• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA DI MTS MUHAMMADIYAH AL MANAR KABUPATEN DEMAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA DI MTS MUHAMMADIYAH AL MANAR KABUPATEN DEMAK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA DI MTS

MUHAMMADIYAH AL MANAR KABUPATEN DEMAK

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Psikologi dan Pendidikan Agama Islam

Oleh :

Arif Rahman Prasetyo F.100132021 / G.000132021

TWINNING PROGRAM

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

 

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA DI MTS

MUHAMMADIYAH AL MANAR KABUPATEN DEMAK ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang peran guru dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual siswa di MTs Muhammadiyah Al Manar Kabupaten Demak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Adapun lokasi penelitian di MTs Muhammadiyah Al Manar Kabupaten Demak dengan 6 guru sebagai informan utama dan 15 siswa sebagai informan pendukung. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara serta angket terbuka untuk siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, guru berperan sebagai penasihat, motivator, pendidik, serta fasilitator. Nasihat diberikan pada siswa dalam mengenali dan mengelola emosi diri. Motivasi diberikan pada siswa di kelas ketika dalam keadaan sedih. Pendidikan diberikan pada siswa dengan menanamkan sikap empati, seperti menjenguk teman sakit dan membantu teman dalam belajar. Sedangkan fasilitas berupa kegiatan silaturrahim, olah raga, dan ekstrakulikuler diberikan pada siswa dalam rangka mendekatkan hubungan pertemanan. 2) Dalam mengembangkan kecerdasan spiritual, guru berperan sebagai pengajar, korektor, evaluator, penasihat, motivator, pembimbing, dan model atau teladan. Pengajaran diberikan berkaitan dengan masalah agama, khususnya ibadah. Koreksi dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap aktivitas siswa di sekolah. Evaluasi diberikan pada siswa atas pelanggaran yang dilakukan. Evaluasi tersebut berupa sanksi yang mendidik, seperti membaca Al-Qur’an ataupun sholat berjamaah. Nasihat diberikan pada siswa dalam kejujuran, kebermanfaatan bagi sesama, dan kemandirian diri. Motivasi diberikan pada siswa dalam muhasabah diri, penderitaan atas kegagalan, dan kesabaran atas penyakit. Bimbingan diberikan pada siswa dalam kekritisan berpikir. Sedangkan model atau teladan diberikan pada siswa dalam ibadah, baik bersifat wajib seperti sholat berjamaah lima waktu, ataupun bersifat sunnah seperti sholat dhuha dan tahajud.

Kata Kunci: Kecerdasan emosional, Kecerdasan spiritual, Peran guru

ABSTRACT

This study aims to give an idea of the role of teachers in developing the emotional intelligence and spiritual intelligence of students. This research uses descriptive qualitative approach. The location of research in MTs Muhammadiyah Al Manar of Demak Regency with 6 teachers as main informant and 15 students as supporting informant. Data collection in this study used observation, interview and open questionnaire for students. The results of this study indicate that: 1) In developing emotional intelligence, teachers act as advisers, motivators,

(6)

 

2   

educators, and facilitators. Advice and Motivation are given to students in recognizing emotions and managing their emotions, such as feelings of sadness, anger and despair. Education is given to students by instilling empathy, such as visiting friends and helping friends in learning. While facilities in the form of activities silaturrahim, sports, and extracurricular given to students in order to bring closer friendship. 2) In developing spiritual intelligence, teachers act as teachers, correspondents, evaluators, advisers, motivators, mentors, and models. Teaching is given in relation to religious matters, especially worship. Corrections are performed as a form of supervision of student activities at school. Evaluations are given to students for the offenses committed. The evaluation is in the form of educational sanctions, such as reading the Qur'an or praying in congregation. Advice is given to students in honesty, usefulness for others, and self-reliance. Motivation is given to students in self-maturity, suffering for failure, and patience over illness. Guidance is given to students in critical thinking. While the model is given to students in worship, whether mandatory such as praying in congregation five times, or is sunnah like dhuha prayer and tahajud.

Keywords: Emotional Intelligence, Spiritual Intelligence, Teacher's Role

1. PENDAHULUAN

Salah satu kunci keberhasilan dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia ialah terletak pada sosok guru. Guru dianggap sebagai sosok penting dalam dunia pendidikan. Menurut Suparlan (2008), guru merupakan seseorang yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, psikis maupun intelektual peserta didik. Seorang presiden, pengusaha, dan ulama sekalipun tidak lepas dari jerih payah jasa seorang guru. Selain itu, guru dapat dikatakan sebagai orang tua kedua (second parent) bagi siswa. Baik dan tidaknya siswa menurut Supardi (2013) salah satunya ditentukan oleh faktor guru. Guru memiliki tugas dalam pembentukan karakter serta jiwa peserta didik. Ketika karakter dan jiwa peserta didik telah terbentuk, artinya seorang guru telah sukses menjalankan peran sebagai arsitektur dalam dunia pendidikan. Sedangkan dalam istilah Jawa, slogan digugu dan ditiru telah melekat pada sosok guru. Guru dianggap sebagai seorang yang senantiasa digugu atau dipercayai segala perkataan yang diucapkan. Selain itu, segala tingkah laku dan perbuatan yang dikerjakan guru senantiasa ditiru, dicontoh ataupun diikuti karena dianggap memiliki kepribadian dan akhlak yang luhur.

(7)

 

Maka sudah tidak heran lagi jika guru merupakan salah satu profesi yang cukup dihormati dan disegani oleh masyarakat Indonesia.

Menurut data Dirjen Dikdas pada tahun 2011, sebenarnya desain sistem pendidikan di Indonesia telah mencakup semua aspek kecerdasan. Akan tetapi pada kenyataannya, implementasi pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Zulkifli (2015) menambahkan bahwa pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan dan menjunjung tinggi aspek kognitif yang orientasi akhirnya hanya mengejar nilai akademik semata.

Akibat dari tidak maksimalnya implementasi pendidikan di Indonesia yang belum menyentuh secara maksimal pada aspek-aspek kecerdasan, sehingga dewasa kini marak terjadi kriminalitas ataupun kasus-kasus negatif yang dilakukan oleh para pelajar, seperti bolos sekolah, perampokan, perjudian, tawuran, dan lain sebagainya. Seperti yang dilansir oleh tribunnews.com bahwa sebanyak 7 siswa di Kendal diketahui sedang membolos sekolah. Siswa tersebut berhasil ditangkap oleh Satpol PP yang melakukan razia secara dadakan di lingkungan sekitar sekolahan. Akibat dari perbuatannya tersebut, para siswa digiring menuju kantor Satpol PP untuk diberi hukuman berupa push up, berlari mengelilingi lapangan, sholat dzuhur berjamaah serta berjanji secara tertulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hukuman demikian dimaksudkan agar siswa jera melakukan kembali perbuatan bolos saat sedang berlangsung proses kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Selain itu, berita negatif lainnya berasal dari Pulau Sumatera. Seperti yang dilansir sindonews.com bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap salah seorang siswi. Korban diketahui bernama Yolanda Tika (19), siswi Kelas 2 SMA PSM Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Korban dianiaya dan dipukuli oleh pelajar sekolah lain saat sedang berada di sekolahan. Akibat dari penganiayaan tersebut, korban mengalami patah kaki kanan dan memar di pipi serta harus terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit.

(8)

 

4   

Dua contoh kasus di atas hanya segelintir dari banyaknya kasus yang terjadi di kalangan pelajar Indonesia. Hal ini perlu dijadikan perhatian serius oleh guru yang notabene menjadi aktor penting dalam pendidikan di Indonesia. Dalam proses pembelajaran, seorang guru bukan hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang orientasinya untuk mengejar nilai akademik semata. Akan tetapi, seorang guru perlu membentuk karakter dan jiwa peserta didik agar menjadi pribadi yang utuh.

Karakter dan jiwa peserta didik dapat dibentuk dengan mengembangkan dua aspek kecerdasan, yakni emosi dan spiritual. Dengan mengembangkan kecerdasan emosi, peserta didik akan memiliki kematangan dalam kehidupan emosi seperti mampu dalam memahami perasaan, menyemangati diri, mengatur emosi serta bersosialisasi dengan baik. Sedangkan pengembangan kecerdasan spiritual bertujuan agar peserta didik memiliki masa depan cerah karena diilhami oleh visi dan nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, kecerdasan spiritual memiliki peran penting agar emosi dan intelektual peserta didik dapat tetap terjaga serta berfungsi dengan baik (Agustian, 2009).

Mengingat potensi yang dimiliki siswa harus dikembangkan agar mereka mempunyai kecakapan emosi dan tujuan hidup yang jelas sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, maka pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual bagi siswa sangat diperlukan. Guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran di kelas dapat menjadi jawaban alternatif atas berbagai permasalahan krisis moral di kalangan pelajar serta menjadi aktor dalam evaluasi implementasi pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan hasil observasi dan interview pada tanggal 07 Desember 2016 di MTs Muhammadiyah Al Manar Kabupaten Demak dijumpai bahwa peran guru menjadi hal yang vital dalam mengembangkan emosional dan spiritual siswa. Dalam mengembangkan emosional siswa, guru secara personal dekat dengan siswa untuk kemudian mengajarkan sikap empati ataupun membina hubungan yang baik antar sesama. Rasa empati siswa yang tinggi

(9)

 

ditunjukkan dengan adanya kegiatan penggalangan dana untuk membantu korban bencana alam ataupun menjenguk teman yang sedang sakit. Sedangkan dalam kehidupan spiritual, siswa memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam hal ibadah, seperti sholat lima waktu secara berjamaah dan tadarus Al-Qur’an. Selain itu, arahan dan kebijakan guru yang menganjurkan siswa putri untuk tidur di asrama menjadi ajang pelatihan bagi siswa untuk hidup mandiri. Dengan peran guru yang begitu vital, maka tidak heran meskipun letak sekolahan berada di desa yang jauh dari keramaian kota namun tidak ada sejarah kriminalitas yang dilakukan siswa, seperti tawuran, perjudian, ataupun lainnya. Justru, hingga kini sekolah tersebut secara konsisten banyak melahirkan alumni yang sukses baik dalam akademik, emosional maupun spiritual.

Berdasarkan pemaparan di atas, menjadi suatu hal yang menarik untuk mengkaji deskripsi peran guru dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual siswa di MTs Muhammadiyah Al Manar Kabupaten Demak.

Menurut Goleman (2006), kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mengendalikan diri terhadap berbagai situasi, mampu mengatur suasana hati, memotivasi diri sendiri, mampu berempati serta mampu berhubungan sosial. Sedangkan Cooper dan Sawaf (dalam Puluhulawa, 2013) mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan dalam merasakan dan memiliki kepekaan terhadap emosi.

Adapun kecerdasan spiritual menurut Agustian (2001) di maknai sebagai kecakapan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan kehidupan keseharian sesuai dengan fitrah spiritual yang dimiliki oleh manusia. Zohar dan Marshall (2007) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual sebagai sesuatu yang penting untuk dimiliki manusia. Karena dengan memiliki kecerdasan spiritual, seseorang akan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan serta mampu menghadapi persoalan hidup dengan penuh rasa keyakinan.

(10)

 

6   

2. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan dua jenis subjek penelitian. Yakni subjek penelitian utama dan subjek penelitian pendukung. Subjek penelitian utama dalam penelitian ini adalah 6 orang guru. Sedangkan subjek penelitian pendukung adalah 15 siswa MTs Muhammadiyah Al Manar. Data penelitian didapatkan melalui observasi, wawancara dan angket terbuka unuk siswa. Data yang sudah diambil akan dianalisa dengan mengaitkan antara jawaban yang diberikan responden dengan kajian pustaka yang ada.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1Peran guru dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa

Emosi ialah kecenderungan untuk bereaksi terhadap suatu perasaan atau pikiran dalam suatu kondisi (Goleman, 2006). Siswa MTs yang dalam tahap perkembangannya memasuki masa remaja memiliki kecenderungan emosi yang berubah-ubah. Kondisi ini menjadi wajar karena remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak yang mengakibatkan adanya perubahan fisik, kognitif dan psikososial (Papalia & Feldman, 2015).

Guru telah mengenal berbagai karakter siswa. Adapun yang dominan muncul adalah karakter positif, seperti memiliki emosi yang cukup stabil. Perasaan bahagia siswa muncul disebabkan adanya kegiatan olah raga, hizbul wathan dan drum band. Sedangkan siswa merasa sedih disebabkan adanya kegiatan yang padat, beban tugas beberapa pelajaran seperti, matematika, fisika, dan bahasa Inggris, ditambah kurang adanya dukungan dari orang tua.

Pada setiap kesempatan tausiyah malam Jum’at atau di sela-sela mengajar, guru memberikan motivasi kepada siswa untuk tetap optimis dalam menjalani kehidupan serta statusnya sebagai siswa. Selain itu, guru menyempatkan memberi nasihat kepada siswa supaya menjaga akhlak dan mengindahkan aturan-aturan yang berlaku. Sedangkan bagi

(11)

 

siswa yang bertengkar, guru akan memberikan hukuman berupa sholat berjamaah di shaff pertama selama satu minggu di masjid ataupun membaca Qur’an sebanyak satu juz pada saat itu juga. Membaca Al-Qur’an memiliki beragam manfaat. Salah satunya yang dikutip dari hasil penelitian Chusna (2015) bahwa aktivitas membaca Al-Qur’an dapat mempengaruhi tingkat emosi menjadi lebih stabil.

Di sela-sela mengajar, guru menyampaikan motivasi secara lisan maupun dalam bentuk tayangan video untuk meluruskan niat belajar karena Allah, berbakti kepada kedua orang tua dengan belajar sungguh-sungguh, serta selalu optimis untuk menjalani kehidupan. Guru yang efektif ialah guru yang mempunyai strategi yang baik dalam membantu para siswa agar mampu memotivasi dirinya secara mandiri (self motivated) dan bertanggungjawab atas pembelajaran yang mereka dapatkan (Anderman & Wolters, 2006). Guru bertanggungjawab penuh atas kepahaman siswa dalam menerima pelajaran.

Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan merasakan perasaan yang dialami oleh orang lain (Goleman, 2006). Empati siswa ditunjukkan dengan perilaku peduli dan tolong menolong kepada teman yang sedang sakit ataupun tertimpa musibah. Mereka beramai-ramai menjenguk, serta bergotong-royong mengumpulkan dana infak untuk diberikan kepada yang membutuhkan.

Hubungan antar siswa cukup dekat karena memiliki rasa sepenanggungan yang sama. Mayoritas dari siswa berasal dari desa yang sama dan telah mengenal sejak kecil. Diantara mereka tidak ada yang membeda-bedakan status sosial. Menurut Suyono (2008), persahabatan biasanya terjadi pada dua individu yang didasarkan pada banyak persamaan, seperti persamaan usia dan persamaan tempat tinggal. Untuk lebih menjaga keharmonisan hubungan, guru memfasilitasi siswa dalam berbagai kegiatan yang positif, seperti olah raga, ekstrakulikuler, silaturrahim antar murid, hingga belajar malam bersama.

(12)

 

8   

3.2Peran guru dalam mengembangkan kecerdasan spiritual siswa

Dalam kehidupan spiritual, aspek yang ditekankan ialah bagaimana siswa memaknai tujuan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Kehidupan spiritual merupakan serangkaian kehidupan keseharian sesuai dengan fitrah spiritual yang dimiliki oleh manusia. Fitrah ini digunakan untuk beribadah dan bertauhid kepada Allah SWT (Agustian, 2001). Dalam menjalankan kehidupan kesehariannya, aktivitas siswa dilandasi dengan nilai-nilai positif berdasarkan syariat Islam.

MTs Muhammadiyah Al Manar Kabupaten Demak dalam pendidikannya menggunakan model semi pesantren. Dikatakan semi pesantren karena aktivitas keseharian siswa dari pagi hingga malam lebih banyak berada di lingkungan sekolah. guru merancang model pendidikan semi pesantren yang memungkinkan adanya berbagai aktivitas, seperti aktivitas akademik di kelas ataupun aktivitas keagamaan yang cukup padat. Guru selalu mengoreksi kehadiran siswa serta melakukan evaluasi dengan memberikan hukuman berupa push up, sholat berjamaah, kerja bakti, meminta tanda tangan kepada guru senior, maupun membaca Al-Qur’an di halaman sekolah. Pemberian hukuman akan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan pada siswa. Hal itu terkait dengan perilaku siswa yang kurang sesuai dengan kegiatan pembelajaran sehingga perilaku negatif tersebut dapat diminimalisir kemunculannya (Nasrudin, 2015).

Tuntutan akademik tidak serta merta menjadikan siswa lebih giat dalam belajar. Bagi siswa yang mendapatkan nilai rendah, seringkali mereka bersedih hati. Sebagai bentuk perhatiannya, guru mencoba mengajak muhasabah diri, menasihati dan membimbing siswa dengan bentuk diskusi tanya jawab, sehingga menjadikan siswa lebih dapat berpikir secara kritis dan menyeluruh. Menurut Ngainun Naim (2013) nasihat bertujuan baik agar siswa memperoleh masukan-masukan positif untuk dapat mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan motivasi

(13)

 

dilakukan guru apabila menemui peserta didik yang pesimis, murung, maupun dalam kondisi sedih.

Sikap jujur dalam mengerjakan ujian senantiasa dijunjung oleh siswa. Hingga pada tahun 2015, sekolahan menerima penghargaan dari Kemendikbud sebagai penyelenggara Ujian Nasional terjujur. Demikian merupakan salah satu hasil kerja keras guru dalam menanamkan ketaatan dan kedisiplinan pada siswa. Prestasi lain siswa adalah dalam perlombaan. Beberapa kali siswa berhasil menjuarai perlombaan. Sedangkan prestasi tertinggi adalah ketika menjadi juara 1 lomba MIPA tingkat kabupaten pada tahun 2016. Adapun bagi siswa yang tidak berhasil mempersembahkan gelar juara, guru memberikan motivasi agar tetap optimis dan lebih giat dalam belajar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Yusuf : 87 “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. Selain itu, guru juga memberikan bimbingan belajar kepada siswa menuju ajang perlombaan berikutnya. Menurut Al-Jazairi (2014) Bentuk sikap ihsan ialah bersikap ramah kepada sesama, membimbing mereka yang tersesat, serta mengajari kepada yang lemah. Hal ini berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran.

Aktivitas ibadah siswa menjadi keunggulan dan suatu kebanggaan. Budaya tertib ibadah tumbuh tak lepas berkat jasa dari seorang guru. Guru terlebih dahulu memberikan pengajaran kepada siswa tentang tata cara dan pentingnya beribadah. Guru melakukan pengawasan, mengajak, serta memberikan teladan yang positif kepada siswa untuk semangat beribadah. Menjadi suri tauladan merupakan sebuah keharusan bagi setiap guru. Terlebih guru adalah seorang figur utama yang akan digugu dan ditiru langsung oleh siswa. Menurut Mudri (2010) guru sebagai seorang model atau panutan mengharuskan dirinya memiliki kemampuan dalam pengamalan ibadah, menaati segala aturan atau norma dalam masyarakat, serta mengembangkan sifat-sifat terpuji.

(14)

 

10   

Hingga kini, kemandirian dalam ibadah telah tertanam dalam diri siswa. Tidak hanya ibadah wajib sholat lima waktu yang dijalankan, melainkan ibadah-ibadah sunnah seperti, mengaji, sholat dhuha, dan sholat tahajud pun juga rutin dilaksanakan. Guru juga menyediakan fasilitas berupa asrama bagi siswa untuk berlatih hidup mandiri. Berbagai aktivitas yang dapat dikerjakan di asrama seperti, mencuci piring, pakaian, merapikan tempat tidur serta menyapu ruangan.

4. PENUTUP

Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, guru berperan sebagai penasihat, motivator, pendidik, serta fasilitator. Nasihat diberikan pada siswa dalam mengenali dan mengelola emosi diri. Motivasi diberikan pada siswa di kelas ketika dalam keadaan sedih. Pendidikan diberikan pada siswa dengan menanamkan sikap empati, seperti menjenguk teman sakit dan membantu teman dalam belajar. Sedangkan fasilitas berupa kegiatan silaturrahim, olah raga, dan ekstrakulikuler diberikan pada siswa dalam rangka mendekatkan hubungan pertemanan.

Sedangkan dalam mengembangkan kecerdasan spiritual, guru berperan sebagai pengajar, korektor, evaluator, penasihat, motivator, pembimbing, dan model atau teladan. Pengajaran diberikan berkaitan dengan masalah agama, khususnya ibadah. Koreksi dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap aktivitas siswa di sekolah. Evaluasi diberikan pada siswa atas pelanggaran yang dilakukan. Evaluasi tersebut berupa sanksi yang mendidik, seperti membaca Al-Qur’an ataupun sholat berjamaah. Nasihat diberikan pada siswa dalam kejujuran, kebermanfaatan bagi sesama, dan kemandirian diri. Motivasi diberikan pada siswa dalam muhasabah diri, penderitaan atas kegagalan, dan kesabaran atas penyakit. Bimbingan diberikan pada siswa dalam kekritisan berpikir. Sedangkan model atau teladan diberikan pada siswa dalam ibadah, baik bersifat wajib seperti sholat berjamaah lima waktu, ataupun bersifat sunnah seperti sholat dhuha dan tahajud.

(15)

 

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, N &Khan, M.S. (2015). Roles of Emotional Intelligence and Spirituality on Employee’s Well-Being. The International Journal of Indian Psychology. 2(4), 6-15. Diunduh darihttp://oaji.net/articles/2015/1170-1441829045.pdf

Agustian, A. G. (2001). Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.

Agustian, A. G. (2009). Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power. Jakarta: Arga.

Al-Jazairy, A. B. J. (2014). Minhajul Muslim Pedoman Hidup Seorang Muslim. Jakarta: Ummul Qura.

Aziz, R & Mangestuti, R. (2006). Tiga Jenis Kecerdasan dan Agresivitas Mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang. Psikologika. hal 67-77. Azizollah, A. et al. (2013). Relation Between Emotional Intelligence, Spiritual

Intelligence, and Students' Academic Achievement. World of Sciences

Journal. 1(8), 45-51. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/267394238_Relation_between_e

motional_intelligencespiritual_intelligence_and_students'_academic_achie vement

Chusna, N.C. (2015). Pengaruh Intensitas Membaca Al-Qur’an Berdzikir Dan Menjaga Wudhu Terhadap Pengendalian Emosi Santri Di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam (PPTI) Al-Falah Salatiga Tahun 2015. Skripsi. Salatiga: IAIN Salatiga.

Cooper, R. K., & Sawaf, A. (1997). Executive EQ. New York: Orient Books. Darajat, Z. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Goleman, D. (1998). Working With Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hidayatullah, M. F. (2010). Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.

Jeloudar, S. Y, dkk. (2011). Teachers’ Emotional Intelligence and Its Relation with Clasroom Discipline Strategies Based on Teachers and Students’ Perceptions. J Psychology. 2(2), 95-102.Diunduh dari

(16)

http://www.krepublishers.com/02-Journals/JP/JP-02-0-000-11-Web/JP-02- 

12   

2-000-11-Abst-PDF/JP-02-2-095-11-068-Jeloudar-S-Y/JP-02-2-095-11-068-Jeloudar-S-Y-Tt.pdf

Kementerian Agama Republik Indonesia. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahan. Surabaya: Halim.

Kunandar. (2010). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tigkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mulyasa, E. (2011). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya.

Naim, N. (2009). Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pustaka.

Nasrudin, F. (2015). Pengaruh Pemberian Reward dan Punishment terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas VI SD Negeri di Sekolah Binaan 02 Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Ngermanto, A. (2005). Quantum Quotient, Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis. Bandung : Nuansa.

Papalia, D. E & Feldman, R. D. (2015). Menyelami Perkembangan Manusia. (terj. Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba Humanika.

Puluhulawa, C. W. (2013). Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Meningkatkan KompetensiSosial Guru. Sosial Humaniora. 17(2), 139-147.

Santrock, J. W. (2012). Psikologi Pendidikan Educational Psychology Edisi 5. (terj. Harya Bhimasena). Jakarta: Salemba Humanika.

Shabiq, Z & Djalali, M. A. (2012). Kecerderdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual dan Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. 1(2), 53-65.

Sikumbang, W. (2016, Maret 5). Dianiaya Siswi Sekolah Lain Yola Alami Patah

Kaki. Sindonews.com. Diunduh dari

http://daerah.sindonews.com/read/1090605/174/dianiaya-siswi-sekolah-lain-yola-alami-patah-kaki-1457118823.

Stein, S. J & Book, H. E. (2002). Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. (terj. Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto). Bandung: Kaifa.

Sukidi. (2002). Rahasia Sukses Hidup Bahagia: Kecerdasan Spiritual-Mengapa SQ LebihPenting Daripada IQ dan EQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(17)

 

Supardi. (2013). Sekolah Efektif Konsep Dasar dan Praktiknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suyono, H. (2008).Pengantar Psikologi Sosial 1. Yogyakarta: D&H Pro Media. Utami, L. H. (2015). Pengembangan Kecerdasan Spiritual Siswa di SD Islam

Tompokersan Lumajang. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi. 2(1), 63-78.

Wiyono, P. (2016, Oktober 24). Siswa Bolos Sekolah Ini Dikejar Satpol PP Hingga Masuk Sawah, Hukumannya Sangat Mengejutkan.

Tribunnews.com. Diunduh dari

http://jateng.tribunnews.com/2016/10/24/siswa-bolos-sekolah-ini-dikejar-satpol-pp-hingga-masuk-sawah-hukumannya-sangat-mengejutkan.

Yuliani, A & Yoenanto, N. H. (2015). Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi Siswa dalam Pendidikan Karakter di SMART Ekselensia Indonesia.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.4(2), 95-104. Zohar, D & Marshall, I. (2007). Kecerdasan Spiritual. (terj. Rahmani Astuti, dkk).

Bandung: Mizan.

Zulkifli. M. (2015). Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual terhadap Prestasi Belajar Aqidah Akhlak Siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Kecamatan Suralaga Kabupaten Lombok Timur. Tesis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan nyeri yang signifikan antara pemberian intervensi teknik graston maupun mobilisasi saraf, dan terdapat perbedaan

Ubi Kelapa (Dioscorea alata L.) merupakan tanaman dengan kadar pati tinggi, mulai dari 70% sampai 80% dari berat kering, tingginya kadar pati dalam ubi kelapa,

Sebanyak kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari gangguan katup, gagal jantung, perikarditis (radang

Objek dalam penelitian “Analisis Efektifitas Pajak Hotel, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan Terhadap Efektifitas Pendapatan Asli Daerah” ini adalah Dinas

Cara Kerja Kapasitor variabel adalah sebagai komponen menyimpan dan mengatur muatan listrik yang terdiri dari dua lempengan yang sejajar yang salah satu lempengannya

Optimasi dilakukan pada humectant yaitu propilen glikol dan gliserol dengan parameter sifat fisis krim yang diuji meliputi : viskositas, daya sebar, dan stabilitas krim

Kita juga sering kagum dengan akurasi bacaan tarot seseorang yang sangat akurat, namun kita juga pernah terheran – heran dengan orang yang sebenarnya tidak bisa baca tarot,

Skala Penguku ran No Item Upaya Ibu Peserta Pelatihan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat Dalam Membimbing Anak Berkebutuhan Khusus Di Desa Padalarang Kabupaten