Nama : Irene Oryza Sativa Pasaribu NIM : E0022224
Kelas : Hukum Perjanjian Internasional (F)
Ujian Tengah Semester
1. Bagaimana ketentuan Konvensi Wina mengatur proses aksesi dan ketentuan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional dalam kerangka hukum internasional?
Tidak ada negara yang memiliki hak untuk accession kecuali jika pada perjanjian tersebut mengizinkan atau para pihak setuju untuk menerima negara tersebut. Pasal 15 konvensi wina menyatakan bahwa aksesi adalah cara di mana sebuah negara dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh perjanjian jika:
1) Perjanjian tersebut mengizinkannya aksesinya;
2) Terbukti bahwa negara-negara yang merundingkan perjanjian setuju bahwa persetujuan tersebut dapat diungkapkan oleh negara tersebut melalui aksesi 3) Semua pihak kemudian setuju bahwa sebuah negara tersebut dapat menyatakan
persetujuannya dengan cara aksesi.
Hak untuk melakukan accesion dibatasi dengan kategori tertentu/ persetujuan negara lain, Contohnya seperti suatu negara sudah menjadi pihak dalam suatu perjanjian tertentu. Seperti dalam konvensi konservasi sumber daya hayati laut antartika 1980 "terbuka untuk aksesi oleh negara mana pun yang tertarik pada penelitian atau kegiatan pemanenan terkait sumber daya hayati laut yang termasuk dalam lingkup Konvensi ini." Sehingga para pihak menafsirkan hal tersebut sebagai syarat bahwa mereka harus mencapai keputusan kolektif untuk memastikan bahwa negara yang mengajukan aksesi benar-benar tertarik pada kegiatan tersebut
Pasal 84 Konvensi Wina 1969 menetapkan bahwa perjanjian internasional dalam kerangka hukum internasional mulai berlaku pada hari ketiga puluh lima setelah tanggal penyerahan instrumen ratifikasi atau aksesi. Tetapi apabila perjanjian tersebut menetapkan bahwa suatu negara hanya dapat menyetujui setelah tanggal atau peristiwa tertentu, seperti mulai berlakunya perjanjian, tetapi instrumen persetujuan diterima
sebelum tanggal tersebut, lembaga terkait akan memberi tahu negara tersebut bahwa instrumen tersebut akan disimpan hingga tanggal yang telah ditetapkan.
2. Bagaimana mekanisme dan tahapan proses pembentukan perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina, serta prinsip-prinsip apa saja yang menjadi landasannya?
Menurut Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 yaitu:
“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
Pada intinya yang dimaksud dengan treaty atau perjanjian internasional adalah kesepakatan internasional yang dibuat antarnegara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Terdapat beberapa tahapan daalm pembuatan perjanjian internasional yaitu:
1) Negosiasi/Perundingan Perjanjian Internasional
Negosiasi didahului dengan pendekatan-pendekatan oleh pihak yang mengadakan perjanjian internasional, atau biasa disebut lobbying. Apabila telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu isu, maka kemudian diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya (kepala negara, kepala pemerintahan dan perdana Menteri), menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya. Selain itu terdapat proses para pihak yang berunding akan merumuskan teks dari perjanjian yang kemudian akan diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3 negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.
2) Penandatanganan Perjanjian Internasional
Selanjutnya yaitu dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh peserta perundingan. Proses atau tahap pengesahan teks perjanjian internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.
3) Ratifikasi Perjanjian Internasional
Proses ratifikasi ini tak selalu diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut. Proses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.
Prinsip-prinsip yang menjadi landasan yaitu:
1) Itikad baik/Good faith
Yaitu tiap pihak-pihak yang andil dalam perjanjian harus melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan dengan itikad baik dan kerjasama demi mencapai tujuan dari perjanjian tersebut.
2) Kesepakatan bebas/Free consent
Yaitu setiap negara memiliki kebebasan untuk memutuskan akan bernegosiasi dalam perjanjian tersebut ataupun tidak tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
3) Kewenangan mengikat negara
Yaitu pembatasan kewenangan atas orang-orang yang dapat mendiskusikan dan menandatangani perjanjian tersebut. Pembatasan tersebut diatur sesuai instruksi negara masing-masing.
4) Bentuk tertulis
Yaitu perjanjian internasional wajib dibuat dalam bentuk tertulis.
5) Pacta Sunt Servanda
Yaitu perjanjian yang sudah disahkan akan mengikat para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Bagaimana hukum internasional mengatur kerangka hukum dan prinsip-prinsip yang mengikat dalam pelaksanaan perjanjian internasional, serta bagaimana penerapan prinsip tersebut di berbagai yurisdiksi?
Disebutkan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yaitu kerangka hukum dan prinsip-prinsip yang mengikat dalam pelaksanaan perjanjian internasional. Prinsip tersebut yaitu Pacta Sunt Servanda yang berbunyi “Setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak didalamnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik’’. Prinsip
lain yaitu prinsip kedaulatan negara yang memuat bahwa setiap negara memiliki hak kebebasan untuk memutuskan akan ikut berkomitmen atau tidak pada suatu perjanjian, serta wajib taat pada perjanjian yang sudah disepakati. Penerapannya dalam berbagai yuridiksi yaitu:
1) Monisme
Teori monisme berbicara mengenai hukum internasional dapat masuk secara otomatis ke dalam hukum nasional tanpa memerlukan transposisi lebih lanjut.
Hal tersebut dikarenakan teori ini melihat hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang dipandang sebagai dua komponen dari satu kesatuan
‘tubuh’ pengetahuan yang dinamakan hukum. Makna kesatuan tubuh pengetahuan tersebut melahirkan 2 varian dari teori monisme ini, yakni supremasi hukum internasional di atas hukum nasional dan supremasi hukum nasional di atas hukum internasional.
2) Dualisme
Teori dualisme mengutamakan hukum nasional berdasarkan kedaulatan negara masing-masing sehingga hukum internasional tidak dapat memaksa suatu negara untuk patuh terhadap hukum internasional. Menurut teori ini, hukum internasional dan hukum nasional masing masing merupakan dua sistem yang berbeda secara intrinsik.
4. Bagaimana kedudukan dan pengaruh perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional, serta jelaskan mekanisme penerapan dan harmonisasi perjanjian tersebut dalam hukum nasional Indonesia?
UUD NRI 1945 pada Pasal 11 ayat (1) menyatakan, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dalam hal perjanjian internasional tersebut memberi dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan pembentukan UU maka perjanjian internasional tersebut harus dengan persetujuan DPR. Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional diatur dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mengatur aspek internal dari treaty-making process. Pada Ketentuan Konstitusional yang demikian, UUD NRI 1945 sebenarnya tidak menjelaskan bagaimana posisi hukum internasional dalam hukum nasional. Konstitusi hanya menjelaskan mengenai
kewenangan presiden dan hubungannya dengan DPR dalam membuat perjanjian internasional.
Pada isu aplikabilitas perjanjian internasional di depan forum pengadilan nasional, peran hakim menjadi penting untuk diobservasi. Secara konstitusional, pelaku kekuasaan kehakiman di negara Indonesia dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, para hakim MA dan MK wajib menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Namun sayangnya, ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI 1945 mengenai posisi hukum internasional menciptakan barrier dalam isu aplikabilitas perjanjian internasional di pengadilan nasional. UU No. 24 Tahun 2000 pun tidak menyediakan arahan yang jelas bagaimana efek domestik dari perjanjian internasioanl yang diratifikasi Indonesia. Perdebatan teoretikal seputar monisme-dualisme pun tak dapat dielak sehingga menimbulkan inkonsistensi cara hakim memandang aplikabilitas hukum internasional di pengadilan nasional.
Dalam praktik penggunaan hukum internasional oleh MA dan MK masih berjalan inkonsisten. Hal tersebut nampak pada praktik MA mengenai kasus Kedutaan Saudi Arabia di Indonesia di tahun 2006. Pada Putusannya, MA menerapkan the 1961 Vienna Convention on Diplomatic Relations yang saat itu sudah diratifikasi namun belum ditransformasi ke dalam hukum nasional. Praktik menunjukkan bahwa MA tersebut pengadilan menganggap perjanjian internasional tersebut dapat diberlakukan langsung (self-executing treaties). Namun di sisi lain, terdapat juga praktik MA yang bertolakbelakang menyikapi perjanjian internasional. Sebagai contoh, the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakan perjanjian internasional yang substansinya mengatur kemaritiman secara umum. Keberlakuan Konvensi tersebut baru didapat setelah Konvensi tersebut ditransformasi ke dalam UU No. 6 Tahun 1996, lebih dari sepuluh tahun setelah ratifikasi Konvensi. Ini menunjukan bahwa treaties tersebut dianggap sebagai non-self executing treaties. Sampai saat ini, belum ada penjelasan normatif menuntaskan yang dapat polemik praktik inkonsistensi tersebut.
5. Dalam peristiwa hukum laut, dikenal adanya laut bebas atau laut yang tidak bisa/boleh diklaim negara lain yang terletak setelah 200 mil suatu negara. Jika terdapat sebuah kapal tanker minyak berlayar di laut lepas berbendera Prancis yang bedampingan dengan ZEE negara pantai Indonesia dan terjadi sebuah
peristiwa kebocoran pada tanker yang menyebabkan tumpahnya minyak dalam tanker dan menyebar hingga sampai pada ZEE negara pantai Indonesia. Dalam hal ini menurut saudara apa yang dapat terjadi akibat peristiwa hukum laut tersebut?
1) Pertanggungjawaban Perancis dan penyelesaian sengketa
Jika terdapat sengketa terkait kewajiban tanggung jawab terkait pencemaran tersebut, kedua negara ini dapat menggunakan ketentuan penyelesaian sengketa yang telah diatur dalam UNCLOS, yaitu melalui Mahkamah Internasional.
Mahkamah ini akan memutuskan tentang kewajiban negara bendera dan berapa banyak kompensasi yang harus dibayar pada Indonesia sebagai kompensasi atas penyelesaian sengketa.
2) Pertanggungjawaban negara Perancis atas dampak yang terjadi (Pencemaran) Perancis harus bertanggung jawab penuh atas kebocoran minyak pada kapal tanker yang yang telah melintasi area ZEE. Perancis juga harus mengambil tindakan demi mengatasi tumpahan minyak tersebut, dengan membersihkan maupun mengurangi efeknya. Apabila Perancis tidak melakukannya, lalu Indonesia berhak meminta pemulihan ZEE atas dampak yang ditimbulkan kapal Perancis tersebut.