• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Tanaman dan Lingkungannya

2.4.2. Air Untuk Pertumbuhan

Manfaat air. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan. Kajian tentang pentingnya air bahkan sudah mulai sejak Aristoteles yang berpendapat makanan bagi tumbuhan merupakan larutan yang tersedia di dalam tanah dimana tumbuhan dapat mengabsorbsinya. Sejumlah teori tentang keberadaan air khususnya bagi tanaman disusun hingga kemudian Hendri Joachim Dutrochet (1776 – 1847) meletakkan dasar teori osmotik untuk menjelaskan bahwa air pada tanaman lebih berprinsip pada peristiwa fisik. Sebelumnya, pendapat-pendapat menyatakan air pada tanaman merupakan gaya vital (vital forces).

Bagi tanaman, air bukan saja sebagai pelarut molekul (seperti garam, gula atau asam amino), tetapi juga merupakan unsur penting untuk membangun sel, pembentukan struktur protein dan struktur selaput (Volkmar dan Woodbury, 1995). Begitu pentingnya air bagi tanaman, sehingga sejumlah besar penelitian mencoba menetapkan suatu metoda untuk menghitung kebutuhan air dan batas-batas ketersediaan air (di tanah) untuk pertumbuhan.

Martin et al (1989) misalnya mengumpulkan sejumlah metode seperti total potensial air daun, potensial osmotik daun, resistensi difusi daun (Leaf Diffusive Resistance = LDR), kandungan air relatif (Relative Water Content = RWC), laju kehilangan air daun, modulus elastisitas, suhu daun, dan perbedaan suhu udara – tajuk, sebagai parameter-parameter yang menggambarkan keadaan air tanaman. Demikian juga Hattendorf et al (1988) mengutip Idso et al (1977) dan Idso et al (1981) dengan konsep Stres Degree Day (SDD) melalui pendekatan perbedaan suhu tajuk dan suhu udara serta Crop Water Stress Index (CWSI). Teknik budidaya untuk mengendalikan kehilangan air pun dikembangkan, seperti pemberian mulsa yang mampu mengurangi evaporasi sampai kepada penggunaan anti transpirasi atau penggunaan material pengabsorbsi air.

Tinjauan umum

Siklus air bumi. Teorinya jumlah air yang ada di permukaan bumi tidak pernah akan habis.

Proses pengaliran, perkolasi, evaporasi, dan peristiwa presipitasi di bumi menunjukkan air berada pada satu siklus yang berhubungan.

Persoalannya, air menjadi masalah besar oleh karena dua hal utama. Pertama, distrubusi air pada permukaan bumi terutama daratanya ternyata tidak seimbang. Kedua, pengelolaan sumber alam tanpa kaidah ekologi telah menyebabkan perubahan siklus dan keterbatasan jumlahnya pada saat dibutuhkan. Teknik budidaya masa depan bukan saja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air sesuai jumlahnya pada saat yang tepat bagi tanaman, tetapi diharapkan juga sebagai suatu pengelolaan yang mampu memperbaiki siklus air dari

37 suatu kawasan. Siegert (1995) menunjukkan air sesungguhnya dapat disimpan dalam berbagai teknik, khususnya pada wilayah-wilayah yang sangat terbatas ketersediaan airnya.

Sifat fisik dan kimia utama. Sebagai material fisik, sejumlah sifat fisik air merupakan pedoman yang harus dipertimbangkan sehingga air dapat dikelola sebaik mungkin. Sebagai material kimia, molekulnya mampu untuk bereaksi dalam sejumlah reaksi biokimia.

Jumlahnya pada tanaman.

Sumber utama air. Sumber utama air bagi tanaman adalah presipitasi. Pendekatan curah hujan untuk menetapkan tipe iklim khususnya yang sesuai untuk pengelolaan padi misalnya telah dikembangkan Oldeman et al (1979). Ini menjadi dasar dalam teknik budidaya konvensional untuk memulai penanaman pada musim hujan atau pewilayahan tanaman.

Tabel 2.19. Curah hujan optimum dan lamanya bulan kering untuk beberapa tanaman perkebunan

Tanaman Curah hujan optimum

(mm/bulan)

Lamanya bulan kering (bulan)

Karet 2500 – 4000 0

Kelapa 1250 – 2500 3 – 4

Kelapa sawit 2000 – 3000 0 – 1

Kopi 2000 – 3000 2 – 3

Teh 2500 – 4000 0

Kakao 1500 – 2500 0

Sumber : Darwin (1992)

Pada saat hujan turun, sejumlah air tersimpan oleh tanaman, yang besarnya ditentukan oleh habitus dan keadan vegetasi permukaan. Ini berarti di dalam kawasan pertanian, usaha- usaha konservasi air memang diperlukan. Tanaman dengan habitus kecil misalnya, meneruskan air lebih besar ke tanah sehingga tanpa tindakan konservasi akan menimbulkan erosi. Sebaliknya pada perkebunan karet yang permukaan tanahnya ditanami dengan tanaman penutup tanah mampu menampung air hujan lebih besar dari 98% curah hujan (Thomas, 1996).

Kandungan air tanaman. Berapa banyak air yang ada pada tanaman sangat ditentukan oleh jenis jaringan, umur jaringan tanaman, faktor-faktor yang mempengaruhi suplai air, faktor- faktor yang mempengaruhi air hilang, dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah larutan di dalam jaringa (dan sel) (Curtis dan Clark, 1950). Data-data pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa 80 – 90% dari jaringan tanaman mengandung air. Biji yang kering alami sekali pun masih mengandung air 6 – 10% (Curtis dan Clark, 1950). Demikian juga buah pisang yang berumur 105 hari setelah bunga mekar kandungan airnya mencapai 70,13%

(Warda et al, 1993). Tomat bahkan mengandung air 90 – 95% (Curtis dan Clark, 1950) dan markisa 82,04% (Thamrin et al, 1993).

38 Resiko pada keadaan ekstrim. Resiko pada keadaan ekstrim dari air umumnya berkatian dengan keterbatasan air yang dibutuhkan oleh tanaman. Walaupun istilah yang digunakan untuk keadaan ini lebih bersifat meteorologi, tetapi sejumlah penelitian mencoba menguak proses asimilasi dan pertumbuhan dalam kepentingan ilmu-ilmu pertanian. Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang (1980) menyusun dampak dari keadaan ekstrim dalam tiga kategori, masing-masing stres air dengan tingkat kecil sampai sedang, stres air pada tingkat yang intensif dan stres air pada tingkat sangat intensif. Ketiganya berdampak kepada terhambatnya biosintesis sampai kepada kematian tanaman.

Persoalannya, sampai pada keadaan bagaimanakah stres air menimbulkan dampak bagi tanaman. Pendekatan yang dilakukan untuk menetapkannya adalah dengan mengukur potensial air lingkungan tanaman. Plaut (1995) berpendapat bila potensial air -1 MPa sampai - 3 MPa, maka keadaan itu sudah menunjukkan dampak bagi tanaman, walaupun keadaan ini juga ditentukan oleh spesies, varietas/galur, atau tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung. Tetapi pada umumnya tanaman melakukan cara untuk dapat resisten pada keadaan stres air yaitu proses asimilasi dan pertumbuhan yang menghindari keadaan stres air, adaptasi morpologi, adaptasi fisiologi, dan alterai metabolisme (Artlip dan Funkhaouser, 1995). Yang penting dipertimbangkan dari keadaan stres air ini adalah berperannya radiasi dan temperatur yang mempengaruhi besarnya transpirasi (Plaut, 1995).

Fisiologi. Keterbatasan air menjadikan sejumlah asimilasi menjadi terhambat. Berkurangnya ketersediaan air tanah terutama mempengaruhi aktivitas fisiologi. Pengaruh langsung keadaan stres air pada aspek fisiologi tanaman adalah sebagai dampak dari berkurangnya luas daun (Hsiao, 1973) dan penataan stomata sehubungan dengan pengendalian transpirasi (Itani et al, 1992). Keadaan ini juga didapati pada tanaman tahunan, seperti kakao. Orhchard (1984) membuktikan bahwa terbatasnya ketersediaan air bagi tanaman kakao mengakibatkan dua adaptasi fisiologi. Pertama, pengendalian tekanan osmotik daun, kedua melalui pengurangan luas daun. Novero et al (1985) menyimpulkan terjadinya penurunan luas daun padi sebagai akibat menurunnya ketersediaan air. Aspek fisiologi yang perlu ditekankan sehubungan dengan stres air pada tanaman yaitu aktivitas fotosintesis. Serrano et al (1995) mengelompokkan pengaruh stres air atas pengaruh-pengaruh stomata dan non stomata.

Pengaruh stomata itu dapat diketahui melalui perbandingan laju bersih asimilasi dengan konsentrasi CO2 interseluler.

Penelitian oleh Masri dan Boote (1987) terhadap jagung dan kedele menunjukkan bahwa keadaan stres air, laju fotosintesis kedua tanaman tersebut menurun dari 1,2 – 2,0 mg CO2/m2/detik (pada saat air cukup tersedia) menjadi 0,8 mg CO2/m2/detik (pada saat stres air) untuk jagung dan 0,8 – 1,1 mg CO2/m2/detik (pada saat air cukup tersedia) menjadi 0,22 mg CO2/m2/detik (pada saat stres air) untuk kedele. Pada kedua kondisi air tanah tersebut, Y daun tanaman yang diuji menurun dari -0,2 MPa – 0,6 MPa menjadi -18 MPa (untuk jagung) dan dari -0,4 MPa – 0,8 MPa menjadi -26 MPa (untuk kedele).

Aspek kedua dapat ditunjukkan dari penelitian Wolfe et al (1988), yang menyimpulkan terjadinya pengurangan konsentrasi nitrogen di daun jagung hingga 10 – 20% sebelum fase senescence akibat stres air. Penurunan kandungan klorofil juga terjadi pada daun ke-11 dan ke-15 pada jagung yang diuji, berdampak kepada menurunnya laju fotositensis.

Pada kondisi stres air, kandungan nitrogen daun per unit luas daun (g N/m2) dapat merefleksikan potensi asimilasi CO2 per unit luas daun (mg CO2/m2/detik), sebagaimana diajukan oleh Sinclair dan Horis (1989). Ini merupakan gambaran bahwa stres air berdampak pula kepada efisiensi absorbsi CO2, yang pada akhirnya berguna untuk dapat menetapkan

39 batas ketersediaan air sebagai usaha untuk memaksimalkan absorbsi CO2. Suatu strategi baru untuk mengatasi masalah lingkungan oleh ilmu pertanian.

Transpirasi melalui daun juga mengurangi serapan karbon (Itani et al, 1992). Saat potensial air tanaman berada di bawah ambang batas, stomata akan menutup dan transpirasi akan dibatasi. Keadaan ini juga menjadikan akar tidak dapat mengabsorbsi dan mengakumulasikan NO3-, yang dapat dilihat dari rendahnya NO3-pada cairan xylem (Dubey dan Pessarakli, 1995). Disamping keterbatasan absorbsi ikatan-ikatan nitrogen, stres air juga mengakibatkan penurunan absorbsi phospor (P), sebagaimana hasil penelitian Olsen et al (1961) pada bibit jagung (Zea mays). Absorbsi P menurun hingga 50%, sejalan dengan menurunnya potensial air tanah dari -33 KPa menjadi -300 KPa. Fenomena yang sama pun terbukti pada bawang (Allium cepa L.) (Dunham dan Nye, 1976). Volkmar dan Woodbury (1995) mencoba menghimpun berbagai dampak stres air terhadap proses asimilasi dan pertumbuhan pada tanaman.

Aspek fisiologi lainnya yang patut dipertimbangkan adalah dipengaruhinya aktivitas enzim. Artlip dan Funkhouser (1995) sudah menunjukkan bahwa aktivitas ABA berhubungan erat dengan keadaan stres air, demikian juga enzim-enzim yang terlibat dalam proses pembentukan protein. Di samping itu, pada pea (Pisum sativum) Naqvi (1995) membuktikan bahwa keadaan stres air mengakibatkan penurunan transport auxin dari 30% menjadi 15%, saat stres air diubah dari -8 bar menjadi -12 bar. Dapat dikatakan bahwa pada keadaan stres air auksin dan cytokinin menurun dan konsentrasi ABA menaik, karena berhubungan dan mekanisme pembukaan/ penutupan stomata. Ini menunjukkan bahwa stres air, secara langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan proses fisiologi tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhannya.

Pertumbuhan. Seperti disebut di atas, stres air secara nyata akan menurunkan biomassa tanaman selama pertumbuhan berlangsung. Penelitian oleh D’Souza et al (1988) membuktikan bahwa berat kering akar dan batang menurun sejalan dengan penurunan kandungan air tanah pada kacang tanah (Phaseolus vulgaris). Adaptasi pertumbuhan daun, selain melalui pengurangan luas juga melalui orientasi arah pertumbuhan daun sebagai strategi untuk meminimalkan transpirasi (Joshi et al, 1988). Pada beberapa spesies tanaman, dikenal pula strategi pengguguran daun pada saat kondisi lingkungan kering. Kelompok tanaman demikian dikenal dengan tanaman tropophyt, seperti karet (Hevea brasiliensis) atau kapok (Ceiba petandra).

Chakhatrakan et al (1993) menyimpulkan bahwa faktor kelembaban tanah mempengaruhi diameter batang Amaranthus spp. Lebar daun, ketebalan daun dan jumlah daun yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Pertumbuhan membutuhkan air yang cukup dapat pula diamati pada pembentukan daun-daun muda (flush) pada tanaman kakao (Theobroma cacao). Pada saat ketersediaan air, flush akan tumbuh pesat, sebaliknya pada saat air tanah sangat terbatas, daun-daun kakao akan gugur bahkan mengalami mati pucuk (dieback) (Siregar et al, 1988). Hsiao (1987) menunjukkan pengaruh tekanan turgor sebagai akibat stres air terhadap perpanjangan daun ke-5 dari tanaman jagung.

Lockhart (1965) melihat hubungan perpanjangan sel dengan serapan air melalui persamaan 1/V dv/dt = E (Yp – Y), dimana V = volume sel, E = koefisien pengembangan dinding sel, dan Y = tekanan yang dihasilkan. Ketersediaan air yang mendukung pertumbuhan berhubungan erat dengan jenis tanaman dan tahap pertumbuhannya. Kusandriani dan Sumarna (1 993) menyimpulkan misalnya, tingkat kelembaban tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan hasil cabai (Capsicum sp.) adalah pada 60% - 80%. Atau kacang tanah (Arachis hypogea) dan

40 kedele (Glycine max) diketahui lebih baik untuk mentranspirasi air pada kondisi kering bila dibandingkan dengan cowpea, sebagaimana hasil penelitian Itani et al (1992).

Ketersediaan air pada tanah secara nyata juga terbukti mempengaruhi pertumbuhan akar. Mackay dan Barber (1985) menunjukkan bahwa pada tanaman jagung (Zea mays), stres air mempengaruhi pertumbuhan akar. Terbukti bahwa pertumbuhan akar jagung dipengaruhi oleh ketersediaan air dan absorbsi phospor sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Produksi. Williams dan Joseph (1976) menyimpulkan walaupun pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh distribusi curah hujan dan jenis tanah, terdapat korelasi yang besar antara curah hujan dengan hasil. Sihombing et al (1992) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya curah hujan mempengaruhi produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis). Hubungan curah hujan dengan produksi tersebut disimpulkan dengan tingkat produksi yang rendah bilamana didapati

> 5 bulan kering, produksi sedang diperoleh bila didapati bulang kering selama 0 – 5 bulan dan produksi tinggi tercapai bila bulan kering hanya < 3 bulan. Kesimpulan ini jelas berhubungan dengan ketersediaan air untuk pertumbuhan lateks, yang diketahui merupakan proses metabolisme rumit yang berawal dari pembentukan glukosa dan fruktosa (Moir, 1969).

Djamin et al (1992) menyimpulkan perubahan defisit air sebesar 100 mm per tahun akan menurunkan produksi kopra tanaman kelapa (Cocos nucifera) hingga 300 kg/ha/tahun.

Pengaruhnya pun didapati pada ukuran buah dan jumlah butiran kelapa. Dampak yang sama pun didapati pada padi, yang mengalami penurunan produksi gabah dan fertilitas biji menjadi masing-masing sebesar 82% dan 68% (Novero et al, 1985).

Dampak stres air terhadap produksi ini umumnya bila stres air berlangsung lama, terlebih bila tahap pertumbuhan vegetatif dilampaui. Stres air yang intensif menjadikan tanaman tidak sempurna dalam tahap generatif. Pada tanaman padi (Oryza sativa) misalnya, stres air menyebabkan terlambatnya tahap kematangan dan diperpanjangnya masa pertumbuhan vegetatif. Sterilitas akan terjadi bila stres air tepat pada saat fase reproduktif (Novero et al, 1985). Pada tanaman kelapa, sebagaimana dilaporkan Djamin dan Salman (1989), secara visual stres air berdampak kepada kecilnya ukuran buah dan berkurangnya daging buah.

Hal yang penting ditekankan dari pembahasan air ini adalah sebagai berikut :

1. Bahwa air bagi tanaman memiliki batas-batas tertentu sesuai dengan fase pertumbuhannya.

Keadaan itu dapat diketahui dari potensial air tanah dan tanaman.

2. Stres air berdampak kepada terganggunya proses fisiologi tanaman, utamanya fotosintesis.

Ini berhubungan dengan mekanisme penutupan stomata yang justru mempengaruhi absorbsi hara (seperti nitrogen dan kalium). Di samping itu, stres air berdampak kepada penurunan pertumbuhan akar dan absorbsi phospor. Luas daun juga dipengaruhi, yang mempengaruhi laju fotosintesis. Pada keadaan stres air, tanaman umumnya mengaktifkan enzim ABA, sebagai strategi fisiologi untuk membatasi transpirasi.

3. Stres air berdampak langsung dan tidak langsung terhadap produksi. Dampak langsung umumnya berhubungan dengan metabolisme dan pertumbuhan generatif, sedangkan dampak tidak langsung berhubungan dengan terganggunya fotosintesis.

Resistensi kekeringan. Tanaman yang mengalami kekurangan air umumnya memiliki respon fisiologi berupa transport ABA dari akar ke ujung tunas, sebagai strategi fisiologi untuk memperkecil transpirasi. Chowdhury dan Chouhuri (1986) sudah membuktikan bahwa perlakuan biji yute dengan Ca2+ dan ABA menahan turunnya kandungan relatif air (RWC = Relative Water Content) dan potensial air daun (LWP = Leaf Water Potensial). Tetapi secara

41 umum, dikenal tanaman yang lingkungan tumbuhnya kering (xerophyt) dan tanaman yang lingkungan tumbuhnya surplus air (hidrophyt). Pemahaman akan lingkungan tumbuh yang terbatas air lebih terperinci diajukan oleh Levitt, Sullivan dan Krull (1960). Mereka membagi kelompok tanaman atas resisten kekeringan, penghindar kekeringan dan toleran akan kekeringan. Tanaman penghindar kekeringan dicirikan dengan melengkapi seluruh siklus hidupnya pada saat kelembaban lingkungan sesuai. Bannister (1976) menunjukkan potensial air dan potensial osmotik dari empat kelompok tanaman, sehingga merupakan gambaran dari tanaman atas lingkungan tumbuh yang sesuai.

Tabel 2.25. Kisaran Potensial Air dan Osmotik Empat Kelompok Tanaman

Kelompok Potensial air Potensial osmotik

(bar)

water plants -2 - -12 -4 - -16

deciduous trees 9 – 23 10 – 28

coniferous trees 5 – 60 10 – 28

arid shrubs 22 – 80 12 – 60

halophytes 24 – 60 12 – 50

Sumber : Bannister (1976)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tanaman dengan habitat lembab umumnya menunjukkan defisit air yang rendah dibandingkan dengan tanaman habitat ekstrek kurang air.

Patut dipertimbangkan pula bahwa pohon-pohon dengan potensial air yang rendah pada pucuk-pucuknya merupakan mekanisme transpirasi yang lebih tinggi pada bagian tersebut.

Dalam hubungannya dengan respon tanaman atas kekeringan, Jones et al (1981) mengelompokkan tanaman atas penghindar kekeringan, toleran kekeringan dengan potensial air jaringannya yang tinggi, dan toleran kekeringan dengan potensial air jaringan yang rendah.

Masalah yang berhubungan dengan keberadaan air pada tanaman – pada keterbatasan air lingkungan – oleh Bannister (1976) ditelaah dalam dua sistem keseimbangan air tanaman yaitu isohidrik dan anisohidrik. Jenis isohidrik merupakan tanaman yang pengendalian transpirasinya tidak sebesar fluktuasi pada saat defisit air, sedangkan anisohidrik mengendalikan transpirasi dan toleran akan defisit air pada jaringannya. Jenis isohidrik umumnya mengendalikan seluruh aspek air pada jaringannya, biasanya melalui penutupan stomata dan mengatur keseimbangan air yang tersedia. Jenis anisohidrik menunjukan pengendalian yang terbatas dan membiarkan fluktuasi air bahkan saat berkembangnya turgor menjadi negatif.

Seleksi kultivar yang tahan akan kekeringan dikembangkan melalui pendekatan- pendekatan aspek fisiologi pada tanaman. Gautreau (1977) menyimpulkan potensial air daun atas 3 golongan, yakni : rendah, sedang dan tinggi untuk dapat menetapkan apakah suatu kultivar tanaman toleran akan kekeringan atau tidak. Dinyatakannya bahwa potensial air yang tinggi pada suatu kultivar merupapakan indikasi akan toleransi kekeringan.

2.4.3. Kisaran Cahaya Bagi Tumbuhan

Dokumen terkait