belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
2. Perjanjian tidak dapat Dibatalkan Sepihak
Jadi berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Keterikatan para pihak terhadap suatu perjanjian akan berakhir apabila akibat-akibat hukum yang ingin dicapai dalam perjanjian tersebut telah terpenuhi.
Namun, walaupun pada dasarnya perjanjian tidak dapat dibatalkan secara sepihak, undang-undang sendiri memberikan kemungkinan untuk mengakhiri perjanjian secara sepihak dalam hal-hal tertentu sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1571 , 1572, 1603 ayat (2), 1604 (o), 1649, dan 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Memang sulit untuk memberikan definisi dari I’tikad baik, namun ada yang mengartikan bahwa I’tikad baik dalam melaksanakan perjanjian adalah perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut.
Contoh perkara “Asuransi Mobil Willys Knight”
Duduk perkaranya secara ringkas adalah sebagai berikut:
N.V. F. Kehding – penggugat – telah menutup perjanjian pertanggun- gan atas mobil Willys Knight milik Greene – tergugat – untuk jangka waktu 1 tahun. Polis telah dibuat dan diserahkan; tetapi beberapa hari kemudian Greene mengirim kabar, bahwa ia menarik diri dari perjanjian pertanggungan itu. Penggugat menagih uang premi pertanggungan, tetapi ditolak oleh tergugat, dengan alasan, bahwa ia telah memberitahukan pembatalan per- janjian pembatalan perjanjian asuransi kepada penggugat dan penggugat tinggal diam, sehingga tergugat berpendapat, bahwa penggugat setuju, sehingga perjanjian itu telah dibatalkan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Penggugat berpendapat bahwa tinggal diamnya penggugat tidak dapat diartikan, bahwa ia setuju dengan pembatalan itu, dan karenanya
Akibat Hukum Perjanjian yang Dibuat Secara Sah
— 87 —
perjanjian itu tetap berjalan, dengan konsekuensinya, tergugat tetap terhu- tang premi yang telah diperjanjikan.
Ketika perkara ini sampai di Residentiegerecht Medan, maka pengadilan memberikan pertimbangan :
- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian pertanggungan yang bersangkutan, pembatalan sebelum waktu yang ditetapkan tidak diatur, sehingga pembatalan sebelum waktunya adalah tidak sah, kecuali dengan sepakat penggugat.
- Bahwa bukankan prinsip ”siapa yang tinggal diam dianggap setuju”
tidak berlaku di sini, apalagi kalau mengenai suatu penyimpangan yang penting atas syarat yang sudah biasa diperjanjikan, mengingat peristiwa ini adalah mengenai perjanjian dua pihak, dimana berlaku ketentuan Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka kan lebih baik kalau sehubungan dengan pembatalan oleh tergugat tersebut diberitahukan kepada penggugat;
- Menimbang bahwa tergugat dan penggugat telah menutup perjanjian yang mengikat mereka sebagai undang-undang, maka tergugat terikat untuk memenuhi keweajiban-kewajiban yang timbul daripadanya yaitu membayar premi tahunan. (J.Satrio, 1995;156-158).
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ”perjanjian yang dibuat secara sah”
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai ”undang-undang”.
3. Apakah perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan secara sepihak. Jelaskan jawaban saudara.
B A B I X
ELEMEN DAN UNSUR PERJANJIAN
1. Elemen (Isi) Perjanjian
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas menyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka elemen-elemen yang mengikat para pihak dalam suatu perjanjian adalah :
a. Isi perjanjian (yang secara dinyatakan di dalam perjanjian) b. Kepatutan
c. Kebiasaan d. Undang-Undang.
Kepatutan, kebiasaan, undang-undang baru bisa berlaku apabila para pihak tidak mengatur/tidak memperjanjikan dan para pihak hanya memperjanjikan hal-hal yang pokok saja (tentang harga dan jenis barangnya saja)
Di dalam praktek di pengadilan, urutan-urutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut mengalami perubahan, karena berdasarkan Pasal 3 AB (Algemeine
Bapalingen) menentukan bawa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang.
Dengan dasar Pasal 3 Algemeine Bepalingen (AB) tersebut di atas, maka pengadilan menempatkan undang-undang di atas kebiasaan, sehingga urutannya menjadi :
a. Isi perjanjian
b. Undang-Undang (Undang-undang yang bersifat pelengkap).
c. Kebiasaan
d. Kepatutan yaitu untuk saling memperhatikan kepentingan orang lain/keadilan masyarakat
Kebiasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan pada umumnya (Gewoonte), namun kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan setempat (kebiasaan khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku didalam golongan tertentu (berstanding gebruitkelijk beding).
Di pengadilan, apabila isi perjanjian tidak mengatur mengenai sesuatu hal maka kita akan melihat hubungan antara :
a. Kebiasaan umum dengan undang-undang b. Kebiasaan khusus dengan undang-undang
Kebiasaan umum tidak bisa mengesampingkan undang-undang sebagaimana terlihat pada keputusan Hoge Raad tanggal 26 Juni 1908 tentang sengketa mengenai uang sewa. Namun pada kebiasaan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat mengesampingkan undang-undang yang bersifat menambah (J.Satrio, 1995; 248).
Jadi kebiasaan khusus derajatnya lebih tinggi dari pada undang- undang sedangkan kebiasaan umum derajatnya lebih rendah dari pada undang-undang.
Menurut J. Satrio, kepatutan mempunyai dua fungsi/peranan, yaitu : (a). Sebagai sumber perikatan yang berdiri sendiri
(b). Sebagai pedoman kalau ada pertentangan antara undang- undang yang bersifat menambah dengan kebiasaan khusus atau janji yang selalu diperjanjikan (J.Satrio, 1995; 253).
Elemen dan Unsur Perjanjian
— 91 —
2. Unsur (Bagian) Perjanjian
Kita harus membedakan antara elemen (isi) perjanjian dengan bagian (unsur) perjanjian, bagian (unsur) perjanjian dibedakan menjadi :
(1). Unsur essensialia
Unsur ini merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian tanpada adanya unsur ini, perjanjian tidak mungkin ada, dengan kata lain merupakan unsur yang menentukan atau menyebabkan perjanjian (constructieve dordeel), seperti :
(a). Persetujuan para pihak (b). Obyek dan perjanjian
Dalam perjanjian riil, unsur essensialia adalah adanya “penyerahan”
sedangkan pada perjanjian formil, unsur essensialia adalah “bentuk tertentu atau harus dengan prosedur tertentu”.
(2). Unsur Naturalia
Unsur ini melekat pada perjanjian yang diatur oleh undang-undang namun dapat dikesampingkan oleh para pihak.
Seperti Pasal 1476 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kewajiban penjual untuk menanggung biasa penyerahan barang (3). Unsur Accidentialia
Unsur ini melekat pada perjanjian yang diatur secara tegas oleh para pihak, sedang undang-undang tidak mengatur tenang hal tersebut.
Seperti ketentuan mengenai domisili pengadilan yang dipilih apabila terjadi sengketa
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1. Sebutkan elemen-elemen perjanjian yang mengikat para pihak dalam perjanjian menurut ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hu- kum Perdata.
2. Apa fungsi kepatutan dalam sebuah perjanjian.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan unsur essensialia, unsur naturalia, dan unsur accidentialia dalam sebuah perjanjian.
B A B X
PELAKSANAAN PERJANJIAN
1. Melaksanakan Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian adalah aspek yang amat penting dalam perjanjian, bahkan dapat dikatakan pelaksanaan perjanjian inilah yang merupakan tujuan-tujuan orang-orang yang mengadakan perjanjian, ka- rena dengan pelaksanaan perjanjian tersebut pihak-pihak yang membuat perjanjian akan dapat memenuhi kewajibannya.
Perjanjian kalau dilihat dari wujudnya merupakan rangkaian kata- kata yang mengandung janji-janji atas kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan/dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pihak yang membuat perjanjian. Dalam perjanjian tercantum hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak yang membuatnya.
Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian tersebut dibuat.
(Riduan Syahrani, 2004;218) . Dengan kata lain melaksanakan perjanjian adalah merealisasikan apa yang sudah disepakati dalam perjanjian.
Apabila perjanjian tersebut merupakan perjanjian sepihak, maka kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut hanya ada pada salah satu pihak saja, sedangkan pihak yang lainnya hanya mempunyai hak. Tetapi pada perjanjian tambal balik, kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut ada pada kedua belah pihak, sehingga kedua belah
pihak secara timbal balik masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadapan satu sama lainnya sebagai contoh dalam perjanjian jual beli, maka pelaksanaan perjanjian adalah :
1. Penjual menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli 2. Pembeli menyerahkan uang harga pembelian barang kepada penjual
2. Riel Eksekusi dan Parate Eksekusi
A. Riel Eksekusi
Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan :
“apabila perikatan tidak dilaksanakan, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”.
Adapun yang dimaksud dengan riel eksekusi adalah bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan, dengan biaya dari debitur, berdasarkan kuasa yang diberikan oleh hakim, apabila debitur enggan melaksanakan prestasi tersebut.
Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi bisa berwujud :
(a). Memberikan sesuatu (b). Berbuat sesuatu (c). Tidak berbuat sesuatu.
Riel eksekusi hanya dilakukan terhadap perikatan yang prestasinya berbuat sesuatu atau perikatan yang prestasinya tidak berbuat sesuatu, sedangkan untuk prestasi memberikan/ menyerahkan sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan ketentuan tentang boleh tidaknya dilakukan eksekusi riel tersebut.
Dalam hal-hal tertentu. Riel eksekusi tidak dapat dilaksanakan, untuk melakukan suatu perbuatan yang sifatnya sangat pribadi, misalnya perjanjian untuk melukis, dalam hal ini eksekusi riel tidak bisa dilaksanakan karena bersifat sangat pribadi dan tidak semua orang dapat melukis seperti yang dilakukan oleh debitur (Subekti, 1979; 36).
Pelaksanaan Perjanjian
— 95 —
Namun undang-undang memberikan perlindungan kepada kreditur untuk menuntut ganti rugi dan uang pemaksa (dwangsom) dari debitur.
Apabila kreditur menuntut ganti rugi, maka ia harus dapat membuktikan bahwa ia menderita kerugian, sedangkan apabila kreditur menuntut uang pemaksa, kreditur cukup mengemukakan bahwa debitur tidak memenuhi prestasinya.
B. Parate Eksekusi
Dalam melaksanakan riel eksekusi harus dipenuhi suatu syarat yaitu adanya izin dari hakim. Ini adalah sebagai akibat dari azas hukum yaitu tidak boleh main hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan perjanjian dari seorang debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya, harus minta bantuan pengadilan.
Namun, sering terjadi debitur sendiri dari semula sudah memberikan persetujuannya bahwa apabila ada sampai lalai, kreditur berhak melaks- anakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian tanpa harus meminta persetujuan hakim.
Sebagai contoh dalam hal gadai, debitur dengan memberikan me- menuhi kewajibannya, barang tanggungan dapat dijual sendiri oleh kre- ditur untuk mengambil pelunasan hutang.
Jadi parate eksekusi merupakan pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri oleh kreditur tanpa melalui hakim.
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar : 1. Apa yang dimaksud dengan ”melaksanakan perjanjian”.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ”riel eksekusi” dan ”parate eks- kusi”
3. Apakah terhadap semua bentuk prestasi dapat dilakukan riel eksekusi, jelaskan jawaban saudara.
B A B X I
TIDAK MELAKSANAKAN PERJANJIAN
1. Wanprestasi
Prestasi adalah suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya yang telah ditetapkan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi.
Macam-Macam Wanprestasi
Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya (Subekti, 1979; 45).
Menurut Riduan Syahrani, wanprestasi terbagi dalam 4 macam, yaitu:
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi b. Tidak tunai memenuhi prestasi c. Terlambat memenuhi prestasi
d. Keliru memenuhi prestasi (Riduan Syahrani, 2004;218) .
Terhadap kelalaian (wanprestasi), debitur dibebani sanksi berupa : a. Membayar kerugian yang diderita kreditur (membayar ganti rugi) b. Membatalkan perjanjian
c. Peralihan resiko
d. Membayar biaya perkara di pengadilan.
Sebaliknya kreditur dapat memilih alternatif tuntutan kepada debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut :
(1). Pemenuhan perjanjian
(2). Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi (3). Ganti rugi
(4). Pembatalan perjanjian
(5). Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi
Apabila kreditur hanya menuntut ganti rugi, maka ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian.
Sedangkan kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan perjanjian, maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perjanjian memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.
Ketentuan mengenai ganti rugi diatur dalam Pasal 1243 sampai 1253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian berupa biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran/perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur rugi adalah segala kerugian karena musnahnya/rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur, sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan (Subekti, 1979; 47).
Walaupun kreditur dapat menuntut ganti rugi kepada debitur, namun kerugian yang dapat dituntut jumlahnya dibatasi oleh Pasal 1247, 1248 dan 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tidak Melaksanakan Perjanjian
— 99 —
Menurut Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa “Siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Selanjutnya Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa “Jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Jadi menurut ketentuan Pasal 1247 dan Pasal 1248 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, ganti rugi yang dapat dituntut hanyalah meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
Adapun mengenai bunga yang dapat dituntut, berdasarkan ketentuan Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bunga yang dapat dituntut adalah tidak boleh melebihi personen yang ditetapkan dalam undang-undang (tentang bunga moratoir sebagaimana dimuat dalam lembaran negara tahun 1848 No.2, bunga ditetapkan 6 persen setahun).
Penentuan bunga yang dituntut kepada debitur yang wanprestasi, baru dihitung sejak dimasukkannya surat gugatan ke pengadilan (Subekti, 1979; 49).
Pembelaan Debitur yang Dituduh Wanprestasi
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan pembelaan untuk membebaskan diri dari tuntutan kreditur. Pembelaan debitur yang dituduh wanprestasi tersebut ada 3 (tiga) macam yaitu :
1). Mengajukan alasan tentang adanya keadaan memaksa (overmacht) atau force major
2). Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri telah lalai (exception non adempleti contractus)
3). Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking) (Subekti; 1979, 55).
Berikut akan kita uraikan satu persatu mengenai alasan pembelaan debitur yang dituduh wanprestasi :
2. Keadaan Memaksa (Overmacht)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai overmacht diatur dalam Pasal 1244, 1245, dan 1444, namun tidak dirumuskan mengenai definisi overmacht secara pasti. Menurut Subekti overmacht adalah suatu kejadian yang tak terduga, tidak sengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janjinya (Subekti; 1979, 56).
Dengan mengajukan alasan overmacht, maka debitur berusaha untuk membuktikan bahwa ia tidak dapat memenuhi prestasi yang disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tersebut. Dengan kata lain tidak terlaksananya perjanjian atau terlambatnya pelaksanaan perjanjian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Menurut ketentuan Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ”Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika i’tikad buruk tidak ada padanya”.
Selanjutnya dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak disengaja, si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Tidak Melaksanakan Perjanjian
— 101 —
Dengan demikian, maka menurut ketentuan Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keadaan memaksa (overmacht) merupakan salah satu alasan untuk dibebaskannya debitur dari kewajiban membayar ganti rugi. Namun debitur wajib membuktikan tentang terjadinya hal yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dipertang gug- jawabkan kepadanya, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat terlaksana.
Macam-Macam Overmacht
Pada awalnya para sarjana selalu mengartikan keadaan memaksa (overmacht) sebagai suatu keadaan yang bersifat mutlak, dimana dalam keadaan mana suatu perikatan tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun juga, pikiran seperti ini tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang begitu hebatnya sehingga menyebabkan debitur tidak mungkin memenuhi kewajibannya., namun lambat laun timbul suatu pengertian
(1). Overmacht Absolut (mutlak)
Yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan Bagaimanapun tidak mungkin bisa dilaksanakan. Terhadap overmacht absolut berakibat pada hapusnya perjanjian.
(2). Overmacht relatif (nisbi)
Yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan- pengorbanan yang demikian besarnya, sehingga tidak lagi sepantas- nya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut. Terhadap overmacht relatif ini, perjanjian masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya, apabila yang merintangi sudah berhenti.
Kalau tidak terlaksananya perjanjian disebabkan wanprestasi, maka kreditu dapat menuntut ganti rugi kepada debitur yang tidak memenuhi perjanjian, namun kalau tidak terlaksananya perjanjian disebabkan oleh overmacht, maka timbul istilah “risiko”.
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Misalkan Barang yang diperjualbelikan musnah diperjalanan pada saat mau diserahkan, atau
barang yang nerupakan obyek sewa terbakar habis saat waktu sewa masih berjalan. Dalam hal ini siapa yang harus menanggung kerugian, inilah muncul persoalan risiko.
Pengaturan Risiko dalam Perjanjian
(a). Dalam perjanjian sepihak berdasarkan ketentuan Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”.
Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini berlaku terhadap perjanjian hibah dan perjanjian pinjam pakai.
(b). Dalam perjanjian jual beli, menuru ketentuan Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “ Jika barang byang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya”.
Namun menurut Surat Edaran mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dianggap sebagai pasal yang mati karena menimbulkan ketidak adilan bagi para pihak , sehingga hakim dalam memutus perkara mengenai risiko dalam perjanjian jual beli dihimbau agar tidak lagi mempedomani pasal tersebut.
(c). Dalam perjanjian tukar menukar mengenai risiko berlaku ketentuan Pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Jika suatu barang tertentu, yang telah diperjanjikan untk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar itu”.
Ketentuan risiko dalam perjanjian tukar menukar ini umumnya dipakai sebagai pedoman dalam menentukan risiko terhadap perjanjian timbal balik (Subekti’ 1979; 63).
(d). Risiko dalam perjanjian sewa menyewa ditur dalam Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Jika selama waktu sewa,
Tidak Melaksanakan Perjanjian
— 103 —
barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum”.
Dari kata “gugur demi hukum” dapat disimpulkan bahwa masing- masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya.
Dengan kata lain kerugian akibat musnahnya barang yang menjadi obyek sewa dipikul oleh pemilik barang, hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang umumnya dipedomani dalam perjanjian timbale balik.
3.
Exceptio Non Adempleti ContractusPada perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban disatu pihak berhadapan dengan hal dan kewajiban dipihak lain, sehingga dikenal asas bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus sama-sama memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karenanya tidak logis apabila salah satu pihak menuduk pihak lain wanprestasi padahal ia sendiri juga dalam keadaan lalai (wanprestasi).
Oleh karena itu, maka seseorang yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggungjawaban atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang dinamakan “exeptio non edemplet contractus”.
“Exeptio non edempleti contractus” adalah tangkisan yang menyatakan bahwa debitur tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Asalkan debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya, maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa- apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian tersebut.
4.
RechtsverwerkingSeorang debitur yang dituduh wanprestasi, sealu dapat membela dirinya dengan mengajukan alasan overmacht, exceptio non adempleti contractus, juga dapat mengajukan rechtsverweking (pelepasan hak).