• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyusunan Naskah Akademik

Dalam dokumen ASPEK HUKUM - Perbankan Syariah (Halaman 34-38)

Naskah akademik (academic paper atau academic draft) disebut juga rancangan akademik, naskah rancangan undang- undang, atau naskah akademik rancangan undang-undang.20 Ia adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan obyek, dan

19Laporan Ketua Komisi XI pada Rapat Paripurna ke 36 masa sidang IV, Selasa, 17 Juni 2008, disampaikan oleh Awal Kusumah, Ir. M.Si.

20Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2007), j. 2, hlm. 241

arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.21 Namun demikian, keberadaan naskah akademik dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang baru sebatas alternatif. PP No. 68 Tahun 2005 dan SK DPR. No. 08/DPR RI/1/2005-206 tentang Tata Tertib DPR RI Pasal 121 angka 5, Pasal 125 ayat 1, dan Pasal 134 ayat 1 tidak secara tegas mengharuskan menyusun naskah akademik guna pembentukan undang-undang. PP dan SK. DPR RI hanya menjelaskan makna naskah akademik.

DPR menyusun naskah akademik sebagai persiapan pembentukan RUU Perbankan Syariah. Ia merupakan pengantar prakarsa pembuatan RUU Perbankan Syariah yang akan diajukan kepada pemrakarsa. Di samping itu, naskah akademik RUU Perbankan Syariah berfungsi sebagai pemberi alasan ilmiah mengenai pentingnya penyusunan RUU tersebut. Hal ini karena ia mengandung konsep-konsep yang mengacu kepada tuntutan masyarakat yang mendambakan terwujudnya sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan dan keadilan di atas pilar prinsip syariah.22

Naskah Akademik RUU Perbankan Syariah meliputi lima bab. Bab | berupa pendahuluan, memuat: latar belakang, landasan hukum RUU, tujuan dan manfaat penyususnan naskah akademik, dan metode serta pendekatan. Latar belakang mengemukakan pentingnya pembentukan undang-undang perbankan syariah, baik dilihat dari sisi sistem ekonomi, sosiologis, maupun agama.

Bab II adalah kerangka konseptual. Bab ini mengemukakan tiga hal: pertama, landasan teori perbankan syariah sebagai alternatif dari perbankan syariah. Landasan ini memuat empat hal: (a) kritik atas teori ekonomi konvensional: (b) ekonomi berdasarkan prinsip syariah sebagai alternatif, (c) prinsip syariah dan karakteristiknya, serta (d) fiqih sebagai aplikasi dari syariah.

Kedua, konsep ekonomi syariah sebagai sistem: ia memuat, (a) filsafat sistem, (b) Prinsip dasar ekonomi syariah: dan (c) prinsip- prinsip perbankan syariah.

21Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, Pasal 1 angka 7.

22DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, (Jakarta: DPR, 2007), hlm. 10 dan 20-21.

Bab III berupa perkembangan Bank Syariah dan kedudukannya dalam sistem perbankan nasional. Bab ini memuat tiga sub bab:

pertama, perkembangan perbankan syariah: kedua, perkembangan perbankan syariah di Indonesia, dan ketiga, kedudukan perbankan syriah dalam sistem perbankan nasional. Bab IV memuat urgensi diperlukannya undang-undang perbankan syariah tersendiri. Dalam bab ini dikupas lima sub bab: pertama, peluang dan tantangan perbankan syariah dalam mendukung proses percepatan pembangunan ekonomi nasional: kedua, urgensi dari aspek ekonomi: ketiga, urgensi dari aspek yuridis: keempat, urgensi dari aspek sosial politik: dan kelima, urgensi regulasi berdasarkan praktik negara lain.

Bab V mengupas substasi pengaturan dalam RUU Perbankan Syariah. Bab ini meliputi dua hal: uraian umum dan materi pengaturan. Uraian umum memuat asas dan norma hukum yang tertuang dalam RUU. Norma bersifat mengatur, menyuruh, melarang, membolehkan, membatasi kegiatan transaksi perbankan syariah, mengarahakan perkembangan perbankan syariah, serta memberikan sanksi bagi pelanggar.

Materi pengaturan meliputi: pertama, otoritas pengaturan perbankan syariah berada di tangan BI. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 8 jo Pasal 24: kedua, otoritas pengawas perbankan syariah ialah BI. Namun karena perbankan syariah memiliki kehusususan, yaitu aspek syariah, maka naskah akdemik mengharapkan pemegang otoritas untuk menunjuk lembaga mana yang mengawasi bidang administrasi dan lembaga mana yang mengawasi bidang kepatuhan terhadap ketentuan syariah: ketiga, tujuan dan fungsi perbankan syariah: keempat, asas-asas perbankan syariah: kelima, kekhususan wilayah kerja, sektor ekonomi, jenis kegiatan usaha, kelompok masyarakat yang dilayani Bank Syariah:

keenam, perizinan pendirian dan operasionalisasi kegiatan usaha Bank Syariah, ketujuh, bentuk-bentuk badan hukum yang dibolehkan untuk pendirian Bank Syariah: kedelapan, struktur organisasi dan manajemen: kesembilan, sumber modal dan jumlah modal minimal bagi pendirian Bank Syariah, kesepuluh, syarat-syarat kepemilikan

Bank Syariah: kesebelas, jenis-jenis kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Bank Syariah: keduabelas, rambu- rambu kesehatan dan kewajiban menjaga risiko, ketigabelas, syarat-syarat menjadi pengurus Bank Syariah: keempatbelas, syarat-syarat dapat diberhentikan sebagai pengurus Bank Syariah:

kelimabelas, pihak-pihak yang dapat menggunakan Bank Syariah:

keenambelas, pembentukan dan pengembangan pasar keuangan bagi perbankan syariah: ketujuhbelas, bentuk-bentuk instrumen pasar keuangan: kedelapanbelas, bentuk, syarat, dan ketentuan akad transaksi jasa perbankan syariah, kesembilanbelas, ketentuan mengenai kemungkinan “Bank Syariah go public: keduapuluh, merger, konsolidasi, akuisi saham, kepailitan, pembubaran, dan likuidasi Bank Syariah: keduapuluh satu: tindakan penyehatan Bank Syariah: keduapuluh dua: pembentukan dewan pengawas syariah:

keduapuluh tiga, pembentukan dewan syariah nasional: keduapuluh empat: sanksi pidana dan administrasi bagi pengurus Bank Syariah:

keduapuluh lima, sanksi perdata dan Penyelesaian perselisihan: dan keduapuluh enam, perpajakan Bank Syariah.

Secara umum, materi fiqih muamalah yang termuat dalam UU No. 21 terdapat dalam Pasal 1, 19, dan 21. Materi ini ditetapkan dalam UU setelah sebelumnya dilakukan pembahasan, baik di ranah penyusunan naskah akademik maupun di ranah pembuatan RUU perbankan syariah. Dalam naskah akademik, materi itu belum secara spesifik ditempatkan di pasal dan ayat tertentu, tetapi baru sebatas kerangka konseptual seperti digambarkan di Bab II. Sub. B tentang konsep ekonomi syariah. Naskah akademik menempatkan al-tauhid sebagai pilar utama ekonomi syariah yang melahirkan beberapa prinsip seperti al-khilafat, al-‘adalat (keadilan), al- nubuwat (kenabian), al-ukhuwat (persaudaraan), dan al-huriyyat wa al-masaliyyat (kebebasan dan pertanggungjawaban). Di samping itu, larangan riba, kewajiban zakat, kerjasama (al-musyarakat), jaminan sosial, dan peran negara dikatagorikan oleh naskah akademik sebagai nilai instrumental ekonomi syariah. Prinsip ini diposisikan sebagai landasan dan dasar perbankan syariah dalam melakoni aktivitas berekonomi bidang perbankan.

Berdasar uraian di atas, semua transaksi usaha perbankan syariah harus sejalan dengan norma hukum Islam seperti: kemitraan (al-syirkat): kerelaan (ridhdiyat): jual beli yang halal dalam bentuk al-murabahat, al-salam, dan al-istishna”, bagi hasil dalam bentuk al- musyarakat dan al-mudharabat: dan bentuk pelayanan seperti al- ijarat, al-wakalat, alkafalat, al-hawalat, al-rahn, dan al-ujrat.23

B. Proses Masuknya Fiqih Muamalah ke dalam RUU

Dalam dokumen ASPEK HUKUM - Perbankan Syariah (Halaman 34-38)