Imam Malik dan sekelompok ulama berpendapat, boleh bagi suami untuk mengambil seluruh harta istri yang membangkang. Ibnu Athiyah berpendapat bahwa zina lebih sulit bagi suami dari membangkang dan lebih menyakiti dan setiap perbuatan keji tersebut membolekjan bagi suami mengambil harta.
Ath-Thabari berpendapat bahwa makna keji disini yakni semua perbuatan keji berupa kata-kata kotor yang diucapkan kepada suaminya, menyakiti fisiknya, dan berbuat zina. Dan dalam bacaan qirâ’âtnya ath- Thabari menganggap semuanya benar.
Al-Qurthubi menyatakan semakna dengan hal ini apa yang terdapat dalam shahih Muslim, Abu Huraira ia berkata Rasulullah bersabda:
ﻲِﻨَﺛﱠﺪَﺣﻭ
ُﻢﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ
Ibnu al-Arabi menyebutkan, Abu al-Qasim bin Habib mengabarkan kepadaku di al-Mahdiyah, dari Abu al-Qasim bin as- Suri, dari Abu Bakar bin Abdurrahman, ia berkata: Syaikh Abu Muhammadbin Abu Ziad adalah orang alim, ia mempunyai seorang istri yang berprilaku buruk, dimana istrinya tidak memenuhi hak- haknya dan menyakitinya dengan ucapannya, ia bersabar atas perlakuan istrinya. Ia pun berkata,” saya adalah orang yang diberi kesempurnaan nikmat dengan kesehatan, pengetahuan dan apa-apa yang dipunyai tangan kanan saya, anggaplah ia adalah musibah aas diriku karena suatu dosaku, aku aku jika menceraikannya, maka akan datang musiabah yang lebih besar dari dirinya”. 25
Analisa pada ayat diatas bacaan qirâ’ât berpengaruh pada penafsiran. qirâ’ât ٍﺔَﻨِّﻴَﺒﱡﻣ “yang nyata” Nafi’ dan Abu Amr membaca dengan ya’ kasrah (yang jelas dan nyata), lain (Ibnu Kastir, Ibnu Amr,
‘Ashim, Hamzah, Al-Kisa’i) membaca ya’ dengan fathah ٍﺔَﻨﱠﻴَﺒﱡﻣ (yang dibuktikan atau dinyatakan ). Dalam ayat ini al-Qurthubi tidak menjelaskan lebih cenderung kepada bacaan siapa. Dalam penetapan hukum al-Qurthubi berbeda dengan Imam Malik dan sekelompok ulama berpendapat, boleh bagi suami untuk mengambil seluruh harta istri yang membangkang. Ibnu Athiyah berpendapat bahwa zina lebih sulit bagi suami dari membangkang dan lebih menyakiti dan setiap perbuatan keji tersebut membolekjan bagi suami mengambil harta.
Sedangkan al-Quthubi menyarankan bahwa jika istri melakukan kesalahan yang nyata maka suami maka suami harus memaafkan, bahkan ia harus memaafkan kesalahan dengan melihat kebaikan-
25 Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj.Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) jilid 6, h.232-233
kebaikannya dan mengalihkan apa yang diberikan terhadap apa yang istri suka, agar tidak terjadi perceraian.
5.
Penafsiran Qs. An-Nisa [4]: 43
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (Qs. An-Nisa [4]:43
Ayat ini oleh Allah ditunjukan khusus untuk orang-orang yang beriman, karena mereka yang melaksanakan shalat , sebab mereka terkadang mereka minum sedikit khamar, sehingga khamer
itu merusak akal mereka. Ayat ini turun untuk memperingatkan bahwa orang mukmin agar shalat jangan dengan keadaan mabuk.
Yang jelas ayat ini turun berkenaan dengan masalah khamr dan bagian akhirnya berkenaan dengan masalah shafar. 26
Para ulama tafsir berbeda pendapat tentan apa yang dimaksud al-lamsu َءٓﺎَﺴِّﻨﻟٱ ُﻢُﺘۡﺴَﻤَٰﻟ ۡﻭَﺃ “atau kamu telah menyentuh perempuan”
sebagian dari mereka berpendpat bahwa yang dimaksud adalah
“jima’/ berhubungan badan”
Firman Allah Swt, َءٓﺎَﺴِّﻨﻟٱ ُﻢُﺘۡﺴَﻤَٰﻟ ۡﻭَﺃ “ atau telah menyentuh perempuan” ter dapat perbedaan cara membaca Nafi, Ibnu Kastir,
Abu Amr, Ashim, dan Ibnu Amir membaca kalimat ini dengan
ُﻢُﺘْﺴَﻣ َﻻ bermakna al-Lamsu (Jima’)27 . Sedangkan hamzah dan al-
Kisa’i membacanya 28ْﻢُﺘْﺴَﻤَﻟ Sedang kalimat ini mempunyai tiga makna: pertama, kalimat ْﻢُﺘْﺴَﻤَﻟ bermakna jaama’tum (berjima’).
Kedua, bermakna baasyartum (bersenang-senang atau meraba-raba).
Ketiga, kalimat ini mencakup kedua makna tersebut secara bebarengan. Demikianlah makna kalimat ْﻢُﺘْﺴَﻤَﻟ berdasarkan pemahaman kebanyakan orang, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Muhammad bin Yazid, ia berkata: yang paling utama dalam segi bahasa bahwa ْﻢُﺘْﺴَﻣ َﻻ bermakna qobaltum (mencium) atau memandangnya, sebab kedua kalimat tersebut mengandung alif.
26Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir : akidah syariah dan manhaj , terj. Abdul Hayyie al- kattani, dkk, (Jakrta: Gema insani, 2013) jilid 3 h.102
27Khalid bin Muhammad al-Hafidz al-‘Ilmi dan Sayid Lâsheen Abu al-Farah, Taqribul Ma’âni fi Sharh Hirzil Amâni fil qirâ’âtil Sab’i h.231
28Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Ahmad Rijali (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Jilid. 5 h.529
Sedangkan ْﻢُﺘْﺴَﻤَﻟ bermakna ghasyaitum (memeluk) atau (menyentuh).29
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna (al-lamsu) menyentuh dalam ayat diatas. Abdullah bin Abbas berkata “al-Lams (rabaan), al-Mass (sentuhan), dan al-Ghasyaan (bergumul) adalah jima’ (berhubungan badan). Umar dan Ibnu Mas’ud berkata; makna menyentuh disini hanya dikhususkan dengan tangan sedangkan orang junub tidak disebutkan wajib membasuh tubuhnya dengan tangan tapi hanya dengan air sebab makna itu tidak dikategorikan masuk kedalam firman Allah ﻰَﺿ ْﺮﱠﻣ ْﻢٌﺘْﻨُﻛ ْﻥِﺇ َﻭ “jika kamu sakit” maka tidak ada jalan baginya untuk bertayammum, ia harus mandi junub atau meninggalkan shalat sampai menemukan air.30
Imam malik, Abu Hanifah, al-Qadhi Abdul Wahid mengatakan orang yang bersentuhan dengan tujuan jima’ maka wajib bertayammum, demikian juga orang yang menyentuh wanita dengan tangan dan menimbulkan syahwat, namun apabila menyentuhnya tanpa syahwat maka ia tidak wajib berwudhu. Hal ini juga diungkapkan oleh Ahmad dan Ishak, dan pernyataan ini merupakan implementasi dari makna ayat.
Berbeda dengan Asy-Syafi’i berkata, “Jika salah satu tubuh seorang laki-laki menyentuh badan istrinya baik dengan tangan atau selainnya maka batal wudhunya.” pendapat ini merupakan pernyataan Ibnu Mas’ud, Ibn Umar, Az-Zuhri dan Rabi’ah. AlAuza’I berkata, “ Apabila ia menyentuh dengan tangannya saja maka batal
29Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Jilid. 5 h.529
30Abu Ja’far Muhammad bin bin jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj.Ahsan Askan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Jilid.7 h.533
wudhunya dan jika ia menyentuh dengan selain tangan maka wudhunya tidak batal,” bedasarkan firman Allah ; ْﻢِﻬﻳِﺪْﻳَﺄِﺑ ُﻩﻮُﺴَﻤَﻠَﻓ “Lalu mereka dapa menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri”(Qs. Al- An’aam [6]:7)
Demikianlah pendapat dari beberapa mazhab dan yang paling berhati-hati adalah pendapat Imam Malik. Dan pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan anaknya Abdullah dan juga merupakan pendapa Abdullah bin Mas’ud yang mana ia maksud sentuhan diatas bukanlah jimak, dan orang yang melakukannya wajib berwudhu. Hal ini juga senada diungkapkan oleh mayoritas ulama fikih.
Ibnu al-Arabi berkata, pendapat ini jelas bedasarkan makna ayat sebab pernyataan awalnya,
ﺎًﺒُﻨُﺟ َﻻ َﻭ
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub’ bermakna jima’. Sedangkan makna firman Allah ِﻂِﺋﺂَﻐْﻟﺍ َﻦِّﻣ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ٌﺪَﺣَﺍَءﺂَﺟ ْﻭَﺃ ‘atau datang ketempat buang air,’ ayat ini bermakna hadas kecil. Dan firman Allah ُﻢُﺘۡﺴَﻤَٰﻟ ۡﻭَﺃٓ ٱ ﺎَﺴِّﻨﻟ
َء ‘atau kamu Telah menyentuh perempuan ‘ mengandung makna menyentuh dan mencium, jadi ayat tersebut memuat tiga hukum, andaikan maksud dari ayat itu sentuhan ketika berzina tentunya hari itu akan berulang ulang diucapkan.”
Al-Qurthubi menekankan bahwa makna menyentuh yang dimaksud adalah sentuhan yang disertai cumbuan. Al-Qurthubi mengatakan bahwa tidaklah terlarang memaknai dengan jima’
ataupun menyentuh ayat ini mencakup dua hukum sebagaimana yang telah dijelaskan, juga ada yang membaca dengan ْﻢُﺘْﺴَﻤَﻟ sebagaimana yang telah dipaparkan. Sedangkan Syafi’i menyatakan bahwa seorang suami yang menyentuh istrinya dengan salah satu anggota
tubuhnya tanpa ada penghalang diantara keduanya baik dnegan syahwat ataupun tidak maka ia wajib berwudhu bedasarkan zahir ayat. Begitupun bila istri menyentuh rambut suami dengan syahwat maupun tidak maka baginya tidak wajib berwudhu.
Ath-Thabari berpendapat bahwa pendapat yang paling benar pada lafadz al-lamsu adalah bermakna jima’, karena informasi tersebut benar berasal dari Rasulullah , bahwa setelah beliau mencium dari istrinya beliau shalat dengan tidak berwudhu.31 Seprti yang tercantum dalam hadis dibawah ini;