• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol dua kali ulangan masing-masing selama 2 menit. Setelah semuanya selesai, sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan mounting medium dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop.

Analisis Histopatologi

Preparat yang telah dibuat kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya Olympus CH-1 untuk melihat perubahan pada sel ataupun organ. Setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi terdapat 1 dari 4 ekor ikan manfish yang mengandung larva parasit nematoda pada ususnya. Analisis pengukuran larva dilakukan dengan menggunakan mikrometer dan software image J.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel ikan manfish yang diperoleh dari Raiser Cibinong termasuk ke dalam kelas Osteichthyes (ikan bertulang keras), superordo Teleostei, famili Cychlidae, spesies Pterophyllum scalare. Ikan manfish yang dewasa memiliki panjang sekitar 7 cm. Ikan manfish tersebut berasal dari beberapa kota di Indonesia yaitu Tulung Agung, Bogor, Bekasi, Jakarta, Sukabumi dan Cianjur. Adapun rute budidaya ikan manfish adalah

Petani yang sudah berhasil mengembangbiakkan larva menjadi ikan manfish yang dewasa akan menjualnya kepada pengumpul yang kemudian akan diserahkan kepada suplier. Suplier kemudian menyerahkan ikan tersebut ke Raiser. Raiser sebagai Sentra Ikan Nasional harus memperhatikan kualitas dan kesehatan dengan menyeleksi ikan-ikan yang baik sebelum di ekspor melalui eksportir yang akan mengirim ke luar negeri. Ikan manfish pada kasus ini merupakan ikan sortiran artinya yang dianggap memiliki kualitas yang tidak layak untuk diekspor. Ikan manfish yang sakit dapat memengaruhi kualitas ikan lain yang layak kirim karena dapat menjadi sumber penularan dari agen-agen infeksius. Ikan manfish di kolam Raiser ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran sekitar 90 x 60 x 70 sentimeter bersama dengan ikan lain dalam satu genus. Air akuarium tersebut berasal dari air tanah dengan pH 6,5-7 (sedikit asam), kandungan garam 0% dan Chemical Oxygen Demand (COD) 8 ppm atau di atas 5 ppm. Kondisi tersebut merupakan habitat air yang sesuai untuk ikan manfish (Susanto 2000).

Di dalam akuarium, keadaan ikan manfish pada kasus ini menunjukkan adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kulit kaudal dekat dengan ekor dan sirip ekor terlihat mengalami kerusakan (Gambar 1). Ikan tersebut berenang pasif dan memisahkan diri dari populasinya. Keseimbangan ikan ketika berenang masih terlihat sama seperti ikan normal lainnya.

(2)

Gambar 1 Keadaan luar dari ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan

hemoragi pada daerah kaudal (tanda panah panjang), disertai kerusakan pada sirip ekornya (tanda panah pendek). Insang terlihat normal berwarna merah cerah.

Setelah ikan sampel dieuthanasia, dilakukan pemotongan operkulum (bagian penutup insang) yang memperlihatkan warna insang normal, yaitu insang berwarna merah cerah. Ketika dilakukan pembukaan pada bagian abdomen, tidak terlihat kelainan spesifik pada organ interna (hati, usus, limpa, ginjal, dan pankreas) secara makroskopis (Gambar 2). Pengamatan secara mikroskopis yaitu dengan melihat jaringan (histopatologi) dilakukan dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (HE). Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin merupakan pewarnaan yang paling sering digunakan dalam mewarnai jaringan karena memberikan gambaran yang jelas dari nukleus dan sitoplasma (Alwahaibi et al. 2012).

Gambar 2 Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan yang spesifik secara makroskopis.

(3)

Gambaran mikroskopis organ interna ikan memperlihatkan adanya perubahan lesi terutama usus dan pada beberapa organ lainnya yaitu insang, kulit (epidermis), hati, pankreas, ginjal dan otak sedangkan pada limpa tidak menunjukkan kelainan. Potongan jantung ikan manfish tidak tersampling pada kasus ini karena ukurannya yang sangat kecil.

Struktur histologi usus pada ikan hampir sama dengan mamalia yaitu memiliki struktur vili, lapisan mukosa dan submukosa. Usus dilapisi epitel silindris sebaris yang memiliki nukleus sentral dan sel goblet yang menyebar (Roberts 2001). Pada organ usus ikan manfish kasus ini, ditemukan banyak potongan transversal dan longitudinal dari badan parasit cacing di dalam lumen (Gambar 3) dan terbenam di dalam mukosa (Gambar 4).

Vili usus yang seharusnya panjang menjadi memendek serta melebar, akibat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada mukosa usus ikan tersebut (Gambar 5). Eosinofil memiliki fungsi utama mensekresikan isi granularnya sebagai respon terhadap infeksi parasit (Woo 2006). Epitel permukaan vili usus juga mengalami deskuamasi akibat adanya edema peradangan pada mukosa. Kerusakan epitel dan mukosa atau jaringan yang lebih dalam oleh nematoda biasanya disebabkan gigitan mulut, buccal cavity, gigi atau tanduk. Infestasi nematoda pada ikan dapat menyebabkan luka mekanik, atropi usus akibat tekanan, penyumbatan saluran pencernaan dan pembuluh darah, intoksikasi metabolit dan gangguan penyerapan makanan, enzim, mineral serta vitamin (Woo 2006). Badan parasit akan menekan jaringan disekitarnya (Platzer & Adam 1967) dan mengubah morfologi jaringan (Molnar 1966) serta menyebabkan hemoragi, inflamasi, granuloma, ascites dan adhesi organ visceral. Efek patologi dari infestasi cacing tergantung jenis spesies dan jumlah nematoda serta pertahanan ikan juga tergantung daerah terinfeksi (Woo 2006). Infestasi nematoda pada kasus ini diduga menembus tunika muskularis usus menyebabkan perforasi hingga serosa usus sehingga terjadi serositis (peritonitis) (Gambar 6).

Gambar 3 Irisan melintang organ usus ditemukan potongan transversal (panah pendek) dan longitudinal (panah panjang) cacing nematoda lumen. Pewarnaan HE, skala 50 µm.

(4)

Gambar 4 Histopatologi usus yang epitelnya mengalami deskuamasi (panah merah) dan ditemukan potongan larva cacing yang terbenam dalam mukosa (panah hitam) dengan Pewarnaan HE skala 50 µm.

Gambar 5 Respon peradangan pada mukosa usus berupa infiltrasi sel eosinofil (panah merah) dan infiltrasi sel limfosit (panah hitam). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

(5)

Gambar 6 Histopatologi usus yang tunika muskularis mengalami perforasi hingga serosa (panah panjang) hingga menyebabkan peradangan pada serosa (serositis/ peritonitis) (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Penentuan genus dari cacing ini dilakukan dengan pendekatan morfologi, ukuran tubuh dan siklus hidup dari cacing tersebut. Potongan cacing pada kasus ini memiliki morfologi serupa dengan larva dari cacing nematoda karena memiliki buccal cavity (rongga mulut) yang sangat jelas (Gambar 7) yang tidak dimiliki oleh Cestoda, Trematoda maupun Acanthocephala. Dalam irisan jaringan, cacing Nematoda, Cestoda, Trematoda dan Acanthocephala menunjukkan perbedaan morfologi. Cacing Nematoda memiliki tubuh yang ramping dan transparan karena ditutupi kutikula. Bagian kutikula sederhana, lapisannya homogen dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Kutikula merupakan bagian yang sangat kuat karena tersusun atas beberapa serabut (fiber). Bagian dari kutikula mengandung enzim, RNA, ATP, karbohidrat, lemak, dan substansi lain yang menunjang aktivitas fisiologi. Kutikula mengalami pergantian sebanyak empat kali selama proses perkembangan dari nematoda muda hingga dewasa dan matang dalam reproduksi (Pechenik 2000). Cacing Cestoda memiliki morfologi tubuh yang khas yaitu memiliki scolex yang terdiri atas rostellum dan sucker serta memiliki proglotid yang terlihat berbuku-buku sedangkan Trematoda memiliki satu batil hisap dorsal pada bagian dorsal (monogenea) dan 2 batil hisap pada bagian dorsal maupun ventral (digenea) serta Acanthocephala memiliki proboscis sehingga disebut “hookworm” (Brusca dan Brusca 2002)

Badan nematoda memiliki sistem digesti yang linier dengan mulut (stoma) pada bagian anterior. Saluran pencernaan dibagi menjadi buccal cavity, esofagus, usus, dan rektum (Bruno et al. 2006). Makanan masuk melalui mulut menuju buccal cavity yang memiliki lapis kutikula dan gigi. Esofagus tersusun atas otot yang mampu melakukan kontraksi dan relaksasi menyebabkan lumen dapat meluas dan menutup. Lumen usus ditutupi oleh lapisan sel epitel yang memiliki mikrovili pada bagian permukaannya. Mikrovili kadang-kadang tidak terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya.

Studi literatur melaporkan beberapa genus cacing nematoda yang terdapat pada ikan manfish yaitu Contracaecum sp, Capillaria sp, Camallanus sp, Eustrongyloides sp (Yanong 2008). Pengukuran larva cacing dilakukan dengan

(6)

menggunakan mikrometer, diperoleh ukuran panjang larva dalam lumen usus adalah 1,2 milimeter dan diameter 53-111 mikrometer. Ukuran larva cacing pada kasus ini serupa dengan genus Camallanus yang diteliti oleh De pada tahun 1999 dimana larva ketiga memiliki panjang 786 sampai 3937 mikrometer dengan diameter 43 sampai 168 mikrometer. Tabel 1 berikut merangkum hasil studi literatur mengenai ukuran tubuh larva ketiga dari beberapa genus cacing nematoda.

Tabel 1 Perbedaan Ukuran Panjang dan Diameter Larva Ketiga Nematoda pada Ikan Manfish

Nematoda Ukuran panjang (mm) Ukuran diameter (µm)

Literatur

Kasus ini 1,2 53-111

Camallanus sp 0,786-3,937 43-168 De 1999 Contracaecum sp 0,291-0,457 15-18 Moravec 2009 Capillaria sp 5,41 54-60 Ohbayashi & Masegi

1972

Eustrongyloides sp 50-60 - Rowe & Kusabs 2007

Gambar 7 Buccal cavity (tanda panah) yang dimiliki oleh Camallanus pada kasus ini dibandingkan dengan gambar dari literatur (De 1999).

(7)

Nematoda memiliki siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung pada spesiesnya. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari cacing nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme yang hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang antara (Yanong 2008). Roberts (2001) menyatakan bahwa ikan dan kopepoda dapat menjadi induk semang antara dan melengkapi stadium dewasa jika dimakan oleh ikan, ataupun mamalia yang menjadi inang definitifnya. Secara umum, di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann & Bresciani 2001).

Genus Camallanus menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan swordtails serta spesies lain ikan air tawar. Biasanya infeksi pertama ditandai warna merah dan cacing menonjol dari anus ikan. Camallanus sp dilaporkan dapat menginvasi mukosa usus karena memiliki enzim protease dan merusak mikrovili dengan menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada bagian buccal cavity (De 1999; Newton dan Munn 1999). Nematoda ini termasuk dalam ovoviviparous ("ovo berarti"telur" dan"vivipar" berarti beranak). Dalam siklus hidupnya, embrio akan berubah menjadi larva pertama di dalam telur pada tubuh cacing betina. Larva pertama kemudian akan keluar dari membran telur ketika dikeluarkan ke dalam air, sehingga dalam ikan manfish tidak ditemukan telur cacing ini (Stromberg & Crites 1973).

Menurut Yanong (2008) Camallanus memiliki inang antara kopepoda sehingga siklus hidup cacing ini disebut siklus hidup tidak langsung (Gambar 8). Kopepoda merupakan krustasea yang berukuran sangat kecil yaitu 0,3 sampai 18 mm. Kopepoda dapat hidup di air tawar, air laut dan perairan yang memiliki kadar garam yang tinggi serta dapat bertindak sebagai parasit maupun komensalisme pada berbagai jenis ikan (Hys & Boxshall 1991). Kutu air (Cyclops sp) merupakan jenis kopepoda termasuk ke dalam famili Cyclopidae (Chullarson et al. 2008). Camallanus betina dapat melepaskan larva pertama (L1) ke dalam air dan dapat bertahan di dalam air selama 12 hari (Dogiei et al. 1960) kemudian Cyclops sebagai inang antara memakan larva ini sehingga dapat mengandung Camallanus L1. Camallanus L1 yang dimakan Cyclops lalu masuk ke dalam tubuh kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam haemosul melalui usus bagian belakang dalam waktu dua jam (Stromberg & Crites 1973). Haemosul merupakan rongga tubuh kopepoda yang mengandung hemosianin yang berubah warna menjadi biru ketika teroksigenasi mirip dengan hemoglobin pada vertebrata.

Larva pertama akan mengalami pergantian kulit di dalam haemosul dan mengalami perubahan ditandai dengan usus yang memanjang, lumen semakin meluas, epitel berbentuk kubus, dan ekor yang pendek (14% dari panjang tubuh) serta akan berubah menjadi larva kedua dengan ususnya yang semakin meluas serta ditemukannya bagian usus posterior dengan ukuran kecil. Larva kedua kemudian berubah menjadi larva ketiga setelah mengalami pergantian kulit di dalam tubuh kopepoda (De 1999). Larva ketiga (L3) dan larva keempat (L4) ditemukan pada inang definitif yaitu pada ikan manfish.

Larva ketiga memiliki gigi sklerotis, buccal capsul, tiga mukron pada bagian ekor dan ekor mulai memanjang menjadi 7-8% dari panjang tubuh.

(8)

Mukron merupakan alat reproduksi dalam melakukan kopulasi. Larva tersebut tetap di dalam tubuh sampai Cyclops atau kopepoda dimakan oleh ikan manfish. Larva ketiga akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 setelah infeksi pada cacing jantan dan hari ke 24 pada cacing betina. Setelah mengalami pergantian kulit maka cacing ini menjadi larva keempat ditandai dengan kutikula yang tipis (Stromberg & Crites 1973). Larva keempat jantan akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 68 pada suhu 24-360C. Larva keempat betina mengalami pergantian kulit pada hari ke 86. Sistem reproduksi akan mengalami diferensiasi dimana ekor akan berbentuk kerucut dengan tiga mukron kecil. Cacing betina dengan telur dan beberapa larva akan ditemukan pada hari ke 187 (De 1999). Cacing tersebut merusak vili usus menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada buccal cavity dan penetrasi ke dalam mukosa usus dengan mengeluarkan enzim protease. Infeksi secara intensif oleh nematoda menyebabkan perubahan patologis terutama disekitar cacing tersebut menempel.

Gambar 8 Siklus hidup Camallanus sp larva masuk ke dalam tubuh inang antara sebelum dimakan inang definitif (Yanong 2008).

Efek patologi dari infeksi nematoda sangat sedikit diteliti dan hanya beberapa yang melaporkan kasus mortalitas akibat infeksi nematoda. Nematoda mendatangkan antibodi yang spesifik di dalam tubuh inang. Migrasi dari stadium larva pada rongga tubuh dan jaringan menurunkan sistem imun inang. Sistem imun tubuh dan nutrisi yang diambil oleh cacing tersebut akan menurunkan fungsi fisiologis usus dalam menyerap nutrisi (Woo 2006). Hal ini akan berakibat terhadap perilaku ikan dimana ikan memisahkan diri dari populasinya.

Struktur kulit pada ikan kurang lebih mirip dengan mamalia darat yang terdiri dari epidermis dan dermis serta ditunjang hypodermis atau lapisan subkutan. Kulit ikan dan lapisan mukus merupakan perlindungan pertama menghalangi agen infeksius, tekanan osmotik, dan kerusakan mekanis (Stoskopf 1993). Secara histopatologi ditemukan adanya erosi epidermis dan juga infiltrasi sel radang pada otot di daerah ulkus (Gambar 9). Tidak ditemukannya agen penyebab kerusakan pada daerah tersebut menunjukkan bahwa penyebab adanya erosi epidermis adalah tidak spesifik. Ulkus dan hemoragi yang ditemukan pada

(9)

kulit ikan ini diduga diakibatkan karena fungsi tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit dan stres yang dapat disebabkan oleh kepadatan populasi ketika dilakukan transportasi dari tempat pengambilan ikan sebelum tiba di Raiser. Ulkus pada otot dan kulit ikan merupakan indikasi adanya polutan dan stres dalam lingkungan perairan (Noga 2000).

Gambar 9 Organ kulit yang bagian epidermisnya mengalami erosi dan ditemukan infiltrasi sel radang pada jaringan otot di bawah kulit (tanda panah). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Lesi lain selain pada usus dan kulit ditemukan pada organ insang, ginjal, pankreas, hati dan otak. Infeksi cacing Camallanus sp pada kasus ini menyebabkan gangguan pada organ lain secara tidak langsung terhadap ikan manfish.

Ikan manfish memiliki insang yang merupakan organ respirasi utama dan vital. Epitel insang ikan merupakan bagian utama dalam melakukan fungsi pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Pengamatan mikroskopis pada filamen insang terutama pada bagian lamela sekunder ditemukan banyak sel limfosit, kapiler mengalami kongesti, hiperplasia epitel lamela sekunder dan dilatasi kapiler (teleangiectasis). Teleangiectasis mirip dengan kondisi aneurisma pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Aneurisma merupakan dilatasi yang permanen dari arteri, sedangkan teleangiectasis merupakan suatu kondisi yang reversibel dan pasif.

Teleangiectasis dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, bahan toksik, virus, bakteri, toksin-toksin bakteri, parasit-parasit dan dalam beberapa kasus defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Perubahan diatas mengindikasikan bahwa insang

(10)

mengalami peradangan (brankhitis). Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel klorid dan infiltrasi sel radang (Gambar 11). Menurut Noga (2000), lesio brankhitis dan hiperplasia lamella sekunder dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk, stres, kekurangan vitamin E dan infestasi parasit.

Gambar 10 Insang mengalami lesio teleangiectasis pada lamela sekunder (anak panah, kongesti pada lamela primer (A), infiltrasi sel limfosit (B), dan hiperplasia epitel lamela sekunder (C). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Gambar 11 Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid (panah) pada pewarnaan HE, skala 50 µm.

Secara histologis ginjal ikan manfish memiliki struktur yang mirip dengan ginjal mamalia yang mengandung glomerulus dengan kapsula Bowman dan juxtaglomerular tetapi tidak memiliki lengkung Henle. Fungsi lengkung Henle diganti oleh tubulus distal yang berliku-liku (Stoskopf 1993). Fungsi urinasi pada ginjal ikan umumnya berlokasi pada ginjal kaudal. Ginjal kranial berisi jaringan yang tidak memiliki fungsi dalam sistem urinasi. Jaringan limfoid banyak terdapat pada ginjal kranial sebagai pembentukan sel darah. Ginjal kranial sangat tervaskularisasi dan menyimpan darah di kapilernya. Pembentukan urin dimulai

(11)

dengan proses filtrasi glomerulus plasma dan dinamakan ultrafiltrasi glomerulus karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein bermuatan negatif seperti albumin secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi glomerular. Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus bersifat pasif dan tidak dibutuhkan energi metabolik untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Proses pembentukan urin setelah filtrasi adalah reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorpsi melalui tubulus sehingga zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus (Price 2005). Ginjal ikan manfish kasus ini mengalami edema interstisialis (Gambar 12) yang ditandai renggangnya jaringan interstisialis antara tubulus. Timbulnya edema pada bagian interstitial ginjal dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrosis, kekurangan vitamin E dan hipoproteinemia. Kekurangan protein terutama albumin dan globulin dalam darah menyebabkan terjadinya edema karena meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah (Price 2005; Stoskopf 1993). Hipoproteinemia dapat diakibatkan oleh kekurangan nutrisi maupun infeksi parasit. Beberapa tubulus mengalami degenerasi hialin. Degenerasi hialin pada tubulus proksimal dapat terjadi karena terjadinya reabsorbsi dari filtrat glomerulus akibat kerusakan glomerulus.

Gambar 12 Ginjal pada ikan yang mengalami edema interstisialis (panah panjang) dan degenerasi hialin (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Hepatosit pada ikan berbentuk poligonal dengan nukleus berbentuk sperikal dan umumnya memiliki satu nukleolus. Pada beberapa jenis ikan jaringan pankreas ditemukan pada hati sepanjang vena porta (Stoskopf 1993). Degenerasi

(12)

lemak biasanya terjadi pada ikan yang dibudidayakan. Menurut Roberts (2001) degenerasi lemak di hati disebabkan karena kondisi toksik pada perairan dan juga defisiensi vitamin A.

Gambar 13 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi lemak (tanda panah) dengan pewarnaan HE, skala 50 µm.

Infiltrasi sel radang terlihat diantara kelenjar asinar pankreas yang mengalami nekrosis pada ikan manfish kasus ini (Gambar 14). Kelenjar eksokrin pankreas pada ikan memiliki struktur kelenjar tubulo-alveolar. Sel sekretori pada kelenjar eksokrin pankreas memiliki nukleus berlokasi di basal dan sitoplasma berisi banyak granul zimogen. Pulau Langerhans berada di antara kelenjar eksokrin bersamaan dengan syaraf dan pembuluh darah (Stoskopf 1993). Pada kasus ini granula zimogen sel asinar terlihat berkurang, dan sel asinar menjadi kecil (atrofi). Infiltrasi sel radang (pankreatitis) diakibatkan adanya serositis/ peritonitis yang terjadi karena perforasi serosa usus oleh larva cacing.

(13)

Gambar 14 Pankreas yang mengalami pankreatitis ditandai dengan adanya sel asinar yang mengalami atrofi (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (anak panah). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Otak pada ikan dibagi menjadi 5 bagian yaitu telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan myelensefalon. Struktur otak ikan sangat mirip dengan vertebrata lainnya (Stoskopf 1993). Lesi otak ikan manfish kasus ini menunjukkan gliosis dan malacia (Gambar 15). Otak pada ikan memerlukan vitamin untuk memberi nutrisi jaringan otak dan neuron. Vitamin B1 (tiamin) merupakan koenzim untuk mengkatalisasi enzim esensial dalam memetabolisme karbohidrat. Bentuk koenzim dari tiamin adalah tiamin pirofosfat yang berfungsi dalam pencernaan, reproduksi dan otak. Ikan spesies tertentu seperti cyprinid, clupeid mengandung banyak tiaminase di dalam jaringan. Kekurangan tiaminase pada mamalia, burung dan ikan secara hispatologi ditandai dengan hemoragi dan gliosis (Roberts 2001)

(14)

Gambar 15 Otak mengalami gliosis (panah pendek) dan malacia (panah panjang). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Pencegahan dan pengobatan terhadap kasus ini perlu dilakukan untuk mengurangi kejadian kasus infeksi. Karantina ikan selama 14 hari hingga 21 hari merupakan hal yang penting dilakukan sebelum ikan baru dimasukkan dalam suatu akuarium. Ikan yang dikarantina harus diberi kualitas dan filtrasi air yang baik terutama pH dan kandungan oksigen terlarut. Pergantian air perlu juga diperhatikan untuk menghindari stres pada ikan karena perubahan suhu air yang fluktuatif dapat menyebabkan stres. Pemutusan siklus hidup dengan mengganti pakan yang bukan inang antara dari nematoda juga merupakan salah satu tindak pencegahan karena larva pertama yang dikeluarkan oleh cacing dewasa terhambat perkembangannya ke tahap yang lebih lanjut sebelum menginfeksi inang definitif. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan formaldehid 75 sampai 100 ppm (dalam 10 liter air) yang berfungsi sebagai parasitida. Penggunaan potassium permanganate sebanyak 100 ppm dan levamisol sebanyak 2 mg/L dilaporkan efektif membunuh larva nematoda (Stoskopf 1993).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Cacing yang menginfeksi usus ikan manfish pada kasus ini termasuk ke dalam kelas nematoda dengan Genus Camallanus. Infestasi cacing ini menyebabkan deskuamasi dan infiltrasi sel radang pada mukosa usus serta menyebabkan malabsorbsi. Kondisi malabsorbsi berdampak pada malnutrisi yang menyebabkan timbulnya lesi pada organ lain.

Referensi

Dokumen terkait

William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi tentang diri kita yang bersifat fisik, psikologi dan sosial yang datang dari pengalaman dan interaksi

Kondisi Penyebaran Tumbuhan Obat dan Status Tumbuhan Obat di Alam Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kampung Konservasi TOGA Gunung Leutik tersebar pada

Setelah kodisi eksisting dan karakteristik sungai Sringin pemodelan mulai dilakukan dengan menggunakan software EPA-SWMM. Pemodelan akan menghasilkan hidrograf

Dokumen RPJMD Provinsi Jambi merupakan acuan dan pedoman resmi bagi Pemerintah Provinsi Jambi dalam penyusunan Rencana Strategis SKPD, Rencana Kerja Pemerintah

Bahan bakar yang digunakan oleh Kapal Container Tanto Fajar 3 adalah MFO (Marine Fuel Oil). MFO merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari jenis residu yang

Penelitian mengenai perlakuan akuntansi pada sebuah klub ditunjukkan dari penelitian Kristianti (2014) menunjukkan bahwa perlakuan akuntansi terhadap atlet bola basket

Senyawa asam 3-okso-24-sikloarten-21-oat yang dapat menghambat pertumbuhan tumor kulit pada aktivasi virus Epstein Barr telah diisolasi dari daun duku (Nishizawa

Dalam bab pendahuluan materinya sebagian besar berupa penyempurnaan dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, dan