• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ajaran-ajaran moral para filsuf merupakan jawaban terhadap dua masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ajaran-ajaran moral para filsuf merupakan jawaban terhadap dua masalah"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Ajaran-ajaran moral para filsuf merupakan jawaban terhadap dua masalah pokok etika sepanjang sejarah filsafat. Dua masalah pokok tersebut ialah pertama, tentang konsep hidup yang baik bagi manusia. Kedua, bagaimana seharusnya manusia bertindak. Pertanyaan pertama, jawabannya berupa ajaran dan konsep manusia ideal. Pertanyaan kedua, jawabannya berupa ajaran tentang ukuran dari suatu perbuatan yang dianggap baik atau bermoral. Persoalan-persoalan itulah yang diperdebatkan jawabannya oleh para filsuf moral sepanjang sejarahnya, sehingga menimbulkan paham-paham etika (Popkin & Stroll, 1958: 18). Pandangan serupa juga disampaikan oleh William S.Sahakian, bahwa kajian tentang etika mencakup dua bidang yaitu tindakan yang benar/baik dan kehidupan yang terbaik, sehingga Etika didefinisikan sebagai studi tentang tindakan yang baik dan kehidupan yang baik (dalam Mudhofir, 2009: 64).

Pemikiran Sosrokartono, baik yang ditulis ke dalam buku, artikel, maupun surat-surat yang ditujukan kepada para sahabatnya, diidentifikasikan banyak mengandung jawaban terhadap masalah pokok dalam studi etika tersebut. Pemikiran Sosrokartono banyak mengandung ajaran moral yang dapat dikaji relevansinya bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia pada masa

(2)

sekarang. Pemikiran moral Sosrokartono tersebut perlu dikaji dan ditafsirkan untuk memperkaya khasanah pemikiran Indonesia. Apabila ajaran moral Sosrokartono dapat disosialisasikan dan diinternalisasikan melalui proses pendidikan kepada warga masyarakat, maka ajaran moral tersebut mampu ikut berperan dalam membentuk dan memantapkan karakter bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang maju dan mempunyai jati diri yang kokoh.

Ajaran-ajaran moral Sosrokartono banyak diluncurkan setelah tahun 1925, pada saat Sosrokartono kembali ke Indonesia dari pengembaraannya di Eropa selama 28 tahun. Sosrokartono hanya sebentar ikut dalam pergerakan dan aktif dalam kegiatan pendidikan ketika masa kembalinya ke Indonesia. Sosrokartono beralih pada kegiatan dan pendalaman bidang kebatinan sejak tahun 1930 sampai akhir hidupnya. Ajaran moralnya dikomunikasikan dan dikembangkan dalam aktivitasnya pada paguyuban monosoeko “Daroessalam”, yang didirikan oleh Sosrokartono di kota Bandung pada tanggal 30 April 1930. Keunikan pengalaman dan perjalanan hidup Sosrokartono dari manusia yang tadinya hidup dalam tradisi Jawa yang agraris menjadi manusia terpelajar dan hidup di masyarakat modern Eropa, kemudian kembali ke Jawa dan mendalami dunia kebatinan sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian (Roesno, 1954: 24 - 25).

Prinsip yang digunakan oleh Sosrokartono dalam paguyuban tersebut adalah mengabdikan diri untuk menolong sesama manusia yang sedang mengalami kesusahan, dan itu dilakukan dengan suwung pamrih. Prinsip inilah yang menjadi landasan dari ajaran-ajaran moralnya. Prinsip ini pulalah yang mengarahkan

(3)

perilaku Sosrokartono dalam kehidupan sehari-hari yang selalu menolong orang-orang yang sakit, dengan memberikan pengobatan kepada masyarakat luas tanpa pamrih. Pengobatan tersebut dilakukan dengan cara memberikan air putih dan didoakan (Ali, 1966: 49).

Ajaran-ajaran Sosrokartono lahir pada pertengahan awal abad ke-20 saat masyarakat dan bangsa Indonesia belum merdeka, maka muncul pertanyaan yang mendasar tentang relevansi ajaran Sosrokartono bagi pemecahan masalah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia masa kini. Bangsa Indonesia saat ini menghadapi masalah demoralisasi. Media cetak dan media elektronik pun banyak memuat berita mengenai krisis moral yang masih berkepanjangan. Krisis yang terjadi membuat manusia tidak lagi mampu memahami perbedaan benar dan salah ataupun tingkah laku yang baik dan tidak baik (Wibawa, 2013: 2).

H.A.R.Tilaar (2012: 65) mensinyalir bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan arah atau kehilangan masa depan. Sifat ramah-tamah, sopan-santun, dan suka menolong yang sering dilekatkan pada bangsa Indonesia ternyata telah mengalami perusakan yang cukup mencolok. Sifat ramah-tamah berubah menjadi sifat beringas, sifat sopan-santun berbalik menjadi kasar, berangasan, dan bar-bar, sifat suka menolong memudar menjadi egois dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan bukannya memperkokoh toleransi dan persatuan, tetapi malah memperuncing perbedaan dan memunculkan konfliks. Keadaan yang memprihatinkan dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia dewasa ini sebenarnya bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri. Watak

(4)

mulia atau nilai-nilai luhur dalam kehidupan bersama yang dimiliki bangsa Indonesia tidak terpancar di dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla (KOMPAS, 28 Februari 2015) mengeluhkan maraknya fenomena begal kendaraan bermotor, yang pelakunya adalah anak-anak muda Maraknya kebiasaan mem-bully atau merundung teman-temannya di sekolah sering pula terjadi. Perilaku kekerasan dan pemerkosaan terhadap anak-anak banyak terjadi akhir-akhir ini, bahkan pelakunya ada pula anak-anak remaja.

Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang semakin pesat, cepat atau lambat telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir manusia (khususnya manusia Indonesia). Dampak alamiah dari persinggungan budaya memang memunculkan korban budaya, harus menerima, menolak, dan beradaptasi. Akibatnya, sikap hidup orang Indonesia (khususnya Jawa) mengalami pergeseran luar biasa (Endraswara, 2010: 5). Berkembang fenomena yang cukup memprihatinkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, yaitu maraknya sikap hidup individualistis, materialistis, sekularistis, pragmatis dan hedonistis. Ajaran moral Sosrokartono diharapkan mampu memberikan kerangka teoritis dan relevan untuk mengatasi keprihatinan akan terjadinya demoralisasi dan melemahnya karakter bangsa Indonesia. Ajaran moral Sosrokartono dikatakan relevan apabila cocok dan dapat berfungsi membantu mengatasi problem demoralisasi yang melanda masyarakat dan bangsa Indonesia.

(5)

Ajaran moral Sosrokartono tersebut perlu digali kembali, kemudian disosialisasikan, diinternalisasikan, dan diaktualisasikan melalui proses pendidikan formal, informal, dan non-formal. Kalau masyarakat dan bangsa Indonesia pada saat ini menghadapi masalah demoralisasi, krisis jati diri dan kepribadian, sebagai ekses dari derasnya arus perubahan dan globalisasi yang masuk ke Indonesia, maka internalisasi ajaran moral Sosrokartono melalui proses pendidikan karakter, keteladan para pemimpin dan orang tua, serta pembiasaan berperilaku diharapkan mampu menangkal ekses globalisasi tersebut.

Ajaran moral Sosrokartono sarat kandungan nilai kepedulian sosial, sehingga apabila ajaran moral tersebut benar-benar dilaksanakan oleh manusia Indonesia maka sifat manusia yang individualistis, matarialistis dan sekularistis dapat diminimalisir. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kepedulian sosial tinggi (caring society) dapat ditegakkan kembali. Peneliti berharap bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia bisa dibangun menjadi bangsa yang maju dan modern namun tetap berkarakter dan berkepribadian.

Penelitian ini berusaha mengungkapkan makna ajaran moral Sosrokartono, menganailisnya dari perspektif teori-teori etika, serta menemukan relavansinya bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis. Pitutur luhur dan tata laku Sosrokartono, setelah Sosrokartono kembali ke tanah air dari pengembaraan selama 28 tahun di Eropa, dengan meninggalkan semua yang bersifat keduniawian demi pengabdian dirinya secara total kepada sesamanya tanpa pamrih, layak untuk direnungkan.

(6)

Apabila pengetahuan tentang ajaran moral Sosrokartono mampu diinternalisasikan dan diaktualisasikan dalam praktik hidup bangsa Indonesia, maka peneliti berharap bahwa kehidupan bangsa Indonesia lebih tenteram dan damai karena dapat terhindar dari sikap hidup yang materialistis, sekularistis dan individualistis. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa modern dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi sesuai dengan kepribadian Pancasila.

2. Rumusan masalah

a. Apa hakikat ajaran moral Sosrokartono?

b. Apa jenis teori Etika normatif dari ajaran moral Sosrokartono?

c. Apa relevansi dan sumbangan ajaran moral Sosrokartono bagi proses pembentukan karakter bangsa Indonesia?

3. Keaslian penelitian

Sepanjang pengetahuan peneliti, pengkajian terhadap ajaran moral Sosrokartono dan relevansinya bagi proses pembentukan karakter bangsa Indonesia secara ilmiah-filsafati belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penulisan-penulisan tentang ajaran Sosrokartono yang dipublikasikan secara luas dilakukan oleh para sahabat, penggagum dan muridnya dalam perguruan yang mengembangkan pengetahuan kebatinan. Tulisan-tulisan tersebut kebanyakan berperspektif sosiologis dan historis; yaitu buku:

(7)

a) “Karena Panggilan Ibu Sedjati, Riwayat Hidup dari Drs. R.M.P.Sosrokartono”, yang merupakan biografi yang disusun oleh PA Roesno (1954).

b) Buku “Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunyi Drs.R.M.P. Sosrokartono” merupakan tanggapan R. Mohammad Ali (1966).

c) Buku “Ilmu dan Laku Drs.R.M.P. Sosrokartono” yang ditulis oleh Aksan (1966).

d) Buku “Ichtisar Riwayat Hidup dan Peri Kehidupan Maha Putera Indonesia Drs.R.M.P. Sosrokartono 1877 – 1952” merupakan biografi Sosrokartono yang disusun oleh Ki Sumidi Adisasmita (1968).

e) Buku “Surat-Surat Drs. RMP Sosrokartono”diterbitkan oleh Panitia Buku Riwayat Drs.R.M.P. Sosrokartono (1977) merupakan publikasi sumber primer pemikiran Sosrokartono.

f) Buku yang berjudul “Sugih tanpa Bandha” yang ditulis oleh Indy G. Khakim (2008) merupakan tafsir terhadap surat-surat dan mutiara-mutiara Sosrokartono dari perspektif teologis Islam.

g) Buku terakhir yang peneliti temukan adalah buku yang berjudul “Sosrokartono De Javasche Prins: Putra Indonesia yang Besar” ditulis oleh Hadi Priyanto (2013), merupakan buku yang bercorak biografis dari kehidupan Sosrokartono. Penelitian disertasi ini bersifat asli, terutama dilihat dari objek formal, pendekatan, maupun tujuannya. Penelitian lain, yang tidak terpantau oleh peneliti, barangkali ada, namun peneliti berpandangan bahwa bisa jadi penelitian itu

(8)

berbeda objek formalnya, karena ajaran Sosrokartono sangatlah luas tentang kehidupan ini.

4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna bagi : a. Ilmu pengetahuan, khusunya Ilmu Filsafat

Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya studi etika, ilmu sosial, dan.budaya.

b. Dunia penelitian filsafat

Penelitian dapat memberikan orientasi awal bagi para peneliti berikutnya yang tertarik untuk mengkaji pemikiran filosofis Sosrokartono dari perspektif cabang filsafat yang lain, seperti ontologi, epistemologi, antropologi filsafati, dan seterusnya.

c. Bangsa Indonesia.

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan atau masukan bagi proses national and character building bangsa Indonesia yang saat ini ada dalam era globalisasi, sehingga penelitian ini dapat memberikan orientasi moral bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang mengalami perubahan begitu cepat sebagai akibat kemajuan iptek dan derasnya arus globalisasi.

(9)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian yang bersifat reflektif ini bertujuan:

a. Memberikan analisis kritis ajaran moral Sosrokartono.

b. Memberikan analisis kritis tentang jenis-jenis teori Etika normatif dari ajaran moral Sosrokartono.

c. Menemukan relevansi dan sumbangan ajaran moral Sosrokartono bagi pembentukan karakter Bangsa Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Ajaran moral Sosrokartono merupakan produk renungan yang disampaikan dalam bentuk wejangan dalam forum wungon maupun ditulis dalam bentuk surat- menyurat dengan sahabatnya warga Monosoeko ketika Sosrokartono berada di Sumatra. Wejangan dan laku lampah Sosrokartono tersebut ditulis dan diterbitkan oleh pencinta dan pengagum Sosrokartono, baik dari Paguyuban Sosrokartanan maupun warga Monosoeko. Ajaran moral Sosrokartono dimaknai sebagai pitutur luhur oleh para pengagum dan sahabatnya (Priyanto, 2013: xi). Ajaran moral Sosrokartono menjadi warisan nilai-nilai akhlak yang mengandung hikmah besar sekali bagi nation and character building di Indonesia (Ali, 1966: 5). Ajaran moral Sosrokartono tidak tertulis ke dalam karya yang sistematis, namun hanya diungkapkan ke dalam rumus-rumus atau dalil-dalil yang singkat padat untuk diyakinkan menjadi zat asasi yang meresap dalam jiwa-raga dan menjadi wujud dalam peri-kehidupan manusia (Ali, 1966: 14).

(10)

Ajaran moral Sosrokartono bersifat humanistis dan praktis. Sifat humanistis dalam arti bahwa ajaran moral Sosrokartono mengarahkan perilaku manusia agar mempertaruhkan segala sesuatunya untuk menolong sesama manusia sebagai wujud cinta kasih dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Roesno, 1954: 45 dan Tridjana, tt: 11). Sifat praktis dalam arti bahwa ajaran moral Sosrokartono bukanlah teori-teori yang hampa belaka namun diamalkan sendiri oleh Sosrokartono ke dalam praktik hidup sehari-hari sebagai tauladan bagi manusia sekitarnya (Machfoeld, 1976: 6). Semua gambaran tersebut tercermin dalam ajaran moralnya, yaitu Ilmu Kantong Bolong yang terumus dalam pernyataan “nulung pepadane ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong yen ana isi lumuntur marang sesami”, artinya membantu atau menolong sesama manusia tidak perlu memikirkan waktu, perut, kantong atau saku kalau berisi disalurkan atau disumbangkan kepada sesama. Mohammad Ali (1966: 13) menjelaskan, bahwa dasar dari ilmu kantong bolong tersebut adalah cinta kasih manusia terhadap Tuhannya.

Ki Musa Al Machfoeld (1976: 2) menyebut Sosrokartono memiliki ajaran yang metodik dan didaktik seperti diajarkan oleh para Wali dan para Auliya serta mngamalkan ibadahnya dengan jalan “Filisanil haal”, artinya tidak dengan kata-kata, tanpa suara, tanpa aksara, tanpa sastera, akan tetapi dengan bahasa “kenyataan”. Titik berat ajaran-ajaran Sosrokartono terletak pada laku lampah, muna muni, sikap, pendirian, dan tata hidup Sosrokartono itu sendiri. Sosrokartono melakukan tata hidup taqwa kepada Allah dan menghambakan diri

(11)

di hadapan-Nya dengan memberi jasa-jasa baik kepada sesama hidup dalam bentuk “leladi mring sesami, memayu hayuning bawana”.

Ajaran moral Sosrokartono yang humanistis oleh Jacob Sumardjo (Harian Kompas, 12 Maret 2011) ditemukan dalam surat Sosrokartono dari Tanjungpura (Langkat) pada tanggal 11 Oktober 1931, yang antara lain menuliskan “para sedherek kaparingana saget among rukun, among guyub. Ingkang badhe grisak rukuning sadherekan, bade ngrisak piyambak”, artinya “saudara sekalian hendaknya bisa menjaga kerukunan, menjaga kekompakan. Siapa yang akan merusak kerukunan persaudaraan, merusak dirinya sendiri”. Ajaran moral ini sekarang amat relevan ketika kehidupan bangsa Indonesia dipenuhi gejala amuk massa, tawuran antar kelompok, bentrok antar kampung atau antar fakultas, perusakan dan pembunuhan karena perbedaan keyakinan. Pada hal karakter cinta kerukunan dan menghindari kerusakan telah ada sebagai kearifan-kearifan lokal sejak nenek moyang bangsa Indonesia menempati kepulauan nusantara dengan keragaman budayanya. Ajaran moral Sosrokartono ini sesuai dengan hasil penelitian Franz Magnis-Suseno tentang Etika Jawa (1983: 65–68), bahwa inti ajaran etika Jawa bertumpu pada dua kaidah, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi.

Ajaran moral Sosrokartono yang humanistis ditunjukkan pula oleh Aksan (1995: 24) dengan menyitir salah satu ajaran: “Sinau ambelani lan ngraosaken susah lan sakitipun sesami. Inggih punika sinau ngraosaken lan nyumurupi: tungalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun

(12)

agesang”, artinya “belajar membela dan merasakan susah dan sakitnya orang lain, yaitu belajar merasakan dan memahami: satunya manusia, satunya rasa, satunya maksud dan tujuan hidup”. Ajaran ini sungguh mencerminkan penghargaan, penghormatan dan pengabdiannya kepada sesama manusia. Ajaran moral ini sejajar dengan prinsip semua manusia sama harkat dan martabatnya, sehingga perlu dikembangkan sikap “tepo saliro dan tenggang rasa”.

Adisasmita (1968: 24) menunjukkan adanya nilai kemanusiaan yang universal dari ajaran moral Sosrokartono, yang diajarkan pula oleh semua agama, yaitu prinsip kejujuran dan menghindari kemunafikan atau hipokrit. Ajaran moral itu tercermin dalam ajaran “catur murti”, yaitu penyatuan terhadap empat hal: pikiran, perkataan, perasaan, dan perbuatan. Ajaran moral ini memberikaan dasar pembentukan karakter jujur dan konsisten. Menurut Sosrokartono, kebajikan yang besar dan agung bagi manusia adalah dapat menyatukan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan.

Aksan (1988: 21) menjelaskan, bahwa ajaran moral Sosrokartono juga memberikan kesadaran kepada manusia, bahwa manusia itu hidup dalam arus waktu yang dinamis, yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Agar manusia tenteram dalam menjalani kehidupannya, maka manusia seharusnya mengembangkan sikap hidup; terhadap apa yang terjadi pada masa lalu manusia harus mengikhlaskan, tak perlu menyesali. Terhadap apapun yang terjadi pada saat sekarang manusia harus menerimanya dengan sepenuh hati, tak perlu kecewa. Sedangkan terhadap apa yang akan terjadi di masa depan manusia harus pasrah atau berserah diri, tak perlu berkecil hati. Ajaran moral ini tercermin dalam

(13)

ungkapan: “Ikhlas marang apa sing wis kelakon. Trimah marang apa kang saiki dilakoni. Pasrah marang kang bakal ana”. Sikap batin ikhlas, trimah, dan pasrah inilah yang menjamin manusia dapat menjalani dinamika hidup dengan tenteram dan damai. Ajaran moral Sosrokartono ini dapat memantapkan keyakinan manusia terhadap kuasa Tuhan, yaitu bahwa Tuhan adalah maha kuasa dan penentu kehidupan manusia dan alam. Kehidupan manusia sudah ditentukan dan digariskan oleh Tuhan. Segala yang telah terjadi, yang sekarang dihadapi dan yang akan dihadapi, haruslah diikhlaskan, diterima dan diserahkan saja kepada Tuhan Yang Kuasa.

Indy G.Khakim (2008: v) menafsirkan ajaran moral Sosrokartono dengan menyatakan, bahwa manusia linuwih atau unggul bukanlah manusia yang banyak hartanya, tetapi manusia yang peduli terhadap nasib sesama, yakni manusia yang selalu berupaya menolong sesamanya, baik dengan tenaga, pikiran, maupun hartanya. Khakim menafsirkan ajaran tersebut berdasarkan ungkapan terkenal dari Sosrokartono:“Sugih tanpa bondha, digdaya tanpa aji, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Ajaran Sosrokartono ini menyiratkan bahwa pribadi Sosrokartono sangat menekankan dan mementingkan kekuatan batin (jiwa) serta sikap batin yang tepat dalam menjalani hidup bersama orang lain di alam dunia. Sosrokartono kurang mementingkan kekuatan materi (fisik). Manusia tidak selayaknya hanya berorientasi pada kehidupan di dunia ini saja (sekuler) namun manusia harus mempersiapkan kehidupan di akhirat nantinya. Lebih lanjut Khakim (2008: 71) menerangkan, bahwa untuk memahami ajaran Sosrokartono haruslah ditangkap dengan “rasa pangrasa” bukan dengan akal dan indera.

(14)

Khakim menafsirkan ajaran Sosrokartono dengan menyatakan, bahwa orang kaya (sugih) tidak harus berlimpah harta, melainkan orang yang merasa cukup sehingga selalu mampu memberi dan menolong orang lain, leladi mring sesami. Orang yang sakti (digdaya), yang disegani dan dihormati banyak orang, tidak harus mempunyai jimat, senjata atau kekuatan fisik, melainkan orang yang banyak menolong atau membantu orang lain. Selanjutnya orang yang bertempur (nglurug) tidak harus mengerahkan pasukan (bala), tetapi manusia melalui kekuatan batinnya dapat berkarya dengan tangannya sendiri tanpa minta pertolongan dan bantuan orang lain, karena musuh sesungguhnya dari manusia itu adalah setan dan nafsu yang ada dalam dirinya. Orang yang menang dalam perang atau persaingan tidak harus merendahkan harga diri orang yang terkalahkan. Sikap batin yang tepat adalah bahwa kemenangan seharusnya diraih dengan jalan damai, tidak dengan jalan kekerasan dan tanpa membuat lawan malu dan terhina.

Ajaran moral Sosrokartono merupakan produk renungan yang disampaikan dalam bentuk wejangan dalam forum wungon maupun ditulis dalam bentuk surat menyurat dengan sahabatnya warga Monosoeko ketika Sosrokartono berada di Sumatra. Kemudian wejangan dan laku lampah Sosrokartono tersebut ditulis dan diterbitkan oleh pencinta dan pengagum Sosrokartono, baik dari Paguyuban Sosrokartanan maupun warga Monosoeko. Ajaran moral Sosrokartono dimaknai sebagai pitutur luhur oleh para pengagum dan sahabatnya (Priyanto, 2013: xi).

(15)

D. Landasan Teori

Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, sehingga etika bukanlah ajaran melainkan sebuah studi tentang ajaran atau tatanan yang mengatur tentang perilaku seseorang terkait pergaulannya dengan lingkungan sosialnya dalam perspektif nilai baik/buruk. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia.Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya (Keraf, 1991: 20). Berbagai pandangan dalam teori etika normatif mengenai dasar penilaian moral, yaitu tolok ukur untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu dinilai baik atau buruk, telah terpublikasi. Tiga paham besar mempunyai ajaran tentang tolok ukur itu. Tiga paham itu adalah etika teleologi, etika deontologi, dan etika keutamaan. Etika teleologi adalah paham yang mengukur baik-buruknya suatu perbuatan berdasarkan pada tujuan dari perbuatan itu. Paham teleologisme mengukur suatu perbuatan dengan melihat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu apakah sesuai dengan tujuannya. Penetapan tujuan dalam berbuat bisa berbeda-beda, misalnya kenikmatan atau kesenangan (hedonisme), kebahagiaan (eudaemonisme), kemanfaatan untuk hidup praktis (utilitarianisme), dan sebagainya (Bertens, 2005: 235–254).

Etika deontologi adalah paham yang mengukur baik-buruknya suatu perbuatan didasarkan pada kewajiban. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila

(16)

perbuatan itu dilakukan atas dasar kewajiban (rasa wajib bagi dirinya). Perbuatan seseorang dikatakan baik apabila dilakukan atas dasar rasa wajib tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. Salah satu ajaran atau teori yang bisa dikategorikan dalam deontologisme adalah ajaran imperatif kategoris Immanuel Kant (Keraf, 1991: 26-30).

Etika keutamaan adalah paham yang mengukur baik buruknya suatu perbuatan tidak mendasarkan diri pada norma atau prinsip moral tertentu, melainkan justru berdasar pada keadaan pelaku itu sendiri. Etika keutamaan tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika keutamaan mempelajari keutamaan, artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Kalau etika kewajiban menekankan doing manusia, maka etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia (Bertens, 2005: 211–212).

Ajaran etika deontologi, khususnya imperatif kategoris Immanuel Kant, dan etika keutamaan dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Imperatif kategoris artinya kewajiban tanpa syarat. Immanuel Kant memahami arti kewajiban sebagai kemestian menjalankan tindakan atau perbuatan karena hormat kepada hukum, yakni hukum moral (Sudiardja,tt: 43). Suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukum moral” (Mudhofir, 2009: 111). Kant berbicara tentang kewajiban sebagai dasar perbuatan dan penilaian moral. Kant menghendaki aturan kesusilaan yang betul-betul metafisis dan tidak dicampuri oleh hal-hal yang ada di luar diri manusia. Kant menghendaki adanya aturan kesusilaan yang bersifat umum (Asdi, 1997: 4).

(17)

Kant menjelaskan, bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia harus berbuat atau bertindak. Dua kemungkinan kehendak mendorong perbuatan manusia. Pertama, kehendak manusia didorong atau ditentukan oleh suatu norma yang berasal dari luar dirinya, yaitu norma-norma yang ada dalam masyarakat, seperti norma adat istiadat, norma hukum positif, atau norma agama. Kehendak manusia seperti ini bersifat heteronom. Kedua, kehendak manusia ditentukan oleh norma yang bersumber atau ada dalam diri sendiri, yaitu hati nurani atau suara hati. Kehendak manusia ini bersifat otonom. Kant berpandangan bahwa kehendak otonomlah yang layak sebagai dasar tindakan bermoral, karena kehendak ini dapat memiliki prinsip yang berlaku umum bagi setiap perbuatan. Kant menegaskan, bahwa sebenarnya setiap manusia itu sadar kalau dirinya harus berbuat memenuhi kewajiban. Ada dua macam kewajiban. Pertama, kewajiban yang muncul dengan mengandaikan adanya syarat. Rasa wajib timbul kalau dipenuhi syarat-syarat tertentu. Rasa wajib muncul karena adanya pamrih, sehingga orang merasa wajib berbuat baik karena mempunyai pamrih tertentu, misalnya uang, pujian, hadiah, atau pahala. Kewajiban semacam ini disebut imperatif hipotetis. Kedua, kewajiban yang berlaku umum tanpa syarat atau wajib mutlak.Rasa wajib ini timbul dengan sendirinya, tanpa syarat atau pamrih tertentu. Kalau prinsip ini diterapkan dalam bidang moral, maka orang merasa wajib berbuat baik demi kebaikan itu sendiri. Orang wajib berbuat baik tanpa syarat atau pamrih mendapat apapun, apakah uang, kekuasaan, ataupun pahala. Kewajiban semacam ini berlaku secara umum universal. Kewajiban tipe inilah yang disebut imperatif kategoris (Mulyono, dkk, 2011: 432).

(18)

Kant (dalam Tjahjadi, 1991: 50-55) menegaskan, bahwa suatu perbuatan dikatakan baik atau bermoral apabila dilakukan atas dasar kehendak yang didorong oleh norma atau perintah dari dalam dirinya sendiri (hati nurani) dan dilakukan tanpa pamrih. Berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Imperatif kategoris, sebagai kewajiban moral, memerintahkan agar manusia taat kepadanya secara mutlak, tidak tergantung pada rasa suka atau tidak, untung atau rugi, nikmat atau sakit. Moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin, dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan negara, adat istiadat, agama atau aturan kemasyarakatan yang lain.

Kant menekankan perlunya otonomi pada diri manusia, sehingga perbuatan manusia mengenai sesuatu didasarkan melulu atas perintah atau rasa wajib dari dalam dirinya sendiri. Kriteria kualitas moral adalah ketaatan atau kesetiaan terhadap suara batinnya sendiri. Perintah wajib dari dalam diri bagi setiap orang mutlak sifatnya dan harus ditaati, kalau tidak ditaati tentu menimbulkan konfliks batin (Sudiardja, tt: 40).

Ajaran moral berdasar imperatif kategoris, bagi Kant, hanya dapat dipahami dan dikembangkan apabila manusia menerima adanya tiga postulat yaitu: adanya kebebasan, immortalitas jiwa, dan adanya Tuhan. Pertama, kebebasan merupakan hal yang semestinya ada pada manusia apabila manusia dituntut pertanggungan jawab dalam setiap perbuatannya. Kalau kebebasan tidak ada pada manusia, maka tidak adil apabila manusia dituntut tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Kedua, jiwa tentulah abadi. Jika jiwa tidak abadi, hanya hidup di dunia dan akan mati bersama badan, maka tuntutan untuk berbuat baik di dunia ini

(19)

tidak bisa dipahami maknanya. Ketiga, Tuhan sebagai instansi yang mengadili dan menerima pertanggungan jawab atas perbuatan manusia harus diyakini beradaNya. Tanpa Tuhan semua pengalaman dan perbuatan manusia tidak bermakna. Bagi Kant, ketiga postulat tersebut harus diinsyafi dan dijadikan dasar moral bagi manusia.

Bertens (2005: 31–33) menyatakan, bahwa jika bangsa Indonesia memandang situasi etis dalam dunia modern, maka ada tiga ciri yang menonjol. Pertama, adanya pluralisme moral. Pluralisme moral terutama dirasakan karena sekarang bangsa Indonesia hidup dalam era komunikasi. Kedua, timbulnya masalah-masalah etis baru. Masalah-masalah etis baru muncul terutama disebabkan perkembangan pesat dalam ilmu dan teknologi, khususnya ilmu-ilmu biomedis. Ketiga, munculnya suatu kepedulian etis yang tampak di seluruh dunia dengan melewati perbatasan negara.

E. Metode Penelitian

1. Bahan atau materi penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yang merupakan penelitian kualitatif bidang filsafat. Data dikumpulkan dari naskah atau dokumen dan teks-teks yang mengandung butiran-butiran nilai moral yang bersumber dari pemikiran-pemikiran atau ajaran Sosrokartono, terutama yang tercermin dalam ajaran-ajaran moral sosialnya. Seluruh data dikumpulkan dari data kepustakaan, yang meliputi:

(20)

a. Sumber pustaka primer.

Buku-buku yang ditulis para sahabat dan murid Sosrokartono, yang mengulas ajaran atau pemikiran Sosrokartono, yaitu:

1). Roesno, PA’, 1954, Karena PANGGILAN IBU SEDJATI (Riwayat Hidup dari Drs.R.M.P. Sosrokartono). Panitia Buku Peringatan R.M.P. Sosrokartono, Jakarta.

2). Ali, R. Mohammad, 1966, Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunyi Drs.R.M.P. Sosrokartono (Suatu Tanggapan). Panitia Penyusunan Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, Jakarta.

3). Adisasmita, Sumidi, 1968, Ichtisar Riwayat Hidup dan Perikehidupan Maha Putra Indonesia Drs.R.M.P. Sosrokartono 1877–1952. Yayasan Sosrokartono Yogyakarta, Yogyakarta.

4). Suxmantojo, 1977, Kempalan Serat-serat Drs. R.M.P. Sosrokartono. Panitya Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, Surabaya.

5). Aksan, 1985, Ilmu dan Laku Drs. R.M.P. Sosrokartono. Citra Jaya Murti, Surabaya.

6). Salam, Solichin, 1987, R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi. Yayasan Sosrokartono Jakarta, Jakarta.

7). Trijana, t.t, Adjaran-adjaran Almarhum Drs. R.M.P. Sosrokartono 1877-1952. Yayasan Sosrokartono Yogyakarta, Yogyakarta.

8). Partosatmoko, Koesnadi, 1970, Shantih Tuntunan Ethiko-psikologik Drs. R.M.P. Sosrokartono. Cetakan PT. Citra Jaya Murti, Surabaya.

(21)

9). Machfoeld, Musa Al., 1971, Priagung Dar-us-Salam Almarhum Drs. Sosrokartono di Jln. Pungkur No.7 Bandung: Langkah-laku, Tata Hidup, Kehidupan dan Kepribadian, Ditinjau dari Segi Ke-Islaman.Yayasan Sosrokartono, Yogyakarta.

10). Ciptoprawiro, Abdullah, 1991, Pengertian Huruf Alif dalam Paguyuban Sosrokartono dalam Kandungan Al Qur’an dan dalam Kejawen. Cetakan PT. Citra Jaya Murti, Surabaya.

11). Khakim, Indy G., 2008, Sugih Tanpa Bandha (Tafsir Surat-surat & Mutiara-mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono). Pustaka Kaona, Blora-Jawa Tengah. 12). Priyanto, Hadi, 2013, Sosrokartono De Javasche Prins: Putra Indonesia yang

Besar. Pustaka Jungpara, Semarang.

b. Sumber sekunder.

1). Buku-buku tentang Etika, yaitu:

a. Asdi, Endang Daruni, 1997, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant. Lukman Offset, Yogyakarta.

b. Bertens, K., 2005, Etika. PT Gramedia Utama, Jakarta.

c. Frankena, William K., 1963, Ethics. Printice-Hall,Inc., London.

d. Kant, Immanuel, 2005, Kritik atas Akal Budi Praktis. (Terjemahan oleh Nurhadi,M.A.). Pelajar, Yogyakarta.

e. Keraf, A. Sonny, 1991, Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

f. Magnis-Suseno SJ, Franz, dkk., 1983, Etika Jawa dalam Tantangan (Sebuah Bunga Rampai). Yayasan Kanisius, Yogyakarta.

(22)

g. Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

h. Magnis-Suseno, Franz, 1999, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

i. Tjahjadi, Lili S.P., 1991, Hukum Moral. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

j. Sudiardja, t.t., Etika (Filsafat Perilaku). Bahan Kuliah S-2 Prodi Filsafat UGM, Yogyakarta.

2). Jurnal atau majalah filsafat, dan ensiklopedi.

3).. Buku-buku lain yang relevan dan terkait dengan tema peneltian.

2. Jalan penelitian

Jalan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi:

a. Mengumpulkan data dari pemikiran-pemikiran yang tertulis dalam buku-buku yang relevan dengan tema penelitian ini, yaitu “Ajaran Etika Sosrokartono dan Relevansinya bagi Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia”.

b..Melakukan analisis historis untuk mengkaji otentisitas dan kredibilitas dokumen yang dikumpulkan.

c. Melakukan analisis dan interpretasi untuk mengungkapkan makna bahasa. d. Melakukan reduksi data, sehingga data yang demikian banyak dan kompleks

menjadi sederhana dan mudah dipahami.

e..Menggolongkan dan memperbandingkan pemikiran-pemikiran atau ajaran moral Sosrokartono dengan pemikiran filsuf moral yang lain, pemikiran

(23)

tentang Pancasila sebagai karakter dan identitas bangsa, serta paparan sejarah kebudayaan.

f. Menafsirkan dan mengkombinasikan pemikiran-pemikiran tersebut, sehingga mampu menjelaskan relevansi pemikiran moral Sosrokartono bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. g. Menyusun rancangan hasil penelitian.

h. Menyusun laporan hasil penelitian, review atau ujian, dan revisi perbaikan.

3. Analisis data

Data yang telah terkumpul melalui sumber pustaka direduksikan. Peneliti merangkum dan memilih hal-hal yang pokok dari pemikiran Sosrokartono yang demikian luas tentang kehidupan sesuai dengan objek formal penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan klasifikasi data untuk menentukan data yang relevan terhadap terhadap objek formal dan tujuan penelitian. Berikutnya data diorganisir dan dipetakan. Barulah setelah itu dilakukan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan.

Peneliti melakukan analisis data tersebut dengan menggunakan:

a. Metode verstehen. Metode ini digunakan untuk memperoleh dan memahami makna dari ungkapan-ungkapan yang terumus pada ajaran Sosrokarto.

b. Peneliti juga melakukan interpretasi untuk menerangkan, mengungkapkan, dan menterjemahkan pemikiran Sosrokartono yang diungkapkan dalam bahasa Jawa.

(24)

c. Metode hermeneutik juga dipergunakan oleh penulis untuk memperoleh pemahaman tentang data yang diperoleh dan dikumpulkan, terutama dalam rangka mengkonstruksikan secara teoritik pandangan tentang moral ajaran Sosrokartono dan relevansinya dalam pembentukkan karakter bangsa Indonesia pada era globalisasi sekarang ini. Peneliti menggunakan cara hermeneutik, yaitu dengan menterjemahkan konteks pikiran dan pandangan dalam karya-karya yang diteliti ke dalam terminologi dan cara berpikir aktual dalam membantu menjawab permasalahan penelitian ini.

d. Pada analisis akhir penelitian, peneliti mengunakan metode heuristika dalam rangka mengungkapkan makna dan penemuan baru dalam kegiatan penelitian ini. Unsur-unsur metodik yang peneliti pergunakan, sebagai berikut:

1). Deskripsi

Data yang terkumpul dibaca dan ditafsirkan. Hasil penafsiran ini dideskripsikan secara lengkap dan utuh, terutama relevansi pemikiran moral Sosrokartono dengan pembentukan karakter bangsa Indonesia. Bahkan interpretasi dalam pengertian menterjemahkan dan menerangkan dipergunakan, karena teks yang berisi ajaran tersebut diungkapkan dalam bahasa Jawa sehingga harus dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia. Tumbuh dan kuatnya karakter bangsa Indonesia akan menjadikan bangsa Indonesia mampu tegak dan maju, serta mampu manfaatkan peluang yang tercipta pada era globalisasi. 2). Komparasi

Peneliti membandingkan pemikiran-pemikiran moral Sosrokartono dan pemikiran moral filsuf yang lain untuk dicari kompatibilitasnya dengan ajaran

(25)

Pancasila sebagai identitas dan kepribadian bangsa Indonesia. 3). Idealisasi

Berdasarkan hasil dari analisis kedua unsur metodik tersebut, peneliti mengkonstruksikan secara teoritik relevansi pemikiran moral Sosrokartono bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia dalam era globalisasi. Teori yang dihasilkan oleh penelitian ini diharapkan merupakan penemuan teori ilmiah-filsafati tentang pentingnya penggalian nilai-nilai lokal (local wisdom) dalam menghadapi fenomena kehidupan dan budaya yang menglobal.

F. Sistematika Penulisan

Disertasi tersusun atas lima bab. Setiap bab tersusun atas beberapa subbab. Bab pertama adalah PENDAHULUAN, yang terdiri dari subbab Latar Belakang Masalah yang terdiri atas Permasalahan, Rumusan masalah, Keaslian penelitian, Manfaat penelitian; Tujuan Penelitian; Tinjauan Pustaka; Landasan Teori; Metode Penelitian yang terdiri atas Bahan atau materi penelitian, Jalan penelitian, dan Analisis data; Sistematika Penulisan.

Bab dua adalah ETIKA DAN PANDANGAN HIDUP JAWA. Bab ini tersusun atas empat subbab yaitu Pengertian dan Konsep-Konsep Etika yang terdiri atas Pengertian etika, Moralitas dan ajaran moral, Etika dan etiket, Etika dan hukum, dan Etika dan agama; Teori-Teori Etika Normatif yang terdiri atas Etika deontologi, Etika teleologi, Etika kebajikan (keutamaan), dan Relativisme etis; Pandangan Hidup dan Etika Jawa yang terdiri atas Kepribadian masyarakat

(26)

Jawa, Alam pikiran masyarakat Jawa, Pandangan dunia Jawa, Moralitas dasar masyarakat Jawa, dan Koordinat umum etika Jawa.

Bab tiga adalah POKOK-POKOK AJARAN MORAL SOSROKARTONO. Bab ini tersusun atas empat subbab yaitu Biografi Sosrokartono; Karya-Karya Sosrokartono; Identifikasi Ajaran Moral Sosrokartono yanng terdiri atas Ilmu kantong bolong, Binner etik, Simbolisme nama, Ilmu catur murti, Trimah mawi pasrah, Suwung pamrih tebih ajrih; serta Refleksi terhadap Ajaran Moral Sosrokartono.

Bab empat adalah SUMBANGAN AJARAN MORAL SOSROKARTONO BAGI PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA INDONESIA PADA ERA GLOBALISASI. Bab ini tersusun atas dua subbab yaitu Pengertian Karakter dan Karakter Bangsa Indonesia, yang terdiri atas Konsep karakter, Karakter bangsa Indonesia, Integrasi nasional dan hambatannya, Pembangunan nasional dan budaya Indonesia, Peranan etika Sosrokartono dalam pembentukkan kepribadian; Sumbangan Ajaran Moral Sosrokatono bagi Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia, yang terdiri atas Merespon tantangan globalisasi, Persoalan karakter bangsa pada era globalisasi, Persoalan identitas dan modernitas, Pendidikan sebagai upaya pembentukan bangsa, dan Sumbangan ajaran moral Sosrokartono. Bab lima adalah PENUTUP. Bab ini terdiri atas dua subbab yaitu Kesimpulan; dan Saran.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Data yang diperoleh pada variabel perkecambahan dianalisis dengan deskriptif, sedangkan data yang diperoleh pada variabel pertumbuhan dianalisis dengan uji F pada taraf 5%

Skripsi ini membahas mengenai 3 hal, yakni mengenai pengaturan mengenai Konsultasi dan Pemberitahuan dalam rangka pengambilalihan saham perusahaan, penerapan hukum

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

naqsabandiyah. Kedua, pedagang yang berasal dari lingkungan pondok pesantrenAn-nawawi. Mereka berasal dari berbagai desa di kanan kiri pondok pesantren. Ketiga, para

Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : ”Perbedaan Pengetahuan Tentang Pencegahan Kusta pada Siswa Sekolah Usia 10-11 Tahun melalui Pemberian

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan