuan apa uang negara tesebut digunakan.

Sistem pengawasan keuangan negara dilakukan oleh lembaga tinggi negara atau lembaga turunan dari lembaga yang sudah ada. Tujuan diadakannya lembaga– lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang dibentuk berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudakan tujuan negara jangka panjang.

Salah satu tehnik pengawasan yang lazim dilaksanakan adalah pemeriksaan, yaitu kegiatan untuk menilai apakah hasil pelaksanaan yang sebenarnya telah sesuai dengan yang seharusnya dan untuk mengidentifikasi penyimpangan atau hambatan yang ditemukan.11

Pengawasan pada sektor keuangan meliputi segala bentuk anggaran yang telah direncanakan pada setiap kementrian. Pentingnya sebuah pengawasan adalah

11

(35)

untuk menjaga dan mengkawal agar anggaran yang telah disahkan oleh pemerintah menjadi tepat sasaran dan untuk memantau ada tidaknya pelanggaran yang terjadi pada setiap APBN dan APBD.

Kegiatan pemeriksaan dan pengawasan mempunyai kedudukan yang strategis dan menentukan terciptanya transparansi dan akuntabilitas di bidang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Sampai saat ini usaha perbaikan hal tersebut masih terus berlanjut dan memberikan hasil yang cukup baik bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi.

2. Sejarah Pengawasan

Sejarah awal mula pengawasan telah lama tersirah pada zaman kuno, walaupun tidak dijelaskan secara rinci dan tegas. Plato atau dengan nama lain Aristocles adalah seorang filsuf Yunani klasik yang tidak diketahui waktu dan tempat kelahirannya secara pasti.12 Plato berpendapat bahwa luas negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidak nyasebuah negara memelihara kesatuan di dalam negara itu sendiri.13 Artinya peran sebuah organ pengawasan mutlak sangat diperlukan untuk memandu sebuah negara dalam hal mencapai cita-citanya.

Teori controlling yang dipupolerkan oleh Plato berhasil dipetakan dan dirumuskan oleh Hans Kelsen menjadi sebuah norma hukum, dimana keberadaan

12

Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 37, cetakan pertama.

13

(36)

24

sebuah norma sesunggungnya adalah bentuk lain dari pengawasan yang bersifat preventif. Sistem baru yang kemudian diberlakukan sebagai sebuah sistem hukum, yakni, menafsirkan tindakan yang menerapkan sistem baru sebagai sebuah tindakan-tindakan yang sah, dan fakta-fakta material yang melanggarnya sebagai tindakan tidak sah.14

Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara, sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai second best dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi.15 Membatasi yang memiliki tujuan menutup ruang untuk melakukan pelanggaran dan kesalahan, adalah pengawasan secara tidak langsung agar sebuah negara dapat memaksimalkan peran dan fungsinya.

Algemene Rekenkamer adalah sebuah implementasi daripada teori pengawasan terhadap keuangan negara, yang semula didirikan oleh pemerintah Belanda hanya untuk melakukan pengurusan dan pembukuan keuangan negara. Kemudian dengan berlakunya Indische Comptabiliteit Wet (ICW).

Sebelum berlakunya pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 maka yang diberlakukan adalah perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda yang memiliki sejarah tersendiri, Algemene Rekenkamer Belanda semula didirikan oleh Gubernur Deandeles pada tahun 1808 dan diberi nama “General Rekenkamer”

14

Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung : Nusa Media, 2008), h. 99, cetakan pertama.

15

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h. 7, cetakan kedua.

(37)

yang mengikuti sistem pemerintahan Prancis yang menguasai Belanda pada waktu itu.16

Sejak tahun 1867 diambil alih dari kodifikasi peraturan keuangan Napoleon yang berlaku dinegeri belanda maka dilakukanlah Comptabiliteit Wet atau ICW, dengan berlakunya ICW maka penetapan anggaran belanja negara tidak lagi ditetapkan oleh raja.17

Dalam hal pengawasan fungsional, pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan 1963 belum memiliki unit organisasi khusus yang bertugas melakukan pengawasan anggaran negara. Pada periode ini pengawasan anggaran negara dilakukan oleh Inspektur Keuangan dan Inspektur Thesauri Jendral yang tugas pokoknya bukan bidang pengawasan. Inspektur Keuangan dan Inspektur Thesauri Jendral bukan bawahan langsung dari Menteri Keuangan. Ruang lingkup pengawasan terhadap anggaran dalam periode ini terbatas kepada kegiatan pemegangan kas, sehingga aktivitas terbatas hanya kepada pemeriksaan kas.18

Pada tahun 1963 keluar putusan Presiden No. 29 tahun 1969 tentang Pengawasan Keuangan Negara. Dalam keputusan ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan keuangan negara ialah pengawasan umum terhadap

16

Bohari, Pengawasan keuangan..., h. 9.

17

Ibid, h. 10.

18

(38)

26

pelaksanaan daripada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pembangunan, Anggaran Kredit dan Anggaran Devisa.19

Pada tahun 1975 dengan Keppres No. 40 tahun 1975 ditentukan bahwa lembaga Inspektorat Jendral harus ada pada setiap Departemen. Inspektorat Jendral bertanggung jawab kepada menteri yang bersangkutan.20

Sistem pengawasan keuangan negara secara umum dilaksanakan oleh dua unsur yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal dilaksanakan oleh bagian dalam lingkup pemerintahan itu sendiri, sementara unsur eksternal dilaksanakan oleh legislatif, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

a. Pengawasan Internal

Pengawasan oleh intern pemerintah atau disebut dengan pengawasan internal merupakan bagian dari organisasi pemerintah, melaporkan hasil pemeriksaannya kepada pimpinan pemerintah (tertinggi) di pusat maupun didaerah, dan tidak melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara.

Pengawasan internal ini dilakukan oleh pihak yang masih termasuk dalam fungsi organisasi atau bagian dari organisasi pemerintah. Pelaporan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas interen ini dilaporkan kepada pimpinan tertinggi yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada dasarnya

19

Ibid, h. 13.

20

(39)

pengawasan intern harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan mengadakan pengawasan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.21

Dalam pengawasan internal pemerintah ini dilakukan oleh tiga lembaga, sebagai berikut:

a. BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan)

Tugas dan fungsi utama dari BPKP adalah melakukan koordinasi atas seluruh pengawasan interen pemerintah. Serta menjalankan tugas pada pengembangan fungsi preventif (pencegahan).

b. Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga

Dalam kedudukannya tugas dari Inspektorat Jenderal Departemen adalah membantu menteri dalam menyelenggarakan pengawasan umum atas segala aspek pelaksanaan tugas pokok menteri.

c. Bawasda (Badan Pengawas Daerah) untuk daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten

Tugas dan fungsinya antara lain Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan, urusan perekonomian, urusan kesejahteraan sosial, urusan keuangan dan aset, dan Melaksanakan kegiatan ketatausahaan.

b. Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang berada di luar organisasi pemerintah, lingkup pekerjaan tidak tergantung pemerintah dan pemeriksaannya mencakup juga pertanggungjawaban keuangan negara oleh pemerintah serta hasilnya dapat digunakan sebagai dasar publik (DPR, DPRD, dan Masyarakat) dalam pengambilan keputusan.

21

(40)

28

Pengawasan ekstern dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri, seperti halnya pengawasan di bidang keuangan oleh BPK sepanjang meliputi seluruh aparatur negara dan direktorat jenderal pengawasan keuangan negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain.22

Wirjono Prodjodikoro23 menyamakan pengertian keuangan negara dengan anggran negara (state budget). Ada dua pengertian yang berbeda dikaitkan dengan perkataaan keuangan negara, yaitu :

a. Uang negara dalam arti ekonomis, yaitu dana dan kekayaan milik negara;

b. Uang negara dalam arti teknis, yaitu uang masuk dan keluar sebagaimana yang tergambar dalam perhitungan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Kedua pengertian ini harus dibedakan, dan tidak boleh dicampuradukkan sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahami konsep-konsep yang terkait dengan pengertian keuangan negara.24

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 1 butir 7 juga merumuskan definisi keuangan negara itu dalam pengertian luas, dengan menyatakan: “keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

22

Ibid., h. 27.

23

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), h. 109, cetakan ketiga.

24

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Pasca Reformasi),

(41)

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.25

Upaya BPK bersama pemerintah dalam melaksanakan reformasi keuangan negara telah dilakukan secara serius dan telah berhasil melaksanakan perbaikan kebijakan dan kerangka hukum. Sistem pengawasan dan pemeriksaan merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang berperan untuk memastikan bahwa keuangan negara telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Karena itulah sudah selayaknya keuangan negara yang diakumulasi dari rakyat harus dikelola dan didistribusikan kembali demi kesejahteraan rakyat. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.26

Dengan adanya suatu badan yang bertanggungjawab dalam hal pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara diharapkan mampu mengawasi kinerja keuangan sehingga dapat terciptanya sistem keuangan negara yang transparansi dan akuntabilitas. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai BPK lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya.

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

26

(42)

30

C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Lembar awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial riview) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury vs Madison (1803). Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan jidicial review kepada MA, tetapi dengan manafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.27

Dalam jangka waktu era reformasi, terjadi beberapa perubahan mendasar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD NRI 1945 telah merubah sistem kelembagaan negara indonesia dari Supremasi MPR kepada Supremasi Konstitusi. Kedudukan lembaga negara menjadi sejajar dan sederajat di bawah naungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh MPR dalam perubahan ketiga UUD 1945 sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

27

(43)

keadilan. Untuk menjawab kebutuhan dan beberapa persoalan hukum di negeri ini tercermin dalam kewenangan dan kewajiban yang dimilikinya.28

Kemudian untuk merinci dan menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Tanggal 13 Agustus inilah yang kemudian disepekati para hakim konstitusi menjadi hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.29

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai asas hukum tertinggi dapat ditegakkan dan ditegaskan sebagaimana mestinya. Pada prinsipnya pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan implementasi dari amnademen UUD NRI 1945 yang terjadi selama era reformasi berlangsung, namun disamping itu pembentukan Mahkamah konstitusi juga bertujuan untuk memberikan pengawasan dan penafsiran terhadap UUD NRI 1945 yang memang belum ada lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan tersebut.

Secara konstitusional, keberadaan Mahkamah Konstitusi pada era reformasi diatur di dalam UUD NRI 1945, yakni Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

28

Ibid, h. 5.

29

(44)

32

berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Atas dasar Pasal tersebut, maka dibuatlah undang-undang organik sebagai turunan dari UUD RI 1945, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dibentuklah Mahkamah Konstitusi, yang merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan tugas dan wewenang di bidang kekuasaan kehakiman. 30

2. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar31 memutus sengketa antarlembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 194532 memutus sengketa hasil pemilu33 dan memutus pembubaran partai politik.34

30

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 196, cetakan pertama.

31

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf a, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

32

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf b, ibid.

33

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf c, ibid.

34

(45)

Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD RI 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.35

Kedudukan MK berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting dalam menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945. Mahkamah konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

Susunan MK berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK yaitu, MK mempunyai 9 orang hakim anggota konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan anggota MK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 orang hakim anggota konstitusi.36

Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua MK. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, di adakan rapat untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK dan rapat dipimpin

35

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf e, ibid.

36

(46)

34

oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya di antara para hakim anggota konstitusi.37

Sejak dikeluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan MK ditambah satu lagi yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan daerah (pilkada) yang sebelumnya merupakan kewenangan dari MA. Pengalihan wewenang peradilan sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.38

Dalam melakukan fungsi peradilan di keempat kewenangannya, Mahkamah Konstitusi adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang diperbolehkan melakukan penafsiran Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, bahkan pengujian materiil tersebut adalah simbol peran Mahkamah Konstitusi dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas, MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan UUD 1945.

37

Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4), ibid.

38

(47)

Begitupun terhadap suatu undang-undang, MK dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak didasarkan kepada UUD 1945. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif yaitu DPR dan Presiden diimbangi dengan adanya pengujian formal dan materiil oleh MK sebagai cabang lembaga yudisial.39

Sebagaimana diterangkan diatas nampak penggambaran “sosok” MK

sebagai sebuah lembaga yang mempunyai peran sebagai penjaga Konstitusi dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dengan keberadaan MK ditengah-tengah lembaga yudikatif yang telah ada diharapkan mampu menjadi pelengkap dan saling melengkapi diantara lembaga kekuasaan kehakiman yang telah ada terlebih dahulu.

3. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dapat dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab sesuai dengan kehendak dan cita-cita dari demokrasi itu sendiri.40

39

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h.31, cetakan pertama.

40

(48)

36

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang menjalankan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, mengacu kepada undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, hukum acara MK memiliki landasan yang tersirat dalam asas-asas hukum yang melandasinya. Sebagai sebuah gambaran kewenangan dan batasan yang harus dipenuhi terhadap pelaksanaannya, asas hukum acara di MK dipandang sebagai dasar-dasar umum dan petunjuk bagi hukum yag berlaku.41

Hukum acara MK terbagi dalam dua jenis pertama, hukum acara yang bersifat umum, dan hukum acara yang bersifat khusus. Hukum acara yang bersifat umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan hukum acara yang bersifat khusus hanya berlaku untuk masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK.

Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah Konstutisi.42 Keberadaan hukum acara sebagai hukum formil mempunyai status kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum materiil di dalam lembaga peradilan. Sebagai hukum formil, hukum acara di MK berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan, dan menjamin bahwasannya hukum materiil Mahkamah Konstitusi ditaati dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.

41

Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), h. 5, cetakan ketiga.

42

(49)

Hukum acara Mahkamah Konstitusi disusun secara sederhana dan tidak memisahkan secara khusus masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK karena tidak ada perbedaan prinsip dari masing-masing perkara, kecuali para pihak yang berperkara. oleh karena itu tidak ada perbedaan secara prinsip, maka ketentuan yang berbeda cukup dikecualikan, misalnya dalam soal perkara perselisihan tentang hasil pemilu dan impeachment. Untuk proses beracara di MK selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa (contentious procesrecht), juga digunakan acara nonsengketa yang bersifat volunter.43

Beberapa asas hukum acara MK yang penting, diantaranya adalah,44 Asas Indepedensi/Noninterfentif, Asas Praduga Rechtmatige, Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, Asas Hakim Majelis, Asas Objektivitas, Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus Litis), Asas Pembuktian Bebas, Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final, Asas Putusan Mengikat Secara “Erga Omnes”, Asas Sosialisasi dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.

43

Fickar Hadjar A., dkk.., Pokok-Pokok Pemikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 30.

44

Fatkhurohman dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,

(50)

38 BAB III

PERGANTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) A. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

BPK merupakan salah satu lembaga pengawasan eksternal dan sebagai suatu lembaga negara yang memiliki posisi sangat tinggi berdasarkan amanat UUD 1945. Lembaga tinggi negara adalah lembaga yang menjalankan kekuasaan negara yang bersifat primer dan keberadaan lembaga tersebut ditetapkan secara tegas oleh UUD NRI 1945. Tugas BPK adalah melakukan pemberantasan KKN, memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keungan negara, untuk memeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya.

Tugas utama Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK) adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menyerahkan semua hasil pemeriksaan tersebut kepada lembaga perwakilan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan keuangan negara sebagai hal utama dalam demokrasi ekonomi dan politik yang sesungguhnya.

(51)

dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan yang baik dan bersih, serta mewujudkan tata kelola/tata pemerintahan yang baik (good governance).1

Pada ayat (1) Proses memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan oleh satu Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebas dan mandiri, kemudian pada ayat (2) hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, dan pada ayat (3) hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lemabaga perwakilan/atau badan sesuai dengan undang-undang.2

1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan

Cikal bakal pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berasal dari Algemene Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda.3Algemene Rekenkamer inilah yang dulunya menjadi contoh ketika ide BPK diadopsi ke dalam rumusan UUD 1945. Algemene Rekenkamer yang dibentuk sebagai salah satu lembaga konstitusional yang bersifat independen di Belanda ini dapat melakukan hal-hal yang menjadi kewenangannya.4

1 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK (Sebuah Panduan Populer), (Jakarta: Biro Humas Dan

Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010), h. 19.

2

Republik Indonesia, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3

Kusuma A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badang Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h.75, cetakan ketujuh.

4

(52)

40

Para perumus UUD 1945 menyadari betul bahwa pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan dan Pemeriksaan Keuangan Negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.5

Secara historis, sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 hingga 10 Desember 1945 BPK belum terbentuk, karena situasi politik yang belum mengizinkan untuk memikirkan masalah badan tersebut. Setelah pada tanggal 10 Desember 1945 menteri keuangan mendirikan dictum bahwa BPK akan dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari 1946 sebagai keharusan dalam UUD 1945, sehingga mulai dipersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan BPK. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1947 berdasarkan Penetapan Pemerintah 1946 No. 11/OEM yang dikeluarkan pada tanggal 28 Desember 1946, Presiden RI menetapkan berdirinya BPK yang berkedudukan sementara di kota Magelang.6

Saat dibentuk BPK hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Menyebut nama Raden Soerasno, sama artinya berbicara dengan sejarah awal mula berdirinya BPK tahun 1947. Sebagai ketua BPK pertama, Soerasno lekat dengan dinamika perjuangan mempertahankan kemerdekaan.7

5 Tititk Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945, (Jakarta :

Kencana, 2010), h. 230.

6

Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia..., h. 231.

7

Warta BPK, Bulan Edisi 2 – Vol. III Februari 2013, R. Soerasno, Ketua BPK pertama “Ini Bensinmu,

(53)

Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan surat tertanggal 12 April 1947 No. 94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW (Indische Comptabiliteswet) dan IAR (Instructie en Verdere Bepalingen Voor de Algemene Rekenkamer).8

Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang yang kala itu beribukota di Yogyakarta untuk sementara, tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945. Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.9

Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor

8

Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h.231.

9

(54)

42

menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.10

Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.11

Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga Undang-Undang yang mendasari tugas BPK perlu diubah, dan akhirnya terealisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal

10Ibid.,

h. 232.

11

(55)

di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.

Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.12

2. Dasar Hukum, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Dasar hukum bedirinya BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara adalah adanya amanat dari UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3). Bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara maka dibentuklah badan pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan mandiri. Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur dengan undang-undang13. Sebagai undnag-undang penunjang BPK adalah sebagai berikut :

12

www.bpk.co.id , diakses pada 23 September 2013.

13

Gambar

Grafika, 2012), h. 136 -145, cetakan kedua.
Grafika, 2012, cetakan kedua.

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dalam kelompok menggunakan bahan yang tersedia untuk melakukan pembuktian sesuai instruksi yang ada dalam LK dengan mencari garis tinggi sampai

Sedangkan tanah (soil) berarti bahan atau material di permukaan atau di bawah permukaan yang menyusun dan membentuk lahan di permukaan bumi. Berdasarkan pengertian tersebut,

Bagi ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e, f dan g yang menyatakan mereka memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus

[21] Prognosis dari penyakit/damage diisi sesuai dengan prognosis yang dibuat berdasarkan penilaian terhadap jejas atau damage (diagnosis/gambaran klinis pada saat

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi perubahan situs metilasi antara ortet normal dan ES kotiledon abnormal.. Hasil analisis RP-HPLC menunjukkan bahwa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 orang yang dijadikan sebagai sampel, menujukkan bahwa distribusi keputihan sesudah pemberian daun sirsak pada wanita usia subur

Akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 yang mengakibatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nmor 14 Tahun 1985 Tentang