Korespondensi: Eni Maftu’ah, Balai Penelitian Lahan Rawa, Jl. Kebut Karet, Loktabat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
POTENSI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI
BIOINDIKATOR KUALITAS TANAH GAMBUT
Eni Maftu’ah1, M. Alwi1, dan Mahrita Willis2
1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kalimantan Selatan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah
ABSTRACT
Peat land has high potency to develop as agriculture land. It is widely distribute in Kalimantan, Sumatera, Sulawesi and Irian Jaya. One of constrains in peat land is low in fertility due to low of soil quality. Soil quality of peat land depends on peat decomposition rate and depth of peat. Soil macrofauna has a role in decomposition, carbon cycle, nutrient redistribution and soil aggregation. To become bioindicator of soil quality, soil macrofauna should have some characteristics such as specific response, sensitive to conditional change and abundantly found. The study conducted on distinct land use in Basarang and Kalampang, Central Kalimantan. Samples of soil macrofauna collected by using hand sortir and pit fall trap methods on rainy season and dry season in 2004.
Result of the study showed that different of land use correlated to population and diversity of soil macrofauna. Diversity of epigeic macrofauna significantly correlated with C-organic and C/N ratio, while diversity of endogeic macrofauna correlated to pH, C-organic and soil water content. Earthworm, ant, and millipida are soil macrofauna that have a potency as bioindicator of peat soil.
Key words: soil macrofauna, bioindicator, peat land
PENDAHULUAN
Gambut di Indonesia luasnya diperkirakan mencapai 15,4 juta ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan sebagian kecil di Sulawesi (Widjaya-Adhi et al., 1992). Oleh karena itu, potensi lahan gambut untuk dijadikan usaha pertanian
sangat besar. Lahan gambut berpeluang dijadikan daerah ekstensifikasi pertanian (Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Salah satu potensi pemanfaatan lahan rawa gambut untuk usaha pertanian seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat di sekitar daerah tersebut adalah untuk tanaman pangan yaitu padi dan palawija, juga dapat digunakan untuk tanaman hortikultura khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
Lahan gambut merupakan lahan yang rapuh (Sarwani dan Noor, 2004). Karena itu, dalam pengelolaan untuk usaha pertanian diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Usaha pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi banyak kendala karena rendahnya kualitas lahan tersebut. Kendala tersebut diantaranya kesuburan tanah rendah, masalah air dan subsiden (Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Telah banyak teknologi yang diterapkan untuk mengatasi kendala tersebut. Meskipun demikian dalam penerapan teknologi perlu dilakukan pendekatan secara holistik dan partisipatif dengan fokus pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan gambut (Alihamsyah, 2002 dalam Sarwani dan Noor, 2004). Salah satu sumberdaya lahan gambut adalah keberadaan organisme dalam tanah yang sangat besar peranannya terhadap perbaikan kualitas tanah gambut.
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994). Tingkat dekomposisi/kematangan gambut serta kedalaman gambut sangat mempengaruhi kualitas lahan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut tergolong dalam gambut fibrik (dekompoisi awal), hemik (dekomposisi pertengahan), saprik (dekomposisi lanjut) (Noor,1996).
Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilalukan analisa kimia yang biayanya relatif mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas
tanah dengan biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti et al. (1991) mendemonstrasikan bahwa fauna tanah dan mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia.
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta, moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994).
Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Lavelle, 1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992; Pankhurst, 1994). Mengingat pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem. Diharapkan informasi yang didapatkan bisa digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan gambut.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari potensi dan memperoleh jenis makrofauna tanah serta diversitas makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah gambut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada lahan gambut yang ditanami nanas, karet, jagung, hortikultura dan lahan terlantar, dengan lokasi kecamatan Basarang dan Kalampangan, Kalimantan Tengah pada MK/MH 2004.
Pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan dua metoda. Untuk makrofauna yang aktif pada permukaan tanah digunakan metode pitfall trap, dan untuk makrofauna yang aktif dalam di dalam tanah diterapkan hand sortir.
Pitfall trap menggunakan cawan jebak yang dibenamkan dalam tanah dengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan formalin 4% setinggi 1,5-2 cm dan ditetesi sedikit larutan deterjen, kemudian dipasang pelindung pada bagian atasnya (atap) untuk melindungi dari hujan. Perangkap diambil setelah satu minggu dipasang.
Hand sortir dilakukan dengan menggali tanah seluas 25 x 25 cm sampai kedalaman 30 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran ± 50 x 50 cm, kemudian dibawa ke laboratorium untuk pengambilan dan penghitungan makrofauna tanah. Makrofauna kemudian diawetkan dalam formalin 4 % untuk diidentifikasi dan di hitung.
Pengambilan sampel tanah dan makrofauna tanah pada tiap-tiap petak dilakukan lima kali pada setiap periode pengamatan. Sampel diambil dalam dua periode, yaitu saat akhir musim penghujan (Juni s.d. Juli 2004) dan musim kemarau (Agustus s.d. September 2004). Data yang dikumpulkan meliputi: jenis dan jumlah makrofauna yang teridentifikasi. Sifat fisik dan kimia tanah meliputi: berat isi tanah (g/cm3), porositas, kadar air dan tekstur, pH H2O dan KCl; C-organik (%) dan N
Data yang diperoleh dari estimasi populasi makrofauna ditentukan indeks diversitas dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner. Uji korelasi dilakukan terhadap parameter kualitas tanah (pH tanah, N-total, C-organik, porositas, kadar air dan suhu) dengan diversitas dan populasi makrofauna tanah dominan untuk menentukan potensi makrofauna tanah tertentu sebagai bioindikator kualitas tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diversitas makrofauna tanah
Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura (Gambar 1a dan b). Hal tersebut disebabkan karena adanya pengelolaan lahan yaitu pemberian abu, kapur serta pupuk kandang pada penanaman hortikultura, sehingga memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup organisme tanah. Menurut Baker (1998), populasi, biomasa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh praktek penggelolaan lahan dan penggunaannya. Sebaliknya, pada lahan terlantar karena kualitas lahannya tergolong masih rendah menyebabkan hanya makrofauna tanah tertentu yang mampu bertahan hidup, sehingga diversitas makrofauna tanah baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam tanah juga sangat rendah.
Kondisi Lingkungan
Rata-rata suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan gambut relatif sama. Meskipun demikian pada lahan yang ditanami karet mempunyai suhu tanah terendah (Gambar 2). Lahan yang ditanami karet tanah hampir seluruhnya tertutup oleh kanopi, baik oleh tanaman karet maupun tanaman di bawah tegakan karet (rumput-rumputan). Penutupan kanopi tersebut akan mengurangi evaporasi dan menjaga suhu tanah.
(a)
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8Terlantar Hortikultura Jagung Karet Nanas
Lahan In d e ks D ive rs it a s MH MK 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Terlantar Hortikultura Jagung Karet Nanas
Lahan In d e ks D ive rs it a s MH MK
(b)
Gambar 1. Indeks Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan (a) dan di dalam (b) tanah pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK)
26 27 28 29 30 31 32 33
Terlantar Hortikultura Jagung Karet Nanas
Lahan S uhu T anah (oC ) MH MK
Gambar 2. Suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK)
Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kandungan C-organik, lahan yang ditanami nanas dan karet tergolong tanah bergambut, sedangkan lahan terlantar, yang ditanami jagung dan hortikultura tergolong gambut dalam. Menurut Widjaya Adhi (1988) tanah bergambut mempunyai kandungan C-organik 12 – 18% dengan ketebalan gambut kurang dari 50 cm, sedangkan tanah gambut dalam mempunyai kandungan C-organik lebih dari 18 % dengan ketebalan gambut 2 – 3 m. Berat isi tanah tertinggi dijumpai pada lahan yang ditanami nanas, dan terendah pada lahan yang ditanami hortikultura. Sebaliknya porositas tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura dan terendah
pada lahan yang ditanami nanas. Hal itu disebabkan karena perbedaan ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut. Selain itu pengolahan tanah pada lahan yang ditanami hortikultura meningkatkan porositas. pH tertinggi dijumpai pada lahan yang ditanami nanas, dan terendah pada lahan terlantar. Kandungan C-organik tertinggi pada lahan yang ditanami jagung, sedangkan N-total tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura. Tingginya kandungan N pada lahan yang ditanami hortikultura disebabkan pemberian pupuk kandang dan pupuk anorganik (pupuk N).
Potensi Makrofauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut Potensi makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien korelasi. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi berarti semakin erat hubungan antara makrofauna tanah dengan parameter kualitas tanah. Hasil analisis korelasi antara makrofauna tanah dengan parameter kualitas tanah seperti disajikan pada Tabel 2.
Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada musim hujan menunjukkan hubungan yang nyata dengan C-organik tanah dan rasio C/N tanah, tetapi pada musim kemarau hubungan tersebut tidak terlihat. Perbedaan ini disebabkan keberadaan makrofauna yang aktif di permukaan sangat cepat berubah, baik populasi maupun keanekaragamannya. Makrofauna permukaan tanah terdiri dari makrofauna yang asli disitu (natric) dan makrofauna yang hanya sesaat keberadaannya di daerah tersebut (exotic). Sementara itu pada musim kemarau diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah. Hal ini disebabkan pada musim kemarau makrofauna tanah yang aktif dipermukaan di dominasi oleh makrofauna yang keberadaanya sesaat (exotic). Umumnya diversitas makrofauna yang aktif dipermukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah, seperti dilaporkan oleh Adianto (1992) dan Maftu’ah (2002).
Lahan BI Porositas Kadar air Tekstur pH H2O pH KCl C-organik N total C/N Musim Hujan Terlantar 0,35 74,19 306,28 LB 3,19 2,52 41,37 0,67 61,79 Jagung 0,32 76,79 492,34 Liat 3,20 2,53 44,51 0,6 75,86 Hortikultura 0,23 82,50 238,99 Liat 3,89 3,43 35,98 0,77 46,73 Nanas 0,68 59,70 92,69 Liat 4,35 3,35 12,64 0,34 53,14 Karet 0,52 74,98 82,02 Liat 3,66 3,30 12,75 0,43 22,25 Musim Kemarau Terlantar 0,40 69,70 265,63 LB 3,30 2,62 41,30 0,79 52,37 Jagung 0,32 76,30 355,05 Liat 3,47 2,53 44,57 0,69 64,59 Hortikultura 0,25 80,77 259,16 Liat 3,58 3,43 30,98 0,89 34,81 Nanas 0,69 56,88 58,87 Liat 5,50 3,35 11,61 0,61 19,04 Karet 0,55 72,64 76,21 Liat 5,35 3,30 11,90 0,23 51,74 LB: Lempung berdebu
Diversitas
Makrofauna
pH H2O pH KCl
C-organik
N-total
Rasio
C/N
Suhu
Ka
Musim Hujan •permukaan tanah 0,18 arau 0,17 0,51** 0,15 0,54** 0,09 0,21 •dalam tanah 0,50* 0,61** -0,52** -0,22 -0,39* -0,05 -0,54**•Populasi semut (Formicidae) 0,33 0,18 -0,17 -0,17 -0,10 0,19 -0,35
•Populasi cacing tanah 0,56** 0,27 -0,54** -0,53** -0,09 0,58** -0,22
•Biomasa cacing tanah 0,57** 0,27 -0,58** -0,56** -0,09 0,58** -0,20
•Populasi milipeda (Polydesmidae) 0,33 0,30 0,20 0,34 -0,06 -0,27 -0,10
Musim Kem •permukaan tanah 0,16 0,16 0,07 0,07 0,06 0,09 0,05 •dalam tanah 0,32 0,38 -0,49* 0,34 -0,72** -0,07 -0,30
•Populasi semut (Formicidae) 0,39* 0,17 -0,35 -0,15 -0,28 -0,39* -0,31
•Populasi cacing tanah 0,54** 0,25 -0,43* 0,07 -0,34 -0,06 -0,39*
•Biomasa cacing tanah 0,55** 0,25 -0,40* 0,63** -0,22 -0,34 -0,22
•Populasi milipeda (Polydesmidae) 0,34 0,01 0,19 0,25 -0,07 0,24 0,69**
Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang tidak dapat memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah dihancurkan oleh jazad renik tanah (Soepardi, 1983). Karena itu, diversitas makrofauna tanah berhubungan negatif dengan rasio C/N. Semakin tinggi rasio C/N tanah semakin rendah diversitas. Bahan organik yang terdekomposisi lebih lama (rasio C/N kecil) akan meningkatkan populasi makrofauna dalam tanah. Priyadarsini (1999) menyatakan bahwa fauna tanah umumnya menyukai bahan organik kualitas tinggi (bahan organik dengan rasio C/N rendah). Hubungan diversitas makrofauna dengan kadar air tanah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin rendah diversitas makrofauna. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Bahan organik dengan kadar air tinggi merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi lama (belum matang). Rasmadi dan Kurnain (2004) menyatakan bahwa gambut yang kurang matang mampu menahan air lebih besar dibandingkan gambut yang telah matang.
Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomasa cacing, populasi semut dan Polydesmidae (milipida). Populasi cacing tanah, semut dan milipida berhubungan positif dengan pH. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral, sehingga meningkatnya pH gambut meningkatkan populasi cacing tanah. pH ideal untuk cacing tanah adalah 6– 7,2 (Rukmana, 1999). Pada tanah gambut, semakin tinggi kandungan C-organik semakin rendah populasi cacing tanah. Cacing tanah menyukai bahan organik kualitas tinggi (C/N rendah). Kualitas bahan organik yang paling menentukan
populasi cacing tanah adalah asam humat dan fulvat (Priyadarshini, 1999). Semakin tinggi kandungan asam humat dan fulvat, semakin kecil populasi cacing tanah; bahkan pada kondisi asam humat dan fulvat cukup tinggi cacing tanah bisa tidak dijumpai sama sekali. Semut juga berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah, dan mampu hidup pada rentang pH yang lebih besar dibandingkan cacing tanah. Meskipun demikian, dengan meningkatnya pH tanah gambut populasi semut juga meningkat. Milipeda berhubungan positif dengan kadar air, pH, C-organik, N total tanah gambut. Hal ini menjelaskan bahwa milipida mampu hidup pada tanah gambut dengan bahan organik tinggi. Milipeda membantu dekomposisi bahan organik. Kelimpahannya sangat tergantung pada keberadaan bahan organik (Maftu’ah, 2002). Menurut Tian (1992) milipeda berperan besar dalam pelepasan N dari bahan organik dengan rasio C/N tinggi (bahan organik kualitas rendah).
KESIMPULAN
Populasi dan diversitas makrofauna yang aktif di permukaan dan di dalam tanah menunjukkan adanya perbedaan pada beberapa penggunaan lahan. Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan mempunyai potensi sebagai indikator C-organik dan rasio C/N tanah, sedangkan makrofauna yang aktif di dalam tanah berhubungan pH tanah, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut adalah cacing tanah dan semut (Formicidae) dan millipida (Polydesmidae).