BAB II NAFKAH IDDAH, MUT‟AH DAN NUSYUZ DALAM
3. Ketentuan Pemberian Nafkah Iddah
Para ulama sepakat bawa wanita atau perempuan yang berada dalam masa iddah talak raj‟i berhak mendapatkan nafkah iddah dan tempat tinggal dari suami yang mentalaknya. Meraka juga sepakat menyatakan bahwa perempuan hamil yang dicerai suaminya, baik dengan talak raj‟i maupun talak bain, berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya.30
Nafkah dari seorang suami tidak hanya sewaktu dia masih menjadi istri sahnya dan terhadap anak-anak dari istri itu, suami wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian.
Terkadang ada seorang mantan suami yang memperlakukan
28 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam &
Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 530-531
29 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang..., h. 600
30 Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary ed, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 201
istri dan membuatnya sengsara setelah talak pertama dan ketika ia menjalani masa iddah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus memberi nafkah yang yang seimbang, sesuai dengan standar hidup suami.31
Perempuan yang tetap diberi nafkah pada masa iddah terdapat pada perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‟i dan perempuan yang sedang beriddah dalam keadaan hamil berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan perempuan yang dalam iddah talak bain.32 Berkenaan dengan perempuan yang ditalak raj‟i sesuai dengan firman Allah.
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…..”(Qs. At- Thalaq: 6).
Adapun perempuan yang dalam keadaan iddah akibat talak ba‟in, para ulama berbeda pendapat, jika perempuan yang ditalak bain tidak dalam keadaan hamil, yaitu:33
a. Dia berhak mendapatkan tempat tinggal dan ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini merupakan pendapat Malik dan Syafi‟i, mereka berlandaskan dengan firman Allah,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuannmu.”(Qs.
At-Thalaq: 6).
31 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Syari’ah I), terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 372-373
32 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga..., h. 358
33 Sayid Sabiq, FIqh Sunnah..., h. 447
b. Dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Hal ini merupakan pendapat Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, ats-Tsauri, dan para ulama mazhab Hanafi.
Mereka berdasarkan atas keumuman firman Allah, yaitu:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuannmu.”(Qs.
At-Thalaq: 6).
Nash yang yang menyebutan kewajiban tempat tinggal, dan kapan saja tempat tinggal wajib secara syar‟i, maka nafkah wajib pula karena nafkah mengikuti tempat tinggal bagi istri yang di talak raj‟i, istri yang sedang hamil dan istri yang ditalak bain.
Ketentuan nafkah iddah itu akan hilang jika istri melakukan nusyuz, yaitu istri membangkan atau durhaka kepada suaminya. Tolak ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.34
Maka, terjadinya nusyuz istri mengharamkannya dari hak nafkah dalam pembelanjaan-pembelajaan yang berlaku antara suami dan pemanfaatan dengan istri.35 Maka dengan demikian istri yang nusyuz dalam keadaan iddah tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dari sang suami,
34 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 55
35 Ali Yusuf As-subki, Fiqh Keluarga..., h. 187
baik itu berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
Menurut penulis jika istri keluar rumah tanpa izin dari suaminya namun perginya tersebut untuk kepentingan suami maka istri tidak dianggap nusyuz dan berhak mendapatkan nafkah iddah.
Ketentuan pemberian nafkah iddah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termuat dalam pasal 149 huruf b yaitu:36
“Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama massa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.”
Kemudian pasal 152 KHI berbunyi :
“Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.”
Ketentuan dalam KHI pasal 149 huruf B di atas menjelaskan bahwa nafkah iddah berhak untuk istri yang dicerai talak raj‟i dan perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil. Ketentuan nafkah iddah itu akan hilang jika istri melakukan nusyuz, yaitu istri membangkan atau durhaka kepada suaminya. Tolak ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-
tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.36
Maka terjadinya nusyuz istri mengharamkannya dari hak nafkah iddah dalam pembelanjaan-pembelajaan yang berlaku antara suami dan pemanfaatan dengan istri.37 Maka dengan demikian istri yang dalam keadaan iddah tidak berhak mendapatkan nafkah dari sang suami, baik itu berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
B. Mut‟ah Dalam Hukum Positif Dan Hukum Islam 1. Pengertian Mut‟ah
Secara bahasa Mut‟ah artinya adalah kesenangan.38 Kemudian, dalam istilah fiqih dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai penghibur atau ganti rugi39. Pendapat lain dikatakan bahwa mut‟ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur dan menjadi kenang-kenangan untuk sang istri.
Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.40
Jadi, Pemberian mut‟ah ini adalah sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT kepada para suami agar selalu mempergauli istri-istri mereka dengan prinsip yakni mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau
36 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 55
37 Ali Yusuf As-subki, Fiqh Keluarga..., h. 187
38 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 1307
39 M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan 2002), h. 230
40 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h. 179
melepaskan (menceraikan) dengan kebijakan. Oleh sebab itu, kalaupun hubungan perkawinan terpaksa diputuskan, perlakuan baik harus tetap dijaga, hubungan baik pun dengan mantan istri atau keluarganya sedapat mungkin di pertahankan, di samping melaksanakan pemberian mut‟ah dengan ikhlas dan sopan santun tanpa sedikit pun menunjukkan kebencian hati, apalagi penghinaan dan pelecehan.41
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j), Mut‟ah adalah pemberian mantan suami kepada isteri yang telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.42
Pasal di atas menerangkan bahwa mut‟ah adalah pemberian suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai konpensasi, namun pemberian tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan kepatutan suami sendiri. Keharusan memberi mut‟ah oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai konpensasi berbeda dengan mut‟ah sebagai pengganti mahar bila isteri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama mut‟ah.
Menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa mut‟ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur.
41 M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan 2002), h. 230
42 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV.
Nuansa Arkola, 2009), h. 2.
Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.43
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Mut‟ah adalah sesuatu berupa benda yang dengannya dapat diperoleh manfa‟at atau kesenangan yang bertujuan dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan Isteri tersebut.
2. Landasan Hukum Pemberian Mut‟ah
Mut„ah sebagai implikasi dari perceraian merupakan suatu keharusan yang di berikan suami kepada istrinya sebagai bentuk tangggung jawab dan ganti rugi, maka bekas suami wajib memberikan mut„ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.44
Kewajiban suami membayar mut„ah kepada bekas isteri tercantum dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 236:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
43 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan..., h. 179
44 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan..., h. 179
miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Tercantum juga didalam surat al-Ahzab ayat 49:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Adapun dasar hukum pemberian mut‟ah yaitu Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 Dan 158, Pasal 159 dan Pasal 160. Dalam Pasal 149 menyatakan bahwa, “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.”45
Kemudian, Dalam Pasal 158 disebutkan bahwa “Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul dan Perceraian itu atas kehendak suami. 46 Lalu, Dalam Pasal 159
45 Kompilasi Hukum Islam Pasal 149
46 Kompilasi Hukum Islam Pasal 158
menyebutkan bahwa Mut‟ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.47
Dalam Pasal 160 menyebutkan bahwa besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.48
Dari ketentuan pasal-pasal diatas dapat dipahami bahwa mut‟ah oleh suami kepada isteri dalam perkara cerai talak hukumnya adalah wajib sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 158 huruf b KHI yang menyebutkan bahwa mut‟ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat perceraian itu atas kehendak suami. lalu, hukumnya sunnat bila perceraian itu atas kehendak istri atau cerai gugat.
3. Kadar mut‟ah
Sementara tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan itu, dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 236:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
47 Kompilasi Hukum Islam Pasal 159
48 Kompilasi Hukum Islam Pasal 160
Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan suami kepada isterinya.
Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu- satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah “kepatutan”.
Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut".
Dengan pernyatan seperti ini, maka ada dua unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut'ah.
Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas.
Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup
“cukup” atau (apalagi) “mewah” dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya “sedikit”. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang berada di sekitarnya.49
Ketentuan mut‟ah ini juga diatur dalam hukum positif yang ada di Indonesia. Sebagaimana dalam Pasal 41 (c) UU No.1 Tahun 1974. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
49 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan..., h. 179
suami dapat dibebankan suatu kewajiban setelah perceraian.
Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci dalam KHI pada pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mantan suami. Pasal 149 poin (a) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami berkewajiban untuk memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda.
Kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.50
Mengenai ukuran mut‟ah yang dibebankan kepada mantan suami, tidak terdapat pedoman khusus dalam peraturan perundangan. Namun dalam KHI pasal 160 dijelaskan bahwa ukuran mut‟ah ditentukan berdasarkan kemampuan suami. Sehingga besar kecilnya mut‟ah tergantung kemampuan suami.
C. Nusyuz Dalam Positif Dan Hukum Islam 1. Pengertian Nusyuz
Nusyuz secara bahasa berasal dari kata ازوشﻧ ـ سشﻨﯾ ـسشﻧ (nasyaza, yansyuzu, nusyuzan), yang berarti meninggi, menonjol, durhaka, menentang, atau bertindak kasar.51 Sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri atau perubahan sikap suami atau isteri. Dalam pemakaiannya, arti kata annusyuuz ini kemudian berkembang menjadi al-
‟ishyaan yang berarti durhaka atau tidak patuh.
Menurut terminologis, Nusyus yaitu sikap membangkang atau durhaka dari istri kepada suaminya bahkan membantah dan tidak taat kepada suaminya atau
50 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan..., h. 179
51 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997), h. 1418-1419
terjadi penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suaminya terhadap istrinya, sedangkan tindakan istri bisa berbentuk menyalahi tata cara yang diatur oleh suami dan dilaksanakan oleh istri dengan sengaja untuk menyakiti hati suaminya.52
Menurut Abu Manshur mengatakan, nusyuz adalah rasa bencinya masing-masing suami dan istri terhadap pasangannya. Istri timbul rasa benci pada suami, dan juga sebaliknya, suami timbul rasa benci pada istri. jadi tidak hanya berlaku pada perempuan saja. Pada pihak laki-laki ada juga nusyuz. Hal senada juga dikatakan oleh Abu Ishaq bahwa nusyuz itu terjadi antara pihak suami dan istri. ini terjadi manakala keduanya mempunyai rasa saling membenci, sehingga terjadi hubungan yang tidak harmonis.
Jelasnya, nusyuz itu identik dengan durhaka dan maksiat.
Ekspresi dari rasa benci ini bisa melalui perkataan, seperti saat tidak patuh, dipanggil pura-pura mau padahal setelah itu berontak, dan bisa pula melalui perbuatan seperti berperilaku tidak baik dihadapan pasangannya.53
Secara yuridis perbuatan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dijabarkan secara detail sebagaimana nusyuz yang termaktub dalam al-Qur‟an. Namun secara garis besar, nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya, yaitu: kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya, hal ini terlihat dari bunyi
52 Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 24.
53 Abu Yasid, Fiqh Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 333
Pasal 84 ayat (1) yaitu istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.54
Berdasarkan berbagai pemaknaan tentang nusyuz di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Nusyuz adalah tindakan suami atau istri di luar kepatutan yang mengarah kepada tidak melaksanakan kewajiban di dalam rumah tangga, atau tindakan-tindakan antipati yang tidak beralasan yang menyakitkan dan merugikan pihak lain.
2. Dasar Hukum Nusyuz a. Al-Quran
Tindakan nusyuz istri merupakan perbuatan yang diharamkan, sebab Allah telah menyiapkan serangkaian hukuman bagi istri pembangkang jika ia tidak bisa disembuhkan. Adapun ayat yang berkenaan dengan nusyuz ini adalah firman Allah QS. An-Nisaa (4): 34
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa [4]: 34).
54 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan..., h. 179
b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 84 :
1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
3. Macam-Macam Nusyuz
Ada 2 macam nusyuz, yaitu:
a. Nusyuz isteri terhadap suami
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh isteri terhadap suaminya, hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dengan bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang menganggu keharmonisan rumah tangga.55
Dalam hal terjadi nusyus Istri, Islam sebagaimana disyaratkan dalam surat an-Nisaa: 34, telah mengajarkan agar seorang suami menempuh tiga tahapan, yaitu menasehati, pisah tidur, dan terakhir, memukul yang tidak berakibat fatal (ghair mubarrah). Jika diketahui bahwa istrinya telah bersikap nusyus itu maka suaminya harus bertindak sebagai berikut : 56
55 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 20
56 Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: al I’tishom Cahaya Umat, 2007), h. 573.
1) Menasehati dengan baik
Maka hendaklah ia menasehati istrinya dengan lemah lembut, dan mengingatkannya terhadap apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, yakni menasehati suami dan menentangnya. Lalu hendaklah ia memberinya harapan akan pahala dari Allah lantaran mentaatinya dan agar ia termasuk kedalam golongan wanita-wanita saleh yang taat kepada Allah dan menjaga kehormatan suaminya saat tidak ada. Lalu hendaklah ia mengingatkan akan hukum Allah jika bermaksiat kepada-Nya, dan bahwasanya apabila ia tetap dengan nusyusnya ia berhak untuk memisahkan tempat tidurnya dan kemudian memukulnya.
2) Menjauhi istri di tempat tidur
Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.
Berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama isterinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika isteri mencintai suami maka hal itu, tersa bersat atasnya sehingga ia kembali baik.
3) Jika tidak berhasil maka istrinya boleh dipukul dengan tidak berat
Pemukulan yang dilakukan bersifat tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak mengakibatkan luka karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaiki,
bukan yang lain. Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.
4) Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan baru dibolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian.
b. Nusyuz suami terhadap isteri
Kemungkinan nusyuz tidak hanya dari pihak isteri namun, dapat juga dari pihak suami. Selama ini, disalahpahami bahwa nusyuz hanya dari pihak istri saja.
Padahal di dalam Al Qur‟an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam surat An Nisa‟ ayat 128:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar- benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau
meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik.
37 BAB III
KEDUDUKAN PUTUSAN HAKIM
A. Pengertian Putusan Hakim
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai Pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.57 Setelah Hakim mengetahui duduk perkaranya yang sebenar- benarnya, maka pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai. Kemudian dijatuhkan Putusan.
Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak”
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta cerminan etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.58
Menurut Lilik Mulyadi, dengan berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka putusan hakim itu merupakan:
“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.”59
57 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta:
Liberty 1999), h. 175.
58 Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), h. 129
59 Lilik Mulyadi, Seraut Wajah..., h. 6