1
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MEWARIS HARTA ASAL PAUSEANG BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT BATAK TOBA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALIGE NOMOR 47/PDT.G/013/PN.BLG)
Lasmaria
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: [email protected])
Ning Adiasih
(Dosen Fakultas Hukum Trisakti) (Email: [email protected])
ABSTRAK
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum menjadi satu kesatuan hukum atau belum tercipta unfikasi hukum, hukum waris yang masih bersifat pluralistik akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum adanya keseragaman. Anak perempuan dalam masyarakat adat Batak Toba tidak mendapatkan harta warisan berupa harta peninggalan orangtuanya, karena menurut adat Batak Toba kedudukan perempuan dinyatakan bukan sebagai ahli waris. Dalam kasus terjadi gugatan antara anak perempuan Victoria Parhusip dan S.W Simbolon yaitu Veridiana Tiurlan Simbolon melawan Arifin Parhusip, penggugat tidak mengikutsertakan anak laki-laki dari Victoria Parhusip dan S.W Simbolon. Skripsi ini mengangkat putusan pada Studi Kasus Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/2013/PN.Blg. Dengan pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam mewaris harta asal pauseang berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba? 2) Apakah putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/ 2013/PN.Blg tentang kedudukan anak perempuan dalam mewaris harta asal pauseang sudah sesuai sudah sesuai menurut hukum waris adat Batak Toba? Metode penelitian menggunakan tipe penelitian normatif, sifat penelitian deskriptif analisis, dengan data sekunder melalui studi kepustakaan, data dianalisa secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dengan cara deduktif. Kesimpulan, bahwa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/2013/Pn.Blg tidak sesuai dengan hukum adat Batak, karena Majelis Hakim membagi harta asal pauseang milik alm. Victroia Parhusip kepada delapan orang ahli warisnya dan tidak memperhatikan terlebih dahulu kedudukan anak laki-laki untuk mewaris harta asal pauseang tersebut.
Kata Kunci : Hukum Waris Adat, Harta Asal Pauseang, Kedudukan Anak
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Dalam Masyarakat adat batak Toba, seorang anak perempuan dapat diberikan
pemberian (hibah) dari
bapaknya yaitu yang disebut Pauseang. Pauseang yang merupakan sebagai harta asal dapat berupa sebidang tanah, terutama sawah. Pauseang ini
diberikan sebelum
perkawinan dilangsungkan
atau pada waktu perkawinan
dilangsungkan.1 Artinya
pemberian pauseang ini
diberikan oleh bapaknya
kepada anak perempuannya
mengingat bahwa anak
perempuan bukanlah sebagai ahli waris dalam masyarakat
batak maka diberikan
pemberian (hibah) pauseang
yang bertujuan untuk
1 J.C Vergouwen, Masyarakat dan
Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2004), hal. 264
menjamin kehidupannya
setelah ia berumah tangga dan menjadikan bekal setelah
anak perempuan tersebut
berumah tangga dengan
suaminya, hidupnya tidak
mengalami kesulitan dan
mempunyai dasar materiel. Anak perempuan dalam masyarakat adat Batak Toba
tidak mendapatkan harta
warisan berupa harta
peninggalan orangtuanya,
karena menurut adat Batak Toba kedudukan perempuan dinyatakan bukan sebagai ahli
waris. Jadi yang berhak
mewaris seluruh harta
peninggalan orangtua nya adalah semua keturunan
laki-laki. Apabila ia tidak
mempunyai keturunan laki-laki, maka harta peninggalan (harta warisan) tersebut jatuh kepada kerabat (laki-laki).
Terkait dengan hak waris yang berupa tanah atau sawah pada masyarakat Adat Batak
Toba, pada umumnya hak waris tersebut hanya akan diwariskan pada anak laki-laki baik ketika belum kawin atau setelah berstatus kawin.
Adapun anak perempuan
berdasarkan ketentuan hukum
adat Batak Toba tidak
mewaris harta berupa tanah asal, tanah bawaan, dan tanah
pencarian dari orangtua
maupun dari suaminya. Oleh
karena perempuan (anak
perempuan dan janda) bukan
ahli waris.2 Anak perempuan
dalam masyarakat adat Batak
Toba tidak mendapatkan
harta warisan berupa harta
peninggalan orangtuanya,
karena menurut adat Batak Toba kedudukan perempuan dinyatakan bukan sebagai ahli
waris. Jadi yang berhak
mewaris seluruh harta
peninggalan orangtua nya adalah semua keturunan
laki-laki. Apabila ia tidak
mempunyai keturunan laki-laki, maka harta peninggalan
2 J.C Vergouwen, Masyarakat dan
Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2004), hal. 214-215.
(harta warisan) tersebut jatuh kepada kerabat (laki-laki).
Namun dalam kenyataan tidak begitu yang terjadi di
tanah adat Batak Toba
tepatnya pada perkara
warisan di Pengadilan Negeri Balige yang disengketakan
adalah harta asal tanah
Pauseang milik Victoria
Parhusip, tanah Pauseang
tersebut merupakan
Pemberian dari A.Harajaon Parhusip yaitu bapak dari
Victoria Parhusip yang
berupa sebidang tanah sawah
ketika Victoria Parhusip
menikah dengan S.W
Simbolon, tanah pauseang disebut juga Ulos So Buruk yang merupakan wujud adat batak toba sebagai tanda kasih sayang terhadap setiap
puterinya yang menikah.
Victoria Parhusip menikah dengan S.W Simbolon yang memiliki 8 (delapan) orang anak kandung yaitu 4 (empat) orang anak laki-laki dan 4
(empat) orang anak
Sihar Agustinus Simbolon, Veridiana Tiurlan Simbolon, Pinarshinta Simbolon, Victor Simbolon, (Alm) Pangihutan Simbolon, Riana Simbolon,
(Alm) Edison Marsahala
Simbolon, (Alm) H.
Simbolon. Gugatan terjadi
antara anak perempuan
Victoria Parhusip dan S.W
Simbolon yaitu Veridiana
Tiurlan Simbolon, Pinarshinta R Simbolon, Dra. Riana Simbolon,Hotmariani
Simbolon selaku Penggugat
melawan Arifin Parhusip
selaku Tergugat dengan
alasan bahwa sepupu laki-laki selaku tergugat menguasai
dan mengelola tanah
Pauseang. Dalam kasus
tersebut anak laki-laki dari Victoria Parhusip dan S.W
Simbolon yaitu Sihar
Agustinus Simbolon, Victor Simbolon, (Alm) Pangihutan
Simbolon (diwakili oleh
istrinya yaitu L. Br.
Simanjuntak) tidak
mengajukan gugatannya
kepada Arifin Parhusip oleh
karena itu mereka
dimasukkan dalam daftar
Turut Sebagai Tergugat. Para
Penggugat merasa bahwa
mereka yang berhak atas harta asal tanah Pauseang yang menjadi objek perkara tersebut.
Berdasarkan uraian
diatas penulis merasa tertarik menganalisis suatu putusan mengenai harta asal pauseang pada adat Batak Toba yang
sistem kekeluargaan nya
menarik dari garis keturunan
ayah atau disebut patrilineal.
Mempelajari hukum waris adat pada dasarnya sangat menarik karena hukum waris adat masih tetap dikenal
masyarakat khususnya di
masyarakat pedesaan yang
sangat kental akan adat
istiadatnya. Untuk lebih
memahami hal tersebut,
penulis bermaksud
mengadakan suatu penelitian
dalam rangka tugas
pembuatan skripsi pada
Fakultas Hukum Universtas Trisakti, dengan mengambil
judul “Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Anak Perempuan Dalam Mewaris Harta Asal Pauseang Berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor
47/Pdt.G/2013/PN.Blg)”
2. Permasalahan Dalam penelitian ini dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan
anak perempuan dalam
mewaris harta asal
pauseang berdasarkan
Hukum Waris Adat Batak Toba?
2. Apakah putusan
Pengadilan Negeri Balige
Nomor 47/Pdt.G/
2013/PN.Blg tentang
kedudukan anak
perempuan dalam mewaris harta asal pauseang sudah sesuai atau tidak sesuai
dengan Hukum Waris
Adat Batak Toba?
B. METODE PENELITIAN 1.Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan
secara metodologis,
sistematika dan konsisten. 3
Penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan
Anak Perempuan Dalam
Mewaris Harta Asal Pauseang Berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba (Studi Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Balige Nomor
47/Pdt.G/2013/PN.Blg)” merupakan suatu penelitian
yuridis-normatif maka
penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum. Baik
hukum dalam
perundang-undangan, maupun hukum dalam putusan pengadilan. Dengan demikian objek yang
dianalisis adalah Putusan
Pengadilan Negeri Balige
Nomor 47/Pdt.G/
3 Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), hal.42.
2013/PN.Blg mengenai Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Anak Perempuan Dalam Mewaris Harta Asal
Pauseang Berdasarkan
Hukum Waris Adat Batak Toba (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Balige
Nomor
47/Pdt.G/2013/PN.Blg). 2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif, yaitu untuk memberikan
gambaran secara lengkap
mengenai karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan,
perilaku pribadi, perilaku
kelompok tanpa melalui
hipotesis dan memperoleh data mengenai hubungan dari suatu gejala dengan gejala lain.4
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan
bentuknya, data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh langsung dari
4 Ibid., hal.96.
sumber pertama, yakni
perilaku warga masyarakat
dengan melakukan
wawancara terhadap tokoh adat yaitu Lukman Sidauruk,
Bc.Hk, Raja Parhata
Parsadaan Punguan Parna yang memahami adat Batak dan Data sekunder yang
diperoleh melalui studi
kepustakaan. Data
Kepustakaan digolongkan
dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer,
terdiri dari 1) peraturan pada masyarakat Batak Toba 2) Putusan Nomor 47/Pdt.G/2013/PN.BL G 3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 179K/Sip/1961 tanggal 23 Oktober 1961, Putusan Mahkamah Agung Nomor 179 136K/Sip/1967 tanggal 31 Januari
1968, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1037K/Sip/1971 tanggal 31 Juli 1973. b. Bahan Hukum
Sekunder yang terdiri dari 17 buku yang
berkaitan dengan
Hukum Waris Adat Batak Toba, Hukum Waris dan buku-buku
lain yang terkait
dengan waris adat
batak toba.
c. Bahan Hukum Tersier
dengan media internet
untuk mengakses
beberapa data yang
diperlukan untuk
penulisan skripsi ini
serta wawancara
kepada Lukman
Sidauruk, Bc.Hk Raja
Parhata Parsadaan
Punguan Parna yang
memahami tentang
adat Batak Toba. 4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang
dilakukan untuk menunjang
pembahasan penelitian ini
adalah melalui studi
kepustakaan yang dapat
menunjang penulisan skripsi
ini serta mempelajari
berbagai macam buku ilmiah, buku wajib, dan peraturan
perundang-undangan yang
terkait dengan pengaturan mengenai Kewarisan.
5. Analisis Data
Dalam membahas
permasalahan, data hasil
penelitian ini disusun secara sistematis dan disajikan serta diolah secara kualitatif untuk
mendapatkan jawaban
sistematis yang akan
dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Penelitian
secara kualitatif sendiri
merupakan analisis data yang lebih menekankan kualitas atau isi dari data tersebut. 5. Cara Penarikan
Kesimpulan
Dalam mengambil
kesimpulan pada penulisan skripsi ini dilakukan dengan
menggunakan logika
membandingkan data yang bersifat umum.
C.ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Kedudukan Anak Perempuan Dalam Mewaris Harta Asal Pauseang Menurut Hukum Waris Adat Batak Toba
Sistem pewarisan di tanah Batak sangat di pengaruhi oleh struktur kemasyarakatan,
terdapat struktur
kemasyarakatan yang
berdasarkan hubungan darah yang ditarik melalui garis keturunan laki-laki, sehingga anak/keturunan laki-laki saja yang dapat meneruskan garis keturunan. Maka kedudukan anak laki-laki lebih menonjol
pengaruhnya dibanding
dengan kedudukan anak
perempuan di dalam
pewarisan.
Menurut Dr. Ellyne
Poespasari S.H., M.H dalam
bukunya Pemahaman Seputar
Hukum Waris Adat di
Indonesia menjelaskan bahwa berkaitan dengan hak waris yang berupa tanah atau sawah termasuk harta asal tanah pauseang pada masyarakat Batak Toba, pada umumnya tanah atau sawah tersebut
hanya akan diwariskan
kepada anak laki-laki. Harta pauseang tersebut diwariskan oleh anak laki-laki baik
sebelum anak laki-laki
menikah maupun yang
diwariskan setelah menikah yang akan dibawa ke dalam perkawinan dan akan menjadi harta asal dalam perkawinan. Harta asal pauseang kelak diwariskan kepada anak laki-laki jika dalam perkawinan mempunyai keturunan laki-laki. Adapun anak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat Batak Toba tidak berhak mewaris harta berupa tanah asal, tanah bawaan dan tanah pencarian dari orang tuanya maupun dari suaminya. Oleh
perempuan dan janda) bukan ahli waris.5
Kedudukan anak
perempuan dalam hukum
waris adat batak Toba
menyebabkan rasa
ketidakadilan bagi anak
perempuan karena dalam
hukum adat Batak Toba tidak menjadikan anak perempuan menjadi ahli waris sehingga
menimbulkan kesadaran
mengenai hak yang
melahirkan gugatan untuk merubah posisi karena merasa dilahirkan dari perut ibu yang sama tanpa disadari telah
menjadi gerakan yang
kolektif.
Tetapi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968 No.
136K/Sip/1967, Mahkamah
Agung telah membenarkan putusan Pengadilan Tinggi yang mempergunakan hukum adat Batak, dimana pada akhirnya terjadi pergeseran
5 Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman
Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2018), hal. 214.
dalam pembagian waris pada masyarakat Batak.
Holong Ate atas
pembagian harta warisan
kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan
kemajuan kedudukan
perempuan dan hak
perempuan di tanah Batak
pada khususnya dan
diperantauan pada umumnya. Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Juli 1973 No. 1037K/Sip/1971, Mahkamah
Agung juga mengatakan
bahwa anak perempuan
adalah satu-satunya ahli waris dan berhak mewaris.
Demikian juga berkaitan dengan yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961 tanggal
23 Oktober 1961 yang
menyatakan bahwa
“berdasarkan selain rasa
kemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap
hukum yang hidup di seluruh
Indonesia bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan dan bahwa anak
perempuan berkedudukan
sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak laki-laki serta mendapat bagian yang sama dengan anak laki-laki.
Berdasarkan uraian di atas, terjadinya perubahan hukum adat karena adanya terobosan hukum adat melalui
badan peradilan atas
kehendak dari masyarakat adat itu sendiri. Hukum adat
merupakan hukum tidak
tertulis sehingga perubahan
peraturan atau ketentuan
dilakukan sesuai dengan rasa
keadilan yang dapat
dilakukan dengan cara yaitu
masyarakat adat dan
berdasarkan putusan
pengadilan yang menangani
kasus-kasus konkret yang
terjadi di masyarakat.6
Yurisprudensi Mahkamah Agung menetapkan adanya suatu pergeseran nilai hukum
waris adat Batak yang
bersifat partrilineal ke arah nilai hukum adat waris Batak yang bersifat parental atau
bilateral yang memberi
kesederajatan kedudukan
anak laki-laki dan anak
perempuan sebagai ahli waris harta warisan orangtuanya.
Dengan keluarnya
Yurisprudensi Mahkamah
Agung tersebut sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat Batak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang sama sekali tidak mengakui adanya anak
perempuan untuk hak
mewaris.
2. Analisis Kesesuaian Putusan Pengadilan
6 Ning Adiasih, Penemuan Hukum oleh
Hakim dalam Perkara Waris Sesuai Asas Keadilan (On-line), tersedia di:
http://www.jhaper.org/ index.php/ JHAPER/
Negeri Balige Nomor 47/PDT.G/2013/PN.BLG Tentang Kedudukan Anak Perempuan Dalam Mewaris Harta Asal Pauseang Dengan Ketentuan Hukum Waris Adat Batak Toba
Dalam perkara ini yang
menjadi objek sengketa
adalah harta asal Pauseang milik alm. Victoria Parhusip berupa tanah (sawah) yang terletak di simpang Siauga Desa Nainggolan Kecamatan
Nainggolan, Kabupaten
Samosir, Provinsi Sumatera Utara sebagai tanah/ sawah Pauseang berbatasan sebagai berikut:
1. Sebelah Timur
berbatasan dengan jalan desa Siauga.
2. Sebelah utara
berbatasan dengan sawah Baringin Parhusip dan
sawah Ama Jukan
Parhusip.
3. Sebelah Selatan
berbatasan dengan Jalan
Raya Ring Road
Kecamatan Nainggolan.
4. Sebelah Barat
berbatasan dengan sawah Muda Situmorang, Ama Jati Sinaga, dan Langgis Sinaga.
Sehubungan dengan
perkara sengketa harta asal
pauseang yang telah
dilakukan oleh anak-anak
perempuan alm Victoria
Parhusip dan S.W Simbolon
untuk meminta tanah
pauseang yang dikelola oleh
sepupu dari anak-anak
perempuan tersebut untuk dikembalikan dan dibagikan kepada anak-anak perempuan tersebut, dikarenakan proses
cara musyawarah baik
melalui marhata
(musyawarah) secara
keluarga maupun melalui
lembaga adat tidak
tercapainya penyelesaian,
maka anak-anak perempuann Alm Victria Parhusip dan S.W Simbolon melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri
memutuskan bahwa harta asal
pauseang tersebut dapat
dibagikan dan diberikan
kepadanya.
Dalam hal ini Majelis
Hakim mempertimbangkan
bahwa yang menjadi ahli
waris adalah anak-anak
sampai kedelapan alm
Victoria Parhusip dan S.W
Simbolon bahwa mereka
berhak atas harta asal
pauseang milik alm. Victoria Parhusip.
Bahwa dalam
permasalahan ini masih ada hal-hal yang seharusnya perlu diperhatikan dan dibuktikan kebenarannya terlebih dahulu oleh Majelis Hakim sebelum menjatuhkan amar putusan, yaitu mengenai fakta yang terjadi berkaitan dengan harta
asal pauseang tersebut
ditinjau berdasarkan Hukum
Adat Batak sebagaimana
disampaikan oleh para
tergugat.
Dalam perkara ini
anak-anak laki-laki dari alm.
Victoria Parhusip dan S.W
Simbolon tidak melakukan
gugatan hal ini
mengakibatkan bahwa
anak-anak laki-laki tersebut
kedudukannya menjadi Turut sebagai Tergugat.
Dalam kasus yang telah
dipaparkan sebelumnya
hubungan penggugat dan
tergugat merupakan saudara sepupu. Alm. Ibu Pengggat (Victoria Parhusip) memiliki sebidang tanah (sawah) yang merupakan harta pauseang milik alm. Ibu penggugat yang diterima dari bapaknya A. Harajaon Parhusip seluas +/- 4 rante yang terletak di
simpang Siauga Desa
Nainggolan Kecamatan
Nainggolan, Kabupaten
Samosir, Provinsi Sumatera Utara sebagai tanah/ sawah Pauseang.
Karena objek perkaranya adalah harta asal pauseang milik Alm. Victoria Parhusip, secara konsekuensi yuridis yang seharusnya berwenang atas harta asal tersebut untuk mewakili dalam melakukan
gugatan pengembalian harta asal pauseang tesebut adalah Ahli Waris anak laki-laki Alm. Victoria Parhusip dan S.W Simbolon yaitu anak
laki-laki dan apabila
dikaitkan dengan kasus yang
dimana para penggugat
adalah anak-anak perempuan Alm. Victoria Parhusip dan
S.W Simbolon yang
melakukan gugatan kepada sepupunya untuk meminta
pengembalian harta asal
pauseang yang berupa tanah (sawah) tentunya hal tersebut bertentangan dan tidak sesuai dengan hukum waris adat
Batak. Para Penggugat
meminta kepada tergugat
untuk menyerahkan tanah
pauseang tersebut kepada
para penggugat dan menurut
pembagian waris harus
diberikan dan dibagi kepada para penggugat.
Menurut wawancara dengan Lukman Sidauruk,
Bc.Hk, Raja Parhata
Parsadaan Punguan Parna,
Pauseang adalah benda
pemberian oleh hula-hula
kepada boru berbentuk lahan dan berbentuk benda lainnya. Yang dikenal sekarang ini dalam hal pauseang adalah berbentuk lahan yang disebut tanah pauseang.yaitu harta asal berupa tanah sawah mempelai perempuan yang biasanya pada masyarakat adat Batak Toba berupa tanah
sawah yang merupakan
pemberian dari orangtuanya
atau bapaknya (parboru)
yang diberikan kepada anak
perempuannya (boru) serta
suaminya ketika orangtuanya
atau bapaknya (parboru)
mewajibkan anak perempuan. Apabila pemilik pauseang tersebut memiliki anak laki-laki maka kedudukan anak laki-laki lebih di dahulukan terlebih dahulu. Terutama
apabila pauseang tersebut
berupa bidang tanah atau sawah maka dalam adat Batak Toba hak mewaris pauseang kepada anak laki-laki.Hak waris tanah pada
umumnya tanah-tanah tersebut diwariskan kepada anak laki-laki, namun jika tidak mempunyai keturunan laki-laki tanah asal tersebut
akan kembali kepada
orangtuanya atau kerabatnya.7
Majelis Hakim seharusnya terlebih dahulu membuktikan kebenarannya sehingga dalam perkara ini dapat memperoleh fakta-fakta hukum yang benar
dan adil serta tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai
Budaya Batak demi
tercapainya putusan yang adil dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Sehubungan dengan
permasalahan sengketa waris harta asal pauseang berkaitan dengan hukum adat Batak yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Samosir di
Sumatera Utara pada
umumnya, maka dalam
persidangan seharusnya dapat
7 Lukman Sidauruk, Bc.Hk, Wawancara
Lukman Sidauruk, Bc.Hk Raja Parhata Parsadaan Punguan Parna, Jakarta, 7 Desember 2018.
dihadirkan saksi-saksi dari tokoh adat atau tetua adat dari
keluarga Alm. Victoria
Parhusip dan Alm. S.W Simbolon.
Adapun dalam persidangan seharusnya dapat dihadirkan saksi-saksi dari pihak kerabat seperti dongan tubu (satu
marga), hula-hula
(tulang/paman), boru
(keluarga dari pihak
perempuan), dongan sahuta
(saudara/teman satu
kampung) dan tokoh yang
dituakan dalam kerabat
tersebut.
Mengenai putusan Hakim
Pengadilan Negeri Balige
yang menyatakan semua ahli waris baik anak perempuan
dan anak laki-laki
mendapatkan bagian yang sama atas harta asal pauseang seluas +/- 4 rante yang terletak di simpang Siauga Desa Nainggolan Kecamatan
Nainggolan, Kabupaten
Samosir, Provinsi Sumatera Utara dan menyatakan para penggugat diberi hak atau
kuasa mewakili atas perbuatan objek perkara harta asal pauseang pada dasarnya
berdasarkan hukum adat
Batak tidak dapat dibenarkan. Menurut pendapat penulis,
Putusan Majelis Hakim
tersebut yang membagikan harta asal tersebut ke masing-masing pihak atau ahli waris menjadi bagian yang sama. Padahal harta asal pauseang
tersebut yang berupa
tanah/sawah adalah
diwariskan kepada anak-anak laki-laki baik ketika belum kawin atau setelah berstatus kawin. Adapun apabila anak
perempuan ingin
mendapatkan harta asal
pauseang maka dalam adat Batak Toba, perlu adanya persetujuan dari anak
laki-laki, paman (tulang) , bibi
(mamatua) dan itu perlu
adanya kesepakatan
sekeluarga keturunan dari 1 (satu) kakek (opung) bahwa harta asal pauseang telah
dibagikan dan diberikan
kepada anak perempuannya,
tetapi kalau harta asal
pauseang hanya diberikan begitu saja tanpa adanya
persetujuan pihak-pihak
tersebut maka dalam hukum
adat batak tidak dapat
diberikan kepada anak
perempuan.
Maka, menurut penulis
putusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Balige
Nomor 47/Pdt.G/2013/Pn.Blg tidak sesuai dengan hukum adat Batak, karena Majelis Hakim membagi harta asal pauseang milik alm. Victroia
Parhusip kepada delapan
orang ahli warisnya dan tidak
memperhatikan terlebih
dahulu kedudukan anak laki-laki untuk mewaris harta asal pauseang tersebut. Sifat dari tanah pauseang ini adalah harta yang tidak boleh dibagi tetapi diwarisi dan dikuasai oleh keluarga yang mendapat, tetapi tetap terikat kepada nilai pemersatu untuk rumpun keluarga dan bernilai restu
dari hula-hula. Masih adanya
dengan hula-hula yang memberikan. Pemberian harta warisan dalam adat Batak
Toba adalah berdasarkan
patrilineal dimana anak laki-laki berhak mendapat harta warisan. Seharusnya Majelis Hakim menyatakan secara jelas dan menentukan bahwa asal mula harta asal pauseang itu dan bagamaimana pula
acara mewariskannya
sehingga dapat diketahui nilai ide atau nilai gagasan penting mengenai hak warisan anak laki-laki dan anak perempuan menurut sistem kekerabatan
adat Batak mengenai
kedudukan anak laki-laki dari Alm. Victoria Parhusip dan Alm. S.W Simbolon yaitu Sihar Agustinus Simbolon, Victor Simbolon, Pangihutan Simbolon, Edison Marsahala H. Simbolon yang terlebih dahulu untuk mewaris harta asal pauseang tersebut. Dari sifat dan makna nilai tanah pauseang itu dapat dilihat bahwa tanah pauseang itu, bukan hanya bernilai materi,
tetapi mengandung nilai
moral yang berkelanjutan
pemersatu keluarga yaitu
antara hula-hula dan boru.
Pandangan tentang hak
warisan anak laki-laki dan hak warisan anak perempuan
berdasarkan ikatan dasar
kekerabatan Dalihan Na Tolu akan dapat diketahui dari sifat, asal mula dan cara memberikan harta warisan
dari harta peninggalan
tersebut, serta bagaimana
kaitan harta warisan itu
dengan kedudukan anak laki-laki dan kedudukan anak perempuan. Dalam konteks pewarisan terutama harta asal
bahwa yang memegang
peranan penting perihal
warisan Batak Toba adalah anak laki-laki sulung dan
anak laki-laki bungsu.
Mengenai hak pembagian warisan ini pada masyarakat Batak akan semakin tajam
apabila melibatkan
kekeluargaan dari sudut
kekerabatan. Ketika orang tua yang meninggal dunia, dan
belum sempat menggariskan
pemberian dari hartanya,
maka keturunan dari orang
tua yang meninggal itu
mengadakan sidang keluarga
lengkap dengan unsur
Dalihan Na Tolu dengan dipimpin oleh anak sulung laki-laki dan peserta sidang
adalah dongan tubu-boru dan
hula-hula serta dongan sahuta.
D.PENUTUP DAN SARAN 1. Kesimpulan
1) Kedudukan Anak
Perempuan dalam
Mewaris Harta Asal Pauseang dalam Adat Batak Toba adalah
bahwa berkaitan
dengan hak waris
yang berupa tanah
atau sawah termasuk
harta asal tanah
pauseang pada
masyarakat Batak
Toba, pada umumnya
tanah atau sawah
hanya akan
diwariskan kepada
anak laki-laki. Harta
pauseang tersebut
diwariskan oleh anak laki-laki baik sebelum
anak laki-laki
menikah maupun
setelah menikah yang akan dibawa ke dalam perkawinan dan akan
menjadi harta asal
dalam perkawinan.
Harta asal pauseang
kelak diwariskan
kepada anak laki-laki jika dalam perkawinan mempunyai keturunan laki-laki. Adapun anak perempuan
berdasarkan ketentuan Hukum Adat Batak
Toba tidak berhak
mewaris harta berupa
tanah asal, tanah
bawaan dan tanah
pencarian dari orang tuanya maupun dari
suaminya. Oleh
karena perempuan
(anak perempuan dan
janda) bukan ahli
2) Masyarakat Adat Batak Toba menganut
sistem patrilineal
bahwa kedudukan
anak laki-laki
merupakan sebagai
ahli waris seperti yang
telah diatur dalam
hukum adat Batak
Toba. penulis putusan
Majelis Hakim
Pengadilan Negeri
Balige Nomor
47/Pdt.G/ 2013/Pn.Blg tidak sesuai dengan hukum adat Batak, karena Majelis Hakim membagi harta asal pauseang milik alm.
Victoria Parhusip
kepada delapan orang
ahli warisnya dan
tidak memperhatikan
terlebih dahulu
kedudukan anak laki-laki untuk mewaris harta asal pauseang
tersebut. Sifat dari
tanah pauseang ini
adalah harta yang
tidak boleh dibagi
tetapi diwarisi dan dikuasai oleh keluarga yang mendapat, tetapi tetap terikat kepada nilai pemersatu untuk rumpun keluarga dan
bernilai restu dari
hula-hula. Masih
adanya ikatan moral
tanah pauseang
dengan hula-hula yang memberikan.
Pemberian harta
warisan dalam adat Batak Toba adalah berdasarkan patrilineal dimana anak laki-laki berhak mendapat harta
warisan. Seharusnya
Majelis Hakim
menyatakan secara
jelas dan menentukan bahwa asal mula harta asal pauseang itu dan bagaimana pula acara mewariskannya
sehingga dapat
diketahui nilai ide atau nilai gagasan penting mengenai hak warisan
anak perempuan
menurut sistem
kekerabatan adat
Batak. Hakim dalam
memutus perkara
diharuskan memiliki
pengetahuan yang
mendalam mengenai
aturan adat yang
mengatur masyarakat adat setempat sebagai
salah satu
pertimbangan untuk
digunakan dalam
memutuskan perkara
demi tercapainya
keadilan yang dapat
diterima oleh
masyarakat. 2. Saran
1) Pemerintah Indonesia
dapat membuat suatu
kodifikasi hukum
yaitu pembukuan
hukum dalam suatu himpunan
perundang-undangan yang
mengatur mengenai
pembagian waris yang
bersifat nasional,
sehingga adanya
pedoman dalam
mengatur mengenai
hukum waris sehingga
dalam pengaturan mengenai waris tercapailah kepastian hukum. 2) Hakim dalam memutus suatu
perkara tersebut harus memperhatikan sistem kewarisan adat Batak yang dipatuhi oleh masyarakat adat yang berperkara dan tidak mengkesampingkan kondisi-kondisi yang ada pada masyarakat
daerahnya untuk mengemban tanggung jawab di pundaknya demi tercapainya keadilan dan kedamaian bagi rakyat. E.DAFTAR PUSTAKA BUKU
Poespasari, Ellyne Dwi.
Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia.
Jakarta: Prenamedia Group. 2018.
Soekanto, Soerjono. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. 2014.
Vergouwen, J.C. Masyarakat
dan Hukum Adat Batak Toba.Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. 2004. ON-LINE DARI INTERNET Ning Adiasih, Penemuan Hukum
oleh Hakim dalam Perkara Waris Sesuai Asas Keadilan
(On-line), tersedia di:
http://www.jhaper.
org/index.
php/JHAPER/article/view/6 3/69 (17 Januari 2019) SUMBER LAIN
Putusan Mahkamah Agung
Nomor 179K/Sip/1961 tanggal 23 Oktober 1961
Putusan Mahkamah Agung
Nomor 136K/Sip/1967 tanggal 31 Januari 1968
Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1037K/Sip/1971