• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Internasional atas Kebijakan Negara X Menolak Perjanjian Lama

N/A
N/A
TRISNANDA

Academic year: 2025

Membagikan "Analisis Hukum Internasional atas Kebijakan Negara X Menolak Perjanjian Lama"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS 1

TUTORIAL ONLINE SESI 3

MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL HKUM4206

TUTOR : YULITA PUJILESTARI

Dikerjakan Oleh :

NAMA : TRISNANDA

NIM : 051418616

KODE ELAS : 93

PRODI : S1-ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL, DAN ILMU POLITIK (FHISIP) UNIVERSITAS TERBUKA

UPBJJ JAKARTA 2025

(2)

2 Tugas 1. Tuton Sesi 3. Hukum Internasional

A. PERTANYAAN

Negara X baru saja berganti pemerintahan dan mendeklarasikan kebijakan luar negeri yang menolak seluruh perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Negara- negara lain di komunitas internasional mengkritik langkah ini karena dianggap melanggar prinsip pacta sunt servanda.

1. Apakah tindakan Negara X sah menurut hukum internasional?

2. Bagaimana dasar berlakunya hukum internasional dapat digunakan untuk membantah atau mendukung kebijakan Negara X?

B. JAWABAN

1. Apakah Tindakan Negara X Sah Menurut Hukum Internasional?

Tindakan Negara X yang menolak seluruh perjanjian internasional yang telah disepakati oleh pemerintahan sebelumnya tidak sah menurut hukum internasional, terutama karena melanggar prinsip pacta sunt servanda yang merupakan prinsip fundamental dalam hukum perjanjian internasional. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Tahun 1969, yang menyatakan:

"Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith."

Artinya, setiap perjanjian yang sah dan telah diratifikasi mengikat negara penandatangan dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Negara tidak bisa secara sepihak membatalkan kewajiban perjanjian hanya karena pergantian pemerintahan.. Oleh karena itu, pergantian pemerintahan tidak membebaskan negara dari kewajiban yang telah dibuat dalam perjanjian internasional sebelumnya.

Jika Negara X secara sepihak menolak perjanjian yang sudah ada tanpa alasan yang diakui dalam hukum internasional (seperti adanya perubahan keadaan yang mendasar secara signifikan), maka tindakan tersebut dianggap melanggar hukum internasional dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan politik.

Contoh:

Kasus serupa terjadi pada Iran pasca Revolusi Islam 1979. Pemerintahan baru Iran di bawah Ayatollah Khomeini menolak beberapa kewajiban internasional yang ditandatangani oleh rezim Shah sebelumnya. Namun, komunitas internasional tetap menuntut Iran bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian sebelumnya karena negara tetap dianggap sebagai subjek hukum internasional yang kontinuitasnya tidak tergantung pada perubahan pemerintahan.

(3)

3

2. Dasar Berlaku Hukum Internasional untuk Membantah atau Mendukung Kebijakan Negara X

a. Dasar yang Membantah Kebijakan Negara X :

- Prinsip Pacta Sunt Servanda : Sebagaimana dijelaskan, prinsip ini menuntut pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati secara konsisten tanpa memperhatikan perubahan pemerintahan.

- Kontinuitas Negara (State Continuity) : Dalam hukum internasional, negara adalah entitas yang tetap terlepas dari pergantian rezim. Dengan demikian, kewajiban hukum suatu negara tidak berakhir karena pergantian penguasa. Hal ini ditegaskan dalam praktik Mahkamah Internasional (ICJ) dan doktrin hukum internasional.

- Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties ):

Pasal 27 : Negara tidak boleh menggunakan hukum nasional, termasuk perubahan pemerintahan, sebagai alasan untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian internasional.

Pasal 70(1)(b) : Perjanjian tidak bisa dianggap berakhir hanya karena perubahan pemerintahan kecuali jika secara eksplisit perjanjian itu memperbolehkan demikian.

b. Dasar yang Dapat Digunakan untuk Mendukung Negara X (terbatas):

Rebus Sic Stantibus (Pasal 62 Konvensi Wina 1969) : Ini adalah doktrin keadaan yang berubah secara fundamental yang dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri atau keluar dari perjanjian. Namun, penerapannya sangat ketat dan hanya berlaku dalam situasi luar biasa di mana perubahan tersebut secara radikal mengubah kewajiban utama dari perjanjian tersebut.

Contoh Dukungan Terbatas:

Ketika Uni Soviet bubar pada 1991, beberapa negara pecahannya (seperti Lithuania atau Estonia) menolak perjanjian yang dibuat oleh Uni Soviet, namun mereka bukan sekadar mengganti rezim melainkan membentuk negara baru yang terpisah (state succession), bukan pergantian

pemerintahan dalam satu negara.

Kesimpulan:

Tindakan Negara X tidak sah menurut hukum internasional karena bertentangan dengan prinsip pacta sunt servanda dan asas kontinuitas negara. Kecuali ada dasar hukum yang kuat seperti rebus sic stantibus, perjanjian-perjanjian yang telah disepakati tetap mengikat negara tersebut.

(4)

4

SUMBER REFERENSI

Setianingsing, Sri dan Wahyuningdih. (2022). Hukum Internasional. Tangerang: Universitas Terbuka

FISIP Universitas Al Azhar Indonesia. (2014). Hukum Perjanjian Internasional.

Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. (2023). Perjanjian Internasional.

Shaw, M. N. (2017). International Law (8th ed.). Cambridge University Press.

Aust, A. (2013). Modern Treaty Law and Practice (3rd ed.). Cambridge University Press.

United Nations. (1969). Vienna Convention on the Law of Treatie.

Fahum UMSU. (2024). Perjanjian Internasional: Pengertian, Fungsi dan Tahapannya.

Referensi

Dokumen terkait

Hukum internasional khusus ialah hukum internasional dalam bentuk kaidah yang khusus berlaku bagi negara- negara tertentu,seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagi

Hal ini diatur dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menyatakan Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan

Pertama, para pihak (negara dan negara atau negara dan perusahaan asing) sepakat untuk memberlakukan prinsip-prinsip hukum internasional dalam kontrak mereka. Sejak

Jika perjanjian atau konvensi hanya mengatur norma yang ada yang sudah mengikat pada negara sebagai hukum kebiasaan internasional, negara bukan peserta pada perjanjian

Persetujuan atau consent merupakan dasar dari adanya hukum internasional, dan perjanjian internasional adalah salah satu bentuk paling mengikat yang merupakan hasil dari negara yang

Pasal 15 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa persetujuan melalui accession dapat terjadi bila traktat menetapkan demikian, atau negara-negara negosiator sepakat

Hubungan Prinsip-prinsip hukum umum dengan perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional Walaupun prinsip-prinsip hukum umum berkedudukan lebih tinggi daripada hukum

Ketentuan Konvensi Wina mengatur proses aksesi dan ketentuan mulai berlakunya suatu perjanjian