• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Tanaman dan Lingkungannya

2.4.3. Kisaran Cahaya Bagi Tumbuhan Pendahuluan

41 umum, dikenal tanaman yang lingkungan tumbuhnya kering (xerophyt) dan tanaman yang lingkungan tumbuhnya surplus air (hidrophyt). Pemahaman akan lingkungan tumbuh yang terbatas air lebih terperinci diajukan oleh Levitt, Sullivan dan Krull (1960). Mereka membagi kelompok tanaman atas resisten kekeringan, penghindar kekeringan dan toleran akan kekeringan. Tanaman penghindar kekeringan dicirikan dengan melengkapi seluruh siklus hidupnya pada saat kelembaban lingkungan sesuai. Bannister (1976) menunjukkan potensial air dan potensial osmotik dari empat kelompok tanaman, sehingga merupakan gambaran dari tanaman atas lingkungan tumbuh yang sesuai.

Tabel 2.25. Kisaran Potensial Air dan Osmotik Empat Kelompok Tanaman

Kelompok Potensial air Potensial osmotik

(bar)

water plants -2 - -12 -4 - -16

deciduous trees 9 – 23 10 – 28

coniferous trees 5 – 60 10 – 28

arid shrubs 22 – 80 12 – 60

halophytes 24 – 60 12 – 50

Sumber : Bannister (1976)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tanaman dengan habitat lembab umumnya menunjukkan defisit air yang rendah dibandingkan dengan tanaman habitat ekstrek kurang air.

Patut dipertimbangkan pula bahwa pohon-pohon dengan potensial air yang rendah pada pucuk-pucuknya merupakan mekanisme transpirasi yang lebih tinggi pada bagian tersebut.

Dalam hubungannya dengan respon tanaman atas kekeringan, Jones et al (1981) mengelompokkan tanaman atas penghindar kekeringan, toleran kekeringan dengan potensial air jaringannya yang tinggi, dan toleran kekeringan dengan potensial air jaringan yang rendah.

Masalah yang berhubungan dengan keberadaan air pada tanaman – pada keterbatasan air lingkungan – oleh Bannister (1976) ditelaah dalam dua sistem keseimbangan air tanaman yaitu isohidrik dan anisohidrik. Jenis isohidrik merupakan tanaman yang pengendalian transpirasinya tidak sebesar fluktuasi pada saat defisit air, sedangkan anisohidrik mengendalikan transpirasi dan toleran akan defisit air pada jaringannya. Jenis isohidrik umumnya mengendalikan seluruh aspek air pada jaringannya, biasanya melalui penutupan stomata dan mengatur keseimbangan air yang tersedia. Jenis anisohidrik menunjukan pengendalian yang terbatas dan membiarkan fluktuasi air bahkan saat berkembangnya turgor menjadi negatif.

Seleksi kultivar yang tahan akan kekeringan dikembangkan melalui pendekatan- pendekatan aspek fisiologi pada tanaman. Gautreau (1977) menyimpulkan potensial air daun atas 3 golongan, yakni : rendah, sedang dan tinggi untuk dapat menetapkan apakah suatu kultivar tanaman toleran akan kekeringan atau tidak. Dinyatakannya bahwa potensial air yang tinggi pada suatu kultivar merupapakan indikasi akan toleransi kekeringan.

2.4.3. Kisaran Cahaya Bagi Tumbuhan

42 Sinar matahari merupakan sumber utama energi. Tumbuhanlah yang memanfaatkannya untuk membentuk energi kimia. Sinar matahari yang berpengaruh terhadap pertumbuhan umumnya berkombinasi dengan temperatur dan ketersediaan air. Proses transpirasi menjadi aspek yang terkait, disamping fotosintesis yang juga mensyaratkan air dan CO2. Cahaya matahari pun berfungsi sebagai penjaga keseimbangan energi tanaman sebagaimana dinyatakan Lang et al (1985).

Beberapa alat untuk mengukur cahaya yang sampai pada suatu permukaan seperti photometer, kuantummeter, dan radiometer. Photometer mengukur cahaya dalam kisaran yang dapat dilihat oleh mata biasa. Alat ini tidak dapat mengukur cahaya infra merah atau ultra violet. Kandel adalah satuan pengukurannya (kandela = intensitas cahaya total yang diemisi dari 1,67 mm2 benda hitam, black body pada titik didih platina murni -2041o K).

Kuantummeter dinilai lebih bermanfaat bagi tanaman karena mengukur kerapatan photon (flux), sebab fotosintensis tergantung pada laju absorbsi photon. Sedangkan radiometer (thermocouple, thermopile, atau thermistor) mengukur energi cahaya per unit area (J m-2 s-1), jadi merupakan pengukur energi pada suatu permukaan (Nobel, 1983). Beberapa alat yang lazim digunakan adalah Campbell Stokes sunshine recorder dan Jordan sunshine recorder yang mencatat lama penyinaran setiap hari, sedangkan alat untuk pengukur laju fotosintesis digunakan photosynthesis measurement apparatus (Itani et al, 1992) atau PAR measuring unit, yang mengukur efisiensi fotosintesis dari sumber cahaya. Lazimnya, untuk keperluan pertanian digunakan quantum sensor, yang mengukur intersepsi cahaya matahari pada tajuk tanaman dan line quantum sensor, sebagai alat untuk mengukur intensitas cahaya matahari di bawah tajuk tanaman.

Tinjauan Umum

Distribusi cahaya matahari. Diameter matahari mencapai 1,39 x 109 m, dengan jarak rata- rata dari bumi 1,5 x 1011 m. Matahari berputar pada sumbunya 1 x 4 minggu, pada garis ekuator + 27 hari dan di wilayah kutub 30 hari. Temperatur matahari mencapai 5762o K, sedangkan pada pusatnya mencapai (8 x 106) – (40 x 106)o K (Duffie, 1980). Pada permukaan bumi, sinar matahari juga mengalami peristiwa fisik, sebagai suatu sifat khas sinar seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Dari gambar di atas, diketahui bahwa hanya 1 – 2% saja dari cahaya matahari yang sampai ke permukaan bumi untuk fotosintesis. Dari cahaya yang terdistribusi ini, dapat dinyatakan bahwa tumbuhan memang pemanfaat sinar matahari yang utama.

Sifat penting cahaya. Cahaya dapat menembus zat padat (seperti plastik), larutan (air), atau gas (udara) bahkan dalam keadaan vakum. Sifat penting cahaya adalah kandungan energinya, yang dinyatakan melalui persamaan Ea = hv = hc/a, dimana h = konstanta Plank. Energi cahaya dari persamaan itu berbanding lurus dengan frekuensi dan berbanding terbalik denan panjang gelombangnya. Ini berarti cahaya dengan berbagai panjang gelombang memiliki kisaran energi yang berbeda-beda.

Ditinjau dari panjang gelombangnya, maka cahaya matahari yang terpencar terdiri dari radiasi gelombang pendek, yaitu pada kisaran 0,3 – 3,0 µm dan radiasi gelombang panjang, yaitu dengan panjang gelombang > 3 µm. Cahaya matahari yang sampai pada permukaan tanah akan terpencar dalam berbagai peristiwa fisika, sebagaimana yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Besarnya cahaya matahari yang direfleksikan atau ditransmisikan sangat

43 tergantung pada jenis permukaan yang menerimanya. Ini dinyatakan dengan albedo, sebagai suatu perbandingan cahaya yang direfleksikan terhadap total radiasi yang diterima.

Besarnya albedo ini menjadi petunjuk bahwa permukaan dengan vegetasi padat merupakan permukaan yang mampu menekan refleksi sehingga dapat mengendalikan temperatur lingkungan mikro. Ini merupakan dasar yang kuat akan pentingnya tumbuhan sebagai pengendali temperatur pada suatu permukaan.

Tabel 2.27. Besarnya Albedo pada Berbagai Jenis Permukaan

Jenis permukaan Albedo

Pasir kering Pasir basah Tanah kering

Tanah basah Rumput

Hutan Awan

0,18 0,09 0,09 0,09 – 0,12 0,10 – 0,15 0,03 – 0,06 0,3 – 0,6 Sumber : Blake (1965)

Kisaran yang sesuai untuk fotositensis

Radiasi untuk fotosintesis. Dari berbagai kisaran panjang gelombang, cahaya dengan panjang gelombang 430 nm dan 670 nm merupakan cahaya yang dimanfaatkan untuk fotosintesis. Energi pada kisaran panjang gelombang tersebut dinyatakan sebagai Photosinthetic Active Radiation (PAR), yang perbandingannya terhadap total cahaya matahari tentu saja sangat tergantung kepada tinggi tempat dan kondisi iklim suatu wilayah. Di Jepang misalnya, sebelah Timur Hokaido menerima 20 k kal energi cahaya matahari, sedangkan di Selatan Kyushu 50 k kal sehingga menjadikan pola dan musim tanam di kedua tempat tersebut berbeda (Ministire of Agriculture, Forestry and Fish, 1980). Serrano et al (1995) menyatakan bahwa PAR sesungguhnya berada pada kisaran cahaya 360 nm – 760 nm. Perbedaan yang sedikit ini merupakan hasil penelitian yang berbeda lokasinya. Tetapi yang dapat dijadikan pedoman bahwa pemanfaatan energi cahaya untuk fotosintesis berada pada kisaran cahaya merah hingga violet, dengan tingkat fotosintesis yang maksimum.

Sejumlah peneliti mencoba menetapkan besarnya energi pada kisaran cahaya yang disebut PAR tersebut. Efimova (1966) menyatakan PAR dengan persamaan :

PAR = 0,43 x (radiasi matahari langsung) + 0,57 x (radiasi matahari yang berdifusi)

Efisiensi penggunaan cahaya. Efisiensi penggunaan cahaya matahari untuk fotosintesis, dengan melihat besarnya energi yang sampai ke permukaan tanah, sesungguhnya rendah.

Serrano et al (1995) menyatakan tingkat efisiensi itu hanya 0,14%, yang diperoleh dari perbandingan antara energi yang diperoleh dari produktivitas ekosistem sebesar 0,24 W/m2 dengan energi yang sampai pada permukaan tanah sebesar 171 W/m2. Odum (1971) menunjukkan efisiensi penggunaan cahaya matahari untuk fotosintesis bervariasi antara 0,10%

(pada kedela, Glycine max) sampai 0,95% (pada tebu, Sacharum officinarum), sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

44 Tabel 2.29. Tingkat Efisiensi Energi Cahaya Matahari untuk FotosintesisPada Berbagai Tanaman

Tanaman/lokasi Produk fotosintesis (kkal/m2 x 10-3)

Efisiensi (%) gandum (Belanda)

gandum (rata-rata dunia) jagung (Amerika) jagung (rata-rata dunia) padi (Jepang)

padi (rata-rata dunia) kentang (Amerika) kentang (rata-rata dunia) kedele (Kanada)

kedele (rata-rata dunia) tebu (Hawai)

tebu (rata-rata dunia)

4,4 1,3 4,5 2,4 5,5 2,3 4,1 2,2 2,4 1,4 12,3

3,7

0,35 0,10 0,35 0,17 0,42 0,18 0,13 0,17 0,18 0,10 0,95 0,30 Sumber : Odum (1971)

Hammer dan Vanderlip (1989) merekomendasikan persamaan RUE = TDM/qi sebagai suatu persamaan untuk dapat mengetahui efisiensi penggunaan cahaya oleh tanaman, dimana RUE = efisiensi penggunaan cahaya (g/MJ), TDM = pertumbuhan biomassa untuk suatu periode tertentu (g/m2) dan qi = jumlah cahaya yang diintersepsi oleh tanaman untuk suatu periode tertentu (MJ/m2). Salah satu pengelolaan tanaman mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan cahaya matahari untuk fotosintesis. Dalam jangka panjang, penelitian untuk mendapatkan bahan tanaman dengan habitus yang tiap unit helai daun mampu memanfaatkan sinar matahari juga dilakukan.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan cahaya matahari oleh tanaman, disamping habitus tanaman. Thomas dan Tambunan (1996) yang meneliti pengaruh irigasi dan pemupukan terhadap tingkat efisiensi penggunaan cahaya matahari pada bibit karet klon GT1 menyimpulkan bahwa perlakuan irigasi tidak berpengaruh terhadap peningkatan intersepsi cahaya maupun efisiensi penggunaannya. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa peningkatan intesepsi cahaya dan efisiensinya diperoleh melalui peningkatan biomassa tanaman. Faktor transpirasi yang berhubungan dengan meningkatnya intersepsi berhubungan dengan ketersediaan air sehingga tiap helaian daun dapat semaksimal mungkin menjalankan fotosintesis.

45 Tabel 2.30. Pengaruh Irigasi dan Pemupukan Terhadap Intersepsi dan Efisiensi Penggunaan Cahaya Matahari pada Bibit Karet (Hevea brassiliensis)

Perlakuan Intersepsi cahaya matahari (MJ/m2)

Biomassa (g/m2)

Efisiensi (g/MJ) tanpa irigasi

irigasi (1 x 1 minggu) tanpa pupuk (p1) pupuk cair (p2) pupuk padat (p3)

pupuk cair + padat (p2 + p3) pupuk padat (2xp3)

567,0 a 581,1 a 476,6 a 512,9 a 564,6 a 675,0 b 601,0 b

240,8 a 243,2 a 186,1 a 194,5 a 259,8 b 323,4 b 246,3 ab

0,42 a 0,42 a 0,39 a 0,46 b 0,48 b 0,40 a

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan Sumber : Thomas dan Tambunan (1996)

Radiasi pada helaian daun. Sinar matahari yang jatuh ke tiap helaian daun adalah tujuan utama pengelolaan tanaman secara modern. Ini merupakan langkah untuk dapat memanfaatkannya pada fotosintesis. Energi cahaya pada tajuk tanaman dapat diketahui melalui pendekatan I = Ioe – kL, dimana Io adalah radiasi pada pucuk tajuk, I adalah radiasi pada titik tajuk di bawah indeks luas daun (L) dan k merupakan koefisien extinction. Dengan berdasar pada cahaya sebagai sumber energi utama, maka keseimbangan energi di daun dapat dinyatakan sebagai :

Energi yang datang (I) – energi yang keluar (II) = energi yang tersimpan (III)

Energi yang datang (I) merupakan radiasi cahaya matahari yang jatuh pada helaian daun, sedangkan II merupakan kombinasi dari cahaya yang diemisi, konveksi panas, konduksi panas, dan panas yang hilang sejalan dengan berlangsungnya proses transpirasi. Energi yang tersimpan (III) merupakan energi untuk fotosintesis dan faktor yang menyebabkan perubahan suhu daun. Bannister (1976) menggambarkan keseimbangan energi pada helaian daun.

Jelas sekali bahwa energi pada I, II dan III sangat ditentukan oleh ukuran, bentuk dan arah pertumbuhan daun. Anatomi daun juga mempengaruhinya, antara lain besarnya susunan mesophyl dan ketebalan epidermis (Bannister, 1976). Myneni el al (1986) menunjukkan bahwa arsitektur tanaman secara keseluruhan mempengaruhi besarnya energi I, II dan III.

Percobaannya pada tanaman jagung membuktikan bahwa letak daun pada tanaman mempengaruhi luasnya, sehingga mempengaruhi energi I, II dan III. Beberapa spesies diproyeksikan membentuk habitus yang ideal untuk maksimasi pemanfaatan cahaya matahari.

Hawkins (1982) menunjukkan keadaan perdaunan ideal tanaman kedele. Siregar (1990) menyarakan pertajukan kakao melalui penataan sejak tanaman muda di lapangan untuk tujuan yang sama.

46 Organ Penangkap Cahaya

Jenis khloropyl. Seperti sudah disebutkan, organ utama penangkap cahaya pada tanaman untuk membentuk energi kimia adalah khlorophyl. Bidwell (1974) mencatat paling tidak terdapat enam organ yang dapat memanfaatkan cahaya sebagai sumber energi. Khlorophyl itu sendiri dibedakan atas khlorophyl a, b, c, dan d. sejumlah kecil tumbuhan Thalophyta juga memiliki organ pemanfaat energi cahaya seperti ganggang merah, ganggang coklat, dan sejumlah kecil bakteri.

Khloroplast. Telaah mikroskopis menunjukkan bahwa sel-sel mesophyl mengandung lebih dari 50 khloroplast dan setiap khloroplast diikat oleh selaput ganda. Di dalam khloroplast terdapat grana yang dihubungkan dengan selaput integrana lamella. Antar sistem lamella dipisahkan oleh stroma. Satu unit khloroplast mengandung lebih dari 100 grana (Blake, 1974).

Bidwell (1974) menyatakan bahwa bila khlorophyl dipecah menjadi fragmen kecil, maka unit terkecil dari fragmen yang dapat menjalankan reaksi Hill paling tidak mengandung ratusan molekul khlorophyl.

Reaksi tanaman terhadap cahaya. Aspek cahaya terhadap fotosintesis dan reaksi-reaksi berikutnya untuk membentuk karbohidrat telah menjadi pendorong bagi para ahli untuk dapat mengetahui perbedaan yang khas dari tiap spesies tanaman. Secara umum misalnya, kita mengetahui tanaman yang peka akan pencahayaan matahari langsung dan sebaliknya.

Kalangan pecinta dan ahli tanaman hias diketahui mengelompokkan tanaman-tanaman atau outdoor plant dan indoor plant sehingga merekomendasikan sejumlah tanaman hias yang berbeda lingkungan tumbuhnya.

Dalam konteks fisiologi tanaman, respon tanaman akan fiksasi CO2 pada pencahayaan membedakan spesies atas tanaman C3, C4 dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism) atau sukulen. Karakteristik tiap kelompok itu menjadikan teknik budidayanya pun berbeda. Tabel di bawah ini menyajikan rata-rata produksi berbagai spesies pada kelompok tersebut.

Tabel 2.33. Produksi Berbagai Tanaman C3 dan C4

Tanaman Proses fiksasi CO2

Lokasi

Produksi bersih (ton/ha)

Lama pengukuran

(hari)

Rata-rata laju pertumbuhan (g/m2/hari) Padi

Padi Padi Kedele Kedele Bit Tebu Jagung Sorgum

C3 C3 C3 C3 C3 C3 C4 C4 C4

Konusu, Jepang Philipina Fukui, Jepang Iowa, Amerika Kitamoto, Jepang Kagoshima, Jepang Hawai

Shiojiri, Jepang Gifu, Jepang

24,3 20,0 19,7 10,7 15,3 20,5 78 26,5 40,3

179 125 161 110 203 169 365 128 140

14,0 16,0 12,2 9,7 7,5 12,1

21 20,7

28 Sumber : Ministry Agriculture, Forestry and Fisheries (1980)

47

Tanaman C3, C4 dan CAM. Tanaman C3, C4 dan CAM menunjukkan respon yang berbeda atas cahaya matahari karena berkaitan dengan sistem fiksasi CO

2

dan proses pembentukan hasil fotosintesis. Tanaman C3 dicirikan dengan fotosintesis yang memproduksi PGA dengan tiga atom karbon sebagai produk utama, sedangkan tanaman C4 didasarkan atas produk utamanya malate dan aspartate dengan empat atom karbon. Sedangkan tanaman CAM justru membuka stomatanya pada malam hari dan mengakumulasikan CO

2

yang difiksasi di dalam vakuola dalam bentuk asam organik. Tanaman ini menghasilkan pati dalam siklus Kalvin dengan menggunakan CO

2

yang diuraikan dari asam selama siang hari, saat stomata menutup.

Dalam tinjauannya terhadap cahaya sebagai sumber energi, tanaman C3 dapat dinyatakan sebagai tanaman yang kehilangan energi selama fotosintesisnya cukup tinggi dibandingkan tanaman C4 dan CAM. Kehilangan photorespirasi mencapai 30% - 40% dari total fotosintesis dari CO

2

yang terfiksasi. Sebaliknya, tanaman C4 tidak kehilangan energi sejalan dengan berlangsungnya photorespirasi sehingga dinilai tinggi kapasitas fotositensisnya.

Sistem fiksasi CO2 dari tanaman C4 mengandung dua sistem yang berhubungan yaitu jalur asam dikarbosiklik dan siklus Kalvin. Ini berhubungan dengan diferensiasi jaringan daun pada tanaman kelompok ini dimana jalur asam dikarbosiklik ada di dalam sel dari jaringan mesophyl pada lapisan permukaan, sedangkan siklus Kalvin di dalam sel dari bundle sheath di bagian tengah. Jalur asam dikarbosiklik dipertimbangkan menaikkan efisiensi fotosintesis atas dasar dua hal. Pertama, fiksasi CO2 yang mudah dari udara dan kedua melalui transport gas yang tinggi konsentrasinya dengan bantuan Phospo Enol Pyruvate (PEP), suatu enzim yang sangat kuat untuk me-affinity ke CO2 ke dalam sel-sel bundle sheath dimana siklus Kalvin berjalan. Sistem fisiologi tanaman C4 ini juga disebut siklus Hatch dan Slack (Bidwell, 1976), yang dinyatakan memiliki kapasitas fotosintesis satu setengah kali dari kapasitas fotosintesis tanaman C3, yang sistem fisiologinya menjalankan siklus Kalvin saja (lihat gambar di atas).

Tabel 2.34. Perbandingan Respon Lingkungan Tanaman C3 dan C4

Parameter Tanaman

C3 C4

Titik konpensasi CO2

Produk karboxylase Penerima CO2 Photorespirasi

Pengaruh O2 (0 – 50%) Chloroplast

Tulang daun

Efisiensi fotosintesis

30 – 100 ppm PGA

RuDP tinggi

menghambat 1 jenis

perkembangannya terbatas rendah

0 – 5 ppm

asam oxaloasetrik PEP

rendah tidak ada 1 – 2 jenis

bundle sheat berkembang tinggi

Tanaman C4 dengan semakin menaiknya intensitas cahaya menunjukkan kenaikan fiksasi CO2 bila dibandingkan dengan tanaman C3. Nobel (1988) menyimpulkan bahwa tanaman C4 masih mampu untuk memfiksasi CO2 pada temperatur 30 – 40o C. Water Use

48 Efisiency (WUE) yang ideal pada tanaman ini menunjukkan spesies pada tanaman C4 merupakan gulma yang tangguh. Delapan dari 10 gulma ternyata merupakan tanaman C4.

Pengamatan Feldhake dan Boyer (1985) menunjukkan bahwa resistensi tajuk akan transpirasi pada tanaman C4 lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman C3. Ditambahkan bahwa tanaman C4 lebih baik pertumbuhannya bila dibandingkan dengan tanaman C3 pada kondisi iklim yang panas. Pada temperatur 30o C misalnya, PAR yang diabsorbsi oleh daun tanaman C3 dan C4 dapat mencapai 100 µ mol/m2/detik dengan tingkat fiksasi CO2 yang relatif sama (0,053 mol CO2/mol photon). Tetapi bila temperatur dinaikkan, photorespirasi meningkat dan tanaman C3 menurun fiksasinya. Sedangkan tanaman C4 meningkat fiksasi CO2-nya.

Tanaman C4 disimpulkan ideal pada lingkungan dengan PAR yang tinggi, temperatur relatif tinggi dan pada keadaan air yang terbatas (Nobel, 1988). Demikian juga tanaman CAM seperti nenas dan kaktus. Contoh umum dari spesies pada tanaman C4 adalah tebu, jagung dan sorgum, sedangkan tanaman C3 adalah padi dan kedele.

49 energi matahari

Dokumen terkait