• Tidak ada hasil yang ditemukan

رجأ هلف ءاطخأ مل دهتجأف مكح اذإو نارجأ هلف باصأ مل دهتجاف مكاحلا مكح اذإ .ملسمو ىراخبلا هاور

Dalam dokumen USHUL FIKIH - Repository UIN Sumatera Utara (Halaman 73-78)

69

Artinya : “Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila dia memutuskan dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka ia hanya mendapat satu pahala.75

Dari segi dalil aqli dikemukakan sebagai berikut:

Kehidupan umat manusia tambah maju dan semakin kompleks, sehingga muncul berbagai kasus baru, sedang penetapan hukumnya tidak ditemukan secara tegas dalam Al-Qur`an maupun dalam hadis. Apabila ijtihad tidak diperbolehkan tentu terlalu banyak kasus yang tidak mendapat penyelesaian hukum dan kita yakin bahwa syariat Islam tidak membolehkan penganutnya mendiamkan kasus-kasus tersebut.

Ijtihad dilakukan apabila menghadapi suatu masalah yang memerlukan penetapan hukum syara’ sedang pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Sunnah tidak ditemukan secara tegas penetapan hukumnya, begitu juga ijma’ sahabat belum ada yang membicarakannya.

75 Muslim, Shahih al-Muslim, cet I, (Bandung: Dahlan, t.th.) hlm. 62

70

Ulama-ulama yang boleh bahkan wajib melakukan ijtihad adalah yang sudah ahli, seperti pada zaman Imam mujtahid yang empat. Pendapat-pendapat yang mereka kemukakan baik berupa qiyas, termasuk ijtihad. Begitu juga pendapat-pendapat yang tidak termasuk dalam qiyas seperti istihsan yang digunakan oleh Imam Hanafi atau maslahat mursalah oleh Imam Maliki dan pengikutnya termasuk ijtihad. Para Imam mujtahid melakukan ijtihad dalam rangka menuntun umat berada dalam batas-batas yang ditetapkan hukum syara’.

Dapat disimpulkan bahwa ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam. Lebih lanjut dapat dipahami bahwa ijtihad berfungsi melahirkan ketenteraman bagi umat karena masalah yang mereka hadapi mendapat penyelesaian berdasarkan ijtihad tersebut.

B. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad

Ijtihad dilakukan apabila menghadapi suatu masalah yang memerlukan penetapan hukum syara’ sedang pada ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis tidak ditemukan secara tegas penetapan hukumnya, begitu juga ijma’ sahabat belum ada yang membicarakannya.

Ulama-ulama yang boleh bahkan wajib melakukan ijtihad adalah yang sudah ahli, seperti pada zaman mujtahid yang empat. Pendapat-pendapat yang mereka kemukakan baik berupa qiyas, termasuk ijtihad. Begitu juga pendapat- pendapat yang tidak termasuk dalam qiyas seperti istihsan yang digunakan oleh Imam Hanafi atau maslahat mursalah oleh Imam Maliki dan pengikutnya termasuk ijtihad. Para Imam mujtahid melakukan ijtihad dalam rangka menuntun umat berada dalam batas-batas yang ditetapkan hukum syara’.

Dapat disimpulkan bahwa ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam. Lebih lanjut dapat dipahami bahwa ijtihad berfungsi

71

melahirkan ketenteraman bagi umat karena masalah yang mereka hadapi mendapat penyelesaian berdasarkan ijtihad tersebut.76

C. Objek Ijtihad

Objek ijtihad adalah masalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qat’iy. Apabila ada nas yang keberadaannya zanniy seperti hadis ahad maka yang menjadi lapangan ijtihad dalam hal ini adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya dan lain-lain. Manakala ada nas yang petunjuknya zanniy, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah bagaimana maksud nas tersebut dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, kaidah ‘am, khas dan lain-lain. Berkenaan dengan masalah syara’ yang tidak ada nasnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah seluk-beluk masalah tersebut secara keseluruhan.77

Para ulama Ushul Fikih telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat dan hadis-hadis yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (qathì), Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak di benarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al- Qur`an dan Sunnah. Misalnya kewajiban melakukan salat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Adapun hal-hal yang menjadi lapanan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah Saw. atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikatagorikan kepada tiga macam yaitu: Pertama, hadis Ahad. Kedua, lafal-lafal Al-Qur`an dan Hadis yang menunjukkan pengertian zhanni (tidak tegas). Ketiga, masalah-masalah

76Kamal Mukhtar, dkk., Jilid I, op.cit., hlm. 122

77Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 107

72

yang tidak ada teks ayat atau hadis dan tidak ada pula ijma`yang menjelaskan hukumnya.78

Bertitik tolak dari pengertian ijtihad yang dikemukakan di atas, maka diketahui bahwa lapangan ijtihad adalah penggalian hukum-hukum syara’ dari nash, karena itu obyek langsungnya adalah nash-nash yang zanniy. Masalah hukum yang ditetapkan dengan dalil-dalil yang qat’iy al-subut (pasti penyampaiannya) dan qat’iy al-dilalah (pasti tunjukan kandungannya) tidak termasuk dalam lapangan ijtihad.

Apabila pengkategorian nash yang menjadi titik tolak batasan ijtihad, yang diidentifikasikan ke dalam dua bidang besar hukum Islam (ibadah dan mu’amalah), maka terlihat bahwa sebagian besar masalah yang ditunjukkan oleh nash-nash yang zanniy adalah masalah yang termasuk dalam bidang mu’amalah, sedangkan masalah yang termasuk dalam bidang ibadah diatur dengan nas-nas yang qat’iy dan rinci, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Hadis.

Berbeda dengan nash-nash dalam bidang ibadah, nash-nash dalam bidang mu’amalah sebagian besar dalam bentuk prinsip-prinsip umum yang diidentifikasikan dengan zanniy. Keberadaannya dalam bentuk zanniy dimaksudkan untuk dapat dikembangkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, yang tidak lepas dari perubahan dan tuntutan tempat dan waktu. Apabila ibadah dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal tentang kemaslahatannya, maka mu’amalah merupakan sesuatu yang ma’qul al-ma’na (akal manusia dapat menjangkau dan menggali) tentang kemaslahatan yang dikandungnya. Keharusan tentang keterlibatan pemikiran manusia dalam bidang mu’amalah ditegaskan Nabi dalam salah satu hadisnya:

78Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2005,) hlm. 250.

73

Dalam dokumen USHUL FIKIH - Repository UIN Sumatera Utara (Halaman 73-78)