• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV STATUS PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DAN

4. Amar Putusan

Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan tempat perkawinan Pemohon dan Termohon dilangsungkan;

j. Menimbang, bahwa permohonan termasuk bidang perkawinan, maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama biaya perkara dibebankan kepada Pemohon;

Bengkulu guna dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

f. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 296.000,-(dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah);

B. Analisis Pemberian Nafkah Iddah Dan Mut‟ah Kepada Istri yang Nusyuz Dalam Putusan No. 677/Pdt.G/2016/PA.Bn Perspektif Hukum Positif

i. Nafkah Iddah

Dalam Putusan No. 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, majelis hakim mengabulkan permohonan suami untuk menjatuhkan talak satu raj‟i kepada istrinya di depan sidang Pengadilan Agama Bengkulu dengan amar putusan pemohon memberikan nafkah iddah kepada Termohon selama tiga bulan sebesar Rp.2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah) dan muth‟ah berupa kalung emas 5 gram 24 karat. Menurut penulis perbuatan majelis hakim tersebut sudah tepat untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk menceraikan istrinya. Namun, dalam hal menyatakan pemohon untuk memberikan nafkah iddah terhadap termohon perlu dikaji lebih dalam, karena perceraian terjadi karena termohon telah melakukan nusyuz terhadap pemohon (suami). Perbuatan Nusyuz tersebut berupa :70

1. Termohon sering tidak mendengarkan perkataan Pemohon selaku kepala keluarga

2. Termohon lebih mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada Pemohon;

70 Salinan Putusan No. 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, h. 2

3. Termohon sering tidak melaksanakan kewajiban selayaknya seorang istri;

4. Termohon sering berselisih pendapat dengan Pemohon akan suatu keputusan;

5. Termohon tidak pernah memberikan nafkah batin kepada Pemohon;

6. Termohon seringkali membantah dan selalu acuh terhadap perintah dari pemohon

Dalam hal ini perbuatan termohon melalaikan tanggung jawabnya sebagai istri merupakan perbuatan nusyuz terhadap suami. Sebab-sebab tersebut menyababkan termohon seharusnya tidak mendapatkan hak nafkahnya selama masa iddah.

Hal ini terbukti dengan termohon yang tidak pernah hadir dalam persidangan walaupun telah dipanggil dengan resmi dan tidak pula menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasa/wakilnya, maka dengan begitu semua dalil gugatan dari pemohon adalah benar dan termohon dianggap megakui dalil-dalil tersebut karena tidak ada bantahan dari termohon. Oleh karena pengakuan merupakan bukti yang mengikat dan sempurna sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 174 HIR, pemohon dan termohon masing-masing terikat dengan pengakuannya tersebut dan terhadap fakta yang telah diakui tersebut dinyatakan telah terbukti kebenarannya. Untuk itu, seharusnya termohon tidak mendapatkan nafkah iddah dan kewajiban suami untuk memberikan nafkah menjadi gugur.

Namun, dalam hal ini Majelis Hakim tetap memberikan nafkah iddah dengan pertimbangan bahwa Pemohon

menyatakan sanggup memberi nafkah iddah kepada Termohon selama tiga bulan sebesar Rp. 2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah) dan muth‟ah berupa kalung emas 5 gram 24 karat. Akan tetapi, dalam pemberian nafkah iddah ini hakim tidak menggali lebih jauh apakah pemohon mengetahui bahwa istri yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah iddah. Kemungkinan Majelis hakim menerapkan asas fiksi yaitu dimana setelah hukum diundangkan maka dianggap semua masyarakat mengetahuinya.

Selain itu Majelis Hakim menggunakan haknya secara ex officio untuk membebankan Pemohon untuk membayar nafkah iddah kepada Termohon, meskipun termohon tidak menuntut nafkah iddah. Hak ex officio hakim adalah hak atau kewenangan yang dimiliki hakim karena jabatannya untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan.71

Akan tetapi, penggunaan Hak ex officio tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor:

KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, dimana berbunyi, “Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah

„iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyuz dan menetapkan kewajiban mut‟ah.”

Dari Keputusan Mahkamah Agung RI diatas sangat jelas bahwa penggunaan hak ex officio tidak dapat digunakan

71 Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, terj. Imran AM (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 18

untuk menetapkan kewajiban nafkah kepada istri yang nusyuz. Sehingga, penulis mengambil kesimpulan bahwa pemberian nafkah iddah kepada istri yang nusyuz dalam Putusan No. 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, menyalahi ketentuan Pasal 149 dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam. Penulis memaparkan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Dalam surat permohonan, pemohon menunjukkan bahwa Termohon dalam keadaan nusyuz. Jelas bahwa di dalam di dalam KHI Pasal 152 dinyatakan bahwa “Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz”. Artinya isteri yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah iddah. Disamping itu dari mana majelis hakim bisa mengabulkan nafkah iddah padahal isteri (Termohon) tidak pernah menuntut hak tersebut.

2. Seorang hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan melebihi daripada yang dituntut, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 189 ayat (3) RBg yang berbunyi bahwa hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.72 Larangan ini disebut asas ultra petitum partitum. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah bertindak melampaui batas wewenangnya (ultra vires). Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik maupun sesuai

72 Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 58

dengan kepentingan umum (public interest).73 Karena hal tersebut telah melanggar asas ultra petitum.

3. Di dalam pertimbangan hukum, majelis hakim tidak menjelaskan alasan dan dasar penggunaan hak ex officio.

Seharusnya majelis hakim menjelaskan alasan dan dasar penggunaan hak ex officio sebagaimana di jelasan dalam Pasal pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dari pemaparan yang sudah penulis dijelaskan diatas, maka penulis berpendapat bahwa pemberian nafkah iddah kepada istri yang nusyuz dalam Putusan No.

677/Pdt.G/2016/PA.Bn menyalahi ketentuan Pasal 149 dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam.

Menurut penulis dengan adanya penjelasan diatas, adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu sikap isteri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan kelangsungan rumah tangga, karena gugurnya nafkah merupakan sanksi kepada isteri yang melakukan nusyuz.

ii. Mut‟ah

Mengenai Mut‟ah diatur pada pasal 149 huruf (a), Pasal 158, Pasal 159 dan Pasal 160 Kompilasi Hukum Islam. Pasal

73 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2019), h. 801

149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla ad dukhul.

Qabla ad dukhul artinya belum berlangsung hubungan seksual antara keduanya.

Kemudian, Pasal 158 mengatur tentang syarat pemberian mut‟ah yaitu bahwa mut‟ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :

1. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;

2. Perceraian itu atas kehendak suami.

Adapun Pasal 159 KHI menyebutkan bahwa mut‟ah sunah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka dipahami bahwa pemberian mut‟ah dapat menjadi wajib dan dapat menjadi sunah. Mut‟ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da ad dukhul (telah terjadi hubungan seksual antara keduanya) dan perceraian atas kehendak suami.

Pada kasus dalam putusan Nomor : 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, perceraian terjadi atas kehendak suami, dan suami yang mengajukan perceraian ke Pengadilan Bengkulu. Selain itu telah terjadi hubungan suami istri diantara keduanya dan telah dikaruniai dua orang anak.

Sehingga apabila dikaji berdasarkan Pasal 158 diatas jelas bahwa suami wajib memberikan mut‟ah kepada istri yang ia ceraikan.

Namun, demikian meskipun ketentuan Pasal 158 tidak

terpenuhi, bekas suami sunah memberikan mut‟ah kepada mantan isteri, artinya meskipun mahar telah ditetapkan bagi isteri ba’da ad dukhul dan perceraian atas kehendak isteri bukan atas kehendak suami. Suami boleh memberikan mut‟ah kepada isteri dan seyogyanya suami memberikan mut‟ah kepada mantan isteri sebagai obat penghibur hati mantan isteri akibat dari perceraian. Dan pemberian mut‟ah merupakan suatu perbuatan baik yang disyariatkan (disunnatkan) oleh Islam.

Dalam Putusan Hakim Nomor :

677/Pdt.G/2016/PA.Bn, Termohon (istri) telah melakukan perbuatan nusyuz berupa sering tidak melaksanakan kewajiban selayaknya seorang istri, tidak pernah memberikan nafkah batin kepada Pemohon semenjak pemohon diusir dari rumah orang tua termohon, tidak mengikuti kemana suami bertempat tinggal karena seharusnya istri mengikuti kemana pun suaminya tinggal, sering membangkang kepada suami dan lebih senang tinggal ditempat yang tidak satu atap dengan suami serta seringkali membantah dan selalu acuh terhadap perintah dari pemohon, dimana perbuatan ini bertentangan dengan Pasal 83 KHI yaitu kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam, serta isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.

Berdasarkan Pasal 149 huruf (a) KHI yang berbunyi bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla

ad-dukhul. Jika dikaji berdasarkan Pasal 149 huruf (a) KHI tersebut istri wajib mendapatkan mut‟ah yang layak kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhul atau belum terjadinya hubungan suami istri diantara keduanya. Artinya istri yang belum digauli tidak wajib mendapatkan mut‟ah dari mantan suaminya atau dengan kata lain mantan suami tidak waijib hukumnya memberian mut‟ah kepada mantan istrinya yang ia ceraikan. Dan dalam pasal tersebut, tidak disebutkan bahwa istri yang nusyuz tidak mendapatkan mut‟ah dan nusyuz tidak menghalangi bekas istri untuk mendapatkan mut‟ah yang layak dari suaminya. Dan dalam kasus ini istri yang ditalak sudah digauli atau Ba’da ad-dukhul, dan percaian pun putus atas kehendak suami, namun dengan keadaan istri yang nusyuz itu tidak mengguguran haknya untuk mendapatkan mut‟ah.

Mut‟ah juga diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013 menyebutkan bahwa dalam perkara cerai talak :

1. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar‟iyah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk isterinya, sepanjang isterinya tidak terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mut‟ah (Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI.

2. Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama/

Mahkamah Syar‟iyah sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami yang

jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah dan nafkah anak.

3. Agar memenuhi asas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan, penetapan mut‟ah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalnya rumah, tanah atau benda lainnya, agar tidak menyulitkan dalam eksekusi.

Mut‟ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul dan perceraian atas kehendak suami. Besarnya mut‟ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami (Pasal 158 dan 160 KHI).

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa kewajiban suami memberikan mut‟ah adalah akibat dari perceraian yang diajukan oleh suami atau cerai talak, sedangkan apabila perceraian diajukan oleh isteri atau cerai gugat kewajiban pemberian mut‟ah tersebut tidak diatur.

Berdasarkan penjelasan yang tersebut diatas, dalam Putusan Hakim Nomor : 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, majelis hakim dalam amar putusannya memutuskan bahwa Pemohon wajib memberikan muth‟ah berupa kalung emas 5 gram 24 karat kepada istri yang ia ceraikan. Meskipun jumlah mut‟ah yang dicantumkan dalam amar putusan tersebut tidak diajukan atau diminta oleh istri tetapi Majelis Hakim menetapkan jumlah mut‟ah tersebut berdasarkan hak ex officio yang dimilikinya. Selain itu jumlah yang ditetapkan tersebut telah dipertimbangkan berdasarkan kemampuan suami, sehingga sedapat mungkin majelis Hakim mengetahui jenis

pekerjaan dan pendidikan suami yang jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan.

Perbuatan majelis hakim tersebut sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla ad dukhul, serta Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Sehingga, dalam Putusan Hakim Nomor : 677/Pdt.G/2016/PA.Bn, meskipun istri telah melakukan perbuatan nusyuz, pemberian Mut‟ah tersebut hukumnya sah dan tetap wajib diberikan.

C. Analisis Pemberian Nafkah Iddah dan Mut‟ah Kepada Istri yang Nusyuz Dalam Putusan No. 677/Pdt.G/2016/PA.Bn Perspektif Hukum Islam

Berakhirnya hubungan suami-istri karena perceraian bukan pula berakhir hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. Perceraian mengakibatkan akibat hukum baru diantara mantan suami kepada istri. Kewajiban mantan suami itulah yang kemudian menjadi hak mantan istri diantaranya adalah hak mut„ah dan hak nafkah iddah.

1. Nafkah Iddah

Mengenai nafkah iddah bagi istri yang nusyuz, terdapat perbedaan dikalangan para ulama. Jumhur ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah iddah bagi isteri yang nusyuz, namun mereka berbeda pendapat di dalam menentukan

batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah iddah .

Menurut Imam Abu Hanifah, seorang isteri gugur hak nafkah iddahnya manakala dia berpergian tanpa izin dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak menjadi kewajiban baginya. Iman Abu Hanafi berpendapat manakala istri berdiam diri dalam rumah suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka dia masih disebut patuh (muthi’ah), sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara‟ yang benar. Penolakannya yang seperti itu, sekalipun haram, tetap tidak menggugurkan haknya atas nafkah dan hak nafkah iddah jika terjadi perceraian. Bagi Hanafi, yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah iddah kepadanya adalah beradanya wanita tersebut di rumah kediaman. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah.74 Namun, apabila istri meninggalkan rumah tanpa izin suami, atau menolak tinggal di rumah (suami) yang layak baginya, maka dianggap istri nusyuz dan menurut kesepakatan seluruh mazhab, dia tidak berhak atas nafkah saat masih berlangsungnya pernikahan dan nafkah iddah saat terjadinya perceraian.

Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi‟i, manakala istri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan berdasar syara‟ maupun rasio, akan dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas nafkah.75

74 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah II, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009), h.

279

75 Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), h. 248.

Dalam Putusan Nomor : 677/Pdt.G/2016/PA.Bn dijelaskan bahwa si istri memang tidak meninggalkan rumah orang tuanya yang ditempati bersama sang suami, namun sang suami diusir dari rumah oleh ibu dari istri. Karena hal itu suami pergi dari rumah tersebut dan istri tidak pernah lagi memberikan nafkah batin kepada suami tanpa adanya alasan yang dibolehkan secara syara‟. Istri pun tidak meminta suaminya untuk kembali ke rumah tersebut dan tidak pula mengikuti suaminya keluar dari rumah orang tuanya. Bahkan istri lebih senang senang tinggal ditempat yang tidak sama (serumah) dengan suaminya.

Jika dikaji berdasarkan Pendapat Mazhab Imam Malik dan Syafi‟i sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka si istri sudah masuk kepada kategori nusyuz sekalipun istri tidak meninggalkan rumah kediaman bersama. Hal ini dikarenakan istri tidak memberikan nakah batin kepada suami selama 10 bulan terhitung sejak suami diusir dari rumah dan tidak mengizinkan suami untuk tinggal di rumah tersebut.

Nusyuz yang dilakukan oleh istri (Termohon) tersebut, menurut Syafi`iyyah berakibat pada hilangnya hak nafkah iddah istri yang wajib diberikan suami. Selain itu Syafi`iyyah memandang bahwa adanya akad nikah semata belum menjadi syarat wajibnya suami memberi nafkah kepada istri, sampai istri menyerahkan dirinya secara total (tamkin) kepada suaminya. Meskipun batasan dan besaran nusyuz tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadis, tetapi Syafi`iyyah menganggap penolakan istri untuk patuh kepada suami merupakan bentuk nusyuz yang menyebabkan istri kehilangan hak nafkah iddah tersebut. Bagi ulama Syafi‟iyyah

penyerahan total istri sehingga suami dapat memperoleh kesenangan darinya merupakan syarat wajibnya memberi nafkah iddah.

Dalam hal ini, Syafi‟iyyah melakukan analogi (qiyas) dengan penolakan penjual menyerahkan barang dagangan kepada pembeli, sehingga pembeli tidak memperoleh manfaat dari barang yang dibeli. Analogi Syafi`iyyah tersebut dapat dipahami dari konsep pernikahan sebagai bagian dari muamalah. Dalam hal ini, akad hanya satu elemen dari muamalah yang tidak terpisah dari elemen lain sebagai satu kesatuan, seperti alat tukar (tsaman) dan barang (mabi`).

Berdasarkan analogi tersebut, akad nikah saja tidak mencukupi untuk wajibnya memberi nafkah, karena suami tidak memperoleh manfaat dari istri, sebagaimana pembeli tidak wajib menyerahkan alat tukar, jika tidak menerima barang yang dibeli.

Ini menunjukkan bahwa istri yang telah bercerai dari suaminya dengan talak raj‟i maka masih mendapatkan hak- hak dari mantan suaminya yang disebut nafkah iddah selama menjalani iddahnya. Namun, istri yang melakukan nusyuz dan suami menceraikannya maka hak nafkahnya gugur.

Sebagaimna dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat 7 yang berbunyi Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz dan Pasal 152 berbunyi Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz. Namun, tidak semua perkara yang disebabkan nusyuz istri, menyebabkan gugurnya hak untuk mendapatkan nafkah iddah, apabila dalam persidangan suami suka rela dan sanggup untuk

memberikan nafkah iddah kepada mantan istrinya meskipun termohon/mantan istrinya tidak menuntut nafkah iddah.

Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 677/Pdt.G/2016/PA.Bn menjatuhkan putusan untuk tetap memberikan nafkah iddah kepada Termohon selaku istri yang melakukan nusyuz. Jika mengacu kepada beberapa pendapat ulama mazhab sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pendapat Majelis Hakim lebih condong mengikuti pendapat Mazhab Hanafi karena menurut Mazhab Hanafi apabila seorang istri, mengikatkan (tertahan) dirinya di rumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa izin suaminya, maka istri seperti ini dianggap tidak melakukan nusyuz. Hal ini sesuai dengan syariat Islam yang mengatur kewajiban mantan suami terhadap mantan istri setelah terjadi cerai talak.

Hal ini disesuaikan dengan adanya kaidah sebagai berikut:

و ﺮﺣ

ﻡ ﺎﻣ ا ﺮﺣ ﻞﺣ ا ﺎﻃﺮﺷ ﻻ ا ﻢﮭﻃ و ﺮﺷ ﻲﻠﻋ ﻥ ﻮﻤﻠﺴﻤﻟ ا

“Orang-orang islam terikat dengan perjanjian yang mereka buat, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal”

Selain itu alasan hakim memutus tetap memberikan nafkah iddah kepada termohon sebagai istri yang nusyuz adalah demi kemaslahatan termohon (istri). Dalam Putusan Hakim Nomor 677/Pdt.G/2016/PA.Bn penentapan untuk memberikan nafkah iddah kepada istri yang nusyuz pasca perceraian dengan metodelogi hukum yang menggunakan dalil ushul fiqh yaitu Maslahah Mursalah dengan jenis Maslahah Hajjiyah. Maslahah Hajjiyah adalah kemaslahatan

yang menduduki pada taraf kebutuhan sekunder. Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan oleh manusia agar terlepas dari kesusahan yang akan menimpa mereka. Jika seandainya tidak terpenuhi maka tidak sampai mengganggu kelayakan, substansi serta tata sistem kehidupan manusia, namun dapat menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya

Bila dilihat dalam konteks kemaslahatan, kemaslahatan manusia adalah tujuan utama dari pembentukan dan pelaksanaan syari‟at. Begitu juga dalam hal mengadili, manusia diperintahkan oleh Allah untuk menjadi penegak keadilan yang benar-benar adil tanpa memandang bulu. Hal tersebut tercantum dalam Firman Allah SWT. Surah An-Nisa‟

ayat 135 yang berbunyi:













































































“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk berbuat adil dalam menyelesaikan masalah di antara manusia.

Keadilan adalah sistem kehidupan yang tidak

Dokumen terkait