أ َن ِم ُت ْؤا ي ِذ َّ
لا ِّد َؤُيْلَف ا ًض ْعَب مُك ُض ْعَب َنِم َ أ ْ
ن ِإ ف َ
“Maka jika kamu mempercayai sebagian se- bagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya….”
Dalam ayat ini terdapat lafal amr dalam bentuk fi‘il mudhari‘ yang dimasuki lam- amr sebagai jawab syarat fa‘ dari kalimat sebelumnya. Pada dasarnya lafal amr menunjukkan wajib sebagaimana kaidah:
Pada dasarnya amr menunjukkan wajib.
Namun ketentuan ini berlaku selama tidak ada qarinah yang memalingkannya kepada makna lain. Dalam ayat ini terdapat qarinah lain yang menunjukkan bahwa makna lafal ini adalah nadb (sunnah), yaitu sebelum perintah ini. Allah mengungkapkan pula kemungkinan lain dari yang diperintahkan-Nya itu, yang bisa dilakukan pula jika kondisinya sesuai dengan pilihan tersebut. Pilihan itulah qarînah yang menurunkan bobot pesan
perintahnya, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pesan hukum yang dikemukan perintah ter- sebut bukan wajib, tetapi nadb. Atas dasar sifatnya yang nadb ini, maka wadiah termasuk akad yang tidak lazim (mengikat), kedua belah pihak dapat mem- batalkan perjanjian ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, memberikan pertolongan itu adalah hak dari wâdi‘. Jika yang bersangkutan tidak bersedia, maka tidak ada keharusan baginya untuk menjaga titipan. Di samping menggunakan metode bayani, DSN-MUI juga menggunakan metode ta’lîlî dalam keputusan fatwanya dengan ber- pegang kepada illat istihsâni. Berdasarkan illat qiyâsi, maka seharusnya wadiah yang dijadikan ashal untuk menganalogikannya dengan giro adalah wadî’ah yad al-amânah, dimana pihak bank sekedar menyimpan dana nasabah untuk tujuan keamanan dana tersebut sebagaimana illat amanah yang disinggung oleh dalil-dalil di atas yaitu titipan untuk dijaga dan dipelihara. Akan tetapi dalam hal ini, fatwa beralih dari hasil qiyas zhâhir kepada qiyas khâfi, yakni beralih dari hasil qiyas yang kuat kesamaan illat-nya dengan ashal, namun kurang kuat relevansinya dengan kebutuhan sosial, kepada hasil qiyas yang lemah kesamaan illat-nya dengan ashal, namun kuat relevansinya dengan kebutuhan sosial. Sehingga giro di-qiyas-kan kepada wadîah yad al-dhamanah yang dilihat dari sifatnya ber- illat khafi karena ada sedikit perbedaan dengan illat ashal dalam hal kebolehan pengguna- an harta/barang titipan, namun lebih kuat relevansinya dengan kebutuhan sosial.
c. Giro berdasarkan mudhârabah
Dalam menetapkan hukum giro berdasarkan mudharabah ini, DSN-MUI menggunakan metode ta‘lili dengan bersandar kepada illat qiyasi untuk menganalogikan giro dengan mudhârabah. Namun apabila karakteristik dari kedua akad ini diperbandingkan maka akan terlihat perbedaan setidaknya dalam dua hal. Karakteristik giro adalah penitipan dana demi keamanan dan fleksibilitas waktu pengambilan. Sedangkan karakteristik mudharabah adalah penyertaan dana dalam suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dengan kemungkinan menanggung
resiko. Dari segi waktu penarikan, sifat giro yang memungkinkan penarikan dilakukan setiap saat tidak dapat diqiyaskan kepada akad mudhârabah yang menghendaki adanya suatu rentang waktu tertentu untuk memutar dana agar menghasilkan keuntungan. Dari segi jaminan dana, karakteristik wadiah sebagai akad dhamânah adalah menjamin seratus persen dana yang dititipkan, sebagai- mana hadis:
“Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Hal ini tentu tidak dapat diqiyaskan kepada mudharabah yang menghendaki sang shahibul mal menanggung resiko kerugian dari dana yang dinvestasikannya tersebut. Maka dalam hal ini fatwa DSN-MUI yang meng-qiyas-kan giro kepada mudharabah tidaklah tepat karena adanya perbedaan illat antara ashal dengan furu‘.
Inilah salah satu jenis qiyas yang disebut oleh Yusuf Qaradhawi sebagai qiyas yang tidak pada tempatnya.
2. Analisis Istimbath Fatwa NO. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
Murabahah didefenisikan sebagai ‘menjual barang dengan harga pembeliannya ditambah dengan keuntungan tertentu.158 Pada transaksi ini penjual harus memberitahukan pembeli harga beli barang dan menetapkan jumlah keuntungan yang ditambah kepada harga beli.159 Sedangkan fatwa mendefinisikan murabahah sebagai ‘menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
158Al-Sayyid Sabiq, (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), VolIII, hlm. 149
159Mengenai item-item yang dapat ditambahkan pada harga beli Malik merinci menjadi tiga: a. harga pokok yang bisa mark-up, yaitu item-item yang tidak mempeengaruhi barang sperti jahiutan dan celupan b. harga pokok yang tidak bias di mark-up, yaitu item-item yang tidak mempengaruhi barang, yaitu hlm.-hlm. yang bukan termasuk konstribusi seperti ongkos transportasi c.
tidak termasuk harga pokok, dan tidak bias di mark-up seperti jasa makelar, sedangkan menurut abu Hanifah mark-up bias dilakukan terhadap ketiga item, lihat Muhammad Ibn Ahmad Muhammad Ibn Ahmad Ibn rusyd, bidayat al- mujtahid wa nihayat, al-muqtashid, (semarang: Usaha Keluarga, t.th) J.II,hlm.166
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba’160.
Dalam menetapkan kebolehan murabahah ini DSN-MUI Syariah Nasional menggunakan pendekatan metodologi istimbath bayani dengan berdalil kepada ayat:
اوَب ِّرلا َم َّر َح َو َعْيَبْلا ُ ّٰهللا َّل َح َ أ َو
” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah [2]: 275)
Dalam ayat ini lafal al-bay’adalah isim mufrad dengan al- jinsiyah. Oleh karena itu ia merupakan lafal ‘am yang mencakup seluruh satu-satunya yang dapat dimasukan ke dalam pengertian al-bai termasuk ba’i al-murabahah ini.
Namun demikian sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang ada, bank tidak dimungkinkan berfungsi juga pula sebagai retailer dengan memiliki persediaan barang untuk dijual.
Maka dalam prakteknya yang diterapkan bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan pembelian. Imam syafi’I menamai transaksi sejenis ini dengan istilah murabahah al-amir bi al-syira’ (murabahah to the purcase orderer ).161 Dalam murabahah sejenis ini dua pihak atau lebih salinbg bernegosiasi dan berjanji untuk melaksanakan kesepakatan dimana pemesan meminta pembeli membeli asset yang selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga pokok ditambah keuntungan.162
Pada dasarnya ada dua alasan mengapa transaksi murabahah ini dilakukan pertama, untuk mencari pengalaman, satu pihak yang berkontrak ( pemesan pembelian ) meminta pihak lain (pembeli)
160Dewan Syariah Nasional, Pedoman Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta:
DSN-BI, 2001), hlm. 21
161Muhammad Ibn Idris al-Syafi’ I, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1393 H ), J VII, hlm. 105
162AAOIFI, “ Jurilistic Rule For the Transactions of Murabahah to the purchase Orderer “. Accounting Auditing, and Governance Standars for Islamic Financial institutions, (Bahrain, AAOIFI, 2000), hlm.149.
untuk membeli sebuah asset. Pemesan berjanjin untuk asset tersebut untuk membelinya keuntungan. Pemesan memilih sistem pembelian ini lebih karena ingin mencari informasi dibanding alas an kebutuhan yang mendesak terhadap asset tersebut. Kedua, mencari pembiayaan. Pemesan meminta pembeli untuk membeli asset dan berjanji untuk membelinya ditambah keuntungan, dengan persyaratan pembeli menjual asset tersebut kepadanya secara cicilan. Pembelian secara cicilan merupakan motif utama dari pembiayaan murabahah.163 Dan dalam prakteknya murabahah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan adalah murabahah yang dilakukan secara cicilan (al-bay bi al-tsaman al-ajil).164
Pada dasarnya penjualan secara cicilan bukanlah kondisi murabahah. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan di atas, pembiayaan secara cicilan merupakan motif utama orang transaksi dengan bank. Maka didasarkan atas kebiasaan yang berlaku inilah, fatwa menetapkan kebolehan murabahah yang dilakukan secara cicilan.
Dalam menetapkan hukum ini DSN-MUI menggunakan metode istishlahy dengan berdasar pada kebiasaan dunia perbankan yang melakukan transaksi secara cicilan. Oleh karena kebiasaan ini tidak bertentangan dengan nash maka ia dianggap sebagai ‘urf shahihah yang dapat diadopsi. Selain itu jual-beli secara cicilan bukanlah suatu yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits: