• Tidak ada hasil yang ditemukan

هريغو دواد وبا هاور( يدعب نم نيدشارلا ءافلخ ةنسو ىتنسب مكيلع

Dalam dokumen USHUL FIKIH - Repository UIN Sumatera Utara (Halaman 83-87)

Artinya: “Wajib turuti sunnahku atau caraku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (H.R.Abu Dawud dan lainnya).”

b) Tujuan Ittiba`

Dengan adanya Ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

90Kementerian Agama RI, op.cit, hlm. 408

91Ramayulis, Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqih, hlm. 208

79 c) Jenis-jenis Ittiba`

i. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya

Ulama sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. “ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. al-A`raf 7: 3). Mengutip buku Fiqh dan Ushul Fiqh oleh Dr. Nurhayati, dkk., posisi ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Ittiba dapat menjadi syarat diterimanya amal, bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat utama orang-orang yang shalih.

ii. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat tentang ittiba` kepada ulama atau para imam mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, yaitu :

Berkata Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba` itu adalah seorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi Saw. dan para sahabatnya”. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh itiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Swt. dalam surah al-nahl (16): 43 yang artinya: “Maka bertanyalah kepada orang- orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Yang dimaksud dengan “orang orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al- dzikri) adalah orang orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan al-hadis serta bukan pengetahuan

80

berdasarkan pengalaman semata. Berbeda dengan seorang

“Mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang -orang yang benar- benar mengetahui ajaran agama Islam.

d) Kedudukan Ittiba’

Dalam Islam Ittiba' kepada Rasulullah Saw. mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah: Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah Saw. adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1) Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.

2) Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah Swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah Swt.

semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah Saw., niscaya amal itu akan diterima oleh Allah Swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah Swt.

3. TAQLID

a) Pengertian Taqlid

81

Kata “taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata بدنغةت (taqlid) yaitu: ب دغق (qallada), دغةن (yuqallidu), ادنغةت (taqliidan), artinya bermacam- macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti menghiasi, meniru, menyerahkan, mengikuti dan sebagainya.

Taqlid adalah mengikuti atau meniru pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber, alasan dan tanpa adanya dalil. Menurut istilah menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqalid.92

Para ulama yang lain seperti Imam al-Ghazali, asy-Syaukani, ash- Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudarat dari hukum itu”

b) Syarat-syarat Taqlid

Syarat-syarat taqlid dapat dibagi dua, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat orang yang di taqlidi.

 Syarat ber-taqlid :

Orang yang diperbolehkan untuk bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengetahui cara-cara mencari hukum syari`at. Ia boleh mengikuti pendapat orang yang pandai dan mengamalkannya.

92A.Hanafi, op.cit., hlm. 157

82

Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum- hukum syari`at maka harus berijtihad sendiri, bila waktunya masih cukup. Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

 Syarat-syarat orang yang ditaqlidi

Syarat orang yang ditaqlidi terbagi menjadi dua hukum yaitu : A. Hukum akal

Dalam hukum akal tidak boleh ber-taqlid kepada orang lain seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat- sifatnya dan hukum akal lainnya. Karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedangkan setiap orang punya akal. Jadi tidak ada gunanya jika bertaqlid dengan orang lain.

Allah Swt. mencela taqlid, sebagaimana firman-nya :

اولاق الله لزنا ام اوعبتا مهل ليق اذإو

Dalam dokumen USHUL FIKIH - Repository UIN Sumatera Utara (Halaman 83-87)