• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Proliferasi Limfosit Setelah Imunisasi Intranasal Protein Terlarut Toxoplasma Selama Infeksi Toxoplasma gondii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aktivitas Proliferasi Limfosit Setelah Imunisasi Intranasal Protein Terlarut Toxoplasma Selama Infeksi Toxoplasma gondii"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman: 9-13

 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Alamat korespondensi:

Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273.

e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id, igtirta59@yahoo.com

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Tel. & Fax.: 62-271-632494 e-mail: biology@mipa.uns.ac.id (ed.).

Aktivitas Proliferasi Limfosit Setelah Imunisasi Intranasal Protein Terlarut

Toxoplasma Selama Infeksi Toxoplasma gondii

Lymphocyt proliferation activity after immunisation of intranasal soluble protein of

Toxoplasma

along infection of

Toxoplasma gondii

LILIK WIJAYANTI

Bagian Pathologi Klinis, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. Diterima: 16 Desember 2004. Disetujui: 1 Maret 2005.

ABSTRACT

Infection of Toxoplasma gondii can cause problems in pregnancy (e.g. abortion, stillbirth or congenital toxoplasmosis). Both humoral and cellular immune responses can be observed during T. gondii infection. This infection induces strong cellular immune responses leading to proliferation of lymphocytes. This study was aimed at studying the effect of immnunization via intranasal with soluble protein on cellular immune response during T. gondii infection. Two groups of Balb/c mice were used throughout the study. The first group was immunized with 10 µg soluble protein and the second group was used as control. Proliferative activity of lymphocyt was examined with 3- (4,5-dimethyl-2-thiazolil)-2,5-diphenil-2H-tetrazolium bromide (MTT) assay. The result showed that the poliferative index of lymphocyt in immunized mice was increase after immunization. The proliferation index of lymphocyt decrease on day 2,4 and 6 after infection.

Key words: immune response, proliferation index, proliferative activity, Toxoplasma.

PENDAHULUAN

Toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang mempunyai dampak yang luas dan bersifat sistemik. Toksoplasmosis disebabkan oleh Toksoplasma gondii (T. gondii), suatu parasit kucing dan hewan sejenisnya (Felidae). Parasit ini ditemukan juga pada manusia (Gandahusada, 1995; Denkers dan Gazzinelli, 1998). Pada wanita penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kehamilan seperti abortus, lahir mati atau anak yang dilahirkan dengan toksoplasmosis kongenital. Dampak tersebut sangat tergantung pada derajad toksoplasmosis, status imun ibu dan periode kehamilan saat terjadinya penularan (Budijanto, 1995; Haumont et al., 2000).

Infeksi T. gondii pada manusia dapat menstimulasi timbulnya respons imun baik respons imun selular maupun humoral. Kedua respons imun tersebut secara sinergis memberikan proteksi pada setiap individu normal. Respons imun yang paling dominan di antara kedua jenis tersebut relatif sulit dinyatakan secara pasti dan tegas. Beberapa penulis menyatakan bahwa secara umum respons imun selular lebih mendominasi (Darcy dan Santoro, 1994; Debard et al., 1996; Montoya et al., 1996). Infeksi T. gondii menginduksi respons imun selular yang kuat,

ditandai oleh polarisasi respons sel Th1 yang tinggi. Pada beberapa penelitian ditunjukkan bahwa strain T. gondii

yang tidak virulen menjadi sangat virulen bila menginfeksi hewan dengan defisiensi limfosit T (Darcy dan Santoro, 1994; Denkers dan Gazzinelli, 1998).

Berdasar pertimbangan pada dampak yang ditimbulkan oleh toksoplasmosis maka perlu dikembangkan tindakan pencegahan antara lain dengan mengembangkan vaksin yang aman serta efektif. Antigen imunogenik yang menjadi fokus sebagai kandidat vaksin pada T. gondii adalah antigen permukaan takizoit (surface antigen) seperti SAG1,

antigen dense granule yang merupakan antigen tersekresi (GRA) dan antigen rhoptri (rhoptries antigen) (Mc Leod et al., 1991; Fischer et al., 1998; Velge-Roussel et al., 2000; Vercamment et al., 2000). Protein granula padat (GRA) maupun rhoptri (ROP) dapat diisolasi bersamaan dan disebut protein terlarut. Di dalam protein terlarut juga ditemukan protein mikronema. Penggunaan protein terlarut sebagai antigen untuk bahan vaksin telah dilakukan oleh Darcy dan Santoro (1994) serta Fischer et al. (1996). Protein terlarut untuk imunisasi secara subkutan dilaporkan dapat memberikan proteksi terhadap infeksi T. gondii

(Darcy dan Santoro, 1994). Protein terlarut yang diberikan secara intranasal kemampuannya dalam menginduksi respons imun spesifik belum diketahui.

Berdasar uraian di atas dikemukakan permasalahan bahwa apakah ada perbedaan respons proliferasi limfosit pada imunisasi intranasal dengan protein terlarut selama infeksi T. gondii.

(2)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan mengguna-kan rancangan pretest-post test control group design

(Aswin, 1997). Metode yang digunakan adalah metode pemeriksaan proliferasi limfosit dengan 3-(4,5-dimethyl-2-thiazolyl)-2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide (MTT) (Agrawal dan Reynolds, 1999). Sebagai obyek penelitian adalah suspensi limfosit mencit.

Bahan

Jenis hewan percobaan yang digunakan adalah mencit

Balb/c yang diperoleh dari UPHP Universitas Gadjah Mada berumur 6-7 minggu sebanyak 20 ekor yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan.

Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

phenylmethanesulfonyl fluoride (PMSF), tosyl phenilalanine chloromethyl ketone (TPCK), fetal bovine serum (FBS), 3-(4,5-dimethyl-2-thiazolyl)-2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide (MTT)(Sigma Biochemicals and Reagent for Life Science Research tahun 2002-2003).

Cara kerja

Protein terlarut toxoplasma

T. gondii yang akan diperbanyak berasal dari stabilat beku T. gondii strain RH yang disimpan dalam nitrogen cair atau freezer -70oC di Laboratorium Bioteknologi

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah dilakukan

thawing stabilat disuntikkan secara intraperitoneal pada mencit Balb/c. Untuk pasasi pertama dari stabilat diperlukan 3 ekor mencit. Setelah 4 hari atau setelah menunjukkan tanda-tanda klinis seperti gerakan lebih lamban atau bulu-bulu yang berdiri, mencit kemudian dibunuh dengan cara dislokasi pada leher selanjutnya bagian peritoneum dibuka. Ke dalam cavum peritoneum dimasukkan larutan NaCl fisiologis sebanyak 10 mL. Cavum peritoneum ditekan pelan-pelan selama kurang lebih 3 menit, kemudian cairan dalam cavum peritoneum diaspirasi lagi dengan alat suntik. Hasil panen pasasi pertama dihitung selanjutnya disuntikkan lagi ke 40 ekor mencit untuk perbanyakan pasasi kedua. Tujuan perbanyakan pasasi kedua adalah untuk memperoleh jumlah takizoit minimal 1x109 untuk sekali isolasi. Takizoit

yang telah dipanen dan dihitung pada pasasi kedua tersebut diresuspensi dalam NaCl yang mengandung 1mM PMSF

dan 10 µg/mL TPCK. Suspensi takizoit disonikasi pada amplitudo 14 m, 10x1 pulsa menit. Setelah disonikasi suspensi tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit pada temperatur 4oC Antigen yang

telah diperoleh kemudian dikonfirmasi secara kuantitatif menggunakan Biorad protein Assay, kemudian dibagi menjadi beberapa bagian yang terdiri dari beberapa aliquot dan disimpan pada -20oC

Penyediaan limfosit

Mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher. Kulit bagian perut dibuka dengan gunting untuk mengambil limpa. Limpa diangkat dengan pinset dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi RPMI. Limpa mencit yang berada dalam cawan petri dicabik-cabik dan jaringan limpa

ditekan-tekan dengan skalpel dan suspensi tunggal dibuat dengan memipet cairan yang berada dalam cawan petri. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit. Untuk menghancurkan eritrosit pada pelet yang didapat ditambahlan 2 mL ammonium chloride. Sel dicampur dengan menggunakan pipet dan didiamkan pada suhu ruangan selama 2 menit. FBS 1 mL ditambahkan pada dasar tabung dengan menggunakan pipet. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit dan supernatan dibuang. Pelet dicuci dengan RPMI 2 kali dengan cara dipipet berulang-ulang dan disentrifugasi 1200 rpm selama 5 menit. Pelet yang didapat diresuspensikan pada 4 mL medium komplit. Suspensi sel dikultur pada cawan petri diameter 50 mm dalam inkubator CO2 5% 37oC selama 2 jam. Supernatan

yang berisi limfosit diambil dengan menggunakan pipet dan ditampung dalam tabung konikal, kemudian disentrifugasi pada 1200 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan limfosit diresuspensikan dengan medium komplit. Sel dihitung dengan hemositometer dan viabilitasnya ditentukan dengan trypan blue sehingga didapat suspensi sel dengan kepadatan 5x105/mL.

Pemberian imunogen

Imunisasi pertama dilaksanakan pada umur mencit 6 minggu. Pemberian imunogen ini dilakukan 2 kali dengan interval 2 minggu menggunakan dosis dan aplikasi yang sama. Antigen diberikan dengan meneteskan protein terlarut ke dalam nostril Balb/c. Dosis untuk protein terlarut sebesar 10 µg (Debard et al., 1996).

X 1 - I – II – III – IV – V – VI – VII – VIII

R

X 2 - I – II – III – IV – V – VI – VII – VIII

Gambar 1. Skema jalannya penelitian. Keterangan: R: randomisasi hewan coba. X1: kelompok mencit dengan imunisasi

protein terlarut. X2: kelompok kontrol. I: pengambilan sampel

sebelum imunisasi. II: vaksinasi I. III: vaksinasi kedua dengan interval 2 minggu. IV: pengambilan sampel setelah imunisasi kedua. V: infeksi hewan coba dilakukan 1 minggu setelah imunisasi kedua. VI, VII, VIII: pengambilan sampel setelah infeksi (dilakukan pada hari ke 2, 4, dan 6).

Infeksi dengan takizoit T. gondii

Infeksi dengan T. gondii dilakukan 1 minggu setelah imunisasi ke dua. Dosis yang digunakan 5x102

takizoit/mencit secara intraperitoneal. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dengan dosis ini maka mencit dapat bertahan hidup sampai hari ke 8.

Pemeriksaan proliferasi limfosit

Limfosit yang telah diisolasi dikultur pada mikroplate 96 dengan volume 200 µL/sumuran (1x105 sel). Mitogen

phytohemaglutinin (PHA) ditambahkan dengan konsentrasi 5 µg/mL sebanyak 10 µL/sumuran, protein terlarut dengan konsentrasi 10 µg/mL dan diinkubasi pada inkubator CO2

(3)

konsentrasi 5 mg/mL sebanyak 10 µL setiap sumuran, inkubasi dilanjutkan selama 4 jam. Reaksi dihentikan dengan menambah isopropanolol 0,04 M sebanyak 100

µL/sumuran. Hasilnya dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 550 nm.

Analisis data

Dari optical density (OD) masing-masing sampel dihitung indeks stimulasi dengan rumus: Indeks stimulasi: (rata-rata OD pada kultur yang distimulasi mitogen-rata-rata OD pada kontrol yang tidak distimulasi): mitogen-rata-rata-mitogen-rata-rata OD pada kontrol yang tidak distimulasi (Agrawal dan Reynold, 1999). Indeks stimulasi (IS) dibandingkan dengan menggunakan uji T.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu proses untuk meningkatkan derajat imunitas seseorang terhadap patogen atau toksin. Imunisasi yang ideal adalah yang dapat mengaktifkan sistem pengenalan dan sistem efektor yang diperlukan. Hal tersebut dapat diperoleh melalui pemberian antigen yang tidak patogenik dengan vaksinasi aktif. Beberapa penelitian telah menggunakan imunisasi dengan cara pemberian secara intranasal. Pada saat ini imunisasi

intranasal dengan polisakarida Pneumococcus telah memasuki uji klinis tahap II dan III (Jakobsen et al., 1999). Infeksi T. gondii biasanya dimulai pada permukaan intestinal sehingga bisa diberikan imunoprofilaksis yang efektif melalui cara imunisasi ini.

Pada Gambar 2 dan 3 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi (IS) pada kelompok perlakuan dengan pemberian protein terlarut dan kelompok kontrol secara intranasal. Kelompok perlakuan dengan pemberian protein terlarut didapatkan IS sebelum perlakuan pada kultur dengan mitogen PHA 0,478 dan setelah imunisasi didapatkan IS 3,155. Kultur dengan mitogen protein terlarut didapatkan IS sebelum imunisasi 0,530 dan setelah imunisasi didapatkan IS 5,345. Bila dilihat dari perbandingan optical density (OD) pada kelompok ini saat sebelum dan setelah pemberian imunisasi didapatkan OD sebelum perlakuan pada kultur dengan mitogen PHA 0,170 dan setelah imunisasi didapatkan OD sebesar 0, 457. Pada kultur dengan mitogen protein terlarut sebelum perlakuan didapatkan OD sebesar 0,176 dan setelah imunisasi didapatkan OD sebesar 0,698. Setelah dilakukan analisis secara statistik didapatkan proliferasi limfosit dengan OD yang diperlihatkan lebih besar daripada rerata OD kontrol negatif ditambah 2 standar deviasi (SD) dan ada perbedaan yang sangat bermakna pada kelompok ini saat sebelum dan setelah pemberian imunisasi (p ≤ 0,01).

0 0.2 0.4 0.6 0.8 I II kelompok in d e ks s tim u la si PS PHA 0 1 2 3 4 5 6 I II kelompok in d e ks s tim u la si PS PHA

Gambar 2. Indeks stimulasi limfosit mencit sebelum imunisasi yang distimulasi dengan protein terlarut (PS) dan phytohemaglutinin (PHA). Kelompok I: imunisasi dengan protein terlarut. Kelompok II: kelompok kontrol.

Gambar 3. Indeks stimulasi limfosit mencit setelah imunisasi kedua yang distimulasi dengan protein terlarut (PS) dan phytohemaglutinin (PHA). Kelompok I: kelompok dengan imunisasi PS. Kelompok II: kelompok kontrol.

0 1 2 3 4 5 6 0 2 4 6 hari pascainfeksi in d e ks s tim u la si I II 0 1 2 3 4 0 2 4 6 hari pascainfeksi in d e ks s tim u la si I II

Gambar 4. Indeks stimulasi limfosit mencit dengan imunisasi protein terlarut (PS) dan kelompok kontrol selama infeksi T. gondii (dengan mitogen protein terlarut). Kelompok I: kelompok dengan imunisasi protein terlarut (PS). Kelompok II: kelompok kontrol.

Gambar 5. Indeks stimulasi limfosit mencit dengan imunisasi protein terlarut (PS) dan kelompok kontrol selama infeksi T. gondii (dengan mitogen PHA). Kelompok I: imunisasi dengan protein terlarut (PS). Kelompok II: kelompok kontrol.

(4)

Dari Gambar 3 dapat dilihat perbandingan IS setelah imunisasi pada 2 kelompok perlakuan. Pada perhitungan didapatkan IS pada kultur dengan mitogen PHA untuk kelompok pertama sebesar 3,155 dan untuk kelompok kontrol sebesar 0,754. Pada kultur dengan mitogen protein terlarut didapatkan IS untuk kelompok pertama sebesar 5,345 dan untuk kelompok kontrol sebesar 1,206. Data tersebut menggambarkan adanya perbedaan IS dari kedua kelompok perlakuan. Kemudian apabila dianalisis lebih lanjut dengan t test didapatkan perbedaan yang sangat bermakna antara kelompok pertama dan kelompok kontrol (p≤ 0,01).

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian vaksin secara intranasal mampu menginduksi respons imun sistemik. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Velge-Roussel et al. (2000) yang menyatakan bahwa pemberian SAG 1 (surface antigen 1) T. gondii secara intranasal dapat menginduksi respons imun sistemik. Munculnya respons imun sistemik karena limfosit yang telah teraktivasi dilokasi induksi (inductive site), dapat bermigrasi ke berbagai lokasi yang dikenal dengan lokasi target (effector site). Induksi respons imun ini diawali dengan terjadinya migrasi limfosit teraktivasi dari mukosa hidung ke dalam peredaran darah. Baik limfosit T maupun limfosit B yang teraktivasi dari mukosa hidung akan bermigrasi ke dalam sistem sirkulasi melalui kelenjar limfe cervikalis posterior dan limpa (Hong-Yin et al., 1997; Jakobsen et al., 1999). Limfosit yang spesifik terhadap antigen sebagai respon terhadap stimulasi akan mengalami pembelahan. Hal ini menyebabkan proliferasi dan peningkatan ukuran dari klon yang spesifik terhadap antigen tersebut (Abbas et al., 2000).

Dari hasil penelitian ini didapatkan perubahan indeks stimulasi (IS) pada kelompok dengan pemberian protein terlarut pada kultur dengan mitogen PHA atau dengan menggunakan mitogen protein terlarut. Bila dilihat dari perbandingan optical density (OD) pada kelompok perlakuan, terdapat perbedaan OD sebelum dan setelah perlakuan. Analisis secara statistik menunjukkan adanya proliferasi limfosit, yang diperlihatkan dengan OD lebih besar daripada rerata OD kontrol negatif ditambah 2 standar deviasi (SD). Selain itu juga ada perbedaan yang sangat bermakna pada kelompok ini pada saat sebelum dan setelah pemberian imunisasi (p ≤ 0,01). Peningkatan proliferasi sel pada limfosit mencit yang diimunisasi menunjukkan bahwa pada limfosit mencit terstimulasi akan terjadi perubahan biokimiawi disertai pembelahan sel. Pada penelitian ini limfosit terpacu oleh PHA dan protein terlarut yang berperan sebagai mitogen dan selanjutnya berproliferasi. Kemampuan protein terlarut sebagai imunogen tidak terlepas dari komponen protein yang terkandung di dalamnya. Cesbron-Delauw (1996) menyatakan bahwa protein terlarut yang terdiri atas protein granula padat (GRA), protein mikronema (MIC) dan protein rhoptri (ROP) memiliki kemapuan sebagai imunogen baik secara tunggal maupun kombinasi.

Dari Gambar 4 dan 5 dapat dilihat adanya penurunan respons proliferasi limfosit pada hari ke 2, 4 dan ke 6 pascainfeksi apabila dibandingkan pada saat setelah imunisasi ke 2 (hari ke 0) pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan. Penurunan proliferasi limfosit pada kelompok pertama terjadi pada hari ke 2, 4 dan 6 setelah infeksi dengan takizoit T. gondii dibandingkan pada saat setelah imunisasi kedua (hari ke 0). Pada kelompok kedua penurunan proliferasi limfosit didapatkan pada hari ke 2 pascainfeksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Goyal et al. (cit Darcy dan Santoro, 1994) yang menyebutkan bahwa infeksi T. gondii pada mencit juga menginduksi penekanan imunitas selular selama fase akut. Sel T pada mencit yang mengalami disfungsi didapatkan setelah infeksi dengan strain RH yang sangat virulen atau strain T. gondii yang kurang virulen (strain C 56) ditandai dengan adanya penurunan proliferasi pada 3-6 hari pascainfeksi (Chan et al., 1986 cit Darcy dan Santoro, 1994). Supresi selama fase akut berakibat pada sel B maupun sel T, dan supresi ini tidak tergantung pada route infeksi baik peroral atau intraperitoneal. Penelitian akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa infeksi T. gondii pada fase akut (2-5 hari) pada rat juga diikuti leukopeni. Adanya penekanan proliferasi dapat dijelaskan sebagai berikut, setelah diberi imunogen takizoit T. gondii, maka makrofag maupun APC yang lain akan menampilkan antigen tersebut ke sel T. Hasil interaksi ini mengaktivasi sel T untuk menampilkan reseptor IL 2 dan bereplikasi. Sel T disamping menampilkan reseptor IL 2 juga akan memproduksi IL 2 untuk mempengaruhi dirinya sendiri. Akibat aktivasi ini sel T akan mensekresi IFN-ð, IL 3, GM-CSF, TNF alpha, TNF beta, IL 4, IL 5, IL 6 dan IL 10. IFN ð juga menginduksi deaminasi arginin yang menyebabkan pembentukan NO yang merupakan reactive nitrogen intermediate (RNI) dan merupakan mikrobisidal yang sangat poten. Dalam Denkers dan Gazzinelli (1998) disebutkan bahwa NO mempunyai aktivitas imunosupresif dan menghambat proliferasi limfosit terutama selama fase awal infeksi T. gondii. Infeksi T. gondii juga akan mengaktivasi makrofag sebagai sel efektor. Makrofag yang teraktivasi juga mensekresi monokin. Salah satu monokin yang disekresi adalah TGF beta. Dalam Auger dan Ross (1992) disebutkan bahwa TGF beta mempunyai efek menekan proliferasi sel B dan sel T, sehingga dengan adanya sekresi IL 10, TGF beta dan pembentukan NO menyebabkan penekanan proliferasi limfosit.

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan respons proliferasi limfosit pada imunisasi intranasal dengan protein terlarut pada kelompok yang mendapat imunisasi dan kelompok kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., A.H. Lichtman, and J.S. Pober, 2000. Cellular and Molecular Immunology. Philadelpia: WB. Saunders.

Agrawal, P.K. and D.L. Reynold. 1999. An evaluation of the mitogenic of istestinal intraepithelial lymphocyte of chickens. Avian Diseases 43: 172-181.

Aswin, S. 1997. Metodologi Penelitian Kedokteran. Yogyakarta:Fakultas Kedokteran UGM.

(5)

Auger, M.J. and J.A. Ross. 1992. The biology of the macrophage. In: Lewis, C.E. and J.O. Mc Gee (ed.). The Macrophage. Oxford: Oxford University Press.

Budijanto, S.K. 1995. Antibodi Ig A anti P30 sebagai petanda pada toksoplasmosis kongenital dan akut. Majalah Kedokteran Indonesia 45: 61-65.

Cesbron-Delauw, M.F., L. Lecordier, and C. Mercier. 1996. Role of secre-tory dense granule organelles in the pathogenesis of toxoplasmosis. In: Gross (ed.). Toxoplasma gondii. Berlin: Springer-Verlag. Darcy, F. and Santoro. 1994. Toxoplasmosis. In: Kierszenbaum, F.

Parasitic Infection and the Immune System. London: Academic Press. Debard, N., D. Buzoni-Gatel, and D. Bout. 1996. Intranasal immunization with SAG 1 protein of Toxoplasma gondii in association with cholera toxin dramatically reduces development of cerebral cysts after oral infection. Infect Immunology 64: 2158-2166.

Denkers, E.Y. and R.T. Gazzinelli. 1998. Regulation and function of T-cell mediated immunity during Toxoplasma gondii infection. Clinical MicrobiologyReview 11: 569-588.

Fischer, H. G., S. Stachelhaus, M. Sahm, H.E. Meyer, and G. Reichman. 1998. GRA 7, an excretory 29 kDa Toxoplasma gondii dense granule antigen released by infcted host cells. Molecular and Biochemical Parasitology 91: 251-262.

Fischer, H.G., G. Reichmann, and U. Hadding. 1996. Toxoplasma proteins recognized by protective T lymphocytes. In: Gross (ed). Toxoplasma gondii. pp 175-182. Springer-Verlag. Berlin.

Gandahusada, S. 1995. Penanggulangan toksoplasmosis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Majalah Kedokteran Indonesia 6: 365-370.

Haumont, M., L. Delhaye, L. Garcia, M. Jurado, P. Mazzu, V. Daminet. V. Verlant, A. Bollen, R. Biemans, and A. Jacquet. 2000. Protective immunity against congenital toxoplasmosis with recombinant SAG1 protein in a guinea pig model. Infect Immunology 68: 4948-4953. Hong-Yin, W., E.B. Nikolova, K.W. Beagley, J.H. Eldrige, and M.W.

Russel. 1997. Development of antibody secreting cells and antigen specific T cells in cervical lymph nodes after intranasal immunization. Infect Immunology 65: 227-235.

Jakobsen, H., D. Schulz, M. Pizza, R. Rappouli, and I. Jondotir, 1999. Intranasal immunization with pneumococcal polysaccarida conjugate vaccines with nontoxic mutant of Escherichia coli heat-labile enterotoxins as adjuvants protect mice against invasive pneumococcal infection. Infect Immunology 67: 5892-5897.

Mc Leod, R., D. Mack, and C. Brown. 1991. Toxoplasma gondii-new advances in cellular and molecular biology. Experimental Parasitology 72: 109-121.

Montoya, J.G., K.E. Lowe, C. Clayberger, D. Moddy, D. Do., J.S. Remington, S. Talib, and C.S. Subauste. 1996. Human CD4+ and CD8 T+ T lymphocytes are both cytotoxic to Toxoplasma gondii infected cells. Infect Immunology 64: 176-81.

Velge-Roussel, F., P. Marcelo, A.C. Lepage, D. Buzoni-Gatel and D.T. Bout. 2000. Intranasal immunization with Toxoplasma gondii SAG 1 induces protective cell into both NALT and GALT compartment. Infect Immunology 68: 969-972.

Vercamment, M., T. Scorza, K. Huygen, J. de Brackeleer, R. Diet, D. Jacobs, E. Samman, and H. Verschueren. 2000. DNA vaccination with genes encoding Toxoplasma gondii antigens GRA 1, GRA 7, and ROP 2 induces partially protective immunity against lethal chalennge in mice. Infect Immunology 68: 38-45.

Gambar

Gambar 4. Indeks stimulasi limfosit mencit dengan imunisasi  protein terlarut (PS) dan kelompok  kontrol selama infeksi T

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa diminta untuk menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada skenario “masalah”, mencari masalah yang sebenarnya dari skenario, menganalisis masalah tersebut dengan

Dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terutang akan di tanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja yang bersangkutan. Dari sisi pegawai, gaji yang diterima

Oleh karena itu, kepentingan nasional dari Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam dapat di artikan sebagai faktor penting untuk melaksanakan program Heart of Borneo sebagai

2014 KPU Kabupaten/Kota KPU Kabupaten/Kota Ketua Ketua CATATAN : CATATAN : Total 268 Pemilih, Total 268 Pemilih, 132 Laki-laki, 132 Laki-laki, 136 Perempuan 136 Perempuan (RIZAL

Dari gambar 4.2 dan 4.3 dapat dilihat bahwa nilai kecepatan reaksi dengan menggunakan katalis HCl adalah -0,0762 hal ini dikarenakan nilai konversi pati yang relatif menurun

Evaluasi pendugaan galat baku menggunakan selang kepercayaan 90%, 95% dan 99% untuk nilai µ dari output yang dihasilkan dengan menganggap metode penarikan

Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi

Berdasarkan atas berbagai pertimbangan dari peneliti yang berupa keterbatasan kemampuan baik berupa materi maupun pengetahuan yang dimiliki, maka dalam penelitian ini