• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN TUGAS HAKIM PENGADILAN NEGERI OLEH N HAKIM PENGAWAS PENGADILAN TINGGI (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGAWASAN TUGAS HAKIM PENGADILAN NEGERI OLEH N HAKIM PENGAWAS PENGADILAN TINGGI (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 3, No. 1, Februari 2015 - 38

PENGAWASAN TUGAS HAKIM PENGADILAN NEGERI OLEH N

HAKIM PENGAWAS PENGADILAN TINGGI

(Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh)

Mukhtari 1, Faisal A Rani2, Dahlan Ali3

1) Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Email: mukhtari_sh@yahoo.com.

2) 3) Staf

Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Abstract: Article 39 (1) and (3) of the Act Number 48, 2009 regarding the Justice Power states that the monitoring of trial at all courts under the Supreme Court including the internal monitoring on judge behaviors. The monitoring is also ruled in the decision of the Head of MARI Chief Number: KMA/080/SK/VIII/2006 regarding the Guidance of Court Monitoring. However, the monitoring towards judges of the First Instance Court by the High Court Judges appointed in the Jurisdiction of the Hight Court of Aceh is not accordance with the existing laws.

Keywords: Monitoring and the First Instance Court Judges

Abstrak: Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung termasuk dalam hal ini pengawasan internal atas tingkah laku hakim. Pengawasan terhadap hakim juga diatur dalam Keputusan Ketua MARI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pengawasan Peradilan. Namun kenyataan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap hakim pengadilan negeri oleh hakim tinggi pengawas yang ditunjuk di wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kata kunci: Pengawasan dan Hakim Pengadilan Negeri

PENDAHULUAN

Di Indonesia Kekuasaan Kehakiman sejak awal kemerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, ditentukan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, kemudian jaminan terhadap kedudukan lebaga kehakiman dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.”

Keberadaan hakim dalam sistem peradilan saat ini diatur dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU

Kehakiman). Pasal 1 angka 5 jo Pasal 10 ayat (1) UU Kehakiman menyebutkan bahwa :

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Hasil penelitian diketahui di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh juga dilakukan pengawasan oleh hakim pengawas terhadap pelaksanaan tugas hakim di pengadilan negeri

(2)

39 - Volume 3, No. 1, Februari 2015

belum sepenuhnya berjalan sebagaimana mestinya. Hasil penelitian sementara diketahui bahwa dalam periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 hanya 10 orang hakim dilaporkan ke Mahkamah Agung karena menyalahi ketentuan yang berlaku. Terhadap hakim dimaksud telah dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya padahal dalam praktik dan laporan masyarakat ditemukan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan hakim baik berupa pelanggaran kode etik maupun dalam penyelenggaraan peradilan. Jumlah hakim dimaksud relative lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain Indonesia. Namun demikian dapat saja rendahnya jumlah hakim yang nakal dan melanggar ketentuan yang berlaku ini disebabkan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan guna memperoleh data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, teori-teori yang berkaitan dengan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Sedangkan untuk memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para responden dan informan yang terkait.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (2002, 141) mengutip pendapat Montesquieu, dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis

kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, dimana ketiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapan (orgaan) yang melakukannya. Menurut ajaran Montesquieu ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya yang kemudian dikenal dengan pemisahan kekuasaan.

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum (S.F. Marbun, 1997 : 9).

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 Sebelum Masehi. (J.J. von Schmid, 1988, hlm. 7). Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum (Jimly Asshiddiqie, 1994 : 11).

Sebagai sebuah sistem, hukum di suatu Negara terdiri dari elemen yaitu

(3)

Volume 3, No. 1, Februari 2015 - 40 Kelembagaan (institutional), Kaedah aturan

(instrumental) dan perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural) (Asshiddiqie Jimly, 2005: 21). Kemudian ketiga elemen sistem hukum tersebut juga mencakup berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan negara. Adapun kegiatan dimaksud menurut Asshiddiqie Jimly (2005: 21). adalah mencakup :

a. kegiatan pembuatan hukum (law making) b. kegiatan pelaksanaan hukum atau

penerapan hukum (law administrating) c. kegiatan peradilan atas pelanggaran

hukum (law adjudicating) atau dalam arti sempit disebut penegakan hukum (law enforcement)

d. pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) e. pengelolaan informasi hukum (law

information management).

Kelima kegiatan dalam sistem hukum terbagi dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, (Faiz Mohammad Pan, 2007) yaitu :

1. fungsi legislasi dan regulasi 2. fungsi eksekutif dan administratif 3. fungsi yudikatif atau judisial.

Apabila dilihat dari penyelenggaraan lembaga peradilan yang merupakan pelaksanaan kekuasaan dibidang kehakiman dalam sebuah negara hukum, maka negara hukum dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi manusia dan prinsip due

process of law (Hamdan Zoelfa, 2013).

Pada akhir tahun 2009, tepatnya tanggal 29 September 2009, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang di Bidang Kekuasaan Kehakiman. Yaitu Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu dikaji dan dipahami secara kritis oleh masyarakat terkait dengan bagaimana masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada tahun 2010 dan di masa depan. Ini di karenakan masyarakat mendambakan agar pelaku kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen sehingga keadilan dan kebenaran bisa ditegakkan dengan konsisten dan setiap warga negara harus diperlakukan secara sama di depan hukum.

Menurut Moch. Koesnoe dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam negara RI adalah sebagai berikut :

1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan.

2. Kekuasaan Subsidair.

3. Kekuasaan melakukan kedaulatan itu oleh Hukum Dasar atau UUD 1945 (Koesnoe Moch, 1997: 9).

Kemudian apabila ditelaah dari teori kewenangan dan pengawasan dapat dijelaskan bahwa apabila dikaitkan dengan kewenangan, maka fungsi dan tugas hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. Herry Chambel Black yang dikutip Faisal A. Rani, mengatakan bahwa kata “fungsi” berasal dari bahasa Latin “functus”, asal dari

(4)

41 - Volume 3, No. 1, Februari 2015

kata kerja “fungor”, yang artinya cara untuk

melakukan (to perform), melaksanakan (execute), menjalankan (administer) (Faisal A. Rani, 2009 : 13-14).

Padmo Wahjono, yang juga dikutip Faisal A. Rani (2009 : 14).mengatakan bahwa fungsi adalah sesuatu pekerjaan yang tetap dalam organisasi, yang diselenggarakan atau diemban oleh seseorang (pelaku). Fungsi adalah tetap sifatnya sedang pelakunya dapat berganti-ganti. Sedangkan Bintan R. Saragih (1991:58), dalam disertasinya mengartikan fungsi adalah tugas dan wewenang. Dalam penelitian ini, yang dimaksud tugas hakim pada pengadilan negeri adalah menyangkut tugas dalam hal adminitrasi pengadilan dan juga tanggung jawab untuk mematuhi kode etik profesi hakim.

Apabila dilihat dari kedudukan hakim dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, maka kata “kedudukan” antara lain diartikan ialah letak(nya), tempat(nya); tinggi rendah pangkat dalam jabatan; tingkatan; martabat; keadaan yang sebenarnya tentang sesuatu perkara dan sebagainya; status (keadaan atau tingkatan orang, badan Negara). Status adalah kedudukan yang mengikatkan akibat hukum tertentu. Kata “kedudukan juga mempunyai arti adalah level, peringkat, kedudukan sesuatu, khususnya dalam tatanan hirarkhis (W.J.S. Poerwadarminta, 1966: 215-216).

Berdasarkan uraian di atas, konsep atau batasan pengartian tentang kata “kedudukan” dalam penelitian ini sebagai bentuk kedudukan hakim sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan Mahkamah Agung dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Hal ini sesuai dengan pendapat Faisal A. Rani (2009 : 15) bahwa kedudukan Mahkamah Agung dapat dikemukakan:

(1)Kedudukan dalam pengertian letak atau tempat Mahkamah Agung dalam susunan kekuasaan Negara.

(2)Kedudukan dalam arti hubungan Mahkamah Agung, baik hubungan dengan Lembaga Tertinggi Negara maupun hubungan dengan Lembaga-lembaga Tinggi Negara.

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban (Rusadi Kantaprawira, 1998: 39). Menurut Phillipus M. Hadjon, (tt 203) jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”.

Ateng Syafrudin (2000:22) berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Dengan demikin, terdapat perbedaan antara kewenangan (authority, gezag)

dengan wewenang (competence, bevoegheid). Apabila dikaitkan dengan teori pengawasan, maka pelaksanaan tugas hakim pengadilan negeri juga menjadi objek dari pengawasan oleh hakim pengawasan dari pengadilan tinggi yang melaksanakan kewenangan Mahkamah Agung dalam pengawasan. Sujamto (1986 : 2) mengatakan bahwa :

Pengawasan dimaksud merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam pencapaian

(5)

Volume 3, No. 1, Februari 2015 - 42 tujuan manajemen itu sendiri. Pengawasan

berasal dari kata “awas” yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang di awasi”.

HASIL PENELITIAN

Sistem Pengawasan Internal Terhadap Hakim Pengadilan Negeri dalam Mewujudkan Independensi Hakim.

Berkaitan dengan tugas pengawasan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, maka hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Pengawasan merupakan salah satu fungsi pokok manajemen untuk menjaga dan mengendalikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai dengan rencana dan aturan yang berlaku. Dalam praktik pengawasan terhadap pelaksanaan tugas hakim di pengadilan negeri secara internal dilakukan oleh Mahkamah Agung yang dilaksanakan dengan melakukan penunjukan hakim tinggi pengawasa daerah.

Hal yang sama juga dilakukan di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh, di mana pengawasan seara internal oleh hakim pengawas terhadap pelaksanaan tugas hakim di pengadilan negeri. Pelaksanaan pengawasan terhadap tugas hakim dan adminitrasi pengadilan di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi/Tipikor Aceh di Banda Aceh sebagai salah satu badan peradilan

di bawah Mahkamah Agung RI, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pedoman Pengawasan Peradilan yang diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan. Selain itu untuk pengawasan internal juga telah dibentuk Tim Pengawasan Disiplin Hakim dan Pegawai Negeri yang bentuk sebagai dasar dari Ketentuan pasal 7 Keputusan Sekretaris MARI Nomor : 035/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Ketua MARI Nomor : 071/KMA.SK/V/2008 Tentang Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja dalam Pelaksanaan Pemberian Tunjangan.

Bentuk pengawasan yang dilaksanakan meliputi pengawasan internal, pengawasan melekat, pengawasan rutin/reguler, pengawasan keuangan dan penanganan pengaduan. Pengawasan dilaksanakan dengan maksud:

a. Memperoleh informasi apakah penyelenggaraan tehnis peradilan, pengelolaan administrasi peradilan, dan pelaksanaan tugas umum peradilan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Memperoleh umpan balik bagi kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan tugas-tugas peradilan.

c. Mencegah terjadinya penyimpangan, mal-administrasi, dan ketidakefisienan penyelenggaraan peradilan.

(6)

43 - Volume 3, No. 1, Februari 2015

Hambatan yang dihadapi dalam Pengawasan Internal Terhadap Hakim Pengadilan Negeri di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh

Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh hakim tinggi yang ditunjuk dengan berkoordinasi dengan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi/Tipikor Aceh di Banda Aceh selaku koordinator pengawasan, meliputi:

a. Menjaga agar pelaksanaan tugas pengadilan negeri sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Mengendalikan agar administrasi peradilan dikelola secara tertib sebagaimana mestinya, dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

c. Menjamin terwujudnya pelayanan publik yang baik bagi para pencari keadilan yang meliputi: kualitas putusan, waktu penyelesaian perkara yang cepat, dan biaya berperkara yang murah.

Kemudian berdasarkan keterangan yang diperoleh dari salah hakim tinggi yang ditunjuk selaku hakim pengawas diketahui bahwa bentuk pengawasan terdiri atas :

a. Pengawasan langsung, yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan;

b. Pengawasan tidak langsung, yaitu dilakukan dengan melakukan pengujian atau penilaian atas laporan atau isi dokumen.

Hasil penelitian diketahui bahwa dalam periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013

hanya 10 orang hakim dilaporkan ke Mahkamah Agung karena menyalahi ketentuan yang berlaku. Terhadap hakim dimaksud telah dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya padahal dalam praktik dan laporan masyarakat ditemukan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan hakim baik berupa pelanggaran kode etik maupun dalam penyelenggaraan peradilan. Jumlah hakim dimaksud relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain Indonesia. Namun demikian dapat saja rendahnya jumlah hakim yang nakal dan melanggar ketentuan yang berlaku ini disebabkan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan diketahui bahwa pelaksanaan pengawasan internal terhadap hakim pengadilan negeri di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh masih mengalami berbagai hambatan. Adapun hambatan yang dihadapi dalam pengawasan internal terhadap hakim pengadilan negeri antara lain kurang keterbukaan dan transparansi, adanya kesan menutupi guna menjaga nama baik, kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif dan kelemahan sumber daya manusia, karena penentuan seseorang menjadi pengawas tidak jelas dan tidak melibatkan partisipasi publik dan rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/ mengadukan perilaku hakim yang menyimpang untuk menutupi kelemahan pengawasan oleh Mahkamah Agung.

(7)

Volume 3, No. 1, Februari 2015 - 44 Konsekwensi Terhadap Hakim Pengadilan Tinggi

yang Tidak Melaksanakan Pengawasan

Apabila dilihat dari profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman terdapat tiga unsur pokok yang terkait langsung dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya, yaitu tugas yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya, aparat sebagai pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang serta lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini termasuk pula dalam hal ini hakim tinggi yang ditunjuk sebagai pelaksana pengawasan di daerah, di mana ia melaksanakan tugas sebagai kewajibannya sebagai aparat dari lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.

Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi hakim tingi pengawas yang menjadi objek penelitian ini, maka bagi hakim pengawas selain harus melaksanakan tugas dan fungsi sebagai hakim dan etika profesi hakim juga bertanggung jawab atas jalannya pengawasan terhadap rekan seprofesi. Besarnya tanggung jawab tersebut karena dalam proses pelaksanaan pengawasan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam kecuali ditemukan adanya indikasi perbuatan tercela. Kondisi ini terkadang menimbulkan rasa sungkan antar sesama rekan seprofesi sehingga hakim tinggi tidak sepenuhnya melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya.

Oleh karena tidak terlaksana kewajibannya dalam pengawasan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berpotensi dikenakan sanksi. Terhadap hakim tinggi pelaksana pengawasan yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi akibat tidak terlaksananya kewajiban pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya dapat saja dicap tidak berhasil melakukan proses pengawasan dan pembinaan bagi hakim rekan seprofesi karena tidak dapat menjalin kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait lainnya dalam penyelenggaran pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya.

Bagi hakim tinggi pengawas apabila tidak melaksanakan kewajibannya atau melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya termasuk dalam proses pengawasan pembebasan bersyarat. Sanksi yang dapat diterapkan sampai pada tingkat pemberhentian dari tugas fungsional secara tidak hormat. Namun demikian, sampai saat ini terhadap hakim tinggi pengawas yang melalaikan tugas pengawasan di lingkungan Pengadilan Tnggi/Tipikor Aceh di Banda Aceh sanksi yang pernah dikenakan berupa sanksi teguran dan pernyataan tidak professional dalam menjalankan tugas yang berpengaruh pada kredit poin kenaikan pangkat hakim dan sanksi tertinggi yang pernah diterapkan adalah hakim tinggi yang bersangkutan dikenakan sanksi pernyataan sebagai hakim non palu (nonjob), sehingga walaupun berstatus hakim yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai hakim selama masa hukuman.

(8)

45 - Volume 3, No. 1, Februari 2015

Hal ini seperti yang pernah diterapkan terhadap 2 orang hakim tinggi pengawas pada tahun 2012 dan 5 orang hakim tinggi pengawas pada tahun 2013.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa konsekwensi terhadap hakim pengadilan tinggi yang tidak melaksanakan pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya sebagai hakim dan hakim tinggi pengawas adalah yang bersangkutan dapat dikenakan penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis berupa pernyataan tidak professional dalam menjalankan tugas, pemberhentian sementara (hakim tanpa palu) dan pemberhentian dari kedinasan apabila terhadap yang bersangkutan tidak lagi dapat dilakukan pembinaan.

KESIMPULAN

Sistem pengawasan internal terhadap hakim pengadilan negeri dilaksanakan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Keputusan Ketua MARI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006. Selain itu, di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh pelaksanaan pengawasan dilakukan melalui penunjukan hakim pengawasan melalui SK Ketua PT Aceh Nomor 60/SK/KPT-BNA/IV/2014 Tentang Penunjukan Hakim Tinggi Pengawas Daerah.

Hambatan dalam pengawasan internal terhadap hakim pengadilan negeri di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh antara lain kurangnya keterbukaan dan transparansi dalam penanganan perkara, adanya kesan menutupi guna menjaga nama baik korps, kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak

dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif, kelemahan sumber daya manusia, karena penentuan seseorang menjadi pengawas tidak jelas, tidak melibatkan partisipasi publik serta rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku hakim yang menyimpang untuk menutupi kelemahan pengawasan oleh Mahkamah Agung. Konsekwensi terhadap hakim pengadilan tinggi yang tidak melaksanakan pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya sebagai hakim dan hakim tinggi pengawas adalah yang bersangkutan dapat dikenakan penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis berupa pernyataan tidak professional dalam menjalankan tugas, pemberhentian sementara (hakim tanpa palu) dan pemberhentian dari kedinasan apabila terhadap yang bersangkutan tidak lagi dapat dilakukan pembinaan.

SARAN

Disarankan kepada hakim tinggi pengawas agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar dapat menerapkan berbagai ketentuan hukum sesuai dengan tempatnya.

Disarankan kepada hakim dengan kedudukannya sebagai kunci dalam upaya penegakan hukum agar dalam pelaksanaannya berpedoman pada ketentuan hukum.

Disarankan agar Mahkamah Agung dan Komisis Yudisial agar dapat mengupayakan adanya koordinasi dalam penegakan hukum terhadap pelaku penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

(9)

Volume 3, No. 1, Februari 2015 - 46 DAFTAR PUSTAKA

Ahsin Thohari, A., Komisi Yudisial dan

Reformasi Peradilan, Elsam, 2004.

Asshiddiqie Jimly, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan

Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi

RI, Jakarta, 2005.

Bruggink, J.J.H., Rechtsreflecties,

Grondbegrippen uit de rechtstheorie,

Edisi Indonesia : Refleksi tentang Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan

Makamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang Ssesuai

dengan Paham Negara Hukum, Syiah

Kuala University Press, Banda Aceh, 2009.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan

Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar

Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

Marbun, S.F., Negara Hukum dan

Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum

Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997. Nazir, Mohd, Metode Penelitian, Ghalia

Indonesia, Jakarta Timur, 1983

Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. Sobirin Malian, Gagasan Perlunya

Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001.

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011. Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang

Pengawasan, Ghalia Indonesia, 1986.

Von Schmid, J.J., Pemikiran Tentang

Negara dan Hukum, Pembangunan,

Jakarta, 1988.

Wuisman, J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu

Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam,

UI Press, Jakarta, 1996.

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Disampaikan dalam

Simposium Nasional yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 2003.

Hamdan Zoelfa, Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945, Artikel, www.setneg.go.id, Diakses 26 November 2013.

Faiz Mohammad Pan, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (New Delhi India : 19 Maret 2007), website http://panmohamadfaiz.blogspot.com

Bintan Regen Saragih, Peranan DPR-GR Periode 1965-1971 Dalam Menegakkan

Kehidupan Ketatanegaraan yang

Konstitusional Berdasarkan UUD 1945,

Disertasi, Unpad, Bandung, 1991.

Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun..

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi

IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000. Sonny Pungus, Teori Kewenangan,

http://sonny-tobelo.blogspot.com/html Diakses Maret 2013

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Referensi

Dokumen terkait

Kognitif “Anak mampu membedakan ukuran lebih berat dari, lebih ringan dari, sama dengan dari jumlah batu dengan kegiatan bermain menimbang” Anak belum mampu membedakan

Namun, dia tidak bisa lari ke mana-mana, karena teringat oleh 2 (dua) hal, yaitu (a) bahwa perkawinan kristiani yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan oleh

Likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk mengembalikan kewajibannya sewaktu-waktu atau jangka pendek, jika likuiditas yang tinggi maka kemampuan bank untuk

Jika penurunan dalam nilai wajar atas aset keuangan tersedia untuk dijual telah diakui dalam pendapatan komprehensif lain dan terdapat bukti objektif bahwa aset

Fungsi kerajinan dari gips biasanya dapat berupa gantungan kunci, hiasan dinding, bingkai foto, mainan, dan sebagainya. Karya kerajinan dari gips yang telah jadi nantinya dapat

‣ Bagaimana nomor induk yang dipergunakan oleh masing-masing stakeholder terkait praktik kedokteran, dimulai dari nomor mahasiswa sampai dengan nomor induk yang

Pada jilid dua ini cara mengajarkannya yaitu dibaca langsung huruf hidup, tidak diurai; setelah guru menjelaskan pokok pelajaran murid baca sendiri; setiap