• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KOMPETENSI SOSIAL PADA ANAK YANG MENGIKUTI SEKOLAH BILINGUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN KOMPETENSI SOSIAL PADA ANAK YANG MENGIKUTI SEKOLAH BILINGUAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ϯϰ

GAMBARAN KOMPETENSI SOSIAL PADA ANAK YANG

MENGIKUTI SEKOLAH BILINGUAL

Lenny Veronika Purba Rahma Yurliani Universitas Sumatra Utara

Abstrak

Masa anak-anak madya merupakan masa sekolah, memasuki dunia sosial yang lebih luas dan masa emas untuk belajar. Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik, yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang menguasai dua bahasa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual. Metode pengambilan sampel pada penelitian adalah purposive sampling dengan jumlah sampel penelitian adalah 93 anak berusia 8-11 tahun di salah satu sekolah bilingual di kota Medan. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi sosial. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment terdapat 26 aitem valid dengan rxx` yang berkisar dari 0,302 hingga 0,678 dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, diperoleh reliabilitas sebesar 0,891. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual yang tergolong tinggi sebanyak 78 anak (83,9%), kompetensi sosial yang tergolong sedang 15 anak (16,1%) dan tidak terdapat anak yang memiliki kompetensi yang tergolong rendah. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas sampel termasuk dalam kategori kompetensi sosial tinggi. Hasil penelitian tambahan untuk mengetahui perbedaan kompetensi sosial berdasarkan jenis kelamin dianalisis berdasarkan uji ANOVA dan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,227. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan antara anak perempuan dan laki-laki.

Kata Kunci : Kompetensi sosial, bilingual, anak-anak madya

Pendahuluan

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Hurlock (1978) menyatakan bahwa bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain dalam bentuk yang luas seperti: tulisan, berbicara, bahasa simbol, ekspresi wajah, isyarat, pantomin dan seni. Bahasa ini terus berkembang diawali dengan bahasa pertama individu.

(2)

ϯϱ

Setiap manusia mengetahui bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi dengan lingkungan. Pakar bahasa Noam Chomsky (dalam Santrock, 2002) yakin bahwa manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu sesuai dengan bahasa yang didengar anak sejak kecil. Bahasa inilah yang nantinya akan dikuasai oleh anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia umumnya merupakan bahasa ibu bagi anak Indonesia.

Kemampuan berbahasa asing juga menjadi salah satu kebutuhan bagi masyarakat selain bahasa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan globalisasi yang identik dengan tidak ada batasan bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan suatu bahasa komunikasi universal (Sutiyoso, 2006). Tanpa adanya ketrampilan yang baik, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaannya. Tingginya tuntutan yang harus dipenuhi pada saat memasuki dunia kerja ini membuat orang tua juga semakin banyak menuntut anak-anak mereka yang masih dalam dunia sekolah (Gunarsa, 2004).

Di Indonesia, bahasa asing paling banyak diminati untuk dikuasai adalah bahasa Inggris yang juga dijadikan bahasa universal di dunia. Kemampuan berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris, dijadikan prasyarat kesuksesan bagi seseorang di masa depan. Asumsi ini membuat berbagai institusi pendidikan menyediakan pendidikan bahasa asing bagi perkembangan bahasa anak, termasuk menyediakan program bilingual (Sutiyoso, 2006). Bilingual adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya dalam empat ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis (Hurlock, 1993).

Sekolah yang menyediakan program bilingual berarti menggunakan dua bahasa di dalam kegiatan pendidikannya. Bahasa yang sering digunakan pada sekolah bilingual di Indonesia adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari. Ada pelajaran yang diajarkan dengan bahasa Inggris, ada pula yang dengan bahasa Indonesia (Gunarsa, 2004). Penerapan konsep bilingual ini membuat pihak sekolah dan orang tua mengharapkan anak dapat lebih mahir dan menguasai bahasa Inggris (Sutiyoso, 2006).

Banyak penelitian tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari bilingual ini. Ada penelitian yang mengemukakan hasil negatif dan ada pula yang positif (Gunarsa, 2004). Salah satu hasil yang positif dikemukakan oleh para ahli syaraf yang meneliti hubungan antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak. Kesimpulan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh mempelajari bahasa asing dan keuntungannya bagi perkembangan otak, yakni perkembangan yang lebih pesat dalam

(3)

ϯϲ

proses kognitif, kreativitas dan divergent thinking dibandingkan dengan anak-anak monolingual (Adepanji, 2010).

Menurut Andersson & Andersson (1999) anak yang telah mempelajari dua bahasa akan mudah untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang berbahasa sama dengan bahasa kedua anak. Andersson & Andersson (1999) juga menyatakan bahwa anak yang bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat menguasai lebih dari satu bahasa.

Bilingual juga memiliki sisi negatif. Dampak bilingualisme juga dikemukakan oleh Gene (2007) yang menyatakan bahwa pasti ada kesenjangan sosialisasi antara anak bilingual dengan keluarga besarnya. Kemungkinannya adalah anak akan menganggap rendah bahasa dan budaya orangtuanya karena dari kecil telah diperkenalkan bahasa asing. Pendapat ini diperkuat oleh Tarigan (1988) yang menyatakan kontak anak bilingual dengan keluarga besarnya akan berbeda. Gene (2007) juga menyatakan bahwa tak sedikit anak yang stres dan tertekan karena dipaksa mengerti bahasa asing. Akibatnya anak akan selalu lambat dalam mengerjakan tugasnya karena ia kurang paham dengan apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Salah satu akibat lainnya adalah pembelajaran dua bahasa yang akan menimbulkan konsep pemahaman yang tidak jelas. Masalah ini terjadi karena bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris berbeda secara struktural dan tata cara aturan kalimat (Sutiyoso, 2006). Anak bilingual tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan yang menyebabkan anak berbicara dengan bahasa yang bercampur antara bahasa ibu dengan bahasa asing (Genesse, dalam Gunarsa, 2004).

Santrock (2002) menyatakan bahwa anak harus menguasai bahasa pertamanya untuk dapat berkomunikasi secara efektif di lingkungannya, namun di sisi lain mereka juga harus menguasai bahasa asing untuk memudahkan mereka di lingkungan sekolahnya. Akan lebih baik jika anak menguasai bahasa pertamanya terlebih dahulu kemudian mempelajari bahasa asing karena jika anak dihadapkan pada bahasa yang tidak familiar di lingkungan sosialnya, maka anak akan mengalami kebingungan sosial sehingga penggunaan bahasanya menjadi tidak sesuai. Kondisi ini menyebabkan komunikasi kurang lancar dan pada akhirnya dapat mengganggu perkembangan sosialnya dan berujung pada rendahnya kompetensi sosial anak.

Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik (Rinn dan Markle, dalam Tarsidi 2009), yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang mengetahui dua bahasa. Pellegrini dan Glickman (dalam Tarsidi, 2009) mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai suatu derajat dimana anak dapat beradaptasi pada lingkungan sekolah dan rumahnya. Kompetensi sosial merupakan dasar dimana harapan akan interaksi dengan orang lain terbangun dan

(4)

ϯϳ

anak mengembangkan persepsinya kepada perilakunya sendiri. Selain itu, kemampuan dalam melakukan percakapan mengambil peran yang penting dalam interaksi. Anak yang sukses secara sosial ditemukan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan responsif kepada lawan bicaranya (Burleson dalam Clikeman, 2007).

Kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah sebuah kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu, kemudian mengaplikasikannya. Kemampuan untuk merespon ini tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan interaksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Clikeman (2007) juga menuturkan elemen-elemen dari kompetensi sosial tersebut, yakni: (1) bahasa dan kemampuan berkomunikasi, (2) kemampuan secara akurat mengirim dan menerima pesan emosional, (3) kemampuan untuk belajar, (4) kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, (5) kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, (6) kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain.

Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang penting dan harus dimiliki oleh anak-anak. Masa anak-anak tengah (middle childhood), yaitu masa dengan usia 6-11 tahun (Papalia & Olds, 2004), merupakan masa bermain dan masa sekolah dimana mereka berinteraksi dengan teman sebayanya untuk melakukan suatu kegiatan. Bermain dengan teman sebaya pada usia ini merupakan pengembangan kompetensi sosial anak (Gunarsa, 2004). Anak yang memiliki kompetensi sosial tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Selain itu, Piaget (dalam Tarsidi, 2009) juga mengemukakan bahwa interaksi dengan teman sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif, khususnya perkembangan “role taking” dan empati yang merupakan salah satu elemen dari kompetensi sosial.

Tokoh psikososial Erikson (dalam Schultz, 1994) juga menyatakan bahwa masa anak-anak tengah (middle childhood) merupakan masa emas untuk belajar. Perkembangan bahasa anak juga lebih berkembang dan berfikir dengan konsep operasional konkrit. Hubungan sosial anak juga lebih ditekankan pada teman sebaya melalui proses bermain. Namun, tidak semua anak dapat bersosialisasi dengan baik. Anak-anak yang tidak mampu berunding atau bekerja sama akan susah untuk diterima di lingkungan teman sebaya dan anak juga akan menunjukkan kompetensi sosial yang buruk (Putallaz & Sheppart dalam Clikeman, 2007). Oleh karena itu, kemampuan anak dalam menganalisa perilakunya sangat diperlukan sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Salah satu elemen lain dari kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah kemampuan anak untuk mengatur perilakunya sendiri yang mencakup bagaimana anak

(5)

ϯϴ

dapat menyesuaikan diri dengan suatu situasi dan mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan lingkungan.

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual, khususnya masa anak-anak madya (middle childhood) yang merupakan masa sekolah dan memasuki dunia sosial lebih luas serta masa emas untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan.

Hipotesis

Semakin tinggi skor yang diperoleh subyek maka semakin tinggi kompetensi sosial yang dimiliki oleh subyek, begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subyek maka semakin rendah kompetensi sosial yang dimiliki oleh subyek.

Metode

Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang mengikuti sekolah bilingual. Karakteristik sampel penelitian ini antara lain: anak berusia 8 sampai 11 tahun dalam rentang anak-anak madya (middle childhood) dan bersekolah di sekolah bilingual lebih dari satu tahun. Menurut Gunarsa (2004), pengalaman akan kedua bahasa merupakan faktor yang penting untuk terbentuknya perkembangan bilingual yang baik. Sekolah bilingual yang dimaksud di sini adalah sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam proses pengajarannya.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Jumlah anak yang menjadi sampel penelitian adalah sebanyak 93 anak.

Pengumpulan data di penelitian ini menggunakan metode self-reports. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah skala kompetensi sosial yang disusun berdasarkan keenam elemen dari kompetensi sosial yang dikemukakan oleh Clikeman (2007).

Skala ini menggunakan model skala Likert yang dimodifikasi oleh peneliti. Menurut Azwar (2000) responden yang belum cukup dewasa, kadang-kadang diferensiasinya perlu disederhanakan menjadi tiga pilihan saja yaitu Setuju (S), Netral (N), dan Tidak Setuju (TS). Dalam penelitian ini, pilihan respon tersebut dijabarkan masing-masing dalam bentuk kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan tujuan memudahkan subyek yang merupakan anak bilingual untuk lebih memahami skala penelitian. Ketiga pilihan respon tersebut diganti menjadi pilihan kalimat a, b dan c.

(6)

ϯϵ

Teknik analisis data. Pertama, data diuji dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui data telah terdistribusi secara normal. Setelah data diuji dan telah terbukti memiliki distribusi normal, kemudian data dikategorisasikan dengan kategori jenjang.

Untuk hasil tambahan penelitian yang bermaksud untuk melihat perbedaan kompetensi sosial berdasarkan jenis kelamin, data diuji dengan menggunakan Levene Statistik untuk melihat homogenitas sampel. Selanjutnya untuk melihat signifikansi perbedaannya, data dianalisis berdasarkan uji ANOVA. Kemudian, untuk mempermudah penganalisaan data, data diolah dengan menggunakan SPSS 16.00 for Windows.

Hasil dan Analisis

Berdasarkan deskripsi umum skor maksimum, minimum, mean, dan standar deviasi kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan data hipotetik, maka diperoleh hasil pengkategorian kompetensi sosial sebagai berikut.

Tabel Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual Variabel Rentang Skor Kategorisasi Frekuensi (N) Persentase (%) Kompetensi Sosial X < 43 Rendah 0 0 43” X <60 Sedang 15 16,1 X •60 Tinggi 78 83,9 Jumlah 93 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas sampel memiliki tingkat kompetensi sosial yang tergolong tinggi yaitu sebanyak 78 anak (83,9%) sedangkan kompetensi sosial tergolong sedang sebanyak 15 anak (16,1%) dan tidak ada anak memiliki kompetensi sosial yang tergolong rendah.

Karakteristik sampel yang memiliki kompetensi sosial tinggi dapat digambarkan berdasarkan jawaban-jawaban subyek pada skala kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian ini. Pada elemen bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi, anak mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh teman-temannya dan memahami penjelasan, ucapan dan perintah yang diberikan oleh guru. Dilihat dari elemen kemampuan secara akurat menyampaikan dan menerima pesan emosional, anak peduli ketika guru sedang marah. Anak juga memahami isyarat non verbal seperti gerakan-gerakan petunjuk dari guru dan dapat merasakan jika temannya sedang bersedih. Dalam elemen kemampuan untuk belajar, anak mampu mengevaluasi perilakunya ketika menghadapi situasi yang sama dengan pengalaman sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Anak

(7)

ϰϬ

juga mampu menyadari bahwa perilaku yang ditunjukkannya tidak tepat dan mengetahui konsekuensi dari perilakunya. Pada elemen ke empat yaitu kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain, anak mampu menerima perbedaan pendapat dengan teman dan dapat mengikuti saran atau mendengarkan perkataan orang lain. Dilihat dari elemen kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, anak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan di sekitarnya. Anak juga tetap tertib ketika upacara bendera, mampu menahan diri ketika ada orang lain yang mengganggu pada saat jam pelajaran dan menjaga untuk tidak berkelahi di sekolah. Elemen terakhir yakni kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, anak mampu bernegosiasi dan mampu untuk meminta dengan sopan ketika menginginkan suatu benda. Anak juga merasa bahwa bermain dengan orang lain itu menyenangkan.

Peneliti juga melakukan analisis tambahan dalam penelitian ini yaitu perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas sampel yang mengikuti sekolah bilingual mampu bernegosiasi dengan orang lain untuk mencapai keinginannya dan senang melakukan suatu kegiatan bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan (Clikeman, 2007). Hal ini sejalan dengan Hurlock (1999) yang menyatakan bahwa anak menunjukkan minat yang tinggi terhadap aktivitas berteman dan berinteraksi dengan teman sebayanya untuk melakukan suatu kegiatan. Gunarsa (2004) juga mengemukakan bahwa bermain di usia ini dapat membuat anak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Hal ini juga didukung oleh Landry, Smith dan Swank (2009) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi adalah anak usia sekolah dalam hal joint problem solving task, yaitu kemampuan anak bekerja sama untuk memecahkan suatu masalah dengan teman sebaya dan mengatasi konflik dengan orangtua.

Kategori kompetensi sosial tinggi dalam masing-masing elemen juga menunjukkan mayoritas subyek berada pada kategori sedang dalam elemen kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain. Artinya adalah anak masih kurang dapat memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain dan anak juga masih kurang dapat menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu tindakan dan situasi yang sama dengannya (Clikeman, 2007). Hal ini sesuai dengan pandangan Santrock (2002) yang menyatakan bahwa anak-anak memiliki sifat egois yang tinggi. Anak lebih cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan pemikiran orang lain yang berbeda

(8)

ϰϭ

dengannya. Selain itu juga Andersson (1999) menyatakan bahwa anak bilingual kurang dapat memahami perspektif orang lain terkait dengan perbedaan budaya antar kedua bahasa.

Sebanyak 15 sampel dalam kategorisasi kompetensi sosial sedang. Karakteristik sampel dalam kategorisasi ini memiliki beberapa elemen. Pada elemen pertama yaitu bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi, anak mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh teman-temannya, namun masih kurang memahami penjelasan dan ucapan guru. Anak juga masih bingung dengan perintah yang diberikan oleh guru. Pada elemen kemampuan secara akurat menyampaikan dan menerima pesan emosional, anak peduli dan memahami ketika guru sedang marah, namun masih kurang memahami isyarat non verbal seperti gerakan-gerakan petunjuk dari guru. Anak juga kurang dapat merasakan jika temannya sedang bersedih. Dilihat dari elemen kemampuan untuk belajar, anak mampu mengevaluasi perilakunya ketika menghadapi situasi yang sama dengan pengalaman. Hal ini dapat menghasilkan suatu perubahan perilaku, namun anak masih kurang menyadari bahwa perilaku yang ditunjukkannya tidak tepat dan anak juga kurang mengetahui konsekuensi dari perilakunya. Pada elemen ke empat yaitu kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain anak mampu menerima perbedaan pendapat dengan teman, namun masih sulit untuk mengikuti saran atau mendengarkan perkataan orang lain. Dilihat dari elemen kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, anak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan di sekitarnya. Anak juga mampu menahan diri untuk tidak berkelahi di sekolah dan tetap tertib ketika upacara bendera, namun masih kurang mampu mengontrol perilakunya ketika ada orang lain yang mengganggu pada saat jam pelajaran di sekolah. Pada elemen terakhir yaitu kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, anak mampu bernegosiasi dengan orang lain. Anak juga mampu untuk meminta dengan sopan ketika menginginkan suatu benda yang dipegang oleh orang lain, tetapi anak merasa bahwa bermain sendiri lebih menyenangkan dibandingkan dengan bermain dengan orang lain.

Pada hasil analisis tambahan yakni tidak adanya perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan, sejalan dengan hasil penelitian Diener dan Kim (dalam Clikeman, 2007) yang menemukan tidak adanya perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam pengukuran social withdrawal. Maccoby dan Jacklin (dalam Clikeman, 2007) juga mengemukakan bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam pertemanan antara anak laki-laki dan perempuan pada masa anak-anak madya, namun terdapat kebaikan hati, kepedulian, dan dukungan antara kedua jenis kelamin.

Clikeman (2007) sendiri menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan menunjukkan ketertarikan dalam pertemanan dan ingin dapat diterima (menyesuaikan diri

(9)

ϰϮ

dengan) lingkungannya. Tidak ada perbedaan dalam kemauan untuk mendengarkan orang lain, mengerti perspektif orang lain, dan ketertarikan pada kelompok dan aktivitas individual antara kedua jenis kelamin. Terdapat pula banyak kesamaan yang terjadi dalam kedua jenis kelamin. Hubungan teman sebaya dengan kompetensi akademik muncul menjadi sebuah bagian dari perkembangan dan penekanan pada kebutuhan untuk perkembangan perilaku yang tepat secara sosial untuk kesusksessan perkembangan sosial selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Measelle (dalam Clikeman, 2007) juga tidak menemukan adanya perbedaan dalam pencapaian kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual secara umum tergolong pada kategori tinggi yaitu sebanyak 83,9%, sedangkan yang tergolong kategori sedang sebanyak 16,1% dan tidak terdapat subyek yang tergolong kategori rendah.

Gambaran kompetensi sosial dalam kategori kompetensi sosial tinggi dalam keenam elemen kompetensi sosial juga menunjukkan bahwa mayoritas subyek berada pada kategori sedang dalam elemen kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan ditinjau berdasarkan jenis kelamin.

Saran

Bagi Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual. Hendaknya anak mengikuti berbagai kegiatan positif yang diadakan di sekolah dan di lingkungan rumah sehingga anak dapat mengasah dan menjadi lebih berani dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya

Bagi Orangtua. Orangtua dapat memberikan penghargaan bagi anak jika menunjukkan perilaku yang baik sehingga anak lebih termotivasi untuk melakukan perilaku yang lebih baik lagi untuk mengembangkan kompetensi sosialnya

Bagi Sekolah. Guru dapat memberikan kegiatan-kegiatan yang lebih bervariasi bagi anak sehingga anak dapat mengembangkan kreativitasnya dan mampu bekerja sama dengan baik dengan orang lain

(10)

ϰϯ

Daftar Pustaka

Adepanji. (2010). Pengaruh Bahasa Asing Terhadap Perkembangan Anak (online). Available FTP : http://adepanji.wordpress.com/2010/01/05/pengaruh-bahasa-asing-terhadap-perkembangan-anak/ - 02 Agustus 2010

Andersson, Una Cunningham dan Andersson, Staffan. (1999). Growing Up With Two Language : A Practical Guide. London : Routledge

Azwar, Saifuddin. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Belajar Offset. _______________ (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset

Clikeman, Margaret Semrud. (2007). Social Competence in Children. Michigan : Springer. Gene. (2007). Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua. (online). Available

FTP : http://genenetto.blogspot.com/2007/09/sekolah-bilingual-dwibahasa-ibarat.html - 02 Agustus 2010

Gunarsa, Singgih D. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan : Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta : BPK Gunung Mulia

Hurlock, Elizabeth B. (1978). Child development (6th ed). Singapore : McGraw-Hill Book Company

_________________ (1993). Perkembangan Anak Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga

_________________ (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Landry, S. H., Smith, K. E., & Swank, P. R. (2009). New directions in evaluating social problem solving in childhood: Early precursors and links to adolescent social competence. In C. Lewis & J. I. M. Carpendale (Eds.), Social interaction and the development of executive function. New Directions in Child and Adolescent Development, 123, 51–68.

Papalia & Olds. (2004). Human Development. New York : McGraw-Hill Book Co. Santrock, Jhon W. (2002). Life - Span Development 5th edition. Jakarta : Erlangga

_______________ (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Schultz, Duane. (1994). Theory of Personality. USA: Brooks/Gol Publishing Company Pacific Gove California.

Sutiyoso, Andy. (2006). Bahasa Asing Dalam Pendidikan Anak kita (online). http://www.semipalar.net/tulisan/tulisan 24.html - 14 September 2010 Tarigan, Henry Guntur. (1988). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung : Angkasa

(11)

ϰϰ

Tarsidi, Didi. (2009). Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak. (online). Available FTP : http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/11/perkembangan-kompetensi-sosial-pada.html - 14 September 2010

Gambar

Tabel Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual  Variabel  Rentang Skor  Kategorisasi  Frekuensi (N)  Persentase (%)  Kompetensi  Sosial  X &lt; 43  Rendah  0  0 43” X &lt;60 Sedang 15  16,1  X •60 Tinggi  78  83,9  Jumlah 93  1

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai akal pikiran, maka manusia harus senantiasa terus belajar. Orang yang

Berdasarkan penelitian, luas lahan minimum garapan responden di Pekon Datar Lebuay adalah 1 ha, luas lahan maksimum garapan responden seluas 2 ha dengan rata-rata luas lahan

Sebagaimana telah dikatakan bahwa di Asia tidak hanya ada agama-agama yang diakui secara resmi di dunia, melainkan juga ada begitu banyak tradisi keyakinan lokal

Industri tenun setengah jadi merupakan salah satu bagian dari industri tekstil di bagian tengah sebagai bagian penenunan dari benang yang sangat penting yang menopang jalannya

Berdasarkan seluruh hasil pengukuran ini, maka diperoleh dasar-dasar perencanaan yang akan digunakan dalam perencanaan instalasi pengolahan lumpur IPA

Kelompok 2 atau kelompok kontrol patologis memiliki skor kerusakan akut mukosa lambung yang paling besar, yaitu 92% karena kelompok ini hanya diberi etanol.. Pada pemeriksaan

Pemberian berulang ekstrak etanolik kangkung darat selama 14 hari pada mencit betina betina mengakibatkan kadar AST dan ALT hewan uji kelompok dosis 759 mg/ kg dan dosis