• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maya Fatmini 1, DB. Paranoan 2, Rita Kalalinggi 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Maya Fatmini 1, DB. Paranoan 2, Rita Kalalinggi 3"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2017

IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH TERHADAP PERCEPATAN PENYELESAIAN

BATAS WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Maya Fatmini 1, DB. Paranoan 2 , Rita Kalalinggi3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah terhadap percepatan penyelesaian batas wilayah antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur (studi kasus pada penyelesaian masalah batas daerah antar Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara), serta mengidentifikasi faktor penghambatnya. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 yang meliputi indikator komunikasi, sumberdaya, disposisi (sikap pelaksana), dan struktur birokrasi belum sepenuhnya maksimal dilakukan karena adanya faktor penghambat seperti isi aturan yang ada kontradiktif, belum tersedianya teknologi GPS yang memadai, dan adanya usaha pihak luar yang mempengaruhi masyarakat untuk mengubah kesepakatan yang sudah dilakukan dengan pihak pemerintah.

Kata Kunci:Implementasi, Penetapan Batas Daerah

Abstract

This study aims to describe and analyze Implementation Guidance on Confirmation of Boundaries on the acceleration of settlement of border areas between districts / cities in East Kalimantan Province (case study on resolution of border area boundary between Balikpapan City with Kutai Kartanegara Regency), and identifying the inhibiting factors. From the result of the research, it can be seen that Implementation of Minister of Home Affairs Regulation No. 76/2012 which includes communication indicator, resource, disposition, and bureaucratic structure has not been maximally done because of inhibiting factors such as contradictory content of the rules, unavailability of GPS technology, and the existence of outside businesses that influence the community to change the agreement already made with the government.

Keywords: Implementation, Determination of Regional Boundaries

1

Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Negara, Fisip – Unmul Samarinda.

(2)

Pendahuluan

Lahirnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah menghadirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Dengan basis otonomi yang luas, bulat dan utuh penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi lebih berarti karena terdapat keleluasaan bagi daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.

Berdasarkan data yang bersumber dari Biro Pemerintahan, Perbatasan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Kalimantan Timur diketahui bahwa sejak tahun 1997 sampai Januari 2017 telah terjadi sebanyak 6 kali pembentukan Daerah Otonomi Baru/ Pemekaran Wilayah di Provinsi Kalimantan Timur.

Namun demikian dalam perjalanan otonomi daerah di Provinsi Kalimantan Timur nampak jelas menghadapi berbagai persoalan yang harus diakomodir secara profesional oleh berbagai pihak terutama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten dan Kota, melalui tahap-tahap perencanaan yang matang sesuai situasi, kondisi dan kemampuan atau potensi yang ada. Selain itu penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh diselenggarakan melampaui batas daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup batas daerah itulah dilaksanakan penyelenggaraan kewenangan masing- masing daerah. Artinya terdapat pemisah antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya sehingga dapat terlaksana otonomi daerah yang bertanggung jawab. Pemisah antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya itu disebut batas daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 , Wilayah Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi 4 (empat) Daerah Otonomi Baru, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dengan ibukota Tenggarong, Kabupaten Kutai Barat dengan ibukota Sendawar, Kabupaten Kutai Timur dengan ibukota Sangatta dan Kota Bontang dengan ibukota Bontang.

Dengan dimekarkannya wilayah Kabupaten Kutai tersebut, Kabupaten Kutai Kartanegara selaku Kabupaten Induk tetap berbatasan dengan Kota Balikpapan dan permasalahan batas wilayah kedua daerah perlu percepatan dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh kepastian hukum dalam pelaksanaan fungsi- fungsi pemerintahan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan kedua daerah.

Mengingat belum ada tindaklanjut dari Kementerian Dalam Negeri terhadap penetapan batas wilayah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, Gubernur Kalimantan Timur melalui surat tanggal 29 Desember 2016 dan surat tanggal 24 Januari 2017 meminta Menteri Dalam

(3)

Negeri Cq. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan untuk percepatan penerbitan permendagri batas wilayah dimaksud.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa pada prakteknya kewenangan Gubernur dalam penyelesaian permasalahan batas wilayah antar Kabupaten/Kota tidak bersifat final dan bisa dikatakan dapat menghambat proses percepatan yang telah dibangun oleh Provinsi.

Kebijakan Publik

Kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang tegas yang disikapi oleh adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan pada bagian dari keduanya bagi orang-orang yang melaksanakannya (Kenneth Frewin, dalam Thoha, 1990:251). Sedangkan kebijaksanaan pemerintah dapat diartikan setiap keputusan yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintah atau negara atas nama instansi yang dipimpinnya (Presiden, Menteri, Gubernur, Sekjen dan seterusnya) dalam rangka melaksanakan fungsi umum pemerintahan atau pembangunan, guna mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu atau dalam rangka melaksanakan produk-produk keputusan atau peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan dan lazimnya dituangkan dalam bentuk aturan perundang-undangan atau bentuk keputusan formal (Tjokroamidjojo, 1993:92).

Kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan mengandung arti : (1) Hasil produk keputusan yang diambil dari komitmen bersama, (2) Adanya formalisasi, (3) Pelaksananya adalah orang-orang dalam organisasi, (4) Adanya perilaku yang konsisten bagi para pengambil keputusan dan pelaksana. Implementasi Kebijakan

Secara sederhana Implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa”.

Dari pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme pada suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar berupa aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana, tertata dan dilakukan secara

(4)

sungguh-sungguh berdasarkan acuan berupa peraturan yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis untuk mencapai tujuan kegiatan.

Kemudian model implementasi kebijakan publik menurut Edwards III (dalam Nawawi, 2008:136), menunjukkan empat variabel yang berperan penting dalam implementasi kebijakan yaitu :

1. Komunikasi : yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat

dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksanaan program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target grup). Tujuan dan sasaran dari program atau kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program.

2. Sumber daya : menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial, sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi sebuah program atau kebijakan keduanya harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik. Edwards III menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang menjadi bagian dari sumber daya yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu: staff, informasi, kewenangan/otoritas, fasilitas.

3. Disposisi, yaitu menunjukkan yang melekat erat kepada implementor

kebijakan atau program. Karakter yang penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program. Edwards III menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dari disposisi pelaksana yaitu efek dari disposisi, masalah staf di birokrasi.

4. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa sistem birokrasi menjadi penting

dalam implementasi kebijakan, aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri, mekanisme implementasi program biasanya sudah di tetapkan melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dicantumkan dalam

guideline program atau kebijakan.

Dengan langkah-langkah kerja sebagaimana digambarkan, maka penelitian yang bersifat top-down lebih tepat dipakai untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan, yaitu untuk memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah di tetapkan dapat tercapai dilapangan atau tidak.

(5)

Penataan Batas Daerah Kabupaten dan Kota

Batas daerah merupakan salah satu unsur yang dijadikan dasar bagi eksistensi suatu daerah, baik itu dalam lingkup negara maupun daerah administrasi yang tingkatannya lebih rendah. Batas antar daerah baik itu antar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan maupun Desa pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari luas wilayah daerah dimana didalamnya mengandung makna keberadaan teritorial daerah. Batas daerah selain sebagai penentu wilayah kerja administratif juga dapat berfungsi untuk mengetahui batas-batas pengolahan kegiatan usaha suatu daerah.

Yang dimaksud batas daerah di darat menurut Bab I Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yang dimaksud dengan batas daerah di darat adalah pembatas wilayaha dministrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik- titik koordinat yang berada pada permukaan bumi, dapat berupa

tanda- tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watershed), median

sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penataan batas wilayah baik daerah Provinsi dan daerah Kabupaten dan Kota dimaksudkan untuk memperjelas batas-batas kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah di lapangan sekaligus merupakan sarana untuk membina kesatuan dan persatuan bangsa dalam mewujudkan pelaksanaan program pembangunan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya diwilayah perbatasan. Batas antar daerah merupakan hal yang penting terutama dalam kaitannya dengan pemekaran dan penghapusan wilayah/daerah, karena akan memberikan kejelasan batas-batas kewenangan suatu Pemerintah Daerah secara pasti.

Tahapan Penegasan Batas Daerah

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012, Bab II pasal 5, tahapan penegasan batas daerah di darat, meliputi :

1. Penyiapan dokumen, terdiri dari :

a. Peraturan Perundang-undangan tentang pembentukan daerah.

b. Peta dasar dan dokumen lainnya yang disepakati oleh para pihak.

2. Pelacakan batas, terdiri dari :

a. Pelacakan batas dapat dilakukan dengan metode kartometrik dapat juga dilakukan dengan survey/pengecekan dilapangan.

b. Hasil pelacakan secara kartometrik maupun survey lapangan berupa daftar

titik-titik koordinat batas-batas dan dituangkan dalam peta hasil sebagai turunan peta dasar/peta kerja.

(6)

c. Pengukuran dan Penentuan posisi pilar batas dilakukan melalui pengambilan/ekstraksi titik-titik koordinat batas dengan interval tertentu pada peta kerja dan/atau hasil survey lapangan.

d. Pemasangan pilar batas, dimaksudkan untuk memberikan tanda batas

secara pasti dilapangan.

e. Pembuatan peta batas, dilakukan dengan tahapan :

1) Pembuatan kerangka peta batas dengan skala dan interval tertentu yang memuat minimal 1 (satu) segmen batas.

2) Melakukan kompilasi dan generalisasi dari peta RBI dan/ atau hasil survey lapangan, dan/ atau data citra dalam format digital.

3) Penambahan informasi isi dan tepi peta batas.

4) Selanjutnya setiap tahapan dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

prinsip geodesi dan dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah Terhadap Percepatan Penyelesaian Batas Wilayah Antar Kabupetan/Kota di Provinsi Kalimantan Timur (Studi Kasus Pada Penyelesaian Masalah Batas Daerah Antar Kota Balikpapan Dengan Kabupaten Kutai Kartanegara), maka sesuai dengan fokus penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012

tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah terhadap percepatan penyelesaian batas wilayah antar Kabupetan/Kota di Provinsi Kalimantan Timur (Studi Kasus Pada Penyelesaian Masalah Batas Daerah Antar Kota Balikpapan Dengan Kabupaten Kutai Kartanegara), yang meliputi :

a. Komunikasi; bahwa dalam hal komunikasi khususnya dalam

Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah di Provinsi Kalimantan Timur, terkait penyelesaian kasus masalah batas daerah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam mengkomunikasi hal ini dengan pihak-paihak terkait dengan Tim PBD tingkat Kabupaten/Kota, maupun dengan Tim PBD Provinsi dan selanjutnya dengan Tim PBD Pusat, juga komunikasi melalui rapat-rapat koordinasi yang dilakukan dengan pihak-pihak pemerintah yang sedang dalam proses penyelesaian batas wilayah, hingga rapat koordinasi bersama pemerintah pusat dalam proses penetapan final atas batas wilayah.

b. Sumberdaya; terkait dengan masalah sumberdaya baik sumberdaya

(7)

sarana dan prasarana yang diperlukan dalam melaksanakan sebuah kebijakan, maka dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah di Provinsi Kalimantan Timur khususnya dalam penyelesaian kasus masalah batas daerah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, semua sudah berusaha dipenuhi.

c. Disposisi (sikap pelaksana); bahwa terkait dengan faktor disposisi (sikap pelaksana) Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah khususnya dalam penyelesaian kasus masalah batas daerah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegaratelah menunjukkan kemauan, keinginan dan kecenderungan para pelaku kebijakan dan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sunguh-sunguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan berusaha diwujudkan.

d. Struktur Birokrasi; terkait dengan struktur birokrasi dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah khususnya dalam penyelesaian kasus masalah batas daerah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara maka perlu ditinjau kembali karena seperti yang tertuang dalam kebijakan tersebut ternyata belum menunjukkan terjadinya percepatan penyelesaian masalah dalam penentuan batas wilayah karena adanya struktur birokrasi dalam penetapan keputusannya harus berdasarkan keputusan Menteri (pusat). Sehingga pada prakteknya kewenangan Gubernur dalam penyelesaian permasalahan batas wilayah antar Kabupaten/Kota tidak bersifat final dan bisa dikatakan dapat menghambat proses percepatan yang telah dibangun oleh Provinsi.

2. Faktor penghambat dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah terhadap percepatan penyelesaian batas wilayah antar Kabupetan/Kota di Provinsi Kalimantan Timur (dalam penyelesaian masalah batas daerah antar Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara) meliputi antara lain : a) Tumpang tindih dan kontradiktif isi pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tersebut dan juga peraturan-peraturan diatasnya; b) Belum memadainya sarana dan prasarana seperti teknologi operasionalisasi sofware untuk pemetaan, ketersediaan GPS geodetik dan lain-lain; c) Adanya usaha dari luar yang mempunyai tujuan tertentu untuk mempengaruhi masyarakat yang ada di perbatasan untuk merubah kesepakatan yang telah dibangun dengan alasan pelayanan publik.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah Terhadap Percepatan Penyelesaian Batas

(8)

Wilayah Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur (Studi Kasus Pada Penyelesaian Masalah Batas Daerah Antar Kota Balikpapan Dengan Kabupaten Kutai Kartanegara), maka sesuai dengan fokus penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan implementasi kebijakan peraturan tersebut dilihat dari unsur komunikasi, sumberdaya, disposisi (sikap pelaksana), dan struktur birokrasi sudah cukup baik dalam realisasi implemantasinya. Hanya saja yang masih kurang adalah terkait dengan struktur birokrasi dalam Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah khususnya dalam penyelesaian kasus masalah batas daerah antara Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara maka perlu ditinjau kembali karena seperti yang tertuang dalam kebijakan tersebut ternyata belum menunjukkan terjadinya percepatan penyelesaian masalah dalam penentuan batas wilayah karena adanya struktur birokrasi dalam penetapan keputusannya harus berdasarkan keputusan Menteri (pusat). Sehingga pada prakteknya kewenangan Gubernur dalam penyelesaian permasalahan batas wilayah antar Kabupaten/Kota tidak bersifat final dan bisa dikatakan dapat menghambat proses percepatan yang telah dibangun oleh Provinsi.

Saran

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang telah dilaksanakan, berikut proses perbaikan yang

berkelanjutan (continuous improvement process). Adapun saran-saran yang dapat

penulis berikan terkait dengan temuan pada hasil penelitian ini antara lain adalah : 1. Terkait tumpang tindih dan kontradiktif isi pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tersebut dan juga peraturan-peraturan diatasnya, maka perlu diusulkan kepada Menteri untuk merivisi isi peraturan terserbut, yang mana sebagiknya guna mempercepat proses penyelesaian permasalahan batas antar kabupaten/kota adalah wewenang gubernur yang bersifat final, tidak harus berdasarkan Keputusan Menteri.

2. Para implementator kebijakan penegasan batas daerah harus meningkatkan

kemampuan terutama personil teknis melalui diklat,bimbing teknis maupun sosialisasi kebijakan dan prosedur pelaksanaannya agar lebih terkoordinasi dan sistematis sehingga mampu memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dengan demikian keputusan yang dibuat tidak menabrak aturan lain.

3. Mengatasi adanya usaha dari luar yang mempunyai tujuan tertentu untuk mempengaruhi masyarakat yang ada di perbatasan untuk merubah kesepakatan yang telah dibangun dengan alasan pelayanan publik, maka perlu dibangun adanya komunikasi yang intens antara pihak pemerintah dengan masyarakat melalui sosialisasi dan

(9)

Daftar Pustaka

Anonimus, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah Terhadap Percepatan Penyelesaian Batas Wilayah Antar Kabupetan/Kota di Provinsi Kalimantan Timur. Biro Perbatasan, Penataan Wilayah Dan Kerjasama, Setda Prov. Kaltim 2015.

Laporan Perkembangan Penegasan Batas Daerah Di Provinsi Kalimantan Timur. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Nawawi, Hadari. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang

Kompetitif. Gadjah Mada University Pers: Yogyakarta.

Nurdin Usman. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. PT. Raja

Grafindo Persada: Jakarta.

Thoha, Miftah. 1990. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya.

Rajawali Press, Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1993. Teori Strategi Pembangunan Nasional. Gunung Agung: Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai perizinan perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi yang berlaku

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, perlu

Dalam perjalanannya bahasa-bahasa tersebut mengalami perubahan dengan polanya sendiri (Bynon 1979 dalam Burhanuddin dkk., 2005). Perubahan tersebut tetap mewarisi

Sifat suatu zat kimia ditentukan oleh sifat molekul yang membentuknya, yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika seperti mekanika kuantum, termodinamika, dan

D.. historis, yang akan diterapkan melalui konten-konten yang informatif serta transformasi karakter dan kebudayaan setempat. Sentra UKM juga akan memiliki nilai

Penambahan jumlah armada penangkapan ikan akan berpeluang meningkatkan potensi konflik antar nelayan (Satria 2009). Adanya keharmonisan di antara berbagai nelayan dari

Jika ditinjau dari kondisi hujan dan tidak hujan terhadap kendaraan uji yaitu sepeda motor dan mobil menyatakan bahwa hasil penelitian kedua kendaraan tersebut memiliki

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas