• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30

PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI

LEGISLATIF

(Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat)

Oleh :

AFRINA SARI

P 054040091

PROGRAM STUDI

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

Afrina Sari 2006, Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan

Perempuan di Legislatif, Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Di bawah

bimbingan Aida Vitayala Hubeis, sebagai Ketua, Budi Suharjo, sebagai Anggota).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui persepsi masyarakat terhadap kuota

30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif, (2) mengetahui faktor karakteristik

personal (umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, pengalaman, motivasi) dan faktor

karakteristik situasional (budaya patriarkhi, agama atau kepercayaan, kebijakan

pemerintah, kebiasaan, kelompok rujukan) yang berhubungan dengan persepsi

masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.

Pengumpulan data dilaksanakan di tiga kecamatan di Kota Bekasi yaitu:

Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Medan Satria sejak

bulan Maret hingga Mei 2006. Penentuan sampel area dan sampel Individu dilakukan

dengan metode disproportionate stratified random sampling, yakni Kecamatan Bekasi

Utara sebanyak 40 responden, Kecamatan Bekasi Barat 38 responden dan Kecamatan

Medan Satria 22 responden. Kriteria sampel individu adalah: berusia diatas 21 tahun,

berpendidikan minimal SLTA dan pernah terdaftar sebagai peserta pemilu 2004. Analisis

data dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS versi 12 dengan menggunakan test

statistik non parametrik chi-square test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden adalah: umur

responden dominan berada diantara 31 – 50 tahun yaitu 72persen dari total responden.

Pekerjaan responden lebih banyak pada sektor swasta yaitu 59 persen dari total

responden. Pendapatan responden berada antara 1,5 juta – 2,5 juta sebanyak 33 persen

dari total responden dan 3,5 juta – 5 juta sebanyak 25 persen dari total responden.

Pendidikan responden terendah adalah diploma dan tertinggi adalah strata dua (S-2).

Pengalaman politik responden berada pada kategori rendah yaitu 53 persen dari total

responden. Motivasi politik responden berada pada kategori cukup baik yaitu 55 persen

dan baik yaitu 31 persen dari total responden. Budaya patriarkhi berpengaruh terhadap

responden yaitu 67 persen dari total responden dan sangat berpengaruh sebanyak 7 persen

dari total responden dan 26 persen merasa tidak berpengaruh. Agama atau kepercayaan

responden lebih dominan Islam yaitu 79 persen dari total responden, 19 persen beragama

Kristen dan 2 persen beragama Hindu/Budha. Kebijakan Pemerintah dalam

UU.No12.tahun 2003 tentang pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, responden sebanyak

71 persen menyatakan mengerti dengan kebijakan tersebut. Kebiasaan responden berada

dalam kategori baik yaitu 50 persen dari total responden menunjukkan mempunyai

kebiasaan baik. 48 persen responden menunjukkan mempunyai kebiasaan sangat baik.

Kelompok rujukan berpengaruh terhadap responden yaitu 74 persen responden

menyatakan kelompok rujukan mempengaruhi aktivitas mereka. 18 persen responden

menyatakan bahwa kelompok rujukan sangat mempengaruhi aktivitas mereka. Terpaan

Media massa secara surat kabar terhadap responden berada pada kategori sedang yaitu

40 persen dari total responden dan 38 persen mengalami terpaan media surat kabar secara

tinggi. Terpaan media massa majalah terhadap responden berada pada kategori rendah

yaitu 65 persen dari total responden. 26 persen berada pada kategori sedang dan 9 persen

(3)

Faktor karakteristik personal dan karakteristik situasional yang berhubungan

denga n persepsi responden terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di

Legislatif adalah:

(1) Jenis kelamin mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap akses

politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (2) Umur mempunyai hubungan tidak

nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik.

(3) Pendidikan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi

terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (4) Pekerjaan

responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik,

partisipasi politik dan keterwakilan politik. (5) Pendapatan responden mempunyai

hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan

keterwakilan politik. (6) Pengalaman politik responden mempunyai hubungan tidak

nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik.

(7) Motivasi politik mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap

akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (8) Budaya patriarkhi

mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik,

mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap partisipasi politik dan

keterwakilan politik. (9) Agama atau kepercayaan responden mempunyai hubungan yang

tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan

politik. (10) Kebijakan pemerintah mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi

terhadap akses politik, partisipasi politik keterwakilan politik. (11) Kebiasaan responden

mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik,

partisipasi politik dan keterwakilan politik. (12) Kelompok rujukan mempunyai

hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan

keterwakilan politik. (13) Terpaan Media Massa surat kabar mempunyai hubungan yang

tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan

politik. (14) Terpaan Media majalah mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan

persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (15) Terpaan

Televisi mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik,

partisipasi politik dan keterwakilan politik.

Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di

Legislatif menunjukkan hasil yang positif. Responden menilai positif dan bahkan sangat

positif terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan

politik perempuan.

(4)

i

Judul Tesis : PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA

30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF.

(Studi Kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : AFRINA SARI

Nomor Pokok : P054040091

Program Studi : KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

DAN PEDESAAN

Menyetujui: 1.Komisi Pembimbing

_________________________ _______________________ Dr.Ir. Aida V itayala Hubeis,MS Dr.Ir. Budi Suharjo, MS

Ketua Anggota

2. Ketua Program Studi 3. Deka n Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan

_______________________ _________________________ Dr. Ir. Sumardjo, MS Dr. Ir. Khairil Notodipuro, MS

(5)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1968 di Kota Padang Sumatera Barat, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari Bapak Syamsul Bahri Chan (Alm) dan Ibu Mawarni.

Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1974 di Sekolah Dasar Negeri No 3 Bandar Buat padang, tamat tahun 1980; Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LB Begalung Padang, tamat tahun 1983; dan sekolah Menengah Atas Negeri No.4 Padang, tamat tahun 1986. Kemudian tahun 1987 penulis melanjutkan studi di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, tamat tahun 1993.

Sejak tahun 1996, penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta hingga sekarang. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor.

(6)

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa semua pernyataan dalam tesis dengan judul:

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

Merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan Ibu DR. Ir. AidaVitayala Hubeis,MS dan Bapak DR.Ir. Budi Suharjo,MS. Tesis ini belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar pada Program studi sejenis di Perguruan Tinggi lain.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor , Agustus 2006

AFRINA SARI P054040091

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya jualah maka penulis dapat menyelesai thesis ini.

Thesis ini berjudul Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif (Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat), dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Bekasi.

Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis persepsi masyarakat aktivis politik dan masyarakat bukan aktivis politik terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Penelitian ini juga melihat faktor personal dan situasional yang mempengaruhi persepsi individu dari masyarakat tersebut.

Thesis ini terwujud berkat bimbingan dan konsultasi yang diberikan oleh para dosen pembimbing, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berterimakasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr.Ir.Aida Vitayala Hubeis,MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Bapak.Dr.Ir.Budi Suharjo,MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Soleh,MS, selaku Penguji Luar Komisi. 4. Ketua Program Studi KMP Bapak Dr.Ir. Sumardjo,MS

5. Rekan-rekan sesama mahasiswa/i KMP angkatan 2004

6. Suami dan anak-anak beserta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan do’a, semangat dan materiel.

Akhir kata, seperti kata pepatah” Tak ada gading yang tak retak” maka dengan kerendahan hati penulis-pun menyadari bahwa kritik dan saran yang kontruktif dari para pembaca merupakan masukan yang akan menyempurnakan karya tulis ini.

Bogor,Agustus 2006 AFRINA SARI P054040091

(8)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ………... .i

DAFTAR ISI………. iii

DAFTAR TABEL………. vi

DAFTAR GAMBAR………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………. viii

BAB I PENDAHULUAN ………. ….. 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 5

1.3 Tujuan Penelitian………. 8

1.4 Kegunaan Penelitian ………... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 10

2.1 Komunikasi……… 10

2.2 Pengertian Persepsi……… 12

2.3 Proses Pembentukan Persepsi……… 13

2.4 Faktor yang mempengaruhi Persepsi………. 19

2.5 Terpaan Media Massa……… 21

2.6 Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik……. 25

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ………... 31

3.1 Kerangka Pemikiran ……… 31

3.2 Hipotesis…... 34

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ………... 35

4.1 Populasi dan Sampel 4.1.1. Populasi ……… ….. 35

4.1.2. Teknik pengambilan sampel………. 36

4.2 Desain Penelitian……….. 40

4.3 Data dan Instrumentasi………. 41

4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran ………. … 42

4.5 Validitas dan Realibilitas Instrumen………. 44

4.6 Analisa Data……….. 47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………. 48

5.1 Keadaan Geografis………... 48

5.2 Keadaan Penduduk……… 48

5.3 Karakteristik responden………. 50

5.4 Persepsi Terhadap Kuota 30 persen Keterwakilan ……… Perempuan di Legislatif………. 66

5.5 Faktor – faktor karakteristik yang berhubungan dengan Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan Di legislatif ……… 80

KESIMPULAN DAN SARAN………. Kesimpulan ……….. 111

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Distribusi Perwakilan perempuan di lembaga

Indonesia……… 28

2. Distribusi Wilayah dan Jumlah penduduk

Kota Bekasi ……….. 37

3. Distribusi sampel ………. 39

4. Distribusi penduduk berdasarkan jenjang

Pendidikan ………. 49

5. Umur Responden menurut Jenis kelamin …. ………. …… 50 6. Jenis Pekerjaan Responden Menurut Jenis Kelamin……… 51 7. Pendapatan Responden Menurut Jenis Kelamin ………….. 52

8. Pendidikan Responden Menurut Umu ………. 53

9. Pengalaman Politik Responden………. 54

10. Motivasi Politik Responden……….. 55

11 Pengaruh Budaya Patriarkhi Terhadap Responden…………. 56

12 Agama ( Kepercayaan ) Responden……… 57

13 Pengertian Responden Tentang Kebijakan Pemerintah……. 58

14 Kebiasaan Responden ……….. 59

15 Pengaruh Kelompok Rujukan……….. 60

16 Terpaan Surat Kabar berdasarkan pendidikan…………. 61 17 Terpaan Majalah Berdasarkan Pendidikan……….. 62 18. Terpaan Televisi Berdasarkan Pendidikan……….. 63 19 Distribusi Terpaan Media Surat Kabar di 9 Media…….. 64 20 Distribusi Terpaan Media Televisi di 14 Media……… 65 21 Persepsi Tentang Akses Politik Perempuan ………… 67 22 Persepsi Tentang Partisipasi Perempuan ………. 70 23 Persepsi Tentang Keterwakilan Politik Perempuan….. 76 24 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Gender ( Jenis

Kelamin) dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………... 81 25 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Umur Responden

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……….. 83 26 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendidikan

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……… 86 27 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pekerjaan

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………. 88 28 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendapatan

(10)

29 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pengalaman Politik dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……….. 92 30 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Motivasi politik

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……….. 93 31 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Budaya Patriarkhi

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………. 95 32 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Agama

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……… 97 33 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebijakan

Pemerintah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………. 99 34 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebiasaan

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……… 101 35 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kelompok Rujukan

dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai……….. 103 36 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media

Surat Kabar dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………. 105 37 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media

Majalah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

Aktivis partai dan Non Aktivis partai………. 107 38 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media

Televisi dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia pada tahun 2015 (UNDP,2003). Dengan terselenggaranya Sidang Istimewa Majelis Umum Beijing ke-5 yang menempatkan isu-isu kesetaraan sebagai prioritas utama. Bentuk usaha UNDP lainnya adalah mensponsori pertemuan yang dihadiri berbagai kalangan yang didasari oleh pengalaman dan keahlian seperti para menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah, tokoh nasional, masyarakat sipil di tingkat akar rumput. Acara tersebut diselenggarakan di New Delhi, India bulan Maret 1999, tema pertemuan tersebut adalah “Partisipasi Politik Perempuan: Tantangan Abad 21”. Pertemuan itu memfokuskan pada sejumlah masalah, antara lain; kemajuan yang dicapai pada partisipasi politik perempuan sejak program Aksi Beijing; Eksperimen India dengan amandemen konstitusinya yang mewajibkan sepertiga kursi wakil pemerintah lokal untuk perempuan dan kaitan yang lebih luas antar gender, kemiskinan dan tata pemerintahan. Pertemuan itu juga menyoroti Anggaran Perempuan Afrika Selatan, Pengalaman Uganda dengan aliansi baru bagi gender dan politik, serta mengkaji berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan yang berdasar gender.

Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan–tujuan tersebut, di antaranya, dengan membangun mekanisme baru yang memungkinkan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan politik dan ekonomi, terutama pada alokasi anggaran nasional. Di samping itu, kesempatan untuk membangun jaringan nasional, regional dan global tidak

(14)

boleh disia -siakan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet. UNDP mempunyai komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra lain. Cara-cara tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan inisiatif dalam menciptakan bentuk tata pemerintahan yang lebih inklusif dan efektif di semua tingkat masyarakat. Pendekatan gender dalam pembangunan yang dianut UNDP adalah mewadahi sepenuhnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pembangunan. Tujuan akhir adalah terciptanya pola hubungan gender yang lebih setara dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan manusia yang lebih luas.

Program kesetaraan gender dan Pemberdayaan perempuan di Indonesia dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program UNDP sejalan dengan Program Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu implementasi pembangunan terhadap wanita Indonesia. Program UNDP telah membangkitkan semangat wanita Indonesia dan berbagai kalangan aktivis wanita serta LSM yang memperjuangkan peranan wanita pada tingkat tatanan pemerintahan serta pada kebijakan pengambilan keputusan. Kaukus perempuan di Parlemen mendukung adanya program pertemuan di India yang membicarakan Partisipasi politik perempuan dan tata Pemerintahan yang baik: Tantangan Abad 21.

Sejalan dengan hal ini, Demokrasi di Indonesia yang terbuka setelah Orde baru runtuh, menimbulkan reformasi terhadap tata Pemerintahan yang diharapkan demokratis. Bersamaan dengan perjuangan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang mengarah kepada lebih adanya mekanisme yang menempatkan perempuan secara jelas dan luas dalam politik.

Perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan berbagai pemerhati perempuan dengan keinginan sama yaitu berkeinginan mempengaruhi keputusan–keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka,

(15)

perekonomian dan nasib masyarakat, negara serta struktur hubungan internasional. Perjuangan ini berdengung di mana -mana, yang menginginkan keterlibatan perempuan secara nyata dalam kancah politik. Keterlibatan yang dimaksud adalah terlibat secara platform pasti di dalam Parlemen. Perjuangan itu akhirnya melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 65 ayat (1) berbunyi “setiap partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30 persen. Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen merupakan suatu langkah affirmative action, sebagaimana dikatakan oleh Chusnul Mar’yah (Kompas, 2002).

Mekanisme kuota sebagai Affirmative-action (tindakan afirmatif) secara efektif dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Kuota juga dapat meminimalkan anggapan bahwa perempuan kurang kualitas untuk terpilih dalam lembaga politik, atau tidak adanya keinginan perempuan untuk masuk ke dalam masyarakat yang sangat patriarkhis.

Melihat Indonesia dengan berbagai budaya bangsa, di mana setiap budaya mempunyai adat istiadat yang kukuh dan hampir semua budaya menempatkan posisi wanita adalah di dalam rumah atau sifatnya domestik. Kuota 30 persen merupakan peluang cukup besar bagi wanita Indonesia berada di publik, dan dapat terlibat secara langsung dalam pengambila n keputusan. Peluang ini sebagai tantangan bagi wanita Indonesia.

Keterwakilan perempuan yang sudah didengungkan dan sudah menjadi suatu keputusan yang di muat dalam UU.No.12 tahun 2003 dengan harapan dapat mewakili perempuan. Namun pada pemilu 2004 tidak terpenuhi, hal ini mungkin disebabkan oleh karena masih banyak partai politik yang tidak melakukan dan memberi peluang kepada perempuan

(16)

untuk mewakili partainya. Ada alasan yang berkembang bahwa terlalu sulit untuk mencari perempuan yang dijadikan Calon Legislatif (Caleg). Karena belum banyak perempuan Indonesia yang melibatkan dirinya ke dalam kancah politik. Sehingga asumsi yang berkembang adalah apakah perempuan Indonesia belum siap berkiprah dalam politik? Atau apakah kesempatan yang tidak terbuka bagi perempuan tersebut? Atau apakah adat istiadat yang tidak membolehkan mereka berkecimpung dalam politik?

Senada dengan hal tersebut, juga disampaikan oleh Hubeis( 2003), bahwa :

“ … sebagai perempuan dimanakah kita harus dan perlu bersikap untuk memotivas i diri dan sekaligus mengembangkan militansi diri dan lingkungan kita kaum perempuan- untuk berpacu dengan waktu…. Pertama, di kalangan perempuan diperlukan adanya keinginan untuk mengintrospeksi diri yaitu sanggupkah perempuan menjadi representasi rakyat (yang mau mendengar dan mengutarakan aspirasi rakyat secara benar). Kedua, apakah kita -kaum perempuan- sudah memiliki data base tentang perempuan potensial di republik ini? Ketiga, siapkah kita merebut dan memposisikan diri kita sebagai sumber daya intele ktual strategis dan potensial dalam pembangunan negeri dan bangsa ini? Keempat, seberapa jauh kita – kaum perempuan tanpa harus terkotak-kotak dalam suatu partai atau kelompok? Kelima, siapakah yang harus merekrut dan direkrut? …

Banyak pertanyaan yang timbul yang dihubungkan dengan kemampuan dan kesiapan wanita untuk memanfaatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Masih ada kesanksian baik dari kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan Indonesia.

(17)

1.2. Perumusan Masalah

Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun 1998. Sebagaimana dikatakan oleh Bari Azed.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Gerakan tersebut juga mengilhami pemerhati perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan di Parlemen agar diberi kuota. Berbagai kalangan ada yang mempertanyakan perlukah kuota bagi perempuan? Karena selama ini perempuan telah diberi kesempatan untuk berkiprah dalam politik. Dapat dilihat contoh; seperti Megawati Soekarno Putri, Aisyah Amini, Fatimah Ahmad dan lain sebagainya.

Pertemuan di New Delhi, yang dihadiri oleh Negara-negara yang menjadi anggota, memutuskan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik di setiap negara diharapkan minimal 30-33 persen. Keterwakilan tersebut menjadikan pemerhati perempuan di Indonesia memperjuangkan menjadi suatu hal nyata dengan harapan agar perempuan Indonesia dapat berpartisipasi untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam politik.

Banyak pendapat yang menilai bahwa kuota merupakan jawaban bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup konsep-konsep yang dianggap gender–neutral. Kuota juga memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan.

(18)

Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua ; melalui undang – undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang – undang pemilu juga dilaksanakan Di Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina (Kompas,2003).

Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan disetujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun 2003. Undang-undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Pada pemilu 2004 yang lalu sistem pemilu yang dilakukan adalah sistem Distrik yaitu sistem ini merupakan sistem pemilihan yang didasari atas kesatuan geografis. Artinya calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak itulah yang dianggap menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi.

Bari Azed, (2005) mengatakan bahwa sistem single member constituency (sistem Distrik ) mempunyai beberapa kelemahan yaitu:

a. sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai – partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.

(19)

b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.

Dari uraian tersebut diprediksi bahwa himbauan terhadap keterwakilan perempuan pada partai politik sebanyak 30 persen merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Karena posisi perempuan dalam calon legislatif pada setiap partai menempatkan pada posisi nomor yang jauh untuk menang, lebih tepatnya posisi tidak jadi (duduk menjadi anggota Dewan).

Penelitian ini mengambil kasus Keterlibatan perempuan di legislatif DPRD kota Bekasi yang berjumlah lima orang wanita dari 45 orang anggota Dewan. Artinya baru 11 persen keterwakilan perempuan di legislatif tingkat Kota Bekasi. Dari lima orang perempuan anggota Legislatif tersebut mereka berasal dari Partai Golkar (3 orang), Partai PDI Perjuangan (1.orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1.orang). Ada dua partai pemenang Pemilu 2004 yang tidak memperoleh Keterwakilan perempuan yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional.

Timbul asumsi awal pada peneliti, bahwa kuota 30 persen yang tercantum pada pasal 65 ayat 1 dalam Undang-Undang No.12 tahun 2003, dalam pelaksanaan pasal tersebut mungkin belum dipahami secara mendalam oleh sejumlah Partai pelaksana pemilu. Kuota tersebut hanya sebagai simbol bahwa kesetaraan gender dalam politik sudah ada di Indonesia hanya tinggal pelaksanaannya. Atau masing-masing individu yang terlibat di dalam partai pelaksana pemilu belum siap untuk menerima keterwakilan perempuan secara kuota yang telah ditentukan.

(20)

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif?

Sehingga permasalahan ini di rinci sebagai berikut :

1. Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif?

2. Faktor-faktor karakteristik personal dan situasional apa yang berhubungan dengan persepsi tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui persepsi masya rakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.

2. Menganalisis faktor-faktor personal dan situasional yang berhubungan dengan persepsi masyarakat tersebut.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaa n penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis yaitu : 1. Kegunaan Teoritis :

a. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian Ilmu komunikasi, Terutama komunikasi politik dalam memperoleh persepsi masyarakat sehingga dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian komunikasi yang akan datang.

b. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu psikologi Komunikasi yang menyangkut Persepsi Masyarakat. c. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan

penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu komunikasi.

(21)

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi Komisi Pemilihan Umum untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009 yang akan datang.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan terhadap perempuan di Indonesia, terutama untuk penentuan kuota bagi keterwakilan perempuan.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi

Komunikasi adalah pengoperan lambang yang me ngandung arti dan bertujuan memberikan partisipasi (Susanto,1984), lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap pesan yang dilancarkan oleh komunikator kepada komunikan, bertujuan mempengaruhi komunikan ke arah sikap dan tindakan yang diinginkan oleh komunikator. Komunikasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain(Devito, 1997). Lebih lanjut devito (1977) menyatakan bahwa komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim, dan menerima pesan yang terdistorsi oleh noise (gangguan), terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.

Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan tanggapan dari sipenerima pesan itu, pengirim pesan dapat menilai efektivitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dimengerti dan sejauhmana pesannya dimengerti oleh orang yang dikirim pesan itu (Hardjana, 2003).

Komunikasi dapat menimbulkan terjadinya pertuka ran kata dengan arti dan makna tertentu. Dari sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. Komunikasi dapat terjadi tidak saja dengan orang lain atau

(23)

individu di luar kita, tetapi dapat juga terjadi dengan diri sendiri. Komunikasi jenis ini disebut komunikasi intrapersonal. Dalam Komunikasi intrapersonal, komunikator sekaligus komunikan terhadap suatu pesan. Komunikasi intrapersonal dimulai oleh sensasi terhadap sesuatu yang menarik perhatian seseorang, kemudian diikuti oleh persepsi, yaitu pemberian makna terhadap hal-hal yang dijadikan perhatian. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor personal individu dan faktor situasional individu. Untuk mengungkapkan suatu pendapat dari seorang individu, pengalaman dan pola pikir mempengaruhi, sehingga ungkapan pendapat satu individu dengan individu lain terhadap suatu objek akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional pada diri individu tersebut.

Rakhmat (1992) menyatakan bahwa komunikasi intrapersonal adalah proses bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Proses informas i tersebut meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberikan makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons.

Bentuk komunikasi intrapersonal yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah persepsi yaitu proses pemberian makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan. Persepsi yang dibahas adalah persepsi masyarakat di daerah Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan politik perempuan.

(24)

2.2. Pengertian Persepsi

Secara sederhana persepsi diartikan sebagai suatu aktivitas pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991) Pengamatan tersebut dilakukan terhadap suatu objek yang ditangkap oleh indra dan kemudian diinterpretasikan pada bagian tertentu dalam otak (Sarwono,1992)

Sarwono(1992) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan terhadap suatu objek melalui aktivitas sejumlah pengindraan yang disatukan dan dikordinasikan dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak). Proses pengamatan tersebut menurut Chaplin dalam Winkel (1996) berlangsung secara objektif, bahkan, lebih jelas dikatakan bahwa mempersepsikan sesuatu berarti memberikan penilaian– penilaian terhadap suatu objek berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimiliki. Persepsi dengan demikian berarti pemberian makna, atau tafsiran dengan jalan menyusun atau mengorganisasikan informasi yang diterima (McMahon dan McMahon,1986), oleh karena itu dalam pembentukan persepsi tersebut menurut Desiderato (Rakhmat,1992) berlangsung proses pemberian kesimpulan dalam memberikan makna terhadap stimuli yang ada.

(Sarwono,1992) secara lebih rinci mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi dan dalam proses kategorisasi tersebut organisme dirangsang ole h masukan tertentu (objek dari luar, peristiwa, dan lain-lain). Organisme tersebut kemudian merespons dengan menghubungkan masukan yang ada dengan salah satu kategorisasi (golongan) objek– objek atau peristiwa yang ada dalam ingatan jangka panjang. Proses menghubungkan ini merupakan proses aktif yaitu ketika individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat hingga dapat mengenali dan memberi arti terhadap masukan tersebut, dan oleh sebab itulah persepsi juga dikatakan bersifat inferensial atau menarik kesimpulan.

(25)

2.3. Proses pembentukan Persepsi

Proses pembentukan persepsi juga dijelaskan oleh Feigl (Yusuf, 1991) terjadi melalui 3 mekanisme pembentukan yaitu(1) selectivity , (2) Closure (3) Interpretation. Proses selectivity terjadi ketika ses eorang diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseleksian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan, sedangkan interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberikan tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Rakhmat (1992) melengkapi pernyataan tersebut dengan mengemukakan bahwa dalam mengorganisasikan stimuli tersebut akan melihat konteksnya, wala upun stimuli yang diterima seseorang tidak lengkap cenderung akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsinya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang yang mengalaminya.

Berdasarkan uraian yang ada dan bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif maka tepatlah jika dikatakan bahwa persepsi merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam proses belajar menerima nilai-nilai dalam pelaksanaan politik dan adanya keterlibatan perempuan dalam publik secara politik. Paradigma selama ini yang memandang bahwa perempuan selalu lebih cocok di dalam dunia domestiknya yaitu keluarga dibandin g dengan publik. Langkah dengan adanya kuota 30 persen ini adanya proses belajar bagi perempuan untuk menerima sesuatu yang belum begitu lumrah dilaluinya. Selama ini masyarakat belum memberikan tempat lebih banyak bagi perempuan. Proses perubahan yang menunjukkan bahwa dalam diri orang yang bersangkutan telah berlangsung suatu proses belajar yang merupakan kegiatan mental dan tidak dapat disaksikan dari luar kecuali bila dinyatakan secara eksplisit oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini Winkel

(26)

(1996) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemaknaan (kognitif), kemampuan (sensorik–motorik) dan sikap nilai (dinamik– afektif).

Rangsangan atau informasi yang diterima oleh indra, sebagai suatu aktivitas mental dalam proses belajar akan diproses di dalam alam berpikir sebagai suatu rangkaian kejadian atau peristiwa dalam otak mulai dari saat informasi diterima sampai dengan saat dilepas kembali. Peristiwa pemprosesan informasi (Information processing) tersebut dapat dibagi ke dalam berbagai urutan peristiwa sebagai berikut (Winkel, 1996):

1. Lingkungan akan mengeluarkan berbagai jenis rangsangan berupa energi phisik seperti bunyi, sinar maupun tekanan yang menjadi informasi bagi satuan struktural yang menangkapnya.

2. Informasi yang ditangkap oleh alat–alat indera seperti mata, telinga, kulit dan lain– lain, diubah/ditransformasikan menjadi pulsa-pulsa elektronik yang dikirim ke pusat-pusat tertentu dalam otak dan akhirnya masuk ke dalam sistem syaraf pusat.

3. Informasi yang ditampung tersebut disimpan selama waktu yang sangat singkat sekali. Sebagian kecil diteruskan keingatan jangka pendek atau Short Term Memory (STM) untuk diolah lebih lanjut, sedangkan sisanya hilang dan tidak ikut dalam pengolahan. Baik kuantitas maupun jenis informasi yang diolah menjadi berkurang. 4. Informasi yang telah diseleksi tersebut masuk ke dalam ingatan

jangka pendek, dan pada saat ini individu yang bersangkutan menyadari ada sesuatu yang dihadapi, namun lamanya kesadaran tersebut sangat singkat kemudian informasi tersebut menghilang kembali kecuali bila diolah dan diberi makna. Mengingat daya tampung penyimpanan informasi dalam ingatan jangka pendek ini terbatas maka hanya sebagian informasi saja yang berhasil masuk

(27)

ke sana yakni informasi yang berhasil menarik perhatian individu yang bersangkutan. Dilanjutkan kemudian dengan terjadinya proses pengolahan dengan menghubungkan atau mengintegrasikan infor masi baru tersebut dengan informasi lama yang digali kembali dari ingatan jangka panjang. Pengolahan ini merupakan proses transformasi yang dikenal dengan istilah coding dan encoding . 5. Hasil pengolahan tersebut menjadi masukan bagi ingatan jangka

panjang atau Long Term Memory (LTM) dan akan tersimpan dalam jangka panjang waktu yang lama.

6. Informasi yang berasal dari ingatan jangka pendek ataupun jangka panjang akan ditransformasikan untuk menentukan bentuk dan wujud dari jawaban/reaksi serta urutan pelaksana annya.

7. Selanjutnya, mewujudkan jawaban/reaksi tersebut melalui otot dan kelenjar, misalnya lengan dan tangan untuk menulis, peralatan suara untuk berbicara.

Berdasarkan ketujuh langkah di atas, mulai dari ketika indra menangkap rangsangan dan sebelum menjadi suatu tindakan atau jawaban/reaksi, maka informasi tersebut terlebih dahulu mengalami proses pembentukan persepsi yang berlangsung pada urutan ke 4 yang terjadi ketika organisme menangkap stimuli berupa objek, gejala maupun peristiwa dan menghubungkannya dengan salah satu kategori (golongan) objek-objek atau peristiwa yang terdapat dalam ingatan jangka panjang sebagai hasil pengalaman belajar pada masa yang lalu, dengan jalan menggali kembali atau me-recall hasil pengalaman tersebut. Aktivitas menghubungkan atau mengintegrasikan kedua informasi tersebut dilakukan dengan sengaja dengan tujuan agar dapat memberi arti atau makna terhadap masukan yang ada.

Pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di le gislatif merupakan suatu ide

(28)

atau gagasan yang telah dituangkan ke dalam undang–undang RI No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1, dan telah dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terdapat di seluruh tanah air yang terdiri dari berbagai lapisan terutama bagi partai politik. Diharapkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen membuka peluang besar bagi perempuan yang ada di Indonesia, sehingga membuat suatu persepsi terhadap pelaksanaan kuota 30 persen secara positif. Perilaku yang mendukung terhadap pelaksanaan kuota tersebut, dapat ditandai dengan seberapa jauh masyarakat memahami pelaksanaan kuota tersebut? sehingga mengarah kepada pembentukan sikap dan keputusan yang akan diambil sebagai jawaban atau reaksi terhadap masukan ide atau gaga san yang terdapat dalam UU RI.No.12 tahun 2003.

Pengolahan informasi dalam pembentukan persepsi seperti telah disebutkan berlangsung dengan menghubungkan informasi yang ada dengan informasi hasil pengalaman belajar pada masa lampau. Pengalaman belajar menurut Walker (1973) merupakan akumulasi dari berbagai proses belajar. Proses belajar tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, nilai – nilai adat istiadat atau kebiasaan, serta berbagai pengalaman hidup lainnya, yang dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam faktor personal dan situasional. Aktivitas menggali atau mengingat kembali pengalaman masa lalu ini menurut Bloom (Winkel, 1996) merupakan bagian dari wilayah kognitif yang disebut pengetahuan. Pengetahuan menurutnya merupakan aktivitas mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan, yang meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan tersebut digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan, mengingat (recall ) atau mengga li kembali (recognition).

Mewujudkan menjadi suatu reaksi atau jawaban terhadap informasi yang diterima, sebelumnya akan terbentuk suatu persepsi dalam diri individu yang bersangkutan, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya

(29)

sikap. Penentuan sikap terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa menurut Winkel (1996) merupakan kecenderungan menerima atau menolak suatu objek, gejala, maupun peristiwa yang didasarkan pada penilaian terhadap objek, gejala maupun peristiwa tersebut berguna/berharga baginya atau tidak. Penilaian berdasarkan sikap ini bersifat selektif yakni bila objek tersebut “baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian positif. Sebaliknya bila “tidak baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian negatif. Second and Backman (Azwar, 1997) mengemukakan bahwa sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.

Reaksi atau Jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu informasi dapat dinyatakan dalam bentuk tindakan atau perilaku maupun pendapat (opini). Opini atau pandapat, menurut Philip L Harriman dalam (Muhibinsyah,1995) adalah ungkapan dari suatu kepercayaan atau keputusan yang terbuka untuk berubah. Antara opini dan sikap sangat erat kaitannya, bahkan Nasution (1990) mengatakan bahwa opini merupakan ekspresi dari sikap (attitude) akan tetapi opini lebih mudah berubah dibanding dengan attitude. Azwar (1997) mengatakan bahwa opini merupakan pernyataan sikap yang sangat spesifik. Opini terbentuk didasarkan sikap yang sudah mapan akan tetapi lebih bersifat situasional dan temporer. Carld I Hovland dalam (Rousydy, 1985) mengatakan bahwa sikap seseorang biasanya mencerminkan sekaligus pendapatnya akan tetapi belum tentu apa yang dinyatakan (opini) oleh seseorang akan menentukan attitude (sikap) yang sebenarnya.

Berdasarkan uraian yang ada maka dapatlah disimpulkan bahwa pendapat (opini) adalah suatu pernyataan atau ungkapan baik lisan maupun tulisan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu ide/gagasan yang sifatnya lebih situasional dibanding persepsi maupun sikap. Opini akan mengambarkan posisi seseorang berada di pihak: setuju atau tidak setuju,

(30)

mendukung atau tidak mendukung dan sebagainya. Sikap merupakan penilaian yang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan pemikiran atau rasional (kognisi) semata akan tetapi yang terpenting dalam membuat penentuan sikap didasarkan pada pertimbangan perasaan atau hal-hal yang bersifat emosional. Wujud pernyataan sikap seseorang juga dapat dinyatakan seperti : sikap mendukung atau tidak mendukung, setuju atau tidak setuju terhadap suatu ide atau gagasan yang diperkenalkan. Berbeda halnya dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil proses bela jar yang berhasil tersimpan untuk jangka waktu yang lama dalam ingatan jangka panjang (LTM) individu yang sedang mengalami proses belajar.

Pengetahuan memberikan kontribusi dalam terbentuknya persepsi, sikap maupun opini atau pendapat. Seseorang dapat mene ntukan persepsinya terhadap suatu ide atau gagasan didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya tentang hal-hal yang berhubungan dengan ide atau gagasan tersebut. Hal serupa juga terjadi saat pembentukan sikap. Sikap seseorang cenderung selaras dengan persepsi yang dimilikinya terhadap ide atau gagasan tersebut. Seseorang dapat menentukan pendapat atau opini apabila yang bersangkutan telah menentukan persepsi dan sikapnya terhadap ide atau gagasan tersebut.

Mengacu pada uraian yang ada maka konsep persepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah suatu pandangan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan secara sengaja dengan cara menghubungkan objek, gejala atau peristiwa tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, sistem kepercayaan, adat istiadat yang dimiliki dan sebagainya.

(31)

2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi

Persepsi sebagai salah satu rangkaian dalam proses perubahan, sebelum diputuskan menjadi suatu pandangan terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, lebih dahulu mengalami suatu proses penilaian. Proses penilaian yang berlangsung dalam alam pikiran seseorang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dalam diri seseorang, menurut Krech dan Cruthfield dalam Sarwono (1976) adalah faktor pengalaman masa lampau, dan juga beberapa faktor lain yang membedakan persepsi antar individu seperti kebutuhan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup, kebudayaan dan faktor umur seseorang.

Krech dan Cruthfield dalam Rakhmat (1992)mengemukakan empat dalil persepsi. Pertama; persepsi bersifat selektif secara fungsional. Berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, seperti dipengaruhi oleh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya.

Dalil kedua dikatakan bahwa medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Dimaksudkan bahwa walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan. Dalil ketiga dikatakan bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Dalil keempat dikatakan bahwa objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.

(32)

Mar’at (1984) menyebutkan bahwa persepsi merupakan hasil proses pengamatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu objek maupun peristiwa, mengemukakan bahwa faktor– faktor yang mempengaruhi persepsi adalah pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap yang dilihatnya, sedangkan cakrawala dan pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memberikan arti bagi objek psikologinya.

Vandemark dan Leth dalam Yusuf (1991) juga mengemukakan hal yang hampir sama yaitu bahwa perbedaan persepsi individu yang satu dengan individu yang lainnya ditentukan antara lain oleh perbedaan pengalaman, motivasi, keadaan dan nilai serta kepercayaan. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi pemberian makna terhadap stimuli yang diterimanya, bahkan ia mengemukakan bahwa setiap orang cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan sikap, nilai dan kebutuhannya, yang ia sebut dengan selective perception .

Dalam penelitian ini yang menjadi objek persepsi adalah kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang dilihat terhadap; akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. Sehingga dapat diartikan bahwa objek psikologi dalam persepsi adalah manusia yaitu; perempuan Indonesia. Dalam ilmu psikologi komunikasi, persepsi terhadap manusia disebut persepsi interpersonal yaitu terjadinya persepsi antara satu individu terhadap individu lainnya. (Rakhmat, 1992).

Faktor Personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah: Pertama, Deskripsi verbal yaitu, adanya ucapan verbal yang dikemukakan seseorang atau kelompok kepada orang lain secara komunikasi interpersonal, sehingga rangkaian deskripsi verbal membuat pendengar/ komunikan yang mendengar membuat kesimpulan berdasarkan apa yang didengarnya. Kedua, petunjuk proksemik, yaitu penggunaan jarak yang

(33)

dilakukan dalam menunjukkan hubungan dengan orang lain dan dapat menunjukkan tingkat keakraban diantaranya. Ketiga, petunjuk paralinguistik yaitu; cara bagaimana orang mengucapkan lambang-lambang verbal, yang menunjukkan apa yang diucapkan, bagaimana mengucapkannya, tergantung tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek) dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Keempat, petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan pada seseorang. Sedangkan faktor personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah; pengalaman, motivasi dan kepribadian.

Berdasarkan beberapa faktor yang telah dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa faktor yang diduga mempengaruhi persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan dari Masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif adalah: faktor individual Personal yaitu: (1) Usia/umur, (2) Pekerjaan, (3) Pendapatan, (4) Pendidikan, (5) Pengalaman, (6) Motivasi. Sedangkan faktor situasional yaitu: (1) Budaya Patriarkhi, (2) Agama, (3) Kebijakan Pemerintah, (4) Kebiasaan, (5) Kelompok rujukan.

2.5. Terpaan Media Massa

Terpaan Media massa merupakan keterdedahan individu oleh media massa yang bersifat cetak maupun elektronik. Terpaan media merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari.

Terpaan media secara surat kabar merupakan keterdedahan terhadap informasi yang disajikan surat kabar. Dapat juga dikatakan seberapa banyak individu mengunakan media surat kabar dalam mendapatkan informasi. Terpaan media majalah merupakan suatu keterdedahan terhadap informasi yang disajikan majalah. Dapat juga dikatakan seberapa sering atau digunakan individu dalam mendapatkan informasi untuk menambah pengetahuan atau wawasan. Terpaan media televisi merupakan terpaan

(34)

media secara elektronik yang disebarkan secara audio dan visual. Terpaan dapat terjadi secara pendengaran maupun secara gambar ataupun secara ditonton. Terpaan media televisi dalam penelitian ini adalah bagaimana individu mendapatkan informasi atau hiburan melalui televisi. Media televisi yang sering digunakan. Sebagaimana kita tahu di Indonesia banyak saluran televisi yang telah hadir sebagai televisi tayangan na sional. Semua channel (saluran) mudah diakses oleh penonton.

Riset mengenai efek media massa terus mengalami perkembangan sejalan dengan semakin pesatnya kemajuan komunikasi massa. Efek yang ditimbulkan oleh media massa merupakan konsekuensi yang harus diterima khalayak sebagai individu yang mengkonsumsi media dan terkena terpaan media. Sejauh mana efek tersebut bersifat konstruktif ataupun destruktif, berikut ini dikemukakan berbagai perkembangan riset mengenai efek media dan teori-teori yang berhubungan dengan terpaan media massa.

Salah satu revolusi dramatik yang dialami oleh umat manusia adalah revolusi informasi (McQuail, 1989). Revolusi informasi telah membawa kearah perkembangan industri media massa yang menjadi pemicu perubahan tradisi umat manusia dari tradisi lisan menjadi tulisan. Perubahan sosial masyarakat dengan adanya perkembangan media massa, memunculkan kesadaran bagi manusia untuk turut aktif dalam menentukan seperti apa masyarakat harus dibentuk. Kesadaran kultur baru manusia akibat perkem bangan industri media massa memberikan suatu era baru yaitu pembentukan masyarakat modern.

Kaitannya dengan perkembangan media, lebih lanjut McQuail (1989) membahas empat unsur utama: yaitu teknologi, situasi politik, sosial dan ekonomi masyarakat. Keselur uhan berinteraksi dengan cara yang berbeda dan dengan keunggulan masing-masing dan dalam media yang berbeda. Berdasarkan sejarah media dimulai dengan media cetak, film, radio dan televisi sampai munculnya media elektronik baru seperti teleteks, vidioteks, vidio komputer, internet dan lain sebagainya. Kekhususan surat

(35)

kabar dibanding dengan sarana komunikasi budaya lainya terletak pada individualisme, berorientasi pada kenyataan, kegunaan dan sekularitas serta kecocokan dengan tuntutan kebutuhan kelas sosial yang baru.

Sejalan dengan perkembangannya maka surat kabar menjadi komersil dan mempunyai fungsi umum yaitu:

1. Merupakan sumber informasi tentang apa yang sedang terjadi di

dunia dan daerah setempat. Fungsi ini tidak hanya terbatas pada tajuk rencana tetapi juga berita mengenai politik, ekonomi dan sosial.

2. Sebagai sarana hiburan, untuk fingsi ini biasany dilakukan oleh

kelompok muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang terbatas yang membaca rubrik seni, olah raga dan komik (Devito, 1997).

Sedangkan me dia majalah merupakan bisnis yang sangat besar dan kenyataannya, kebanyakan majalah besar dimiliki dan dikelola oleh perusahaan besar. Majalah ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Majalah umum berisikan informasi yang bersifat umum seperti pendidikan informasi wilayah dan lain-lain. Majalah khusus meliputi semua majalah yang ditujukan kepada khalayak yang khusus dan relatif terbatas, seperti khalayak wanita, remaja, atau khusus pria dan lain-lain.

Lebih lanjut Devito (1997) mengatakan bahw a televisi merupakan media yang sangat fleksibel dan ideal sekaligus unik. Televisi masuk hampir kesetiap rumah dan memberi pengajaran, tontonan juga tuntunan kepada setiap individu sejak bayi hingga dewasa.

Menurut Lasswell dalam Devito (1997) ada tiga fungsi media massa dalam masyarakat yaitu: (1) pengawasan lingkungan (2) Korelasi antar bagian-bagian dalam masyarakat dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan (3) Transmisi warisan sosial budaya, yang dilakukan secara kesinambungan yang berhubungan dengan penyampaian informasi dari generasi ke generasi berikutnya.

(36)

McQuail (1989) menyatakan bahwa fungsi media bagi individu adalah sebagai berikut:

1. Berfungsi sebagai informasi, disini media dijadikan sarana, antara lain untuk mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia. Disamping itu, media dapat dijadikan tempat untuk memperoleh bimbingan yang menyangkut berbagai masalah-masalah praktis, pendapat dan segala yang berhubungan dengan penentuan pemilihan. Media juga dapat memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum serta untuk memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan.

2. Berfungsi sebagai identitas pribadi, dengan menemukan penunjang nilai-nilai pribadi, menentukan model perilaku sehingga meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.

3. Berfungsi sebagai integrasi dan interaksi sosial, dengan memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain, akan menimbulkan rasa empati dalam lingkungan sosial, juga mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa kemampuan. Media juga dapat dijadikan sebagai bahan percakapan dalam berinteraksi sosial, memperluas pergaulan, dan membantu menjalankan peran sosial dalam masyarakat dan memungkinkan seseorang untuk menghubungi sanak keluarga, teman dan masyarakat.

4. Berfungsi sebagai hiburan, antara lain media yang menyediakan hiburan untuk melepaskan diri dari rutinitas kegiatan, bersantai untuk memperoleh kenikmatan jiwa, menghilangkan kepenatan, mengisi waktu, meluapkan emosi.

Devito (1997) menambahkan bahwa salah satu fungsi media yang banyak dilupakan adalah fungsi narcotizing (membius). Hal ini dapat dilihat, jika media menyajikan suatu informasi, penerima akan percaya

(37)

bahwa tindakan tertentu telah diambil. Salah satu contoh fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela ditelevisi yang ditayangkan secara bersambung setiap hari, dengan tema perselingkuhan, kekerasan dan berbagai tema stereotipe, yang membius khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan yang dimaksudkan media massa dalam penelitian ini adalah: surat kabar, majalah dan televisi. Keterdedahan atau terpaan media massa merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari. Terpaan Media Massa yang akan di teliti adalah terpaan media massa surat kabar, terpaan media massa majalah dan terpaan media televisi.

2.6. Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman ya ng juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu.

Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik.

Keterwakilan perempuan Indonesia secara politik dipatok dengan kuota 30 persen. Pada pemilu 2004 telah dicoba diterjemahkan oleh berbagai partai pelaksana pemilu, tetapi keterwakilan tersebut belum mencapai target 30 persen yang dimaksudkan. Dalam UU RI No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 65 ayat

(38)

(1) berbunyi: Setiap partai politik Peserta Politik dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Dalam pasal ini terdapat pengertian bahwa platform untuk keterwakilan perempuan telah ditentukan sekurang-kurangnya 30 persen, artinya tidak kurang dari 30 persen.

Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2003) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik. Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa yang dimaksud akses adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin.

Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993, 2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan (Jurnal Perempuan, 2001)

Sebagai contoh bentuk akses politik di beberapa negara yang mendongkrak jumlah anggota parlemen perempuan, seperti di Perancis ada Party Law (Undang-undang Partai Politik), pada tahun 1999, Party Law merupakan amandemen konstitusi yang mensyaratkan setiap parpol

(39)

menyertakan perempuan sebanyak 50 persen. Di Indonesia telah hadir kuota 30 persen, untuk mendongkrak jumlah perempuan parlemen yang menduduki kursi di parlemen.

Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai pe rhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut.

Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51 persen dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia. Data tentang distribusi perwakilan perempuan di beberapa lembaga di Indonesia tersaji pada Tabel 1.

(40)

Tabel 1 Distribusi Perwakilan Perempuan di Lembaga Indonesia. Lembaga Jumlah Perempuan Jumlah Laki-laki Presentase Jumlah perempuan MPR 18 177 9,2 DPR 45 455 9 MA 7 40 14,8 BPK 0 7 0 DPA 2 43 4,4 KPU 2 9 18,1 Gubernur (Dati I ) 0 30 0 Bupati (DatiII) 5 331 1,5

Sumber Data : kumpulan jurnal pada tahun 2001

Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan– kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan – kebutuhan ini meliputi:

b. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman.

c. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak.

d. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa ( cacat tidak bekerja)

e. Isu-isu kekerasan seksual.

Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti :

a. Diskriminasi di tempat kerja yang menga nggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian.

(41)

b. Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti:

1. Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan.

2. perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.

Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga – lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.

Keterwakilan Perempuan dalam sistem pemilu perlu dianalisa model apa yang sebaiknya dilakukan agar keterwakilan betul-betul terwujud seperti yang diinginkan. Sebagaimana disampaikan oleh Annisa (Kompas, 2003), ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu :

a. Sistem Distrik

Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih.

Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan

(42)

alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain.

b. Proporsional

Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil.

c. Sistem campuran

Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg.

Mengacu kepada uraian di atas, dalam penelitian ini konsep keterwakilan perempuan yang mendapat kuota 30 persen adalah: keterwakilan perempuan dalam partai politik dengan kuota 30 persen yang dilaksanakan ole h partai peserta pemilu yang meliputi:(1) akses politik, (2) partisipasi politik dan (3) keterwakilan politik.

(43)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Kehadiran UU RI No. 12 tahun 2003, yang mencantumkan pasal 65 ayat (1) yang berbunyi; setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, telah membuka kesempatan kepada Perempuan Indonesia untuk terlibat secara langsung dalam praktek pengambilan kebijakan dan keputusan pada legislatif.

Dalam praktek pemilu 2004, ternyata pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak tercapai, banyak partai yang belum melaksanakan secara penuh pelaksanaan kuota untuk perempuan tersebut. Banyak persepsi yang berkembang di masyarakat tentang pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Hal ini menyangkut kepada keputusan menerima dan menolak terhadap pelaksanaan kuota 30 persen tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa partai politik yang tidak melaksanakan sampai mencapai kuota 30 persen.

Penentuan keputusan untuk menerima atau menolak suatu ide atau gagasan merupakan suatu proses yang pada dasarnya tidak pernah berhenti melainkan senantiasa mengalami perubahan. Proses ini oleh Rogers dan Shoemaker (1971) disebut sebagai proses konfirmasi yang memungkinkan terjadinya perubahan keputusan, misalnya yang telah memutuskan menerima menjadi menolak dan kemudian mencari alternatif lain atau sebaliknya, yang telah memutuskan menolak mungkin pula beralih menjadi menerima. Begitu juga dengan pandangan adanya kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan di legislatif. menjadi proses konformasi.

Dengan berkembangannya paradigma di masyarakat yang menganggap perempuan hanya berfungsi secara domestik bukan di publik

Gambar

Tabel 3 Distribusi sampel . Kecamatan  Jumlah  Sampel  Aktvs partai Laki-laki   Aktvs partai perempuan   Bukan aktvs partai  laki-laki  Bukan aktvs partai  perempuan  Bekasi Utara  40  10  10  10  10  Medan Satria   22  6  6  5  5  Bekasi Barat   38  9  9
Tabel 9 menunjukkan bahwa pengalaman politik responden (53%)  berada pada kategori rendah
Tabel 11 menunjukkan bahwa budaya  patriarkhi berpengaruh  terhadap laki-laki dibanding perempuan
Tabel 16 menunjukkan bahwa Terpaan Surat Kabar terhadap  responden berdasarkan pendidikan, terlihat bahwa 22 persen responden  mengalami terpaan surat kabar secara rendah meliputi semua jenjang  pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu solusinya dari fenomena kurang efektifnya belajar pada siswa adalah melalui penggunaan media pembelajaran yang dapat menstimulasi siswa supaya aktif melakukan

Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya

Median dari nilai ulangan matematika yang terdapat pada table frekuensi di atas adalah … A..

“Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya,

-yang benar dari ayat ayat Allah Al-Qur’an -yang suci (dengan ayat ayat apa selain ini yang mereka percayai?) Dan kemudian saya akan menunjukkan pada anda Sunnah yang benar

1.) Performa tanaman LCC yang ditanam pada tanah pasca tambang memiliki hasil yang lebih pendek dibandingkan dengan yang ditanam pada tanah kontrol terhadap

Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Aceh Tamiang belum mencerminkan aspirasi masyarakat daerah, di mana arah dan kebijakan umum

Untuk perhitungan pengamanan slope samping dengan menggunakan turap didapat panjang turap yang dibutuhkan sebesar 17 m, dan untuk slope samping tanpa menggunakan turap di