• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Penggerek Buah Kopi Robusta Menggunakan B.bassiana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengendalian Penggerek Buah Kopi Robusta Menggunakan B.bassiana"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Penggerek Buah Kopi Robusta Menggunakan

B.bassiana

Oleh : Umiati,SP

A. PENDAHULUAN

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki potensi tinggi namun rentan penggerek buah kopi (PBKo). Hama PBKo ini, dapat mengakibatkan penurunan mutu dan hasil tanaman kopi. Hama PBKo biasanya menyerang hampir keseluruh tanaman kopi di kebun terutama pada daerah –daerah yang cukup lembab dan di dataran tinggi. Usaha untuk menanggulangi serangan hama penggerek buah kopi ini dapat dilakukan dengan pengendalian hama melalui beberapa cara mekanis dan hayati (Junianto. 2000).

Pengendalian hama secara mekanis dapat dilakukan petani kopi dengan memutus daur hidup serangga pengerek buah kopi. Pengendalian hama secara hayati dengan cara melihat kehidupan biologis hama PBKo yang memiliki musuh alami berupa patogen yaitu jamur

Beauveria bassiana dan parasitoid Chepolonomia stephanoderis, maka untuk mengendalikan

serangan hama penggerek buah kopi dapat memanfaatkan musuh alami tersebut.

B. HAMA PENGGEREK BUAH KOPI (PBKo)

Hama penggerek buah kopi (PBKo) merupakan hama penting pada tanaman kopi. Hama ini memiliki nama spesies Hypothenemus hampei Ferr, termasuk famili Scolitidae dan Ordo Coleoptera. PBKo ini sangat merugikan karena mampu merusak biji kopi dan dapat menyebabkan penurunan produksi dan mutu kopi. Hama penggerek buah kopi (PBKo) ini berupa kumbang kecil yang berukuran 1,7 mm berwama gelap hampir hitam (Hidayana, 2002).

(2)

Gejala serangan hama penggerek buah kopi (PBKo) dapat diketahui dari bentuk serangan dimana PBKo dapat menggerek buah kopi yang masih muda sampai dengan yang masak (Junianto, 2000). Serangan PBKo ini pada umumnya hanya dilakukan oleh kumbang dewasa yaitu kumbang betina yang sudah kawin yang akan mengerek buah kopi. Hama ini masuk ke dalam buah dengan cara membuat lubang pada ujung buah. Kumbang betina menyerang buah kopi yang sedang terbentuk (endosperm masih lunak). Serangan hama atau kumbang ini dimulai dari 8 minggu setelah berbunga sampai dengan waktu panen. Pada umumnya kumbang betina terbang dari pagi hingga sore hari (Hindayana, 2002).

Gambar 3. Buah Kopi yang terserang PBKo.

Sebagai akibat dari gerekan PBKo, pada buah muda yang masih memiliki endosperm lunak, buah muda tersebut tidak dapat berkembang lebih lanjut, bahkan busuk dan gugur. Pengguguran buah kopi muda dapat mencapai 7 - 14 % dari produksi (Anonim, 1995). Kerusakan berat dapat terjadi pada saat buah kopi mengeras, karena selain menggerek dan memakan biji kopi, kumbang ini juga berkembang biak di dalam biji sehingga biji kopi menjadi cacat dan berlubang-lubang sehingga kopi yang dihasilkan adalah kopi pasar yang berkualitas rendah dengan kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai 30 - 80 % dari produksi (Junianto, 2000).

C. CENDAWAN B. Bassiana

Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga

(3)

sangat ditentukan oleh kelembaban lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.

Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al., 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan hidup cendawan umumnya antara 20-30°C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia (Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk melepaskan konidia B. bassiana dari

konidiofor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).

Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh (half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400nm) hanya sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih dari 4 jam.

Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur

(4)

tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi.

Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun blastosporanya (Soper dan Ward, 1981). Konidia yang diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif. Hal ini menyebabkan mortalitas hama sasaran.. Sedangkan

enkapsulasi (pellet) konidia B.bassiana dengan menggunakan kalsium alginat juga efektif

meningkatkan mortalitas S. invicta (White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam tanah.

Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh B. bassiana, seperti beauvericin,

bassianin, bassiacridin, bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al.,

2000; Vey et al., 2001). Senyawa metabolit sekunder ini dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada

epizootik di alam (tanah) maupun pada epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian,

hingga saat ini belum ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder, atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al., 2001).

Cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal ini memungkinkan B. bassiana dapat menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna. Namun, Plate (1976) mengungkapkan bahwa tingkat kepekaan serangga bukan sasaran terhadap infeksi B. bassiana sangat ditentukan oleh

virulensi dan patogenisitas cendawan, serta spesies serangga inang. Selain itu, perbedaan

fisiologis dan ekologis inang juga mempengaruhi infeksi B. bassiana. Misalnya, serangga bukan sasaran yang mudah terinfeksi B. bassiana di laboratorium tidak akan serta merta terinfeksi pada kondisi lapang.

(5)

D. PROSES PERBANYAKAN B.bassiana

Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung, padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B. bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984; Bradley et al., 1992).

Perbanyakan strain Beauveria bassiana dilakukan dengan memproduksi konidia terlebih dahulu. Proses produksi konidia yaitu jagung giling dicuci dengan air, kemudian ditambah dengan air bersih sehingga perbandingan jagung dan air = 1 : 1. Jagung dimasak sampai setengah matang. Selanjutnya lebih kurang 300 gram jagung masak dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 17 x 30 cm. Sterilisasi dengan autoclave pada suhu 121°C, tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah didinginkan, media diinokulasi dengan biakan murni

Beauveria bassiana. Kantong ditutup dengan pipa berdiameter 3 cm yang telah diberi kapas.

Inkubasi pada suhu kamar selama 10 hari atau sampai terjadi sporulasi penuh.

Untuk aplikasi di lapang, biakan Beauveria bassiana dalam kantong plastik sebanyak 1, 2 dan 3 kg dengan konsentrasi konidia lebih kurang 10¹º/g masing-masing diberi air 1 liter yang telah diberi perata. Campuran diremas kemudian digojok sampai spora tersuspensi dalam air. Suspensi ini dituang dan disaring dengan kain dan kemudian diencerkan menjadi 100, 200 dan 300 liter air untuk memenuhi dosis 1 gram/liter air, 2 gram/liter air dan 3 gram/liter air. Campuran tersebut kemudian disemprotkan dengan menggunakan handsprayer pada tanaman pada saat kulit tanduk buah kopi tersebut mulai mengeras, kira-kira dimana pada waktu

(6)

tersebut tanaman kopi Robusta memasuki stadium masak susu (buah kopi telah berumur 5 bulan) dan diulangi lagi dengan selang waktu 2 bulan setelah aplikasi pertama.

Pengamatan terhadap populasi hama PBKo pada saat buah kopi Robusta memasukii umur 8 minggu setelah berbunga atau buah berumur 2 bulan sampai dengan buah kopi berumur 6 bulan dapat diketahui bahwa perlakuan Beauveria bassiana memberikan pengaruh terhadap populasi hama PBKo dimana aplikasi Beauveria bassiana pada buah kopi Robusta dapat mengurangi jumlah populasi hama PBKo yang terdapat pada dompol-dompol buah kopi Robusta.

E. Penutup

Pengendalian menggunakan Beauveria bassiana pada konsentrasi tinggi terbukti bisa menurunkan mortalitas hama dengan persentase mencapai 84 persen. Oleh karena itu, cendawan Beauveria bassiana mampu mengendalikan populasi hama dan layak untuk diterapkan pada sistem budidaya tanaman, khususnya dalam pengendalian hama PBKo.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Petunjuk Teknis Aplikasi Cendawan Beauveria bassiana Untuk

Pengendalian Hama Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei). Dinas Perkebunan

Jawa Timur.

. 1995. Pedoman Bercocok Tanam Kopi. PT. Pupuk Sriwidjaya, Jakarta.

Callaghan, A.A. 1969. Light and spore dischargein Entomophthorales. Trans. Br. Mycol. Soc. 53 (1): 87-97.

Gottwald TR, Tedders WL, 1982. Studies on conidia release by the entomogenous fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina, Hyphomycetes) from adult pecan weevil (Coleoptera, Curculionidae) cadavers. Environmental Entomology 11: 1274–1279.

Hindayana, Dadan, dkk. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. Direktorat Perlindungan Tanaman, Dep. Pertanian, Jakarta.

Hughes, S.J. 1971. Phycomycetes, Basidiomycetes, and Ascomycetes as Fungi Imperfecti. In:Taxonomy of Fungi Imperfecti (B. Kendrick, ed.), pp. 7-36. University of Toronto Press, Toronto.

Ignoffo, C.M., D.L. Hostetter, P.P. Sikorowski, G.Sutter, and W.M. Brooks. 1977. Inactivation of representative species of entomopathogenic viruses, a bacterium, fungus, and protozoan by an ultraviolet light source. Environ. Entomol. 6: 411-415.

(7)

Junianto, J.D. 2000. Penggunaan Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Hama Tanaman

Kopi. Makalah dalam pelatihan "Perbanyakan Agen hayati tanggal 14-26 Februari

2000, Puslitkoka, Jember.

McCoy, C.W., R.A. Samson, and D.G. Boucias. 1988. Entomogenous Fungi. In: CRC Handbook of Natural Pesticides. Microbial Insecticides, Part A. Entomogenous Protozoa and Fungi (C.M.Ignoffo, ed.). Vol. 5, pp. 151-236. CRC Press, Boca raton, Florida.

Maheva, E., at all. 1984. Sporulation in penicillum roquefoetii, in solid state fermentation. Biotechnology letters 6, 97-102.

Millstein, J.A., G.C. Brown, and G.L. Nordin. 1983. Microclimatic moisture and conidial production in Erynia sp.(Entomophthorales:Entomophthoraceae): In vivo moisture balance and conidiation phenology. Environ. Entomol. 12: 1339-1343.

Plate, J. 1976. Fungi. Biological Control: A guide to natural enemies in North America. Cornel University.4pp.

Roberts, D.W. and A.S. Campbell. 1977. Stability of entomopathogenic fungi. Misc. Publ. Entomol. Soc., Am. 10 (3): 19-76.

Soper, R.S. and M.G. Ward. 1981. Production, formulation, and application of fungi for insect control. In: Pp. 161-180, Biological Control in Crop Production, BARC Symposium No. 5. G.C. Papavizas (ed) Allanhead, Osmum, Totowa.

Stimac, J.I., R.M. Pereira, S.B. Alves, and L.A. Wood. 1993. Mortality in laboratory colonies of Solenopsis invicta (Hymenoptera: Formicidae) treated with Beauveria bassiana (Deuteromycetes). J. Econ. Entomol 86: 1083-1087.

Strasser, H. A. Vey, and T. Butt. 2000. Are there any risks in using entomopathogenic fungi for pest control, with particular reference to the bioactive metabolites of Metarhizium, Tolypocladium, and Beauveria species? Biocontrol Science and Technology 10:717-735.

Vey, A., R.E. Hoagland, and T.M. Butt. 2001. Toxic metabolites of fungal biocontrol agents. Fungi as Biocontrol Agents. Progress, Problems and Potential (Butt T.M, C. Jackson, and N. Magan, eds), pp.311-346. CABI Publishing, Oxford, UK.

White, H.E. 1995. Alginate pellet formulation o Beauveria bassiana pathogenic to the red imported fire ant. M.S. Thesis, Texas tech University, Lubbock, TX.

Yitnosumarto, . 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gambar

Gambar 2. Kumbang PBKo (Hypothenemus hampei Ferr.).
Gambar 3. Buah Kopi yang terserang PBKo.

Referensi

Dokumen terkait

Pelayanan, Harga dan Fasilitas terhadap Keputusan Menginap pada Hotel Jati Wisata Pangkalpinang ”.. Oleh karena itu, mohon bantuan

Berdasarkan Tabel 2.12 di atas, menunjukkan bahwa sebaran rawan longsor Kota Kendari berdasarkan kemiringan jenis tanah dan penggunaan lahan terdapat di enam kecamatan

Manakala untuk kulit roti, nilai L* BB dan BBM adalah tertinggi yang menunjukkan warna yang lebih cerah berbanding kawalan secara signifikan (p<0.05) dan nilai (a*) dan

Wana Sari Nusantara dengan sebagian warga desa Sungai Buluh ini DPRD Kabupaten Kuantan Singingi khususnya Komisi B juga berperan sebagaimana tugasnya sebagai anggota

masyarakat sebagai entitas terdekat dengan sumber daya yang diinvestasikan juga perlu dilindungi keamanannya baik dari segi ekonomi, lingkungan dan sosial. Berdasarkan

1) Struktur yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas Struktur orgnisasi merupakan kerangka (frame work) dalam pembagian tanggung jawab fungsional pada

Daftar gaji yang telah dibuat oleh staf administrasi umum akan diperiksa kembali oleh staf administrasi keuangan jika benar maka staf administrasi keuangan akan

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa