BAB V PENUTUP
C. Akad
3. Akad-Akad Dalam Asuransi Syariah
menggunakan akad wakalah dengan mengeluarkan iuran (fee) untuk pengelola perusahaan.
ataupun menaruh perhatian penuh padanya. Hal ini diperlukan karena akad mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu untuk itu, akad yang dibuat haruslah menuju pada niat mendekatkan diri kepada Allah atau dalam istilah spiritual mengenai transaksi ekonomi adalah berbisnis dengan Allah Swt.
Akad dapat dibedakan berdasarkan tujuan dan juga keabsahannya Perhatikan skema pembagian akad berikut ini.39
Berdasarkan tujuannya, dua pihak dapat bersepakat dalam hal tijari, yaitu mengharapkan keuntungan setelah syarat dan rukun akad terpenuhi, akad tijari memang mengandung unsur profit oriented, baik hal itu dilakukan dengan cara pencampuran manfaat (musyarakah, muzara'ah, dan sebagainya) atau dengan pertukaran manfaat (bai', ijarah, sharf, barter, dan sebagainya).
39 Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna, Zahra, Jakarta, 2008, hlm.
48.
AKAD MENURUT
TUJUAN AKAD MENURUT
TUJUAN
TIJARI
Dimaksud untuk mencari dan mendapatkan keuntungan ketika
rukun dan syaratnya terpenuhi TIJARI
Dimaksud untuk mencari dan mendapatkan keuntungan ketika
rukun dan syaratnya terpenuhi
TABARRU’
Dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata mengharapi ridha Allah dan
pahala dari Allah SWT TABARRU’
Dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata mengharapi ridha Allah dan
pahala dari Allah SWT
Dua pihak juga dapat bersepakat semata-mata untuk tujuan saling menolong (tabarru’) demi mengharap pahala dan ridha dari Allah Swt.
Akad tabarru' dapatlah disebut mengandung non-profit oriented atau lebih pada benefit oriented. Benefit yang diharapkan adalah ridha dan pahala dari Allah Swt. Jenis transaksi dari akad ini diantaranya qardh, rahn, hawalah, wakalah, wad'ah, hibah, kafalah, dan wakaf.
Berikut ini merupakan bahasan implementasi akad-akad yang digunakan dalam asuransi syariah, yaitu berupa akad-akad tijarah dengan orientasi keuntungan komersial mengingat asuransi syariah juga sebagai komponen bisnis dalam praktik ekonomi syariah.
a. Akad Tabarru’
Tabarru' secara bahasa berarti “bersedekah” atau “berderma”
dalam arti yang lebih luas tabarru’ adalah melakukan suatu kebaikan tanpa persyaratan.
Adapun secara istilah, tabarru' adalah mengerahkan segala upaya untuk memberikan harta atau manfaat kepada orang lain, baik secara langsung maupun masa yang akan datang tanpa adanya kompensasi, dengan tujuan kebaikan dan perbuatan ihsan.
Tabarru' merupakan hal yang sangat penting dalam akad asuransi syariah hal ini karena dasar akad dari sistem operasional asuransi syariah berpijak pada akad tabarru', tabarru' sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan bagian dari akad hibah.
Akad hibah sendiri terdapat beberapa terminologi agar dicirikan
antara akad-akad tersebut, berikut perbedaan antara akad tabarru' dan akad hibah lainnya.40
1) Tabarru': mengerahkan segala upaya untuk memberikan atau manfaat kepada orang lain, baik secara langsung maupun masa yang akan datang tanpa adanya kompensasi, dengan kebaikan dan perbuatan ihsan.
2) Hibah: berderma/bertabarru' dengan harta untuk kemaslahatan orang lain dalam kondisi hidup.
3) Wasiat: pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
4) Shadaqah: pemberian seseorang kepada orang lain dengan tanpa penggantian yang dilakukan karena ingin memperoleh pahala dari Allah Swt.
5) Hadiah: pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa penggantian yang dilakukan untuk memuliakan orang yang menerima hadiah tersebut.
6) Umra: pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain sepanjang umur penerimanya saja. (Seperti seseorang berkata kepada orang lain, "Aku berikan barang ini kepadamu, selama engkau hidup."). Apabila si penerima meninggal dunia, barang tersebut harus dikembalikan kepada pemberi atau ahli waris.
40 Abu Zahra, Ushul Fiqih Cet. Pertama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 46.
7) Ruqba: kesepakatan antara dua orang bahwa siapa yang meninggal terlebih dahulu maka "hartanya” untuk yang masih hidup.
Dana tabarru' hanya boleh digunakan untuk segala hal yang langsung berkaitan dengan kepentingan nasabah, seperti klaim, cadangan tabarru', dan reasuransi syariah.
Sebaliknya, dana tijari (dana perusahaan) boleh dialokasikan untuk dana tabarru' jika perusahaan mengikhlaskannya untuk tabarru' nasabah. Jika diklasifikasikan berdasarkan peruntukannya, premi peserta Asuransi Syariah terdiri atas dana tabarru' dan dana tijari. Dana tabarru' dikhususkan sebagai dana tolong-menolong, untuk membantu nasabah yang mengalami musibah. Adapun dana tijari digunakan untuk biaya operasional perusahaan asuransi syariah.
Kedua jenis dana ini harus dikelola secara terpisah antara dana tabarru' dan dana tijari, hal ini karena ketidakjelasan dalam pengelolaan dana akan berdampak pada rusaknya akad tersebut dan secara otomatis berdampak pada rusaknya akad dalam berasuransi syariah.
Dana tabarru’ adalah dana milik peserta yang dibayarkan oleh nasabah melalui premi atau kontrubusi, dana ini khusus diperuntukan bagi nasabah yang mendapatkan musibah sehingga disimpan dalam akun secara khusus. Ketika diinvestasikan, hasil
investasinya pun masuk kembali ke dalam akun tabarru', kemudian apabila terdapat surplus tabarru' (yaitu apabila total dana tabarru' yang terkumpul lebih besar dari total dana klaim dan biaya-biaya yang dibebankan atas dana tesebut dalam satu periode tertentu), surplus dana tabarru' tersebut dapat dibagikan dengan cara:
sebagian dikembalikan kapada nasabah, sebagian dicadangkan dalam cadangan tabarru', dan sebagian lainnya dialokasikan untuk perusahaan asuransi syariah. Pembagian surplus tabarru' seperti ini mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI, No, 53/DSN-MUV lll/ 2006 tentang Akad Tabarru' pada Asuransi Syariah dan Reasuramsi Syariah.
Adapun penggunaan akad tijari (tujuan keuntungan), untuk transaksi yang bersifat mu'awadhah/tabaduli dalam asuransi syariah memiliki konsekuensi sebagai berikut:
1) Jumlah pembayaran harus jelas;
2) Waktu pembayaran harus jelas (seberapa lama);
3) Objek yang diakadkan harus jelas. (Dalam jual beli, barang yang diperjualbelikan harus jelas).
Menyalahi salah satu dari unsur tersebut akan mengakibatkan akad mengandung gharar. Oleh karena itu, akad menjadi batal secara hukum karena akad mu'awadhah/tabaduli mensyaratkan adanya “kepastian” dalam segala hal, dengan demikian tidak ada satu pihak yang dirugikan, sementara pihak lain diuntungkan.
Masalahnya dalam asuransi, terdapat kemungkinan adanya
“ketidakpastian” karena risiko merupakan sesuatu yang tidak pasti.
Misalnya, bisa terjadi seorang nasabah baru kali pertama membayar premi, lalu mendapatkan musibah sehingga ia pun menerima hasil klaim/manfaat asuransi di pihak lain, nasabah yang sudah membayar premi berkali kali, tetapi sama sekali tidak mendapatkan manfaat sebab tidak pernah mendapat musibah, dengan menggunakan akad tabaduli sangnat berpotensi menjadikan akad fasid (rusak), bahkan batal secara hukum.
Hal tersebut berbeda dengan akad tabarru’ dengan ketentuan sebagai berikut:41
1) Pada akad tabarru’, tidak disyaratkan adanya “kepastian”
dalam waktu pembayaran, jumlah pembayaran, dan objek yang ditransaksikan.
2) Tabarru’ satu kali, dua kali, tiga kali, dam seterusnya tanpa adanya kepastian tidak menjadikan akad tabarru’ menjadi fasid sebagaimana jika akad tersebut bersifat tabaduli.
Demikian juga dengan jumlah, satu juta, dua juta, tiga juta, dan seterusnya, tidak menjadikan akad tabarru’ fasid sebagaimana yang terjadi pada akad tabaduli.
3) Kepastian mendapatkan manfaaat pun tidak menjadi syarat, apakah seseorang ada kepastian terkena musibah atau tidak
41 Ahmad Dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Srayiah, Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 70.
adanya kepastian, tidak menjadikan akad tabarru’
mengandung gharar, sebagaimana jika terjadi di akad tabaduli.
b. Akad Tijari Mudharabah
Ada beberapa definisi tentang mudharabah yang ditetapkan oleh para ulama maupun pemikir Islam diantaranya Afzalur Rahman dalam bukunya Economics Doctrines of Islam yang menjelaskan mudharabah sebagai suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melakukan usaha (bisnis) dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. Pihak pertama, supplier atau pemilik modal disebut shahibul mal dan pihak kedua, pemakai atau pengelola atau pengusaha disebut mudharib.42
Asal kata mudharabah diambil dari kata dharb yang berarti usaha di atas bumi, pengelola atau pengusaha kemudian disebut mudharib yang berhak mendapatkan bagi hasil atas usaha maupun tenaganya. Selain itu, mudharib pun berhak menggunakan modal sesuai dengan arah maupun tujuan yang dikehendaki Alhasil, timbullah akad yang disebut akad al-mudharabah yang merupakan
42 Ahmad Izzan Dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah, Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 42.
perjanjian antara beberapa pihak, yaitu pihak pemilk modal (shahib aI-mal atau rabb al-mal) yang menyerahkan atau mengamanahkan sejumlah dana kepada pihak lain atau pengelola (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas usaha.43
Pihak pengelola berhak menetapkan arah bisnis dan manajemen Operasionalnya tanpa campur tangan pihak pemodal, konsekuensinya akad ini merupakan perjanjian profit and loss sharing sehingga terdapat kesepakatan menanggung bersama kerugian dan membagi bersama keuntungan. Hal ini berbeda dengan akad musyarakah, pada musyarakah semua pihak berkontribusi dalam pendanaan dan berhak turut serta dalam mengelola dan mengambil keputusan strategis, persamaannya dengan mudharabah terletak pada konsep bagi hasil usaha.
lbnu Rushd dalam kitabnya Bidayah aI-Muitahid seperti yang dikutip Muhammad Syakir Sula, berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslim mengenai sahnya prinsip qirad atau mudharabah”. Hal itu diamalkan sebelum Islam dan Islam membenarkannya, mereka semua bersepakat bahwa hal itu merupakan keadaan ketika seseorang memberikan pihak lain modal yang pihak tersebut menggunakannya dalam perniagaan. Pengguna modal tersebut bersepakat dengan syarat-syarat bagi hasil yang
43 Ibid., hlm. 44.
disepakati kedua belah pihak, sepertiga, seperempat, atau setengahnya.44
Al-Mudharabah dilaksanakan dengan rukun-rukun sebagai berikut:45
a. Ada mudharib atau pengelola dana;
b. Ada pemilik dana atau modal;
c. Ada usaha yang akan dibagihasilkan;
d. Ada nisbah atau pembagian keuntungan;
e. Ada ijab qabul.
Al-mudharabah dipilih sebagai akad yang digunakan oleh perusahaan asuransi syariah karena beberapa keunggulan yang dimilikinya selain memang dibenarkan oleh syar’i, akad ini tamoak relevan dengan praktik ekonomi atau bisnis saat ini dan mengandung unsur-unsur profesionalitas. Mudharib dituntut bersikap profesional karena dia merupakan wakil dari shahibul mal dalam berinvestasi atau bertransaksi bisnis dan sekaligus mitra terpercaya dalam pengelolaan dana.