• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

diterima sehingga diperoleh besar dosis total dan hubunganya dengan efek yang terjadi (Hall 2000). Menurut Gorbunov et al. (2010), radiasi ionisasi dapat menyebabkan kerusakan baik fungsi maupun struktur dari suatu sistem tubuh yang peka terhadap radiasi. Sistem tubuh yang peka adalah sistem pencernaan atau gastrointestinal salah satunya usus halus (duodenum). Usus halus merupakan pusat pencernaan makanan, penyerapan nutrisi, dan sekresi endokrin. Menurut Hall (2000), efek akut radiasi terhadap usus halus dapat menimbulkan kerusakan permukaan epitel mukosa usus serta gangguan pencernaan (Gutfeld et al. 2007). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap duodenum usus halus. Parameter yang diamati diantaranya: kerusakan vili, jumlah kripta, jumlah sel goblet, jumlah sel radang, dan tinggi vili.

4.1 Kerusakan Vili Duodenum

Proses pencernaan terjadi pada usus halus yakni berupa penyerapan nutrisi atau produk dari pencernaan yang dilakukan oleh sel-sel epitel atau sel absorptif pada vili (Mescher 2010). Menurut Schiller dan Sellin (2006), keberadaan vili berpengaruh terhadap penyerapan makanan dan kondisi kesehatan saluran pencernaan. Vili yang rusak tidak bisa menyerap makanan secara baik, sehingga asupan nutrisi bagi individu akan berkurang dan kondisi kesehatan menurun. Rataan persentase kerusakan vili usus duodenum dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis rataan persentase kerusakan vili duodenum (%) dihitung dalam luas lapang pandang 243 044 µm2

Kelompok

Persentase kerusakan vili duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu radiasi

(5.3 mSv)*

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (tanpa perlakuan) Kontrol (K) 10.00 ± 0.07b 3.00 ± 0.02c Primer (P)* 22.67 ± 0.12a 9.67 ± 0.07b Rosela (R) 18.33 ± 0.11a 11.67 ± 0.09b Radiasi-Rosela(RP)* 19.00 ± 0.10a 9.00 ± 0.09b

Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

2.

(2)

Analisis statistik rataan persentase kerusakan vili duodenum setelah 8 minggu radiasi menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok (K) pada seluruh kelompok perlakuan. Namun demikian secara umum rataan persentase kerusakan epitel vili duodenum menunjukkan trend yang meningkat dimulai pada kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan persentase kerusakan vili duodenum pada kelompok (P) dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian radiasi dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel epitel vili. Menurut Somosy Z (2000), sinar radiasi dapat berpenetrasi ke dalam jaringan atau sel tubuh dan mengakibatkan adanya transfer energi radiasi menjadi material biologis. Energi tersebut yang dapat mengakibatkan putusnya ikatan kimia dan menyebabkan proses ionisasi pada atom berbeda pada molekul, termasuk air dan makromolekul biologis essensial seperti DNA, membran lipid, dan protein (Schulte-Forhlinde dan Bothe 1991; Lett 1992). Ini yang mendasari tingginya rataan persentase kerusakan vili pada duodenum mencit pada kelompok perlakuan Primer (P).

Menurut Durovic, Selakovic, dan Spasic-Jokic (2004), pemberian radiasi kronis dosis rendah lebih berbahaya karena dapat menginisiasi peroksidasi lipid dan menghancurkan lapis luar sel. Pemberian radiasi dosis rendah akan menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan stres oksidatif. Membran sel dan organel-organel sel merupakan target utama yang dapat rusak akibat radikal bebas. Peroksidasi membran sel akan meningkat sejalan dengan penuruan dose rate (efek Petkau). Berdasarkan penelitian Petkau (1999), peroksidasi lipid diproduksi baik karena efek radiasi lingkungan dengan dosis 0.18 μGy/h atau 1.8 x 10-3 mSv hingga dosis total 19 μGy. Petkau berkesimpulan bahwa pemberian radiasi dapat mengganggu mekanisme perbaikan DNA sehingga menyebabkan kerusakan membran sel.

Mekanisme kerusakan sel diawali dari sinar-X yang berpenetrasi ke dalam sel sehingga terjadi reaksi pembentukan radikal bebas dan ROS (reactive oxygen species) di dalam sel. ROS (reactive oxygen species) kemudian menginduksi terbentuknya singlet oksigen (O2), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil (OOH), dan radikal hidroksil (OH). Terbentunya komponen radikal bebas tersebut selanjutnya menginisiasi terbentuknya superdioksida (O2

(3)

-) bersama dengan radikal hidroksil (OH) akan mengakibatkan peroksidasi lipid dan kerusakan DNA sehingga sel menjadi rusak (Wood, Gibson, dan Garg 2003). Mekanisme kerusakan sel dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi (www.vetmed.vt.edu [8 Mei 2012]).

Kelompok (K) tidak memiliki persentase keutuhan vili 100%, diduga disebabkan oleh faktor fisiologis saluran pencernaan. Faktor tersebut yakni adanya makanan (chyme) dari lambung (kondisi asam) yang melewati lumen usus dan enzim pencernaan atau enterokinase (Dellmann dan Brown 1992). Terlepasnya epitel vili usus halus diartikan sebagai proses deskuamasi epitel vili. Deskuamasi epitel vili usus merupakan kondisi fisiologis dimana epitel vili yang deskuamasi akan digantikan oleh sel-sel epitel dari bagian basal kripta dengan periode 5-7 hari. Kondisi akan berubah patologis apabila ditemukan banyaknya infestasi sel-sel radang pada bagian mukosa vili (Price dan Wilson 1995).

Menurut Yang et al. (2006), hasil penelitian beberapa tahun terakhir menyebutkan bahwa stres beranggung jawab terhadap kondisi patofisiologi organ gastrointestinal seperti kerusakan epitel vili usus yang mengawali infeksi usus, sindrom iritasi usus (IBS), dan alergi pakan. Sejalan dengan pendapat Yang, kehadiran pakan yang dimungkinkan membawa antigen menambah tinggi resiko terjadinya kerusakan epitel vili dan proses infeksi. Pada infeksi usus dan mungkin

(4)

IBS, jaringan usus akan menjadi lebih sensitif terhadap antigen yang berada pada lumen usus dan selanjutnya hadirnya antigen ini akan mengakibatkan respon inflamasi yang berkembang sejalan dengan patofisiologi penyakit. Deskuamisi sel epitel vili menjadi salah satu resiko kondisi sensitifitas ini. Faktor genetik pula memainkan peran dalam proses peradangan namun dapat pula proses sensitifitas ini terjadi tanpa adanya latar belakang keluarga sehingga dapat terjadi atrofi pada organ intestinal.

Menurut Alatas (2002), radiasi sinar-X menginduksi pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel tubuh. Pembentukan radikal bebas terjadi melalui mekanisme pengambilan satu elektron terluar dari sel tubuh sehat sehingga sel tubuh menjadi tidak stabil. Pada membran lipid hadirnya radikal bebas dapat merusak ikatan lipid bilayer. Ikatan membran lipid bilayer yang rusak akan menyebabkan epitel vili duodenum tidak dapat mempertahankan keutuhan membrannya sehingga terjadi kerusakan epitel vili.

Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan kelompok (P). Hal ini diduga karena rosela memiliki kemampuan menjaga dan meregenerasi epitel-epitel vili yang rusak akibat radiasi. Rosela diketahui memiliki kadar antosianin dan vitamin C yang tinggi yang berperan sebagai antioksidan (Maryani dan Kristiana 2005). Menurut Winarsih (2007), antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan dihambat. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting berkaitan dengan sistem imunitas tubuh. Senyawa asam lemak tak jenuh yang menjadi komponen terbesar dalam penyusun membran sel sangat sensitif dengan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Apabila kondisi keseimbangan tersebut tercapai membran sel sebagai barrier sel mampu menjaga kondisi keutuhanan sel terhadap adanya serangan antigen (Meydani et al.1995).

Kelompok perlakuan (R) memiliki rataan persentase kerusakan vili tidak jauh berbeda dari kelompok (RP). Hal ini diduga karena rosela memiliki senyawa antioksidan yang mampu menjaga keutuhan vili usus. Menurut Winarsih (2007), antosianin merupakan salah satu turunan flavonoid yang bersifat antioksidan. Antioksidan golongan flavonoid ini dapat menggumpalkan keping-keping sel

(5)

darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat mendilatasikan pembuluh darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker. Menurut Robak dan Gryglewski (1996) di dalam Winarsih (2007), selain berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antimikrobiotik, antiinflamasi dan antivirus. Sifat antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil (-OH), anion superoksida (-O2), radikal peroksil (-ROO), dan alkolsil (-RO).

Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kerusakan vili yang lebih sedikit terdapat pada kelompok (K). Kelompok perlakuan (P), (R) dan (RP) memiliki tingkat kerusakan yang hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

B

C

D

(6)

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi, hasil analisis statistik terhadap rataan persentase kerusakan vili usus dari keseluruhan kelompok perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05). Sama halnya dengan nilai persentase kerusakan epitel vili pada duodenum di kelompok 8 minggu radiasi

yang secara umum menunjukkan trend menurun hingga kelompok (K).

Kelompok (K) memiliki rataan persentase kerusakan vili paling kecil dibandingkan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya. Kelompok (P), (R), dan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili pada selang yang sama. Pada semua kelompok mencit mengalami penurunan persentase kerusakan vili. Hal ini diduga karena keempat kelompok tidak diberi perlakuan atau pemicu stres atau radiasi dan pencekokan. Sel-sel tubuh kembali bersiklus dan beregenerasi kembali untuk mengadakan pemulihan sel sehingga sel kembali normal.

Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kerusakan vili pada masing-masing kelompok

B

D

C

(7)

mengalami penurunan dibandingkan dengan radiasi 8 minggu. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

4.2 Rataan Jumlah Kripta Duodenum

Basal kripta usus tersusun atas stem sel yang bertanggung jawab atas regenerasi epitel vili (Wong 2004). Menurut Radtke dan Clevers (2005), usus halus tersusun atas epitel selapis yang dibentuk di bagian kripta usus. Rataan jumlah kripta duodenum pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2

Kelompok

Jumlah kripta pada Duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu radiasi

(5.3 mSv)*

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (tanpa perlakuan) Kontrol (K) 7.93 ± 1.34ba 9.38 ± 2.84ba Primer (P)* 12.26 ± 2.13a 9.40 ± 2.72ba Rosela (R) 7.97 ± 2.38ba 8.88 ± 2.07ba Radiasi-Rosela (RP)* 6.20 ± 1.13ba 9.25 ± 2.27ba

Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan

tidak berbeda nyata pada taraf 5%

2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu

Analisis statistik terhadap rataan jumlah kripta duodenum pada minggu ke-8 setelah diberi radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuannya. Kelompok perlakuan (P) menggambarkan peningkatan jumlah kipta usus yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok (K), (R), dan (RP). Hal ini diduga karena adanya inisiasi kerusakan dari radiasi sinar-X. Kerusakan akibat radiasi dengan dosis rendah per dua hari sekali mengakibatkan kripta berproliferasi untuk meregenerasi epitel vili pada bagian puncak. Selain itu dapat pula dihubungkan dengan adanya respon inflamasi pada usus maupun sebagai bentuk kompensasi usus terhadap paparan radiasi yang diterima.

Menurut Macfarlane (2000), paparan radiasi sebagai agen fisik dapat menyebabkan kerusakan sel. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1995) di dalam Martin et al. (1998), pemberian radiasi ionisasi dosis tinggi yakni 14 Gy (140 mSv) selama 4 hari pada mencit perlakuan akan memberikan efek kematian

(8)

yang cepat pada sel yang berada pada basal kripta melalui mekanisme apoptosis atau penghentian proses pembelahan sel baik sementara atau selamanya. Nilai depopulasi jumlah kripta dan efisiensi jumlah sel klonogenik pada kripta menjadi parameter apakah hewan tersebut dikatakan bertahan terhadap respon radiasi dosis tinggi.

Menurut Li et al. (1994), setiap kripta memiliki beberapa stem sel, regenerasi kripta dapat mengakibatkan beberapa stem sel yang ada steril secara reproduktif. Pemberian agen sitotoksik dosis tinggi seperti radiasi dapat mengakibatkan beberapa sel klonogenik kripta mati, dan diantara stem sel yang mampu bertahan akan melakukan repopulasi kripta dan epitel dengan pembelahan sel dan pembelahan kripta. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1985), terjadi peningkatan jumlah kripta yang berasal dari regenerasi stem sel yang mampu bertahan saat diberi radiasi dosis tinggi. Hal ini dievaluasi setelah 14 hari perlakuan dengan teknik pengukuran mikrokoloni kripta atau the crypt microcolony assay technique. Fokus regenerasi dimana jumlah kripta meningkat diduga berasal dari pembelahan biner dan pembelahan ganda kripta.

Menurut Somosy Z (2000), tingkat dan pemulihan perubahan mikromorfologi sel yang diinduksi radiasi bergantung pada tipe sel dan dosis radiasi yang diberikan. Pemberian radiasi pada kelompok (P) sangat nyata berpengaruh terhadap persentase kerusakan epitel vili duodenum namun cenderung tidak begitu berpengaruh terhadap kripta Lieberkühn pada bagian basal duodenum. Diperlukan pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab peningkatan jumlah kripta kelompok (P). Menurut Martin et al. (1998), pada mencit dewasa sifat klonogenik sel-sel kripta Lieberkühn cenderung akan mengadakan regenerasi sebagai akibat respon regenerasi daripada pengaruh pertumbuhan sel secara fisiologis.

Selain itu menurut Hauchen, George, Sturmoski, dan Cohn (1999), restorasi struktur bangun epitel normal usus pada tikus yang mengalami kerusakan akibat beberapa agen berbahaya seperti bahan kimiawi, infeksi, radiasi, dan peradangan memiliki berbagai tahap yang dapat mengubah dinamika polpulasi stem sel epitelial. Stem sel akan berproliferasi untuk meningkatkan jumlahnya dan untuk memenuhi populasi sel transit (enterosit, sel

(9)

goblet, dan sel enteroendokrin) yang dibutuhkan secara cepat. Sel transit yang berada di dalam kripta akan berhenti bereplikasi setelah pemberian radiasi ionisasi. Namun sel-sel tersebut tetap bermigrasi keluar dari kripta menuju apikal vili. Sejalan dengan itu apabila tidak ada stem sel kripta yang bertahan hidup maka kripta akan menghilang. Jika satu atau lebih stem sel klonogenik bertahan hidup dari radiasi maka kripta akan berproliferasi dan dengan cepat meningkat untuk menjadi kripta regeneratif.

Setelah pemberian radiasi maka akan ada dua mekanisme untuk perbaikan usus halus yang rusak. Pertama, perbaikan pada sel rusak yang non-letal. Kedua, melakukan proliferasi terhadap sisa stem sel yang ada pada kripta. Mekanisme kedua merupakan tahap yang sangat penting dalam perbaikan kondisi saluran pencernaan setelah pemberian radiasi. Stem sel mulai berproliferasi segera setelah 24-48 jam pemberian radiasi. Pemberian radiasi menyebabakan peningkatan jumlah stem sel kripta yang mengalami apoptosis sehingga sebagai kompensasinya dilakukan hiperproliferasi (Li et al. 2005).

Kelompok (K), (R), dan (RP) memiliki jumlah kripta yang tidak jauh berbeda. Jumlah kripta pada kelompok (R) dan (RP) yang tidak jauh berbeda diduga karena rosela membantu menjaga regenerasi kripta dengan baik sehingga jumlah kripta tidak berbeda dengan kelompok (K). Selain itu pengaruh radiasi pada kelompok (RP) diduga cenderung tidak berpengaruh besar pada jumlah kripta Lieberkühn. Sel-sel pada bagian kripta Lieberkühn secara fisiologis akan beregenerasi kembali 3 hingga 8 hari untuk selanjutnya bermigrasi ke bagian apikal (vili).

Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 19.

(10)

Gambar 19 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Lumen kripta ditunjukkan dengan tanda panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada kelompok (P) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok (K) dan kelompok perlakuan yang lain. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

Regenerasi epitel vili dapat memperbaiki sel-sel permukaan vili secara cepat sebagai respon kerusakan akibat proses radiasi (Ross 2004). Menurut Fajardo et al. (2001), kripta Lieberkühn berfungsi mensekresikan ion-ion dan air, serta menghantarkan immunoglobulin A (IgA) dan peptide antimikrobial ke lumen usus. Peranan kripta tersebut bertujuan untuk menjaga permukaan epitel dan peningkatan lapisan penyerapan nutrisi di usus. Saat permukaan vili atau bagian apikal vili rusak maka kripta usus melakukan kompensasi dengan meningkatkan jumlah sehingga perannya dalam penyerapan nutrisi dapat tetap terjaga.

C

B

A

(11)

Menurut Cosentino L, Shaver-Walker P, dan Heddle JA (1998), perbandingan jumlah kripta Lieberkühn pada mencit BALB/c lebih banyak daripada jumlah vilinya. Perbandingan atau rasio jumlah kripta terhadap vili usus pada duodenum sebesar 14:1, akan menurun menjadi 6:1 pada bagian ileum. Hal ini juga di laporkan oleh Li et al. (1994), bahwa setiap vili tersusun oleh 6-14 kripta yang tersebar pada bagian basalnya. Jumlah kripta yang ditemukan pada bagian basal vili akan bervariasi berdasarkan letaknya sepanjang usus halus dan setiap kripta biasanya mendistribusikan sel-sel proliferasinya untuk dua vili.

Sementara analisis statistik terhadap jumlah kripta Lieberkühn kelompok perlakuan 4 minggu masa pemulihan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0.05). Rataan jumlah kripta pada ketiga kelompok perlakuan mendekati jumlah rataan kripta pada kelompok (K). Hal ini diduga karena adanya regenerasi sel dari derivat stem sel pada bagian basal kripta. Stem sel yang menyusun kripta Lieberkühn akan berdeferensiasi menjadi epitel vili, sel enteroendokrin, dan sel paneth. Sel-sel tersebut akan diregenerasi dalam waktu 4 minggu dan akan digantikan oleh deferensiasi sel di sebelahnya (Ross et al. 2002). Sel enteroendokrin akan bermigrasi bersamaan dengan sel absorptif dan sel goblet. Berbeda dengan sel paneth yang tidak mengalami migrasi menuju ke apikal vili akan tetapi akan tetap berada pada bagian basal kripta. Menurut Fajardo et al.

(2001), sel paneth memiliki peran sebagai inisiator imunitas mukosa untuk melawan infeksi bakterial dengan produksi protein antimikrobial.

Setelah 8 minggu perlakuan jumlah rataan kripta duodenum tertinggi terjadi pada kelompok primer. Namun peningkatan jumlah kripta tidak disertai kualitas sel-sel kripta yang baik. Pada pengamatan fotogarafi mikro dengan perbesaran 400 kali dapat dilihat sel-sel kripta mengalami apoptosis yang ditunjukan dengan adanya badan apoptosis pada sel kripta. Empat minggu pemulihan setelah 8 minggu perlakuan rataan jumlah kripta mengalami peningkatan jumlah dan kualitas sel-sel kripta. Pada kelompok primer jumlah kripta telah sama seperti kelompok kontrol.

Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 20.

(12)

Gambar 20 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Lumen kripta ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada semua kelompok (K), (P), (R) dan (RP) hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

4.3 Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum

Sel goblet merupakan derivat stem sel yang mengalami deferensiasi dari basal kripta usus. Sel goblet memiliki fungsi sebagai barrier atau pelindung mukosa usus yang langsung berhadapan dengan lumen usus. Mukus yang disekresikan sel goblet mengandung senyawa antimikrobial. Peningkatan jumlah sel goblet dapat menjadi indikator adanya proses inflamasi pada suatu jaringan (Price et al. 1995). Rataan jumlah sel goblet usus halus di duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 7.

D

C

B

A

(13)

Tabel 7 Hasil analisis rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2

Kelompok

Jumlah sel goblet pada duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu radiasi

(5.3 mSv)*

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (tanpa perlakuan) Kontrol (K) 26.61±10.45b 17.78± 6.65b Primer (P)* 37.90± 9.56ba 28.72± 13.47b Rosela (R) 27.78±10.57b 51.61± 10.57a Radiasi-Rosela (RP)* 30.22± 5.17b 22.22± 5.95b

Ket: 1.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan

tidak berbeda nyata pada taraf 5%

2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu

Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah 8 minggu radiasi menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang meningkat dari kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan jumlah sel goblet pada ketiga kelompok perlakuan (P), (R), dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K). Hal ini diduga karena proses absorbsi yang terganggu akibat kerusakan epitel vili sehingga jumlah sel goblet perlu ditingkatkan sebagai bentuk kompensasi. Selain itu peningkatan jumlah sel goblet dapat diartikan adanya kondisi patologis seperti adanya peradangan pada bagian usus. Menurut Cotran et al. (1999), sel goblet memiliki fungsi untuk mensekresikan mukus yang berfungsi terhadap peningkatan pergerakan dan penyebaran bahan makanan atau nutrisi yang ada pada lumen secara efektif.

Selain itu radiasi ionisasi diduga sebagai penyebab proliferasi sel goblet. Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2003), peroksidasi lipid yang terjadi pada membran sel epitel akan menimbulkan efek patofisiologi berupa peningkatan sekresi mucus dan kematian sel. Sedangkan pada kelompok perlakuan (R) peningkatan rataan jumlah sel goblet diduga akibat adanya pemberian rosela yang diketahui memiliki kadar asam askorbat yang tinggi. Kondisi lumen yang asam diduga dapat menginisiasi hadirnya sel goblet pada epitel vili yang akan mensekresikan mukus untuk melapisi sel-sel epitel vili sehingga tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut Roitt (1988), dalam respon imun akan dihasilkan sel-sel atau molekul-molekul yang bertugas mempertahankan kesehatan tubuh dari serangan patogen maupun sel kanker.

(14)

Respon umum yang akan terjadi adalah adanya perlindungan pertama dari sistem imum non-spesifik. Respon imun fisik non-spesifik akan diperankan oleh sel goblet penghasil mukus (lendir) sebagai langkah pertama terhadap kehadiran agen patogen. Selain pertahanan fisik mukosa usus juga dilengkapai dengan adanya asam peptida yang dipecah di lumen usus. Senyawa asam tersebut pula berfungsi sebagai sistem pertahanan imun biokimia non-spesifik.

Gambar fotografi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (P) disusul kelompok (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:

D

C

B

A

(15)

kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan perbesaran 400x.

Berikut fotogarfi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 22).

Gambar 22 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4 minggu. Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (R) sedangkan kelompok (P) dan (RP) menunjukkan jumlah sel goblet pada kisaran normal (K). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan perbesaran 400x.

Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi dengan tanpa pencekokan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (R). Namun demikian

B

D

C

(16)

rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang menurun dibandingkan nilai pada 8 minggu radiasi. Peningkatan rataan jumlah sel goblet yang signifikan terlihat pada kelompok (R). Hal ini diduga karena hewan coba yang digunakan

non-SPF atau non Spesific Pathogen Free. Kelompok ( P ) , d a n ( R P ) menunjukkan rataan jumlah sel goblet tidak jauh berbeda dengan kelompok (K).

4.4 Rataan Jumlah Sel Radang

Sel radang atau leukosit merupakan sel darah putih yang berperan dalam proses imunitas atau respon pertahanan tubuh terhadap kehadiran antigen (Macfarlane 2000). Pada penelitian ini, rataan jumlah sel radang pada duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2

Kelompok

Jumlah sel radang pada duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu

radiasi (5.3 mSv)*

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi

(tanpa perlakuan)

Kontrol (K) 9.78 ± 4.44c 9.68 ± 2.19c Primer (P)* 13.08 ±4.11ba 9.69 ± 3.14c Rosela (R) 13.45 ±5.59ba 9.33 ± 1.84c Radiasi-Rosela (RP)* 16.10 ± 3.49a 10.65±2.40bc

Ket: 1.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan

tidak berbeda nyata pada taraf 5%

2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu

Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang setelah 8 minggu radiasi menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (K). Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang meningkat dimulai deri kelompok (K), (P), (R), dan (RP). Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan jumlah sel radang yang tinggi dibandingkan dengan ketiga kelompok perlakuan yang lain. Hal ini diduga dipengaruhi radiasi ionisasi dan aktivitas prooksidan dari sen yawa antioksidan dan fitofenol rosela. Radiasi ionisasi dan aktivitas prooksidan akan menginduksi ROS (Reactive Oxygen Spesies) dalam bentuk radikal hidroksil, superoksida, hidrogen peroksida dan

singlet oksigen aktif. Aktivitas prooksidan tersebut dapat dipicu dan dimediasi oleh reaksi antara senyawa antioksidan dan fitofenol dengan logam transisi

(17)

seluler. Logam transisi seluler d a p a t d i t e m u k a n p a d a s i t o p l a s m a s e l . Fe2+

atau besi (II) dilaporkan dapat menjadi mediator aktivitas prooksidan pada sel (Jagetia CG 2007; Uttara, Singh, Zamboni, dan Mahajan 2009; Sakihama, Cohen, Grace, dan Yamasaki 2002).

Mekanisme peroksidasi lipid akan mengawali produksi isoprostane yang baru-baru ini diketahui menyerupai senyawa bioaktif prostaglandin (PG)F2.

Isoprostane merupakan produk dari enzim asam arachidonat yang dikatalisis oleh radikal bebas. Prostaglandin merupakan salah satu mediator peradangan yang kemudian akan mengundang hadirnya sel radang (Wood, Gibson, dan Garg 2008). Mekanisme lain yang dapat meningkatkan sel radang diduga karena kerja sistem imun, dimana sel yang rusak akan dikenali oleh natural killer cells yang diperankan oleh limfosit. Limfosit akan mengenali sel yang rusak melalui dua cara yakni dengan mengenali reseptor imunoglobulin (FcR atau

Fc-receptors) dan mengikat antibodi target yang selanjutnya hal ini akan mengawali proses sitotoksis seluler bergantung antibodi. Cara kedua yakni reseptor permukaan untuk MHC a t a u m a j o r h i s t o c o m p a t i b i l i t y c o m p l e x

kelas 1. Jika selama interaksi dengan sel reseptor tidak berikatan maka NKC atau natural killer cell akan terprogram untuk melisiskan sel target dengan bantuan perforin untuk melubangi dinding membran sel dan selanjutnya hal ini akan menginduksi apoptosis (Parkin dan Cohen 2001).

Selain itu pemberian radiasi pada sel akan direspon dengan reaksi imunitas seluler berupa peningkatan jumlah sel radang atau leukosit. Kondisi sel yang rusak akibat paparan radiasi dapat mengundang kehadiaran sel T sitotoksik untuk melisiskan sel tersebut. Mekanisme seperti ini disebut mekanisme imun spesifik seluler (Abbas 1991). Faktor stres akibat pencekokan pun menjadi pemicu terjadinya peningkatan sel radang. Menurut Yang et al.

(2006), tikus atau hewan rodensia lain yang mengalami stres akan menghasilkan antobodi Ig-E, antigen yang menginduksi sekresi intestinal, dan peningkatan jumlah sel radang pada mukosa usus. Berdasarkan penelitian Sulistiawati (2009) peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada tikus putih yang diberi ekstrak kelopak rosela dapat disebabkan oleh kandungan asam folat yang terdapat pada kelopak rosela. Asam folat dikenal sebagai folasin yang turut serta dalam

(18)

pembentukan beberapa asam amino dan pembentukan beberapa komponen penting termasuk pembentukan sel darah dengan cara membantu proses sintesis DNA. Menurut Subowo (1993), vitamin C dapat membantu konversi asam folat menjadi bentuk aktif serta berfungsi dalam pemeliharaan imun seluler dan terbukti dapat melindungi fungsi sel-sel neutrofil.

Pada kondisi normal di bagian lamina propria vili atau mukosa dan submukosa usus mencit terdapat jaringan ikat lunak dan terdapat beberapa sel-sel radang seperti limfosit, sel-sel plasma, pada kondisi tertentu juga terdapat eosinofil, makrofag, sel mast, dan neutrofil akan tetapi berjumlah tidak begitu banyak. Sel radang yang terdapat pada bagian usus tersebut berfungsi untuk merespon adanya antigen dari lumen usus.

Peningkatan rataan jumlah sel radang pada kelompok Primer (P) setelah diberi paparan radiasi selama 8 minggu diduga sebagai respon terhadap adanya peradangan dan injury pada bagian usus. Terutama pada kelompok ini deskuamasi epitel vili dapat mengakibatkan masuknya antigen dari lumen usus ke dalam bagian mukosa maupun submukosa usus. Radiai ionisasi dapat pula mengakibatkan terbentuknya radikal bebas berupa senyawa ROS (reactive oxygen species). Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2008), hadirnya ROS (reactive oxygen species) dapat mengaktifasi sel radang berupa sel mast, eosinofil ,neutrofil, limfosit, makrofag, dan trombosit .Respon sel radang yang aktif akan bersamaan dengan proses respiratory burst yang melibatkan pengambilan oksigen dan kemudian melepaskan ROS (reactive oxygen species) keseluruh bagian sel.

Hadirnya ROS (reactive oxygen species) sebagai akibat pemberian radiasi pada sel menimbulkan berbagai efek seluler berantai. Berikut gambar skematis akibat yang ditimbulkan dari kehadiran ROS (reactive oxygen species) (Gambar 23).

(19)

Gambar 23 Skematisasi mekanisme akibat yang terjadi dari hadirnya ROS (reative oxygen species) pada sel (Kregel dan Zhang 2007).

Gambar skematis mekanisme hadirnya ROS (reactive oxygen species) seluler dapat distimulasi oleh berbagai faktor eksogen maupun endogen. Hadirnya ROS (reactive oxygen species) dapat mengakibatkan kerusakan DNA, protein, dan lipid. Kerusakan DNA dapat memicu perubahan ekspresi gen yang memodulasi berbagai respon yang berpengaruh pada fungsi dan kebertahanan sel. Selain DNA, protein, dan lipid beberapa organel sel juga dapat mengalami kerusakan sebagai respon kerusakan pada bagian terluar sel. Kedua kerusakan yang telah disebutkan di atas dapat memacu respon seluler baik respon peradangan, survival, proliferasi, dan kematian sel (Kregel dan Zhang 2007).

Fotografi mikro dari sel radang pada keempat kelompok setelah 8 minggu radiasi dapat dilihat pada Gambar 24.

(20)

Gambar 24 Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang lebih banyak pada kelompok (RP) disusul kemudian kelompok (R) dan (P). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang pada 4 minggu pemulihan dari radasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada semua kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang menurun dan hampir mendekati jumlah sel radang kelompok (K).

Penurunan rataan jumlah sel radang setelah 4 minggu pemulihan diduga karena pemberian radiasi yang dihentikan dan secara fiosiologis terjadi pergantian sel-sel yang mati dengan sel epitel baru yang berasal dari kripta usus. Sel-sel epitel baru pada vili duodenum menyebabkan menurunnya jumlah sel radang dalam vili duodenum sehingga tidak ada respon imun pada kondisi ini (Roitt 1988).

D

C

B

A

(21)

Berikut gambar fotografi mikro sel radang pada 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 25).

Gambar 25 Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang menurun pada masing-masing kelompok. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.

4.5 Rataan Tinggi Vili Duodenum

Vili merupakan struktur anatomis khas pada mukosa usus yang bertujuan untuk memperluas bidang penyerapan nutrisi (McCurnin dan Bassert 2006). Menurut Price et al. (2000), vili ialah tonjolan mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya empat atau lima juta terdapat sepanjang usus halus. Pada manusia tinggi vili mencapai 0.5 mm hingga 1.5 mm atau 15 x 103 µm. Menurut Inamoto

et al. (2008), mengatakan tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai

D

C

B

A

(22)

ke distal ileum. Pada penelitian ini, rataan tinggi vili duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil analisis rataan tinggi vili duodenum (μm) dihitung dalam luas lapang pandang 243 044 μm2

Kelompok

Rataan tinggi vili duodenum μm (Mean± SD) Setelah 8 minggu

radiasi (5.3 mSv)*

Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi

(tanpa perlakuan)

Kontrol (K) 294.24 ± 43.64a 335.62 ± 67.69a Primer (P)* 288.70 ± 84.70a 313.23 ± 64.3a Rosela (R) 310.23 ± 43.36a 323.87 ± 38.67a Radiasi-Rosela (RP)* 292.59 ± 35.25a 325.41 ± 67.39a

Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada ma sing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu

Analisis statistik terhadap rataan tinggi vili duodenum pada 8 minggu setelah radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Kelompok perlakuan (R) memiliki nilai rataan tinggi vili yang lebih besar dibandingkan kelompok lain termasuk kelompok Kontrol (K). Namun demikian secara umum rataan tinggi vili menunjukkan trend yang menurun dimana rataan tinggi vili kelompok (P) paling rendah disusul kemudian (RP), (K), dan (R). Hal ini diduga karena rosela memiliki kandungan senyawa kimia yang baik terhadap tubuh. Menurut Sediaotama (2004), hasil analisis dari 10 g serbuk kelopak rosela memiliki kandungan asam amino diantaranya prolin, valin, asam glutamat, glisin, isoleusin, leusin, dan lisin yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sel, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan dan penggantian sel-sel yang mati. Asam amino sebagai monomer dari protein memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan regenerasi sel tubuh.

Selain itu kandungan antioksidan dari antosianin (Falvonoid) dan vitamin C pada rosela dapat mengikat radikal bebas dan menghambat peroksidase lipid yang dapat merusak sel. Oleh karena itu kondisi sel terhindar dari radikal bebas. Kandungan flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan vitamin C pada ekstrak kelopak rosela dapat menjaga dan meningkatkan tinggi vili usus. Peningkatan vili menyebabkan semakin luas permukaan vili untuk absorbsi nutrien masuk ke dalam aliran darah (Mile et al. 2006; Winarsih 2007; Rostinawati 2009). Fungsi utama duodenum merupakan tempat katabolisme makanan menjadi

(23)

partikel-partikel kecil berupa lemak, protein atau bentuk lainnya. Proses ini dibantu oleh sekresi dari kantong empedu di hati dan sekresi dari pankreas. Hasil katabolisme di duodenum selanjutnya akan diserap di jejenum (Guyton dan Hall 1997).

Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 8 minggu radiasi (Gambar 26).

Gambar 26 Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Tinggi vili diukur berdasarkan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kelompok (R) memiliki vili lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K) dan (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:

B

D

C

(24)

kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 200x.

Semua kelompok perlakuan setelah diberi 4 minggu pemulihan terjadi peningkatan tinggi vili yang mendekati rataan tinggi vili pada kelompok (K). Terlihat adanya usaha pemulihan sel-sel vili sehingga terjadi penambahan tinggi vili sehingga penyerapan nutrisi dapat optimal. Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 27).

Gambar 27 Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Tinggi vili diukur berdasarkan tanda panah

D

B

C

A

(25)

hitam. Dapat dilihat bahwa tinggi vili pada semua kelompok hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin(HE) dengan perbesaran 200x.

4.6 Gambaran Umum Pengamatan Hiastopatologi Duodenum Mencit

Perubahan patologis yang teramati dari gambaran histopatologi usus halus mencit yang diberi radiasi (P) selama 8 minggu mengalami peningkatan persentase kerusakan epitel vili, jumlah kripta, sel radang dan sel goblet. Tinggi vili yang paling rendah dibandingkan kelompok (K), (R), dan (RP). Menurut McCurnin Bassert (2006), semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan mengakibatkan perubahan atau kerusakan. Radiasi ionisasi akan merubah susunan molekul air sel dalam tubuh sehingga terbentuk radikal bebas secara aktif.

Menurut Thrall (2002), radikal bebas yang terbentuk dari radiasi ionisasi secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang terpapar. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Radikal bebas merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan elektron pada kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan atom menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi. Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang berakibat pada terjadinya kerusakan sel, protein, dan struktur DNA.

Kerusakan sel epitel vili yang teramati dapat memperbesar peluang kematian sel. Kematian sel epitel vili dapat menyebabkan deskuamasi epitel vili (Cheville 1999). Selain itu ditemukan pula udema pada lamina propria pada bagian mukosa vili. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut di usus terjadi udema di lamina propria. Usus yang mengalami deskuamasi epitel dan udema lamina propria akan menjadi rapuh. Apabila telah terjadi deskuamasi epitel maka usus akan mudah terinfeksi mikroorganisme dari lumen usus.

Tingginya jumlah sel radang dan sel goblet pada mukosa maupun submukosa usus halus pada kelompok (P) diduga karena inisiasi radiasi. Menurut Weill et al. (2011), efek radiasi ionisasi dapat menyebabkan peradangan pada jaringan, oksidasi pada lemak dan protein, kerusakan DNA, dan penekanan fungsi imunitas. Secara keseluruhan maka lesio yang teramati pada kelompok (P) berupa

(26)

deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang pada duodenum mencit akan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga mencit mengalami malnutrisi.

Sedangkan pada kelompok (RP) memiliki persentase kerusakan yang lebih rendah serta tinggi vili yang lebih baik dari kelompok (P). Hal ini diduga karena adanya kandungan vitamin C yang tinggi pada tanaman rosela. Menurut Jagetia CG (2004), vitamin C memiliki kemampuan menghambat tingginya peroksidasi lipid dan kadar enzim antioksidan yang diinduksi oleh radiasi.

Jumlah kripta, sel goblet, dan sel radang yang teramati tidak jauh berbeda dari kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian rosela yang berpotensi radioprotektif sebab adanya kandungan antioksidan falvonoid. Menurut Rice-Evans et al. (1995), antioksidan golongan senyawa fenol atau flavonoid berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas secara langsung. Antioksidan melindungi perubahan onkogenik akibat induksi radiasi (Borek 2004). Menurut Hari-Kumar et al.(2004), kehadiaran antioksidan mampu memutuskan rantai efek radiasi (Gambar 28).

Gambar 28 Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan

(Hari-Kumar et al. 2004).

Menurut Mulyani et al. (2011), rosela memiliki aktivitas antioksidan (IC50) yang tinggi. Media ekstraksi yang bebeda terhadap rosela menunjukkan aktivitas antioksidan yang berbeda pula. Aktifitas antioksidan rosela pada media ekstraksi yang berbeda disajikan pada Tabel 10.

(27)

Tabel 10 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda

No Sampel Konsentrasi (µg/mL) % penghambatan kerusakan sel IC50 (µg/mL) 1 Vitamin C 40 30 20 10 96.209 96.156 96.103 74.406 2.061

2 Ekstrak dalam air panas 200 100 50 10 89.921 87.976 82.392 26.351 21.2 3 Ektrak methanol 200 100 50 10 87.310 20.012 5.760 4.250 121.03 4 Ekstrak etanol 200 100 50 10 60.777 37.401 17.122 1.682 144.03 5 Ekstrak butanol 200 100 50 10 63.267 36.794 21.130 0.508 137.14 6 Ekstrak air 200 100 50 10 15.961 11.906 1.457 1.275 9675.09

Sumber: Mulyani et al. (2011)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ekstrak kelopak rosela yang menggunakan media etanol memiliki aktivitas antioksidan 144.03 µg/mL serta persentase penghambatan kerusakan sel pada dosis 50 µg/mL sebesar 17.122 %. Hal diatas menunjukkan ekstrak kelopak rosela dapat berpotensi sebagai radioprotektor terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi terhadap duodenum mencit.

Referensi

Dokumen terkait

Sama halnya sel radang pada mukosa lambung sel radang pada mukosa usus halus pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok mencit yang diberi

fermentum selama 21 hari juga mampu menekan persentase kerusakan vili dan meningkatkan ketebalan mukosa usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) tikus yang

Larva pertama akan mengalami pergantian kulit di dalam haemosul dan mengalami perubahan ditandai dengan usus yang memanjang, lumen semakin meluas, epitel berbentuk kubus, dan

Rataan bobot dada, persentase dada, bobot daging dada, persentase daging dada, bobot tulang dada dan persentase tulang dada itik alabio jantan umur 10

Tabel 4.2 Rerata persentase morfologi normal spermatozoa mencit kelompok kontrol dan perlakuan yang diberi polisakarida krestin dari ekstrak jamur Coriolus versicolor

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian pegagan (Centella asiatica) terhadap gambaran mikroskopis usus halus mencit yang diinfeksi Salmonella

Persentase Berat usus halus Pengamatan berat usus halus ayam broiler dengan penggantian sebagian ransum komersil dengan tepung maggot selama penelitian tertera pada Tabel 10.. Rataan

3 Karakteristik Gamabaran Histopatologi pada Penderita Kanker Payudara di RSUD Al–Ihsan Periode Agustus–November 2019 Gambar Histopatologi N Jumlah Persentase% Ductal carcinoma in