H U K U M PERJANJIAN
Teori dan Perkembangannya
ZAKIYAH, S.H., M.H.
Teori dan Perkembangnnya
© Zakiyah, S.H., M.H. 2015 viii+ 115 hlm ; 16 x 24 cm Cetakan II, Maret 2017 ISBN: 978-602-1090-28-1 Penulis: Zakiyah, S.H., M.H.
Penata Letak: Lingkar Media Desain Sampul: Lingkar Media Copyright © 2015
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya tapa izin tertulis dari penerbit Diterbitkan Oleh:
Lentera Kreasindo Jl. Depokan II, No. 530
Peleman, Kotagede,Yogyakarta Telp (0274) 443 6767, 0815 7876 6720 Email: [email protected] Dicetak Oleh:
Lingkar Media Yogyakarta
Telp (0274) 443 6767, 0856 4345 5556
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah akhirnya penulisan buku ini dapat diselesaikan.
Buku “Hukum Perjanjian (Teori dan Perkembangannya)” dalam penyajiannya penulis berusaha menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan disajikan secara ringkas, sehingga sangat cocok bagi para pemula dalam mempelajari ilmu hukum dan juga bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang menempuh mata kuliah hukum perjanjian, karena disusun sesuai dengan Silabus dan Garis-Garis Besar Program Perkuliahan (GBPP) mata kuliah hukum perjanjian.
Buku ini berusaha mengupas mengenai teori dan perkembangan hukum perjanjian serta beberapa putusan Hoge Raad yang sangat mempengaruhi hukum perjanjian di Indonesia. Secara garis besar buku ini berisi istilah dan pengertian dari perjanjian dan perikatan, macam-macam perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, Memorandum of Understanding, Perjanjian Baku, Pelaksanaan Perjanjian, Wanprestasi, Overmacht, dan penafsiran perjanjian, serta pada akhir setiap bab diberikan daftar pertanyaan yang dapat digunakan sebagai sarana latihan untuk menilai penguasaan terhadap materi yang telah dipelajari.
Akhirnya kepada semua pihak yang terlibat membantu dalam penyusunan hingga terbitnya buku ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga, semoga usaha dan komitmen untuk memajukan dunia pendidikan menjadi kebajikan yang tak ternilai harganya, dan semoga setiap manfaat dari buku ini dicatat sebagai amal jariyah bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Banjarmasin, Maret 2010
Penulis
Banjarmasin, Februari 2015
Suami penulis Drs. Mukhlis Takwin, S.H. dan Anak-anakku tersayang M. Ishmat Ihza Pratama, A. Ihya Ridhoni Takwin & Ikhwaninejad Ramadhani,
Terima kasih atas dukungan, Perhatian, dan waktu yang kalian berikan
hingga terbitnya buku ini
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... V DAFTAR ISI ... VII
BAB I PERJANJIAN DAN PERIKATAN ... 1
1. Istilah Perjanjian dan Perikatan ... 1
2. Pengertian Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ... 2
3. Perjanjian dalam Arti Sempit dan Arti Luas ... 4
4. Pengertian Perikatan ... 4
5. Hubungan antara Perjanjian dengan Perikatan ... 5
BAB II PEMBEDAAN / MACAM-MACAM PERJANJIAN ... 9
1. Perjanjian Sepihak, Perjanjian Timbal Balik, dan Perjanjian Timbal Balik Tak Sempurna ... 9
2. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Rill, dan Perjanjian Formil ... 11
3. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, dan Perjanjian Campuran ... 12
4. Perjanjian Liberator, Perjanjian Obligator & Perjanjian Kebendaan (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001, 67). ... 14
5. Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan dan Perjanjian Publik ... 15
Daftar Pertanyaan ... 15 III V
Daftar Pertanyaan ...
BAB III SISTEM TERBUKA DAN ASAS KEBABASAN
BERKONTRAK ... 17
1. Pengertian Sistem Terbuka dan Asas Kebebasan Berkontrak ... 17
2. Tujuan, Akibat dan Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak ... 18
Daftar Pertanyaan ... 19
BAB IV ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ... 21
1. Asas Kekuatan Mengikat ... 21
2. Asas Konsensualitas ... 22
3. Asas I’tikad Baik ... 22
Daftar Pertanyaan ... 29
BAB V SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN (BESTAANDBAARHEID) ... 31
1. Sepakat (Toestemming) ... 33
2. Kecakapan ... 45
3. Suatu Hal Tertentu ... 50
4. Sebab (Kausa) Yang Halal ... 51
Daftar Pertanyaan ... 53
BAB VI MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) ... 55
1. Istilah dan Pengertian Memorandum Of Understanding ... 55
2. Pengaturan Memorandum of Understanding ... 57
3. Jenis-Jenis Memorandum of Understanding ... 59
4. Tujuan Dibuatnya Memorandum of Understanding ... 61
5. Ciri-Ciri Memorandum of Understanding ... 61
6. Kekuatan Mengikat Memorandum of Underststanding 62 Daftar Pertanyaan ... 68
BAB VII PERJANJIAN BAKU (STANDAR CONTRACT) ... 69
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Baku ... 69
2. Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Baku... 71
vii
4. Jenis-jenis Perjanjian Baku ... 75
5. Bentuk dan Isi Perjanjian Baku ... 77
6. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku ... 79
7. Klausula Exonoratie ... 81
Daftar Pertanyaan... 84
BAB VIII AKIBAT HUKUM PERJANJIAN YANG DIBUAT SECARA SAH ... 85
1. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian ... 85
2. Perjanjian tidak dapat Dibatalkan Sepihak ... 86
Daftar Pertanyaan... 87
BAB IX ELEMEN DAN UNSUR PERJANJIAN ... 89
1. Elemen (Isi) Perjanjian ... 89
2. Unsur (Bagian) Perjanjian ... 91
Daftar Pertanyaan... 91
BAB X PELAKSANAAN PERJANJIAN ... 93
1. Melaksanakan Perjanjian ... 93
2. Riel Eksekusi dan Parate Eksekusi ... 94
Daftar Pertanyaan... 95
BAB XI TIDAK MELAKSANAKAN PERJANJIAN ... 97
1. Wanprestasi ... 97
2. Keadaan Memaksa (Overmacht) ... 100
3. Exceptio Non Adempleti Contractus ... 103
4. Rechtsverwerking ... 103
5. Actio Pauliana ... 104
Daftar Pertanyaan ... 105
BAB XII PENAFSIRAN PERJANJIAN... 107
Pedoman dalam Menafsirkan Perjanjian ... 107
Daftar Pertanyaan ... 109
DAFTAR BACAAN ... 111
LAMPIRAN ... 115
BIOGRAFI PENULIS 134 BIOGRAFI PENULIS ... 134115 g y j j 3. Landasan Hukum Perjanjian Baku ... 72
Daftar Isi
B A B I
PERJANJIAN DAN PERIKATAN
1. Istilah Perjanjian dan Perikatan
Pembuat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan perumusan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “perjanjian”
yaitu dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang HukumPerdata, namun tidak ada menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘perikatan’.
Selain itu kata ‘verbintenis’ dan ‘overeenkomst’ seringkali diterjemahkan dengan beberapa terjemahan yang tidak seragam. Ada yang menerjemahkan verbintenis menjadi perikatan, perutangan bahkan perjanjian, sementara itu ada pula sarjana yang menterjemahkan overeenkomst menjadi per setujuan, sebagaimana terlihat dari beberapa pendapat sarjana hukum berikut ini :
(1) Subekti dan Tjiptosudibio dalam bukunya Kita Undang-Undang Hukum Perdata menterjemahkan kata verbintenis menjadi perikatan dan kata overenkomst diterjemahkan menjadi persetujuan.
(2) Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia menerje mahkan verbintenis menjadi perutangan dan overeenkomst diterjemahkan menjadi perjanjian
(3) Achmad Ihsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menggunakan verbintenis untuk perjanjian dan overenkomst untuk persetujuan
Dari beberapa pendapat di atas, untuk kata verbintenis dikenal tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan dan perjanjian, sedangkan untuk kata overeenkomst terdapat dua terjemahannya yaitu perjanjian dan persetujuan.
Sebelum menggunakan sesuatu istilah, terlebih dahulu harus diketahui apa isi atau makna dari istilah tersebut. Jadi kalau kita berhadapan dengan istilah “verbintenis” dan “overeenkomst”, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian apa yang tersimpul di dalam istilah tersebut.
“Verbintenis” berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat, jadi menunjukkan adanya ikatan atau hubungan. Hal ini sesuai dengan definisi dari perikatan yaitu sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut, maka selanjutnya kita menggunakan istilah verbintenis untuk diterjemahkan menjadi perikatan (R.Setiawan, 1987; 1).
Sedangkan ‘Overenkomst’ berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju atau sepakat, jadi overeenkomst mengandung arti kata sepakat, hal ini tentunya sesuai dengan salah satu asas dari perjanjian yaitu asas konsensualitas (perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat), oleh karena itu terjemahan dari overeenkomst harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut, maka istilah overeenkomst lebih tepat diterjemahkan menjadi persetujuan (R.Setiawan, 1987; 2), dan dalam buku ini penulis menggunakan istilah perjanjian.
2. Pengertian Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dirumuskan bahwa perjanjian (persetujuan) adalah : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari isi ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur dari perjanjian yaitu :
(1). Unsur perbuatan
(2). Unsur satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
Perjanjian dan Perikatan
— 3 —
Rumusan perjanjian sebagaimana tersebut di atas, menurut para sarjana hukum diantaranya Subekti, mengandung kelemahan- kelemahan.
“Unsur Perbuatan”
Kata ‘perbuatan’ didalam definisi perjanjian tersebut mengandung kelemahan, karena mempunyai makna yang terlalu luas, dimana kata perbuatan bisa mengandung arti :
a. Perbuatan / tindakan hukum
b. Perbuatan manusia lainnya (bukan tindakan hukum) c. Zaakwaarneming
d. Onrechtmatigedaad (J.Satrio, 1995, 24).
Zaakwaarneming dan onrechtmatigedaad memang timbul dikarenakan perbuatan manusia atau tindakan manusia dan akibatnya menimbulkan perikatan diantara para pihak, dimana diantara para pihak timbul hak dan kewajiban secara bertimbal balik, namun kita tentunya sudah mengetahui kalau zaakwaarneming dan onrechtmatigedaad tidak didasarkan/tidak didahului oleh perjanjian diantara para pihak, dan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara para pihak tidak diperjanjikan sebelumnya, tetapi ditentukan oleh ketentuan undang-undang, jadi adakalanya akibat hukum yang ditimbulkan tidak dikehendaki oleh para pihak.
Jadi untuk kata perbuatan mengandung beberapa makna dan akan lebih tepat jika diganti dengan “perbuatan hukum/tindakan hukum”, sehingga terlihat bahwa akibat dari perjanjian tersebut memang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak yang membuat perjanjian (J.Satrio, 1995, 25).
“Unsur Mengikatkan Diri Terhadap Satu Orang Lain atau Lebih”
Unsur ini dirasakan mengandung makna yang terlalu sempit, karena kalau kita cermati kata-kata mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih maka akan timbul kesan adanya satu orang atau lebih yang tertarik kepada satu orang lainnya atau lebih, seolah-olah hanya salah satu pihak saja yang aktif mengikatkan dirinya, sedangkan pihak lainnya hanya pasif,
jadi di satu pihak hanya ada kewajiban dan di pihak lain hanya ada hak, hal ini hanya cocok untuk perjanjian sepihak saja, karena kalau perjanjian yang bertimbal balik terdapat hak dan kewajiban pada kedua belah pihak secara bertimbal balik, padahal perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lebih banyak bersifat dua pihak atau perjanjian timbal balik, dimana bagi kedua belah pihak terdapat kewajiban dan juga hak.
Dengan demikian sebaiknya perumusan unsur tersebut di atas diubah menjadi “dimana kedua belah pihak saling mengikat diri” (J.Satrio, 1995, 27).
Dengan demikian definisi perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perlu disempurnakan menjadi :
“perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih tentang sesuatu hal”.
3. Perjanjian dalam Arti Sempit dan Arti Luas
Perjanjian dalam arti sempit hanya mencakup perjanjian yang ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan saja sebagaimana yang diatur dalam Bulu III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari hukum perikatan sedangkan hukum perikatan merupakan bagian diri hukum harta kekayaan, maka hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian adalah hubungan dalam lapangan hukum harta kekayaan, dan dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.
Adapun perjanjian dalam arti luas mencakup semua perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikehendaki para pihak.
Jadi perjanjian dalam arti luas tidak hanya diatur dalam lapangan hukum harta kekayaan saja, tetapi juga mencakup Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti perjanjian kawin (J.Satrio, 1995, 28).
4. Pengertian Perikatan
Mengenai definisi dari perjanjian telah diatur didalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun mengenai definisi dari perikatan
Perjanjian dan Perikatan
— 5 —
tidak ditemukan satu pasal pun dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan definisinya, sehingga untuk memberikan definisi mengenai perikatan para sarjana memberikan definisi yang berbeda-beda, diantaranya Riduan Syahrani dalam bukunya Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata memberikan definisi bahwa perikatan adalah “hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan hukum harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi” (Riduan Syahrani, 2004; 196).
Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur perikatan adalah : a. Hubungan hukum
b. Dilapangan hukum harta kekayaan c. Ada dua pihak
d. Prestasi
5. Hubungan antara Perjanjian dengan Perikatan
Setelah mengetahui definisi dari perjanjian dan perikatan, selanjutnya kita membicarak an hubungan antara perjanjian dan perik atan, sebagaimana yang digambarkan dalam skema berikut ini :
SUMBER PERIKATAN (Ps.1233 BW)
PERJANJIAN UNDANG-UNDANG
UU SAJA UU KARENA
PERBUATAN MANUSIA
KARENA PERBUATAN MANUSIA YANG SESUAI
DENGAN HUKUM (Ps.1354-1358 BW)
KARENA PERBUATAN MANUSIA YG MELAWAN
HUKUM (Ps.1365-1380 BW) SUMBER PERIKATAN
(Ps.1233 BW)
PERJANJIAN UNDANG-UNDANG
UU SAJA UU KARENA
PERBUATAN MANUSIA
KARENA PERBUATAN MANUSIA YANG SESUAI
DENGAN HUKUM (Ps.1354-1358 BW)
KARENA PERBUATAN MANUSIA YG MELAWAN
HUKUM (Ps.1365-1380 BW)
Dari skema di atas terlihat bahwa : Sumber perikatan ada dua hal yaitu : a. Perjanjian;
b. Undang-Undang.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi menjadi : a. Bersumber dari undang-undang saja;
b. Bersumber dari undang-undang karena perbuatan manusia.
Selanjutnya Perikatan yang bersumber dari undang-undang karena perbuatan manusia terbagi lagi menjadi :
a. Perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum, seperti zaakwaarneming dan onverschuldigde betaling
b. Perbuatan manusia yang melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Dengan demikian hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan.
Adapun perbedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dengan perikatan yang lahir dari undang-undang adalah :
a. Perikatan yang lahir dari perjanjian : akibat-akibat hukum yang ditimbul kan memang dikehendaki oleh para pihak karena sebelum lahirnya perikatan sudah didahului oleh perjanjian yang disepakati oleh para pihak;
b. Perikatan yang lahir dari undang-undang; akibat-akibat hukum yang ditimbulkan sudah ditentukan oleh undang-undang, jadi adakalanya akibat hukum yang ditimbulkan tidak dikehendaki oleh para pihak.
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1. Apa pengertian dari perjanjian dan perikatan, dan dimana rumusan pengertian tersebut ditemukan.
2. Jelaskan secara singkat kelemahan dari rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Jelaskan hubungan antara perjanjian dengan perikatan.
Perjanjian dan Perikatan
— 7 —
4. Jelaskan perbedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dengan perikatan yang lahir dari undang-undang.
5. Jelaskan mana yang lebih luas cakupannya antara perikatan dengan perjanjian.
B A B I I
PEMBEDAAN / MACAMMACAM PERJANJIAN
1. Perjanjian Sepihak, Perjanjian Timbal Balik, dan Perjanjian Timbal Balik Tak Sempurna
A. Perjanjian Sepihak
Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok hanya pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak lain hanya ada hak saja.
Pihak I : terdapat kewajiban / terdapat hak Pihak II : terdapat hak / terdapat kewajiban Contoh perjanjian sepihak :
(1). Perjanjian hibah
(2). perjanjian kuasa tanpa upah (3). Perjanjian Pinjam pakai cuma-cuma
(4). Perjanjian Pinjam mengganti cuma-cuma (verbruiklening) (5). Perjanjian penitipan barang cuma-cuma
B. Perjanjian Timbal Balik (Bilateral)
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kepada kedua belah pihak, hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu sama lainnya.
Pihak I : ada kewajiban & ada hak Pihak II : ada hak & ada kewajiban Contoh perjanjian timbal balik : (1). Perjanjian jual beli
(2). Perjanjian tukar menukar (3). Perjanjian sewa menyewa
C. Perjanjian Timbul Balik Tak Sempurna
Perjanjian timbal balik tak sempurna sebenarnya merupakan perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, namun dalam hal-hal tertentu dapat timbul kewajiban dapat timbul kewajiban-kewajiban pada pihak lainnya (J.Satrio, 1995; 45).
Contoh dari perjanjian timbal balik tak sempurna adalah perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Perjanjian ini sebenarnya merupakan perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak (penerima kuasa berkewajiban untuk mengurus semua urusan yang dikuasai kepadanya tanpa ada hak untuk menuntut pembayaran karena pemberian kuasa tanpa upah), dan hak hanya ada pada salah satu pihak (pihak pemberi kuasa berhak untuk diurusi semua urusan yang ia kuasakan kepada penerima kuasa tanpa adanya kewajiban untuk membayar imbalan/upah kepada penerima kuasa), namun dalam hal-hal tertentu misalkan si penerima kuasa mengeluarkan ongkos-ongkos untuk pelaksanaan kuasanya, maka pemberi kuasa wajib mengganti ongkos- ongkos tersebut (Pasal 1808, 1809, 1810 Kitab Undang Undang Hukum Perdata) sehingga sekarang timbul kewajiban pula pada pihak pemberi kuasa, tetapi kewajiban yang timbul kemudian ini bukan merupakan kontra prestasi terhadap pihak lain.
Manfaat Pembedaan (1). Dalam hal resiko
Pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik tak sempurna, resiko ada pada kreditur. Sedangkan pada perjanjian timbal balik pada asasnya resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli berdasarkan Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
Perbedaan/Macam-macam Perjanjian
— 11 —
resiko ada pada kreditur. Tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 dianjurkan kepada hakim supaya menganggap Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sebagai ketentuan yang sudah mati, dan masalah resiko dalam perjanjian jual beli dinilai menurut keputusan dalam kasus yang bersangkutan.
(2). Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja. Apabila perjanjian yang ditutup adalah perjanjian timbal balik dan salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban perikatannya sebagaimana mestinya, maka pihak lawan janjinya berhak menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini penting sehubungan dengan adanya tingkisan bahwa pihak lawan janjinya pun tidak memenuhi kewajiban perikatannya (exceptioe non adempleti contractus) (J.Satrio, 1995; 47).
2. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Rill, dan Perjanjian Formil
A. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana dengan adanya kata sepakat diantara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjiannya yang bersangkutan.
Pada umumnya perjanjian yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bersifat konsensuil, kecuali ada beberapa perjanjian tertentu yang termasuk dalam perjanjian formil.
B. Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi obyek perjanjian telah diserahkan.
Contoh perjanjian riil adalah : (1). Perjanjian utang piutang
(2). Perjanjian pinjam pakai (3). Perjanjian penitipan barang C. Perjanjian Formil
Perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kata sekapat saja, tetapi juga mensyaratkan penuangan perjanjian tersebut dalam suatu bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan formalitas tertentu.
Adakalanya untuk perjanjian-perjanjian tertentu undang-undang menentukan bahwa suatu perjanjian baru sah selain harus memenuhi syarat umum untuk sahnya perjanjian, tetapi juga harus dituangkan dalam akta otentik.
Contoh perjanjian formil : (1). Perjanjian kawin
(2). Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik.
3. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, dan Perjanjian Campuran
A. Perjanjian Bernama Benoemde / Nominaatcontracten
Perjanjian bernama disebut juga perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama khusus, maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan type yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001; 67).
B. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde / Innominaatcontracten) Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi perjanjian ini banyak ditemui di dalam praktik sehari-hari (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001; 67).
Dengan kata lain perjanjian ini di dalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur secara khusus didalam undang-undang (J.Satrio, 1995; 148)
Perbedaan/Macam-macam Perjanjian
— 13 — Maksud Pembedaan
Ketentuan umum tentang perjanjian yang dimuat didalam Titel I, II, IV Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk semua perjanjian (baik perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama) sepanjang undang-undang tentang perjanjian bernama tersebut tidak memberikan pengaturan tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum, di sini berlaku asas umum lex specialis derogate lex generalis.
C. Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama, dimana ciri-ciri atau unsur-unsur tersebut Terjalin menjadi satu sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri (J.Satrio,1995;151)
Contoh perjanjian campuran :
Perjanjian sewa beli, perjanjian ini mengandung unsur-unsur perjanjian bernama, yaitu :
(1). Perjanjian sewa menyewa, karena selama membayar cicilan, pembeli sewa boleh menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut;
(2). Perjanjian jual beli, karena pada akhirnya setelah penjual sewa menerima pelunasan pembayaran, pembeli berubah menjadi pemilik.
Teori-teori tentang Perjanjian Campuran (1). Teori Kombinasi/Komulasi
Menurut teori ini, unsur-unsur perjanjian dipisah-pisahkan dulu, kemudian untuk masing-masing unsur diterapkan ketentuan perjanjian bernama yang cocok untuk unsur tersebut.
Kelemahan dari teori ini adalah apabila ketentuan-ketentuan perjan- jian tersebut saling bertentangan satu sama lainnya.
(2). Teori Absorpsi
Menurut teori ini untuk perjanjian campuran dilihat dulu unsur mana dalam perjanjian tersebut yang paling menonjol, kemudian diterapkan
peraturan perjanjian yang sesuai dengan unsur yang paling dominan tersebut. Sedangkan unsur yang lainnya dikalahkan seakan-akan unsur tersebut dihisap oleh unsur yang dominan tersebut.
Kelemahan dari teori ini adalah, tidak ada patokan yang pasti dalam memutuskan unsur mana yang paling dominan di dalam perjanjian tersebut.
(3). Teori Sui Generis
Teori ini memandang perjanjian campuran sebagai perjanjian yang tersendiri (perjanjian sui generis atau perjanjian yang mempunyai ciri tersendiri. Peraturan perjanjian bernama yang unsur-unsurnya muncul dalam perjanjian tersebut dapat diterapkan secara analogis (J.Satrio,1995;153-157)
4. Perjanjian Liberator, Perjanjian Obligator & Perjanjian Kebendaan (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001, 67).
A. Perjanjian Liberator
Perjanjian liberator adalah perjanjian dimana para pihak Membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Jadi perjanjian liberator merupakan perjanjian yang menghapuskan perikatan.
Contoh perjanjian liberator adalah perjanjian pembebasan hutang (kwijschelding) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1438 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
B. Perjanjian Obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Perjanjian obligator merupakan perjanjian yang melahirkan perikatan.
Perbedaan/Macam-macam Perjanjian
— 15 — C. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengoperkan/mengalihkan hal milik atas benda, disamping mengalihkan juga untuk menimbulkan, Mengubah atau menghapus hak-hak kebendaan.
5. Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan dan Perjanjian Publik
A. Perjanjian Pembuktian
Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menetap- kan alat-alat bukti apa yang dapat digunakan dalma hal terjadi perselisihan antara mereka (Mariam Darus Badrulzaman, 2001, 69).
B. Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian yang obyeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). (Mariam Darus Badrulzaman, 2001, 69) C. Perjanjian Publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah pihak swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (co-ordinated). Misalnya perjanjian ikatan dinas (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001, 69).
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan :a. Perjanjian sepihak, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian sepihak b. Perjanjian timbal balik, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian timbal
balik
c. Perjanjian timbal balik tak sempurna, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian timbal balik tak sempurna
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan :
a. Perjanjian bernama, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian bernama b. Perjanjian tidak bernama, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian tidak
bernama.
c. Perjanjian campuran, berikan 3 (tiga) contoh perjanjian campuran.
3. Jelaskan 3 (tiga) teori tentang perjanjian campuran
B A B I I I
SISTEM TERBUKA DAN
ASAS KEBABASAN BERKONTRAK
1. Pengertian Sistem Terbuka dan Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian diatur di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menganut sistem terbuka yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan keleluasaan/ kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan adanya kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi diatur sendiri di dalam perjanjian.
Sedangkan kedudukan rangkaian, pasal-pasal hukum perjanjian hanyalah bersifat mengatur atau sebagai “pelengkap” saja (aanvullend recht), karena pasal-pasal dari hukum perjanjian dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap (Subekti, 1979;
13).
Pelengkap disini berarti bahwa pasal-pasal hukum perjanjian tersebut boleh disimpangi/disingkirkan oleh para pihak yang membuat perjanjian, apabila mereka menghendakinya, dan peraturan-peraturan tentang hukum perjanjian hanya berlaku apabila para pihak tidak mengaturnya di dalam perjanjian.
Sistem terbuka mengandung suatu asas yaitu asas kebebasan berkontrak yang merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Adapun dasar hukum dari asas kebebasan berkontrak ini adalah pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”
Kata “Semua” yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menunjuk kepada semua jenis perjanjian, baik perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama.
Kata “Secara sah” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan bahwa perjanjian yang mengikat sebagai undang-undang haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Tujuan, Akibat dan Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak
Tujuan pembentuk undang-undang memasukkan asas kebebasan berkontrak sebagai asas hukum dalam hukum perjanjian adalah untuk menghindari kevakuman/kekosongan hukum yang bisa mengakibatkan kemacetan di dalam dunia perdagangan/bisnis.
Adapun akibat (konsekuensi) dari adanya asas kebebasan berkontrak adalah :
(1). Aneka perjanjian yang termuat di dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanyalah sebagai contoh belaka
Sistem Terbuka dan Asas Kebabasan Berkontrak
— 19 —
(2). Ketentuan-ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya merupakan hukum pelengkap/menambah saja
Asas kebebasan berkontrak ini bukan berarti memberikan kebebasan yang seluas-luasnya tetapi juga mendapat pembatasan dari Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dibatasi oleh :
(1). Undang-Undang (2). Kesusilaan (3). Ketertiban umum.
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1. Buku ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka. Jelaaskan apa maksud dari pernyataan tersebut.
2. Apa yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak, disertai dengan dasar hukumnya.
3. Apa tujuan diadakannya asas kebebasan berkontrak.
4. Jelaskan apa konsekuensi adanya asas kebebasan berkontrak terhadap ketentuan-ketentuan dalam Buku ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan terhadap perjanjian yang ada dalam Buku ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5. Sebutkan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak
B A B I V
ASASASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN
Hukum perjanjian yang diatur di dalam ketentuan Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka dan mengandung asas kebebasan berkontrak.
Selain asas kebebasan berkontrak ada beberapa asas yang tidak kalah pentingnya di dalam hukum perjanjian antara lain:
1. Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat juga dikenal dengan istilah asas pasca sun servanda yang berkaitan erat dengan daya mengikatnya suatu perjanjian
Dasar hukum dari asas kekuatan mengikat adalah ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.
Jadi perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti daya mengikatnya sebuah undang-undang.
Maksud diadakannya asas kekuatan mengikat ini dalam suatu perjanjian tidak lain adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak di dalam perjanjian. Menurut Subekti Tujuan asas kekuatan mengikat ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada pihak pembeli (dalam perjanjian jual beli) agar mereka tidak perlu merasa khawatir akan hak- haknya karena perjanjian yang mereka buat tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya
2. Asas Konsensualitas
Maksud dari asas konsensualitas adalah suatu perjanjian sudah ada / telah lahir) sejak detik tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok dalam perjanjian
Dasar hukum dari asas konsensualitas adalah Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang pertama yaitu adanya kata sepakat.
Pengecualian terhadap asas konsensualitas adalah dalam hal suatu perjanjian disyaratkan suatu bentuk/formalitas tertentu (perjanjian formil), dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhinya formalitas tersebut seperti pada perjanjian perdamaian yang harus dibuat secara tertulis.
3. Asas I’tikad Baik
Dasar Hukum dari adanya asas i’tikad baik adalah ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yaitu “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan i’tikad baik”
I’tikad baik berarti bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain (P.L.Wery, 1990; 9).
Hogeraad dalam putusannya tanggal 9 Pebruari 1923 merumuskan perjanjian harus dilaksanakan dengan ”redelijkheid en billijkheid “ yang diterjemahkan menjadi “kewajaran dan keadilan”. Redelijkheid diartikan dengan dapat dimengerti dengan intelek, dengan akal sehat, dengan budi (reasonable), sedangkan billijkheid berarti dapat dirasakan dengan sopan, sebagai patut dan adil. Jadi redelijkheid en billijkheid meliputi semua yang dapat ditangkap baik dengan intelek maupun dengan perasaan (P.L.Wery, 1990; 9).
Pengertian i’tikad baik mengandung dua dimensi, yaitu i’tikad baik dalam dimensi subyektif yang mengarah kepada Kejujuran, sedangkan i’tikad baik dalam dimensi obyektif diartikan sebagai kerasionalan,
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
— 23 —
kepatutan dan keadilan. i’tikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata didasarkan kepada kerasionalan, kepatutan dan keadilan.
(Ridwan Khairandy, 2004; 194).
Bekerjanya asas i’tikad baik ini tidak saja setelah perjanjian dibuat (pelaksanaan perjanjian), tetapi juga bekerja sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian (pra kontrak).
Menurut Subekti ketentuan tentang I’tikad baik mengandung makna bahwa hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar jangan sampai melanggar kepatutan dan keadilan, maka hakim dapat mencegah pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan masyarakat, dengan cara mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban dalam perjanjian.
A. Fungsi I’tikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian (1). Fungsi menambah (aanvullende werking van de geode trouw)
Dengan i’tikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu, dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan-ketentuan perundang- undangan mengenai perjanjian tersebut.
Contoh kasus putusan Hogeraad tanggal 10 Pebruari 1921 tentang Perseroan Firma.
Putusan ini mengenai seorang pesero pengurus (beherend vennoot) dari suatu perseroan firma. Pesero tersebut secara pribadi mendirikan suatu perusahaan yang bersaing dengan perusahaan perseroan. Ten- tang konkurensi seperti ini memang tidak ada peraturan perundang- undangan yang mengatur dan juga tidak diatur dalam akta perjan- jian pendirian perseroan yang bersangkutan, dan karena itu pesero pengurus tersebut berpikir tidak ada keberatan. Namun Hogeraad memutuskan bahwa bersaing seperti itu tidak boleh, karena berten- tangan dengan i’tikad baik. Jadi i’tikad baik dalam kasus ini berfungsi menambah isi perjanjian dan undang-undang (P.L.Wery, 1990; 11).
(2). Fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de geode trouw )
Suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat dalam perjanjian tertentu ataupun suatu ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian tertentu dapat dikesampingkan, disingkirkan, kalau sejak membuat perjanjianitu keadaan sudah berubah sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan menurut apa yang terulis dalam perjanjian atau dalam undang-undang, dianggap tidak adil lagi (karena perubahan keadaan).
Jadi dalam situasi tersebut kewajiban-kewajiban kontraktuil dapat dibatasi, malahan ditiadakan seluruhnya, atas dasar i’tikad baik (P.L.Wery, 1990; 13).
Fungsi membatasi dan fungsi meniadakan ini tidak boleh dijalankan dengan begitu saja, tetapi harus ada alasan-alasan yang sangat penting. Hogeraad hanya mengijinkan pembatasan perjanjian dalam kasus-kasus dimana pelaksanaan menurut kata-kata dalam perjanjian betul-betul tidak dapat diterima karena tidak adil.
Fungsi membatasi dan fungsi meniadakan ini tidak boleh dijalankan dengan mudah karena fungsi i’tikad baik ini merupakan kekecualian terhadap asas hukum perjanjian yang penting sekali yaitu asas “pacta sunt servanda”.
Putusan Hogeraad tanggal 29 April 1983 (Sperry Rand) tentang fungsi I’tikad baik yang membatasi dan meniadakan isi perjanjian yang sangat terkenal di negeri Belanda dimana dalam putusan ini hakim agung Belanda berpendapat hukum tidak tertulis dari i’tikad baik lebih tinggi derajatnya dari pada hukum tertulis yang bersifat memaksa (P.L.Wery, 1990; 14).
Putusan Hogeraad tanggal 29 April 1983 (Sperry Rand) sebagai berikut : Pengusaha besar bernama Sperry Rand telah menyewa sebuah gedung untuk perusahaannya, tetapi ia ingin mengakhiri sewa tersebut dan berusaha merundingkannya dengan pemilik gedung yang ia sewa. Perundingan mengenai pembatalan sewa tersebut memakan waktu yang cukup lama, tetapi belum ada hasilnya.
Lantas Sperry Rand mengakhiri sewa tersebut tanpa persetujuan pihak pemilik gedung. Menurut undang-undang di negeri Belanda pemutusan sewa ruang untuk perusahaan (huur van bedrijfsruinte)
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
— 25 —
hanya boleh dengan mengindahkan jangka waktu harus lewat satu tahun, dan ketentuan undang-undang ini sifatnya memaksa. Walaupun demikian Sperry Rand mengakhiri sewa ini dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Pihak pemilik gedung tidak menerima pelanggaran undang-undang seperti ini, namun Hoge Raad memutuskan bahwa dalam keadaan seperti ini (dimana perundingan-perundingan mengenai pemutusan sewa ini memakan waktu yang lama dan tidak ada hasilnya), maka penerapan ketentuan undang-undang tersebut bertentangan dengan i’tikad baik.
Ridwan Khairandy dalam bukunya yang berjudul “i’tikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”, membagi fungsi dari asas i’tikad baik menjadi 3 (tiga) fungsi, yaitu :
(1). Fungsi menambah (aanvullende werking van de goede trouw);
(2). Fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de goede trouw);
(3). Fungsi interpretasi (seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan i’tikad baik (Ridwan Khairandy, 2004; 216).
B. I’tikad Baik sebagai Asas Hukum Umum
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka i’tikad baik hanya berlaku pelaksanaan perjanjian dan hanya dalam hubungan hukum di bidang hukum kontraktual saja.
Namun dalam perkembangannya berlakunya asas i’tikad baik diperluas tidak hanya dalam hubungan hukum di bidang hukum kontrak/hukum perjanjian saja, tetapi berlaku juga dalam lapangan hukum lainnya, i’tikad baik juga tidak hanya berlaku pada tahap pelaksanaan perjanjian saja, namun berlaku juga terhadap :
(1). Hubungan Hukum Prakontraktuil
Bilamana dua pihak sedang berunding untuk membuat perjanjian, maka timbul antara mereka, menurut Hoge Raad, suatu hubungan-hukum khusus, yang disebut prakontraktuil dan yang dikuasai oleh itikad baik.
Ajaran ini dikemukakan dalam putusan HR 15 Nopember 1957 NJ 1958 No.67 dan kemudian dijelaskan dalam beberapa putusan lain.
Dari putusan-putusan itu ternyata bahwa menurut Hoge Raad para pihak yang berunding masing-masing mempunyai kewajiban- kewajiban yang berdasar atas itikad baik, yaitu kewajiban untuk memeriksa (onderzoekplicht) dan kewajiban untuk memberitahukan (mededelingsplicht). Misalnya bila ada perundingan-perundingan tentang jual beli rumah, maka orang yang mau membeli berkewajiban memeriksa apakah ada rencana-rencanan resmi mengenai rumah itu, umpamanya rencana untuk mencabut hak milik. Sanksi atas kewajiban itu ialah bahwa, kalau dia tidak memeriksa hal itu dan kemudian hak milik memang dicabut, dia tidak boleh menuntut pembatalan karena kesesatan. Pada lain pihak si penjual berkewajiban untuk memberitahukan semua yang dia ketahui dan yang bisa penting bagi pembeli; dan kalau dia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada rencana-rencana resmi, si pembeli boleh mempercayai pernyataan itu dan tidak usah memeriksa lagi. Begini hakim selalu harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu satu sama lain dengan ukuran itikad baik.
Akibat lain daripada adanya hubungan-hukum prekontraktuil ialah bahwa kadang-kadang perundingan-perundingan tidak boleh dibatalkan (diputuskan) begitu saja.
Arrest prensipiil dalam hal ini ialah seperti yang dimuat dalam putusan Hoge Raad tanggal 18 Juni 1982 NJ 1983 No.723 (Plas/Vulburg) sebagai berikut :
Kotapraja Valburg sedang berunding dengan seorang pemborong (Plas) tentang membikin suatu kolam renang. Ketika perundingan- perundingan sudah hampir selesai dengan hasil yang memuaskan, tiba-tiba kotapraja membtalkan perundingan-perundingan dan membuat perjanjian dengan pemborong lain. kemudian Plas menuntut ganti kerugiannya. Hoge Raad menimbang bahwa memang kadang- kadang perundingan-perundingan untuk membuat perjanjian sudah sampai dalam taraf (fase) yang demikian jauh sehingga pembatalan perundingan-perundingan oleh satu pihak bertentangan dengan i’tikad baik yang berlaku dalam hubungan-hukum prekontraktuil, karena pihak
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
— 27 —
lain boleh mempercayai bahwa bagaimana suatu perjanjian tentu akan dibuat; dan pembatalan sepihak dalam situasi itu mewajibkan pihak yang membatalkan untuk mengganti kerugian pihak lain.
(2). Hubungan Hukum antara Para Ahli Waris
Tidak ada keraguan bahwa antara para ahli waris adalah hubungan- hukum, tetapi hubungan hukum ini tidak bersifat kontraktuil. Namun demikian Hoge Raad dalam putusannya tanggal 20 Desember 1946 NJ 1947 No.59 mengemukakan bahwa hubungan hukum ini juga dikuasai oleh asas I’tikad baik. Ajaran itu diulangi antara lain dalam putusan :
Hoge Raad tanggal 12 Mei 1972 NJ 1973 No.53 (Warisan Van Der Dong) Lima ahli waris berselisihan tentang pembagian warisan yang terdiri dari suatu paviljun dengan pekarangan, yang sudah lama dieksploatasikan oleh satu diantara mereka. Hoge Raad menimbang : pada pemisahan dan pembagian dari suatu gabungan harta bersama para pihak harus bertindak sesuai dengan i’tikad baik, dan dalam kasus ini i’tikad baik dapat mengakibatkan bahwa barang tak bergerak yang bersangkutan harus diberikan kepada ahli waris tersebut karena eksploitasi lama itu.
(3). Hubungan Hukum antara Bekas Suami Isteri
Dalam putusannya tanggal 9 Mei 1952 NJ 1953 No.563 Hoge Raad berbicara tentang “asas-asas itikad baik dan kepatutan yang juga menentukan hubungan ukum antara para peserta dalam gabungan harta perkawinan yang dibubarkan”. (“de beginselen van geode trouw en billijkheid, die de rechtsverhouding tussen de deelgenoten in de ontbonden huwelijksgemeenshchap mede bepalen”).
Kemudian diputuskan dalam putusan-putusan lain bahwa i’tikad baik juga berlaku antara bekas suami-istri yang kawin tanpa gabungan harta- bersama. Sebagaimana tertuang dalam putusan Hoge Raad tanggal 12 Juni 1987 NJ 1988 No.150 (Kreik/Smit)
Perkara ini mengenai suatu siatuasi yang seringkali terjadi di Nederland. Sewaktu perkawinan yang dilangsungkan pada tahun 1958 dengan perjanjian kawin – si suami (Smith) membeli suatu rumah yang dibayarnya dengan uang istrinya (Kreik), tapi yang didaftarnya atas nama
sendiri, sehingga rumah itu menjadi milik suami. Pada tahun 1982 mereka bercerai, bagaimana sekarang dengan rumah itu?
Jelas sudah, bahwa Smit tetap sebagai pemilik, tapi wajib membayar kembali kepada Kreik uang yang dipakainya untuk membeli rumah itu.
Tetapi bagaimana kalau harga rumah itu sudah naik sekali, seperti dalam kasus ini? Apakah bekas istri juga berhak atas lebihnya harga itu (atau bagian dari lebihnya)? Hoge Raad memutuskan bahwa pada asasnya suami hanya berkewajiban membayar jumlah uang diterimanya, karena itu sesuai dengan kepastian hukum; akan tetapi-kata Hoge Raad kadang-kadang ada pengecualian atas dasar itikad baik, khususnya kalau ada keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya, antara lain kenaikan harga luar biasa atau turunnya daya beli luar biasa.
(4). Peraturan dalam BW Baru
Walaupun atas dasar yurisprudensi yang diuraikan tadi dapat diperha- tikan bahwa kini dalam hukum perdata Belanda i’tikad baik sudah menjadi asas-asas hukum umum yang menguasai segala hubungan-hukum, namun asas hukum itu tidak dimuat secara tegas dalam BW Baru. Akan tetapi ada banyak ketentuan yang menimbulkan gambaran asas hukum umum terse- but, sekurang-kurangnya dalam hukum harta-benda. Menurut BW Baru i’tikad baik – dengan fungsi-fungsi menambah dan membatasi – berlaku antara lain :
- Untuk perjanjian-perjanjian dalam arti sempat (perjanjian- perjanjian obligator) : fasal 248 Buku 6, yang sudah disebut tadi;
- Dalam perbuatan hukum keharta-bendaan lain yang bersegi banyak (“andere meerzijdige vermogensrechtelijke rechtshandelingen”), jadi perjanjian kebendaan (zekelijke overeenkomst), dalam perjanjian kawin (huwelijke voorwaarden), pada perjanjian perceraian (echtscheidingsconveanant) dan perjanjian-perjanjian lain dalam arti luas : fasal 216 Buku 6;
- Dalam tiap-tiap perikatan, jadi juga perikatan yang tidak dilahirkan dari perjanjian ; fasal 2 buku 6;
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
— 29 —
- Dalam hubungan hukum antara para peserta dalam suatu gabungan har tabersama (tussen de deelgenoten in cen goederengemeenschap) ; fasal 166 ayat 3 buku 3,
- Dalam hubungan hukum dalam organisasi dari suatu badan hukum, misalnya antara para anggota atau persero, para pengurus atau komisaris; fasal 7 Buku 2, yang sudah berlaku sejak 1976 (P.L.Wery, 1990; 18).
Daftar Pertanyaan :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan benar :
1. Apa yang dimaksud dengan asas kekuatan mengikat, apa dasar hukumnya, dan apa tujuan diadakannya asas kekuatan mengikat.
2. Apa yang dimaksud dengan asas konsensualitas, dan apa dasar hukumnya.
3. Apa yang dimaksud dengan asas I’tikad baik, dan apa dasar hukumnya.
4. Sebutkan fungsi dari asas I’tikad baik dalam hukum perjanjian.
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “asas I’tikad baik sebagai asas hukum umum”.
B A B V
SYARATSYARAT SAHNYA PERJANJIAN
BESTAANDBAARHEID
Bestaandbaarheid tidak diterjemahkan menjadi syarat untuk adanya perjanjian tetapi diterjemahkan menjadi syarat sahnya perjanjian, hal ini dikarenakan ada kalanya walaupun perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat, tetapi perjanjian tersebut tetap dianggap ada selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan.
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu ada 4 (empat) syarat :
(1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2). Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (3). Suatu hal tertentu
(4). Kausa (suatu sebab) yang halal.
Syarat ”sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” dan syarat
”Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian” dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang melakukan perjanjian.
Apabila syarat subyektif ini tidak dipenuhi, maka akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta supaya perjanjian dibatalkan adalah pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas atau pihak yang tidak cakap.
Jadi perjanjian yang dibuat dengan tidak mematuhi syarat subyektif, perjanjian tersebut tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak mengajukan pembatalan.
Terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (cancelling). Hak meminta pembatalan hanya ada pada salah satu pihak saja yaitu pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya.
Pengajuan pembatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat subyektif menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi waktunya selama 5 (lima) tahun, dihitung mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan salah satu pihak), maka sejak orang tersebut cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan dihitung sejak paksaan tersebut telah berhenti, dalam hal kekhilapan atau penipuan, maka dihitung sejak hari diketahuinya kekhilapan atau penipuan tersebut.
Adapun syarat ”suatu hal tertentu” dan syarat ”kausa yang halal”
dinamakan syarat obyektif, karena berkenaan dengan obyek dari perjanjian, apabila perjanjian dibuat dengan tidak memenuhi syarat obyektif ini, maka berakibat perjanjian batal demi hukum (null and void). Sehingga secara yuri- dis dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada pula perikatan maka para pihak yang mengadakan perjanjian dengan tujuan melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka pengadilan. Dan hakim karena jabatannya diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Namun harus diingat walaupun akibatnya batal demi hukum, batalnya perjanjian tersebut tidaklah secara otomatis, melainkan harus dimintakan pembatalan kepada hakim pengadilan (Subekti, 1979; 50).
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kem- bali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau salah satu pihak telah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka hal tersebut harus dikembalikan (Subekti, 1979; 49).
Dengan demikian akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif berakibat perjanjian batal demi hukum, sehingga keadaan dikem-
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 33 —
balikan seperti keadaan semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian diantara para pihak, sehingga apa yang sudah diterima oleh para pihak harus dikembalikan.
Namun mengembalikan keadaan seperti pada keadaan semula sebe- lum perjanjian dilahirkan adakalanya menimbulkan permasalahan seperti pada perjanjian sewa menyewa dan pada perjanjian perburuhan, karena tidak mungkin bagi si penyewa untuk mengembalikan kenikmatan yang telah ia nikmati dari obyek yang ia sewa, dan dalam perjanjian perburuhan tidaklah mungkin orang mengembalikan tenaga yang telah buruh berikan kepada majikannya.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
1. Sepakat (
Toestemming)Sepakat (toestemming) adalah pertemuan dua kehendak yang saling mengisi dengan cara dinyatakan, atau dapat dikatakan bahwa sepakat adalah bertemunya penawaran dan penerimaan (J.Satrio, 1995;165).
Sekarang timbul pertanyaan Bagaimanakah dua kehendak dapat dikatakan saling tertemu. Kehendak seorang baru nyata bagi pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan (diutarakan). Jadi perlu adanya pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.
Adanya kesesuaian kehendak antara dua orang belum melahirkan perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak lain dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain.
Dengan demikian unsur dari sepakat (toestemming) adalah :
a. Adanya kehendak (keinginan yang ada dalam sanubari para pihak) dan pernyataan kehendak
b. Pernyataan kehendak ditujuan kepada pihak lain
c. Pernyataan kehendak tersebut dimengerti dan diterima oleh pihak lain.
d. Ditujukan kepada akibat hukum yang diharapkan timbul dari tindakan tersebut
Cara Menyatakan Kehendak
Untuk menyatakan kehendak ada bermacam-macam cara, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut :
Untuk lahirnya suatu perjanjian yang sah, pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan kehendak yang bebas, tanpa paksaan, kesesatan atau penipuan.
Kapan Lahirnya Sepakat
Seperti telah dijelaskan terdahulu, sepakat terdiri dari kehendak dan pernyataan kehendak, maka timbul pertanyaan sepakat lahir atas dasar kehendak Ataukah atas dasar pernyataan kehendak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lahirlah teori-teori tentang kapan lahirnya sepakat (J.Satrio, 1995; 195-225).
(1). Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori kehendak, kesepakatan terjadi apabila kehendak lebih saling bertemu dan perjanjian mengikat atas dasar bahwa kehendak para pihak patut dihormati
Prinsip teori kehendak adalah suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. Teori ini berlaku pada saat dibuatnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Konsekuensi teori kehendak adalah ;
(a). Kalau orang memberikan suatu pernyataan yang tidak sesuai dengan kehendaknya, maka pernyataan tersebut tidak mengikat dirinya (b). Perjanjian tidak lahir atas dasar pernyataan yang tidak dikehendaki,
seperti : latah, bercanda.
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 35 — Keberatan terhadap teori kehendak
Teori ini tidak menciptakan kepastian hukum, karena siapa yang dapat mengetahui kehendak orang lain, dan kalau orang tidak dapat berpegang kepada apa yang dikatakan orang lain, maka dapat dibayangkan para pedagang tidak akan bisa merasa tenang, karena sewaktu-waktu akan menghadapi pembeli yang membatalkan pembeliannya, dengan alasan bahwa ia keliru membeli barang tersebut.
(2). Teori Pernyataan (Verklarings Theorie)
Patokan dari teori pernyataan adalah apa yang dinyatakan, kalau pernyataan dua orang sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan mengikat bagi mereka.
Keberatan terhadap teori pernyataan :
Pernyataan tidak selalu dapat dipakai untuk keterikatan seseorang secara adil.
Misalnya kalau terjadi suatu peristiwa, dimana prang salah menyampai- kan kehendaknya, misalnya melalui surat menawarkan sebuah sepeda motor baru merek Honda dengan harta Rp.1.500.000,- dan si calon pembeli tahu bahwa penulisan harga tersebut keliru, maka apakah adil apabila penawaran dengan harga yang jelas-jelas keliru dan calon pembeli tahu akan kekeliruan tersebut akan mengikat calon penjual.
(3). Teori Kepercayaan (Vertrouwen Theorie)
Patokan dari teori kepercayaan adalah pernyataan, tetapi dengan pembatasan, apakah pihak lain tahu atau seharusnya tahu, bahwa orang dengan siapa ia berunding adalah keliru. Dengan perkataan lain, yang menentukan bukan pernyataan, tetapi keyakinan (kepercayaan) yang ditimbulkan oleh pernyataan tersebut. Dengan demikian sepakat terjadi apabila pernyataan kedua belah pihak menurut ukuran normal saling membangkitkan kepercayaan bahwa diantara mereka telah terjadi sepakat yang sesuai dengan kehendak kedua belah pihak.
Keberatan terhadap teori kepercayaan adalah seakan-akan kehendak tidak berperan lagi, sebab yang terpenting adalah kepercayaan yang ditimbulkan oleh pernyataan.
(4). Teori Bertanggung jawab (Gevaarzetting Theorie)
Prinsip teori ini adalah bahwa barang siapa turut serta dalam pergaulan hidup, harus menerima konsekuensi bahwa tindakan dan ucapannya mungkin ditafsirkan lain oleh pihak lain menurut arti yang dianggap patut oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Jadi menurut teori bertanggung jawab setiap orang bertang gung jawab atas kekeliruannya, orang lain tidak pantas menanggung akibatnya.
Sikap Pembuat Undang-Undang
Undang-undang tidak menyatakan secara tegas mengenai teori mana yang dipakai sebagaimana terlihat pada Pasal 1342, 1343, dan 1344 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Adapun pengadilan menganut teori kepercayaan.
Unsur-Unsur Kesepakatan
Kesepakatan merupakan pertemuan antara penawaran dan penerimaan, maka unsur dari kesepakatan adalah :
1). Penawaran (Offerte) 2). Penerimaan (Akseptasi) Penawaran
Penawaran adalah suatu usul yang ditujukan kepada pihak lain untuk menutup perjanjian, usul tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan (akseptasi) oleh pihak lain segera melahirkan perjanjian.
Suatu penawaran dibedakan dari suatu undangan untuk memasukan penawaran seperti suatu perusahaan memasang iklan disuatu surat kabar yang mencari seorang sarjana hukum untuk menduduki jabatan di biro hukum dengan gaji tertentu. Iklan yang demikian hanya dikategorikan sebagai undangan untuk memasukkan suatu penawaran. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hubungan buruh dan majikan mempunyai segi-
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 37 —
segi yang bersifat pribadi, sehingga orang tidak begitu saja menerima setiap orang yang menjawab iklan tersebut.
Ketentuan Umum tentang Penawaran
1. Pada dasarnya penawaran hanya ditujukan kepada orang tertentum kecuali apabila penawaran itu ditujukan kepada umum.
2. Suatu penawaran dapat ditarik kembali selama penawaran tersebut belum diterima (diakseptir) oleh pihak lawan janji (J.Satrio, 1995; 241) Macam-Macam Penawaran
1. Penawaran tidak mengikat
Contoh : Iklan dijual kopi robusta sebanyak 1 ton harga tidak mengikat
2. Penawaran mengikat untuk jangka waktu tertentu
Contoh : Hypermar memberikan discount sebesar 10 s/d 20% selama bulan Maret.
3. Penawaran untuk jangka waktu tidak tertentu
Contoh : jual beli dengan perjanjian mana orang tersebut membeli untuk dan atas nama orang lain (yang belum disebutkan), maka seakan-akan penjual tersebut memberikan penawaran yang terikat (dalam waktu yang tidak tertentu) untuk menerima siapa saja yang disebutkan pembeli tersebut.
4. Penawaran Umum
Penawaran umum tidak ditujukan kepada orang tertentu atau sekelompok orang tertentu, tetapi ditujukan kepada masyarakat umum, penawaran ini bias dilakukan lewat iklan, selebaran, papan reklame, atau menaruh barang dalam etalase toko (J.Satrio, 1995;
245-249).
Penerimaan (Akseptasi)
Penerimaan (akseptasi) yang dilakukan pada saat penawaran masih mengikat, akan mengikat orang yang menyaaka akseptasinya sejak saat akseptasi diberikan, kecuali apabila penerimaan tersebut dilakukan dengan bersyarat.
Pada penawaran umum, siapa saja boleh menerima/mengaksptir penawaran tersebut, seperti halnya penawaran yang dilakukan oleh bis yang mangkal di stasiun bis jurusan tertentu, pada asasnya semua orang boleh menerima penawaran bis tersebut untuk diangkat ke jurusan trayek tersebut.
Adapun cara menyatakan penawaran (akseptasi) adalah bebas, kecuali apabila ada disyaratkan suatu bentuk akseptasi tertentu oleh pihak yang menawarkan.
Saat Lahirnya Perjanjian
Suatu penawaran yang dilakukan secara lisan dan apabila antara yang menawarkan dengan si penerima berapa dalam suatu tempat merupakan hal yang mudah untuk menentukan kapan saat lahirnya sepakat yaitu pada saat penawaran tersebut diakseptir (diterima) oleh si penerima, tetapi lain halnya apabila penawaran diberikan untuk orang yang berlainan tempat bahkan berbeda negara dan penawaran dilakukan secara tertulis, maka akan sulit untuk menentukan kapan lahirnya sepakat dan selanjutnya sulit untuk menentukan kapan lahirnya suatu perjanjian.
Penentuan kapan lahirnya suatu perjanjian sangat penting artinya dalam hal :
1. Penentuan risiko
2. Kesempatan penarikan kembali penawaran 3. Saat menghitung jangka waktu kadaluarsa 4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian
Mengingat pentingnya penentuan kapan saat lahirnya suatu perjanjian maka lahirnya teori-teori tentang kapan lahirnya suatu perjanjian (J.Satrio, 1995; 257-264).
Teori Kapan Lahirnya Perjanjian (1).Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori pernyataan, perjanjian telah ada pada saat asas suatu penawaran telah ditulis jawaban penerimaan
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 39 —
Keberatan terhadap teori pernyataan adalah karena orang tidak dapat memastikan kapan perjanjian telah lahir, karena sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti dan membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban. Disamping itu perjanjian sudah terjadi pada saat si akseptor (penerima) masih mempunyai kekuasaan penuh terhadap surat jawaban, sehingga ia dapat mengulur-ulur waktu bahkan membatalkan akseptasinya, padahal orang yang menawarkan sudah terikat.
(2). Teori Pengiriman (Verzending Theorie)
Menurut teori pengiriman, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat pengiriman jawaban penerimaan. Teori ini mempunyai pegangan yang relatif pasti tentang saat lahirnya perjanjian, karena tanggal cap post dapat dipakai sebagai patokan kapan surat jawaban tersebut terkirim
Keberatan terhadap teori pengiriman adalah : Perjanjian telah lahir dan mengikat si pemberi penawaran pada saat di pemberi penawaran belum tahu akan hal tersebut.
Teori pengiriman dan pernyataan tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.
(3). Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie)
Menurut teori penerimaan, perjanjian lahir pada saat jawaban atas penawaran telah diterima ole yang menawarkan, tidak peduli apakah surat jawaban tersebut telah dibuka ataukah dibiarkan tidak terbuka.
Teori penerimaan ini dianggap paling baik, Hege Raad dalam beberapa putusannya menggunakan teori ini.
Kelemahan teori penerimaan adalah kalau jawaban hilang dalam pengiriman, maka apakah tidak akan pernah lahir suatu perjanjian.
(4). Teori Pengetahuan (Vernemings Theorie)
Menurut teori pengetahuan, perjanjian lahir pada saat suatu jawaban penerimaan diketahui isinya oleh yang menawarkan. Teori ini sebenarnya merupakan teori yang paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan.
Keberatan terhadap teori pengetahuan adalah dalam hal si penerima surat (yang menawarkan) membiarkan suratnya begitu saja dan tidak dibuka, apakah dengan demikian tidak akan pernah lahir suatu perjanjian.
Catat dalam Kehendak
Berdasarkan asas konsensualitas, perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Sepakat di sini harus diberikan dengan bebas tanpa adanya cacat kehendak.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal 3 (tiga) macam cacat kehendak yaitu kesesatan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Namun dalam perkembangan selanjutnya dikenal catat kehendak lainnya yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik omstandigheden).
a. Kesesatan/Kekeliruan/Kekhilafan (Dwaling)
Kesesatan diartikan sebagai gambaran yang ada dalam bayangan ternyata tidak ada lain dari kenyataannya.
Macam-macam Kesesatan : 1. Kesesatan motif
Kesesatan motif timbul karena “kehendaknya” muncul atas dasar motif yang keliru
Motif diartikan sebagai faktor yang pertama-tama (sebab yang paling jauh) yang menimbulkan adanya kehendak
2. Kesesatan Semu
Kesesatan semua terjadi apabila kehendak dan pernyataan kehendaknya tidak sama seperti pernyataan orang gila yang secara hukum dianggap tidak mempunyai kehendak
3. Kesesatan Sebenarnya
Dalam kesesatan sebenarnya, antara kehendak dan pernyataan kehendaknya sama, di sini memang ada kehendak, tetapi kehendak tersebut terbentuk secara keliru/tidak benar, dan kekeliruan tersebut baru diketahui setelah perjanjian ditutup
Dalam hal ini memang ada sepakat dan lajir perjanjian, namun perjan- jian tersebut lahir karena ada yang keliru
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 41 — Kesesatan sebenarnya terbagi dua yaitu : a. Error in Persona
Kesesatan mengenai orangnya b. Error in Substantia
Kesesatan mengenai obyek atau hakekat bendanya (J.Satrio, 1995;
269-277).
Akibat Kesesatan (Dwaling)
Akibat dari perjanjian yang lahir karena adanya yang sesat (keliru), maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh orang yang merasa kehendaknya keliru/tersesat.
Kesesatan (Dwaling) yang dapat Dimintakan Pembatalan Perjanjian 1. Pihak yang menggugat pembatlaan perjanjian berdasarkan kesesatan
harus membuktikan bahwa kesesatan/kekeliruan yang dialaminya merupakan kesesatan yang secara normal dapat dialami oleh setiap orang dalam Kedudukannya pada waktu menutup perjanjian
2. Dari pihak yang mengemukakan adanya kesesatan layak ada kemungkinan timbulnya gambaran yang keliru tentang hakekat bendanya.
3. Harus diperhitungkan bahwa apakah pihak yang mengemukakan kesesatan dengan mudah dapat mengadakan pengecekan akan kebenaran apa yang dikemukakan oleh pihak lawan janjinya
Kesesatan baru diketahui setelah perjanjian ditutup, dalam hal ada kesesatan perjanjian tetap mengikat, tetapi dengan adanya kesesatan, maka menjadi alasan untuk pembatalan perjanjian tersebut.
Beda Kesesatan dengan Wanprestasi
Pada kesesatan orang sebenarnya telah memperoleh apa yang menjadi haknya, tetapi ia keliru mengenai ciri/hakekat bendanya, sedangkan pada wanprestasi, kreditur tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan janjinya, debitur tidak melakukan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.
b. Paksaan (Dwang)
Pada perjanjian yang ditutup di bawah paksaan, kehendak dan pernyataannya memang sama dan karenanya lahirlah perjanjian, hanya saja kehendaknya tidak murni yaitu kehendak tersebut berbentuk karena adanya rasa takut.
Subyek Pemaksaan (Pasal 1323 KUHPerdata) 1. Orang yang menutup perjanjian
2. Pihak ketiga untuk kepentingan orang yang menutup perjanjian (siap saja yang disuruh pihak lawan janjinya)
Subyek yang Dipaksa (Dwang) ditujukan (Pasal 1324-1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
1. Orang yang menutup perjanjian
2. Bisa juga ditujukan kepada orang lain yang terbatas, yaitu suami/istri dan sanak keluarga dalam garis keturunan keatas maupun kebawah Obyek Paksaan (Pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) 1. Keutuhan badan
2. Kehormatan dan kemerdekaan
3. Ketakutan akan kerugian terhadap kekayaan
Syarat Paksaan
1. Tindakan paksaan tersebut tidak dibenarkan oleh hukum dalam menutup perjanjian, dengan cara :
a. Melalui sarana yang tidak dibenarkan oleh undang-undang berusaha mencapai tujuan yang tidak dibenarkan undang- undang
b. Melalui sarana yang dibenarkan undang-undang berusaha untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan undang-undang c. Melalui sarana yang tidak dibenarkan untuk mencapai tujuan
yang dibenarkan oleh undang-undang
2. Menimbulkan rasa takut akan kerugian (J.Satrio, 1995; 344-345)
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian (Bestaandbaarheid)
— 43 —
c. Penipuan / Bedrog (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Penipuan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dengan tipu muslihat (serangkaian kebohongan), untuk menimbulkan kesesatan pada pihak lain supaya memberikan persetujuannya.
Dalam perjanjian yang lahir karena adanya penipuan, kehendak dan pernyataan kehendak sama, tetapi kehendak terbentuk karena adanya tipu daya dan serangkaian kebohongan.
Subyek Penipuan
Penipuan harus dilakukan oleh pihak lawan di dalam perjanjian.
Obyek Penipuan
Obyek penipuan adalah mengenai sifat hakekat bendanya Beda Paksaan dengan Penipuan dan kesesatan
Pada paksaan; orang sadar memberikan pernyataan kehendaknya, yaitu seandainya tidak ada paksaan,